Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Thomas Ch. Syufi
Monsignor (Mgr) Petrus Canisius Mandagi, MSC dipilih sebagai Uskup Agung Metropolitan Keuskupan Agung Merauke (KAME) oleh Paus Fransiskus setelah umat Katolik Merauke menunggu lebih dari setahun. Namun, banyak umat Katolik di Tanah Papua, khususnya di Keuskupan Merauke menanti langkah-langkah spektakuler Uskup Mandagi, terutama misi pewartaan dan suara-suara kenabiaan atas persoalan sosial-kemanusiaan yang terus meliputi masyarakat Papua.
Uskup Mandagi yang sebelumnya menjabat Uskup Keuskupan Amboina, Maluku, sejak 27 April 1994, juga Administrator Apostolik KAME sejak 7 Agustus 2019 setelah Vatikan menerima pengunduran diri Mgr. Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai Uskup Agung KAME itu secara resmi menjadi Uskup KAME terhitung 11 November 2020 berdasarkan Surat Nuncio Apostolik tanggal 11 November 2020 nomor 1962/2020.
Esensi dari surat tersebut adalah perihal penugasan pemberitahuan kabar sukacita. Jadi, saat yang sama, Uskup Mandagi ditetapkan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Amboina hingga Vatikan menunjuk penggantinya untuk menduduki tahta kosong (sede vacante) di Amboina.
Pada prinsipnya, Mandagi ditunjuk oleh Vatikan sebagai Administrator Apostolik adalah memerintah atas nama Paus dan kewenangannya tidak sama dengan Uskup Diosesan. Ia bertindak sejauh mewakili Bapa Suci pada takhta yang kosong. Jadi, kini Mandagi resmi sebagai Uskup KAME, maka ia sebagai Uskup Diosesan yang baru akan bertindak atas nama sendiri dan tidak lagi seperti Administrator Apostolik yang bertindak atas nama Paus.
Alumnus Seminari Tinggi Pineleng, Manado, Sulawesi Utara, 1968-1975, yang menyabet gelar MA dari Universitas Katolik Leuven Belgia pada bidang Religious Studies tahun 1979, serta Lisensiat dalam bidang Teologi Dogmatik tahun 1981 ini, adalah Uskup Agung keempat Keuskupan Agung Merauke.
Ia menjadi uskup keempat dari ketiga uskup terdahulu, yakni uskup pertama mendiang Mgr. Herman Tillemans MSC (1961-1972), almarhum Mgr. Jacobus Duivenvoorde MSC (1972-2004), dan pada 7 April 2014, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Nicolaus Adi Saputra, MSC sebagai imam pribumi (Indonesia) pertama menjadi Uskup KAME (2004-2020).
Selain itu, kiprah Uskup Mandagi dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kemanusiaan tentu tak diragukan lagi. Berbagai persoalan sosial dan krisis kemanusiaan telah dilaluinya. Tentu bagi Mandagi, semua jalan Tuhan itu baik, termasuk jalan salib. Selama 26 tahun menjadi Uskup Amboina, ia dikenal sebagai tokoh yang dihormati dan tokoh perdamaian Maluku, karena secara konsisten memperjuangkan kerukunan, toleransi, persaudaraan sejati, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua pihak.
Salah satu jasa perjuangan Mandagi untuk perdamaian dan kemanusiaan adalah ketika meletusnya konflik sosial bernuansa agama yang memorakporandakan Maluku tahun 1999. Mandagi sebagai salah satu tokoh yang ikut memadamkan bara konflik sosial yang berkecamuk dua dekade itu. Meski populasi umat Katolik di Maluku tak lebih dari 10 persen, suara uskup kelahiran Minahasa, 27 April 1949 itu sangat didengar di sana. Ia dianggap sebagai “Bapak” orang Maluku oleh banyak kalangan di Maluku.
Perjuangan Mandagi demi keadilan, perdamaian, dan persaudaraan sejati merupakan nilai kemanusiaan yang sangat fundamental. Ia menerjemahkan arti ajaran cinta kasih gereja dalam kehidupan nyata atau proses perjuangan sosial-kemanusiaan. Dalam pandangan Mandagi, semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh dan diciptakan sama oleh Tuhan Allah.
Allah menciptakan manusia itu secitra dengan-Nya. Karenanya, manusia itu layak dihormati, dilindungi, dan diberdayakan kemanusiaannya. Tidak ada alasan apapun, termasuk alasan kepentingan suku, agama, golongan, jabatan, maupun kepentingan negara dan hukum, manusia yang satu harus menjadi musuh bagi manusia lain atau meminjam Thomas Hobbes (1588-179), “Homo homini lupus est” (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain) atau “..bellum omnia contra omnes” (perang semua, lawan semua). Jadi, tindakan apa pun yang merendahkan martabat kemanusiaan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan. Sebaliknya perlakukan sesama manusia lain lain layaknya kita ingin diperlakukan.
Setelah konflik sosial di Maluku yang menelan banyak korban nyawa, berbagai pihak bertanya apa alasan keterlibatan Mandagi dalam proses perdamaian tersebut? Mandagi bahkan menjawab bahwa ia memperjuangkan kepentingan kemanusiaan, bukan kepentingan kekristenan atau kekatolikan.
Mandagi telah berlayar di atas semua kepentingan menjadi tiang api moral bagi semua orang di Maluku. Ia bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama lain, dan pemerintah di Maluku berhasil membawa Maluku kembali menemukan jalan perdamaian dan rekonsiliasi permanen.
Kini masyarakat Maluku menikmati buah perdamaian yang telah diciptakan oleh Uskup Mandagi dan para tokoh Maluku lainnya.”Oke kita sudah berkelahi, kita sudah bertengkar, tetapi marilah kita saling mengampuni,” kata Mandagi (Hidupkatolik.com, 16 Maret 2018).
Uskup Mandagi berprinsip bahwa pengampunan merupakan sumber persaudaraan sejati. Karena persaudaraan sejati itulah Mandagi tak henti-hentinya meneriakkan sikap hormat kepada sesama manusia, termasuk membuka proses dialog untuk mencari jalan damai atas konflik yang telah terjadi.
Mandagi sering mengingat kata-kata Martin Luther King Jr. (1929-1968), teolog dan aktivis kemanusiaan terkenal abad ke-20 berkebangsaan Amerika: “Lawan bisa diubah menjadi kawan hanya dengan kasih dan pengampunan.” Bagi Mandagi, seperti Marthin Luther, kedamaian itu bisa hadir kalau ada kasih sayang dan pengampunan.
Realitas persoalan Papua
Tanah Papua, khususnya wilayah KAME, juga merupakan negeri yang berselimut masalah, terutama dugaan pelanggaran HAM, baik yang sengaja dilakukan (by commission), maupun sengaja dibiarkan (by omission) oleh negara. Pelanggaran HAM yang terjadi sangat variatif, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun kekerasaan militer.
Tentu Uskup Mandagi telah mengetahui banyak fenomena sosial kemanusiaan orang Papua sejak menjadi Administrator Apostolik KAME. Berbagai masalah itu antara lain, program yang diusung pada 2010, yakni pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke (MIFEE), pro-kontra isu pemekaran Provinsi Papua Selatan, dan kekerasaan militer.
Untuk proyek MIFEE, pemerintah menggunakan dalih bahwa Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional. Hal tersebut dipandang keliru atas terobosan yang dilakukan pemerintah melalui proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1, 2 juta hektare. Langkah pemerintah itu tidak membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Merauke dan Papua secara umum.
Kehadiran MIFEE bahkan dinilai sebagai bentuk anomali terhadap realitas kehidupan masyarakat asli yang sudah diwariskan secara turun-temurun hidup dengan mengonsumsi makanan lokal, seperti sagu. Format transformasi lahan untuk beroperasinya perusahaan MIFEE berpotensi mengancam keberadaan hutan sagu, yang merupakan makanan pokok masyarakat lokal, juga identitas budaya orang Papua.
Misalnya, penelitian antropolog Australia, Sophie Chao—yang menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama suku Marind-Anim di Merauke—berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat. Menurut Sophie yang pada tahun 2019 mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari Asian Studies Association of Australia bahwa dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program MIFEE terhadap masyarakat setempat.
Jelas, proyek MIFEE sangat tidak berbenefit bagi masyarakat Merauke, tapi sebaliknya membawa malapetaka bagi penduduk asli. Yang terjadi adalah kehancuran ekosistem: kehilangan tanah, hutan, dan hewan-hewan endemik Papua, serta hewan buruan yang menjadi potensi dan sumber jaminan masa depan mereka.
Selain proyek MIFEE, isu pemekaran provinsi selatan yang kian mengkristal di tengah-tengah masyarakat Papua, juga menjadi problematis. Ide pemekaran sejatinya adalah proyek politik Jakarta yang merupakan rekomendasi dari hasil analisis Badan Intelijen Negara (BIN). Tujuan pemerintah pusat menambah provinsi baru di Tanah Papua, terutama rencana pemekaran Provinsi Selatan adalah langkah untuk meminimalisir berbagai gerakan separatisme di Tanah Papua.
Bila dikomparasikan dengan situasi Papua kini, tidaklah relevan kalau dipaksakan untuk pemekaran provinsi demi kepentingan negara dengan menggunakan isu populisme, seperti pemekaran dapat menjawab akselerasi pembangunan dan memutus mata rantai kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat di selatan Papua.
Padahal, aspirasi pemekaran harus bersifat buttom up (dari bawah ke atas), bukan top down (dari atas ke bawah). Jika ide pemekaran ini terus didorong (dipaksakan) oleh pemerintah pusat, maka sangat berbahaya bagi masa depan orang Papua, terutama bagi penduduk asli di Papua selatan, karena pembangunan sumber daya manusia di wilayah selatan Papua tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Tanah Papua yang belum begitu maju.
Hingga terjadi pemekaran provinsi nanti hanya akan membuka lahan atau ekspansi bagi para migran baru dari luar Papua untuk berduyung-duyung datang menguasai Tanah Papua dan penduduk asli akan teralienasi. Hal ini terbukti dalam bidang politik praktis, yang mana jumlah anak asli Papua di kursi DPRD Merauke periode 2019-2024 hanya lima orang dari total 30 kursi dan tiga di antaranya putra asli Marind.
Pemekaran juga akan memberi legitimasi bagi negara untuk membuka Kodam dan Polda baru—dengan menambah pasukan TNI-Polri—yang makin masif. Para anggota TNI-Polri akan selalu mendukung apapun yang menjadi arah dan kebijakan negara, baik perusahaan atau investor yang hendak masuk beroperasi di daerah tersebut. Jika masyarakat asli menyoal tentang hak-hak tanahnya yang dirampas oleh perusahaan, maka militer akan mengedepankan tindakan represif dan brutal: masyarakat akan ditindas, dipukul, atau dibunuh oleh militer.
Sudah banyak kekerasaan yang dilakukan oleh militer Indonesia terhadap masyarakat asli Papua, termasuk di wilayah selatan Papua. Kekerasaan itu dimulai dari penganiayaan, penembakan, hingga pembunuhan yang kerap kali dilakukan oleh anggota TNI/Polri di luar proses hukum.
Salah satu contoh dari sekian banyak tindak kekerasaan terhadap warga sipil di selatan Papua adalah pemukulan yang diduga dilakukan oleh oknum polisi terhadap Marius Betera, seorang warga di perkebunan sawit di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, 16 Mei 2020. Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, Marius meningga (Kompas, 11 November 2020).
Kasus penganiayaan terhadap Marius Betera ini, termasuk sejumlah kasus HAM lain, telah didampingi atau mendapat advokasi dari Uskup Mandagi semasa menjadi Administrator KAME. Diharapkan agar kasus ini, termasuk kasus-kasus HAM lainnya terus menjadi perhatian serius oleh Uskup Agung Metropolitan KAME.
Selain Merauke, harapan penting juga agar kasus tertembak matinya Rufinus Tigau, katekis Gereja Katolik di Stasi Jalae, Paroki Michael Bilogai, Keuskupan Timika yang diduga dilakukan oleh tim gabungan TNI-Polri juga harus disuarakan. Pada 7 Oktober 2020, diduga prajurit TNI menembak luka berat Agustinus Duwitau, seorang katekis dari Stasi Emondi, Keuskupan Timika.
Dua kasus ini membutuhkan perhatian serius—suara kritis—hierarki Gereja Katolik, baik Uskup Agung Metropolitan KAME bersama empat keuskupan lainnya di Tanah Papua, maupun KWI hingga Vatikan. Hierarki Gereja Katolik harus mendesak pemerintah Indonesia untuk segera bertanggung jawab secara hukum dengan mengadili pelaku penembakan. Langkah ini dilakukan demi perlindungan dan penghormatan terhadap para pelayan umat, seperti, katekis, pastor, maupun pendeta, sekaligus menjaga derajat Gereja dari tindakan tak bermartabat oleh oknum-oknum TNI/Polri.
Orang Papua tentu optimistis terhadap eksistensi Mandagi sebagai Uskup Agung Metropolitan KAME. Mereka yakin bahwa beliau membawa angin segar bagi umat Katolik KAME, tidak hanya dalam pewartaan, tetapi juga pada dimensi kemanusiaan orang Papua secara umum, sebab semasa menjadi Administrator KAME umat Katolik dan masyarakat Papua secara umum telah mendengar pekikan suara kenabian Uskup Mandagi untuk kemanusiaan di Tanah Papua.
Misalnya, Mandagi mengecam tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, 16 Agustus 2019, yang menurutnya sebagai pelanggaran HAM berat. Mandagi telah menjadi orang yang bersuara untuk kaum tak bersuara (voice of the voiceless). Apalagi Ketua Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Perantau KWI (2003-2009) itu kini menjadi uskup definitif, sehingga suaranya akan semakin nyaring didengar di seluruh pelosok negeri hingga Vatikan-Roma.
Tentu orang Papua akan merasa bahwa kehadiran Mandagi di tengah mereka seperti Maria mengunjungi Elisabet saudaranya. Papua saat ini memang butuh orang-orang Samaria yang baik hati, dengan semangat dan prinsip cinta kasih yang besar, seperti yang pernah dilakukan Mgr. Mandagi saat menjadi Uskup Amboina 26 tahun lalu. Proficiat untuk Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC. Nil nisi Christum (tidak ada apapun selain Kristus). (*)
Penulis adalah Aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas
Editor: Timoteus Marten