Ungkap kasus pemerkosaan yang diabaikan aparat, Projectmultatuli.org justru dilabeli hoaks

Papua
Kebebasan pers, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Label hoaks pada tulisan tentang kasus pemerkosaan diabaikan polisi yang diterbitkan  situs berita Projectmultatuli.org, justru dilabeli  hoaks oleh  akun instagram @humasreslutim  milik Polres Luwu Timur.   Tak hanya itu website media Projectmultatuli.org juga kena serangan Distributed Denial of Service (DDoS)  pada Rabu, 6 Oktober 2021 pulul 18.00 WIB, selang dua jam setelah menerbitkan satu artikel berita dalam serial laporan  #PercumaLaporPolisi berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan”

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Erick Tanjung mengecam label hoaks berita yang diterbitkan  Projectmultatuli.org yang dilakukan oleh akun @humasreslutim dengan klarifikasi diikuti cap hoaks pada artikel berita yang dipublikasi Project Multatuli melalui postingan IG Story.

“Tindakan pihak Polres Lutim dengan melabeli satu karya jurnalistik yang terbitkan secara profesional merupakan bentuk pengabaian pada supremasi hukum,” kata Erick Tanjung, dalam peryataan, Jum’at,  8 Oktober 2021.

Menurut Erick , mestinya aparat kepolisian melakukan upaya hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. “Bukan kemudian justru mengklaim berita terkonfirmasi dengan sumber dan data yang benar sebagai informasi palsu,” kata Erick menambahkan.

Baca juga : Amnesti Internasional: cabut segala tuduhan terhadap jurnalis asing Philip Jacobson

Victor Yeimo: Saya pegang mik pada aksi tolak rasisme atas permintaan rakyat

Jubi laksanakan peluncuran virtual “Nyanyian Nurani Tanah Papua”

Erick juga menyoroti  penyebutan identitas orang tua korban oleh admin @humasreslutim dalam story IG diduga telah tidak profesional dan mengabaikan hukum. Pasal 17 ayat (2) UU Perlindungan Anak mewajibkan setiap pihak untuk merahasiakan identitas anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Termasuk identitas dan tentu tidak hanya terbatas pada nama korban. Jika mengacu pada Pasal 19 ayat (2) UU Peradilan Anak, identitas anak juga termasuk nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.

Erick mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap berita karya jurnalistik yang terkonfirmasi. Laporan tersebut telah berdasarkan penelusuran dan investigasi kepada korban dengan melalui proses wawancara dengan pihak terkait, termasuk kepolisian Luwu Timur.

“Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis,” kata Erick menjelaskan.

Ia mengacu Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.

Komite Keselamatan Jurnalis mendesak kepolisian melindungi hak anak korban kekerasan seksual dengan tidak menyebarkan identitas, termasuk nama orang tua atau hal lain yang dapat mengungkap jati diri korban. “Termasuk mendesak menghentikan upaya serangan berupa Ddos yang dilakukan kepada media sebagai respon dari pemberitaan. Serangan digital kepada media merupakan bentuk kejahatan penghalang-halangan kerja jurnalistik dan mengancam demokrasi,” katanya.

Gerak Perempuan dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual atau KOMPAKS juga mendesak Polres Luwu Timur agar mencabut Label Hoaks atas Artikel Projectmultatuli.org.  “Juga agar Polres Luwutimur meminta maaf serta mengusut ulang kasus itu,” tulis peryataan KOMPAKS.

Koalisi itu menyebut sikap yang ditunjukkan Polres Luwu Timur adalah preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual.

“Pengabaian pengakuan korban dan keputusan penghentian penyelidikan kasus tanpa melakukan penelusuran mendalam atas fakta-fakta yang ada telah menunjukkan ketidakmampuan polisi dalam bertindak sesuai dengan integritasnya,” tulis pernyataan itu lebih lanjut.

Dalam peryataanya KOMPAKS menyebut serangkaian serangan yang dialamatkan pada karya jurnalistik yang  bertujuan untuk mengungkap cerita korban dan mendukung upaya korban dalam

mendapatkan keadilannya adalah bukti bahwa Indonesia masih ada dalam darurat penanganan kekerasan seksual.

Sedangkan Kepolisian semestinya bekerja dengan menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum serta mendukung tercapainya keadilan bagi korban. Dalam hal ini, abainya kepolisian adalah pengkhianatan terhadap rasa kemanusiaan dan keadilan korban. (*)

Related posts

Leave a Reply