Oleh: Ronald Michael Manoach*

Pada tahun 2024, bangsa Indonesia menyelenggarakan dua momentum proses demokrasi, yakni Pemilu 2024 dan Pilkada serentak 2024. Dua momentum tersebut harus dilaksanakan pada tahun yang sama sebagai konsekuensi undang-undang.

Pemilu 2024 harus dilaksanakan di tahun 2024 karena sesuai ketentuan bahwa Pemilu harus dilaksanakan lima tahun sekali. Indonesia sudah menggelar Pemilu terakhir pada 2019 lalu. Adapun Pilkada serentak akan dilaksanakan pada November 2024 sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah.

Hingga kini, KPU bersama dengan Komisi II DPR, pemerintah (Kementerian Dalam Negeri), Bawaslu dan DKPP belum sepakat terkait dengan tahapan Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengusulkan agar pemungutan suara pemilu 2024 diselenggarakan pada Februari 2024. Namun, usulan itu belum diterima oleh pemerintah.

Kementerian Dalam Negeri mengusulkan pemungutan suara digelar pada Mei 2024. Meski para pemangku kebijakan di pemerintahan tersebut sudah menggelar rapat beberapa kali, hingga kini belum ada titik temu, sehingga belum ada kepastian tahapan pemilu 2024. Kita berharap agar segera ada titik temu terkait dengan tahapan pemilu 2024, sehingga persiapan bisa lebih matang.

Di tengah situasi persiapan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada 2024, ada banyak agenda yang harus disiapkan. Salah satu agenda tersebut terkait dengan menyiapkan masyarakat agar bisa lebih cerdas dalam menghadapi Pemilu 2024. Seperti yang kita tahu bahwa pelaksanaan Pemilu selalu dihantui atau diliputi dengan berbagai potensi pelanggaran. Jika pelanggaran itu terjadi, maka akan merusak kualitas Pemilu.

Memang harus diakui sudah ada aturan-aturan yang harus ditaati. Mulai dari undang-undang hingga peraturan-peraturan. Namun, yang namanya pemilu selalu mengandung unsur kompetisi atau persaingan.

Sejauh persaingan tersebut dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang baik, maka tak akan menimbulkan masalah. Namun, jika persaingan itu dilakukan dengan cara-cara yang kotor/tidak baik, maka itu yang akan membahayakan proses demokrasi. Sungguh sangat disayangkan apabila penyelenggaraan Pemilu yang sudah menghabiskan uang triliunan rupiah akan rusak karena adanya pelanggaran-pelanggaran.

Potensi pelanggaran dalam pemilu sangatlah beragam, baik pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu dan masyarakat umum/pemilih, maupun penyelenggara Pemilu.

Jika mengacu pada pelanggaran-pelanggaran Pemilu selama ini, maka potensi atau kerawanan Pemilu itu di antaranya soal ancaman politik uang, maraknya penyebaran hoaks, politik dengan cara-cara penyebaran isu suku agama ras dan golongan (SARA), penggunaan bantuan pemerintah untuk kepentingan politik, potensi kerawanan netralitas aparatur sipil negara (ASN), ancaman netralitas kepala desa/lurah, kampanye di luar jadwal, penyelenggara Pemilu tak netral atau tak berintegritas dan lain-lain. Barangkali, masih banyak lagi potensi-potensi kerawanan yang akan terjadi dalam Pemilu 2024.

Mumpung pelaksanaan Pemilu 2024 masih sekitar dua tahun lagi, maka kita semua harus menyiapkan masyarakat/pemilih agar bisa cerdas dalam menghadapi pemilu 2024 tersebut. Untuk menuju ke sana, maka kita harus memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Dalam konteks itu, di sinilah perlunya pengawasan partisipatif untuk masyarakat. Berbagai kelompok masyarakat harus diberi pemahaman terkait dengan pengawasan Pemilu 2024. Tidak pandang bulu mereka berprofesi dan pekerjaannya apa, tapi mereka semua harus diberi pendidikan politik. Sebab, dalam pemilu berlaku aturan one man one vote (satu orang satu suara).

Sudah waktunya masyarakat bisa mengetahui aturan-aturan terkait dengan kepemiluan. Sudah saatnya masyarakat bisa memahami ketentuan-ketentuan dalam Pemilu.

Namun, mengetahui dan memahami saja tidaklah cukup. Mereka harus didorong untuk ikut mematuhi aturan-aturan Pemilu. Percuma saja mereka memahami aturan-aturan tapi tidak mematuhi aturan Pemilu. Dalam konteks Pemilu, masyarakat juga bisa menjadi pelaku pelanggaran Pemilu. Data menunjukkan banyak kasus pelanggaran Pemilu yang pelakunya berasal dari masyarakat.

Untuk itu, masyarakat harus mengetahui, memahami dan mematuhi aturan yang ada. Apakah cukup sampai di situ? Tentu saja tidak. Masyarakat harus bisa menjadi subyek untuk mencegah pelanggaran-pelanggaran Pemilu. Mereka bisa ikut menjadi pengawas partisipatif yang selama ini juga digagas dan digaungkan Bawaslu.

Bawaslu perlu terus mengembangkan pengawasan partisipatif. Bawaslu perlu memaksimalkan pengawasan tahapan dengan aktivitas-aktivitas pencegahan. Bawaslu harus menjadi motor penggerak pengawasan partisipatif. Bawaslu perlu terus meningkatkan kemitraan dengan berbagai stakeholder masyarakat. Tujuan itu semua adalah agar setiap orang bisa ikut melakukan sosialisasi terkait dengan aturan Pemilu.

Harapannya, semakin banyak orang yang bisa mengetahui dan akhirnya mentaati aturan-aturan Pemilu. Selain itu, jika masyarakat mengetahui adanya pelanggaran Pemilu maka mereka bisa melaporkan pelanggaran tersebut ke pengawas Pemilu.

Jika semua pihak sudah menaati dan peduli dengan aturan Pemilu, maka potensi pelanggaran akan menjadi semakin minim. Jika pelanggaran pemilu minim, maka akan semakin meningkatkan kualitas Pemilu.

Jika kualitas Pemilu meningkat, maka akan terpilih pemimpin-pemimpin yang berkualitas baik di republik tercinta ini. Jika itu bisa diwujudkan, maka bangsa ini akan semakin maju. Bangsa ini akan dipimpin orang-orang yang baik, sehingga bisa semakin bersaing untuk menghadapi persaingan global. Itu semua harus dilakukan agar seluruh penduduk di negeri ini semakin sejahtera. Semoga. (*)

*Penulis adalah anggota Bawaslu Provinsi Papua

 

Editor: Timoteus Marten

Leave a Reply