Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pensiunan guru Sekolah Dasar menekuni usaha kerajinan berbahan pakis hutan (kapor). Berbagai benda kebutuhan sehari-hari lahir dari tangannya.
Salah satu kerisauan pegawai, baik guru, polisi, tentara, maupun pekerja swasta yang akan memasuki masa pensiun adalah memikirkan pekerjaan apa selanjutnya yang bisa ia lakukan untuk menambah pendapatan menghidupi keluarga.
Hal yang sama dialami perempuan asal Biak bernama Pince Rita Sanadi. Ibu sembilan anak ini pensiun sebagai guru SD (Sekolah Dasar) di Biak pada 2014.
Setelah pensiun Sanadi memilih menekuni usaha kerajinan wadah untuk beragam fungsi dan hiasan kepala dari bahan-bahan yang ada di sekitarnya.
“Mama usaha barang ini sudah lama, cuma kalau di Jayapura ini Mama baru jualan selama satu tahun saja,” kata Sanadi, ketika ditemui di Pasar Pharaa, Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu, 24 Agustus 2019.
Semua barang yang ia jual dibuatnya di Biak, kemudian dibawanya untuk dijual di Jayapura. Bahan yang digunakan adalah pakis hutan yang dalam bahasa Biak disebut ‘kapor’.
Mama Pince, panggilannya, mengambil ‘kapor’ di hutan dan membawanya ke rumah. Ia meminta anak-anaknya membantu mengupas kulit dan membelahnya agar kecil-kecil untuk mudah dianyam.
“Setelah Mama anyam dikasih pernis agar terlihat mengkilat,” katanya.
Ia mengatakan setelah pensiun sebagai PNS merasa banyak waktu kosong karena hanya tinggal di rumah. Akhirnya memutuskan membuat kerajinan untuk dijual.
Agar usahanya maju ia mengajarkan seorang perempuan lainnya dan bekerja berdua bersama-sama.
Sebenarnya di kampungnya ada PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Namun ia mengatakan PKK di sana tidak berfungsi dengan baik seperti diharapkan masyarakat.
“Di kita punya kampung itu ada PKK, tapi sampai saat ini mati, sampai saya biasa bicara banyak PKK di desa ini bagaimana? Saya bilang coba bisa jalankah supaya kita bisa usaha lain seperti anyaman ini atau barang lain yang kita bisa buatkah begitu, tapi ya begitu sudah karena PKK mati to,” kata Mama Pince.
Waktu yang dibutuhkan Mama Pince membuat kerajinan yang paling lama tentu saja menganyam sehingga berbentuk suatu benda hias yang berguna. Selain itu juga dibutuhkan kesabaran untuk menguliti dan mewarnai.
Salah satu kerajinannya adalah bando. Ada dua jenis bando yang dibuatnya, tidak pakai hiasan yang dijualnya Rp20 ribu dan yang dihias dengan manik-manik yang dijualnya Rp50 ribu. Kerajinan lain adalah keranjang yang dijualnya Rp100 ribu.
“Tapi kalau ada yang mau tawar, ya nanti saya kasih turun harganya, Mama ini jual barang tidak bisa mahal-mahal soal kasih ini Mama kuat jadi, kalau ada yang mau tawar ya saya kasih saja begitu, paling murah itu Rp20 ribu dan paling mahal itu Rp500 ribu,” katanya.
Dalam sehari Mama Pince bisa membuat 2-3 pot bunga berukuran satu jengkal orang dewasa. Untuk pot atau keranjang berukuran besar itu ia hanya mampu mengerjakan satu dalam sehari.
“Kalau fokus itu bisa kerja banyak, karena Mama kerja lain juga jadi kalau macam keranjang itu dalam satu hari ini Mama bikin satu, kalau pot dan bando rambut kecil itu bisa tiga,” ujarnya.
Selain menjual hasil kerajinannya di Pasar Pharaa Sentani, ia juga menjajakan ke kantor-kantor dan rumah-rumah.
“Kemarin lalu itu Mama bawa yang ukuran besar itu ke kantor Pemberdayaan Perempuan dan kantor PKK Provinsi Papua, selain itu Mama jualan di pasar sini saja,” katanya.
Dari hasil berjuan pot dari kerajinan tangan ini tentu tidak besar, namun ia mampu menghidupi anak dan cucu-cucunya, serta kebutuhan sehari-hari di rumah.
“Kalau tahun lalu itu boleh dalam satu bulan Mama dapat Rp8 juta, tapi kalau sekarang seperti hari biasa ini itu paling Rp150 ribu sehari, ada juga yang Rp200 ribu, jadi pendapatan itu tidak menentu,” katanya.
Dari hasil penjualan Mama Pince membeli mesin pompa air supaya tidak lagi kesulitan menimba air di rumah.
“Selain itu untuk kebutuhan anak-anak sekolah dan juga untuk makan minum, serta membeli bahan untuk mengelola usaha ini, jadi kalau mau dapat lebih dan tidak itu nasib-nasiban, namanya juga rezeki,” ujarnya.
Perempuan 66 tahun ini mengatakan sebenarnya ia bisa membuat lebih banyak kerajinan. Namun ia mengalami kendala dalam pemasaran dan tempat untuk menampung.
“Mama bisa bikin banyak, tapi tidak ada tempat yang bisa menampung, juga butuh modal dan pemasaran, kalau semua ada itu bagus,” katanya.
Seorang pembeli, Lia Demonggreng, mengatakan tertarik dengan hasil kerajinan Mama-Mama
Papua tersebut karena selain warnanya menarik, barangnya juga praktis dan bagus.
“Jadi saya ambil dan langsung saya pakai dengan mengisi sirih yang saya beli ini,” ujarnya.
Ia berharap Mama-Mama Papua yang memiliki keterampilan seperti Mama Pince harus diperhatikan dan keterampilannya harus dikembangkan.
“Ini keterampilan yang baik sekali karena tidak membutuhkan bahan yang banyak, mereka menggunakan bahan yang ada di hutan, jadi mereka ini harus diperhatikan,” ujarnya
Apalagi, tambahnya, Papua akan menjadi tuan rumah PON (Pekan Olahraga Nasional) tahun depan. Usaha kerajinan seperti itu harus diperhatikan dan diberi tempat. (*)
Editor: Syofiardi