Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Umat katolik di Papua yang menamakan diri “Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua” meminta Uskup Keuskupan Agung Merauke (KAME), Mrg. Petrus C. Mandagi, untuk mencabut kembali Mou dengan PT. Tunas Sawa Erma (PT TSE) pada 5 Januari 2021 lalu.
“Banyak sekali masyarakat adat, terutama anak muda yang usianya produktif kehilangan nafas dan keluarganya kehilangan orang-orang terkasih gara-gara perusahaan. Ingatan kami masih segar, bulan Mei 2020, Marius Betera dianiaya oleh aparat keamanan di kantor perkebunan kelapa sawit PT. Tunas Sawa Erma, di Blok A CAM. 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel,” ujar koordinator Satu Suara Kaum Awam katolik Papua, Melvin Waine, dalam rilis pers yang diterima Jubi, Senin (25/1/2021).
Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua menilai MoU antara Keuskupan Agung Merauke dengan pihak PT. Tunas Sawa Erma hanya menambah persoalan, yakni menghilangkan hak-hak dasar masyarakat adat dan sumber mata pencaharian umat Allah di Bumi Animha.
“Sekalipun bantuan sosial untuk tangani pendidikan dan lainnya penting, tetapi kami merasa tanpa bantuan sosial dari perusahaan, dengan tanah adat kami yakin bisa olah baik dan bisa membiayai anak-anak kami serta bisa menjamin kebutuhan hidup kami sepanjang segala masa,” ujar Melvin.
Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua terdiri atas lima keuskupan di Papua, yakni Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Keuskupan Manokwari – Sorong, Keuskupan Agats, dan Keuskupan Timika.
“Hari ini kami duduk bersama-sama mewakili umat katolik di Tanah Papua, baik orang katolik asli Papua maupun saudara-saudari kami seiman dari non Papua yang lahir, besar tinggal, hidup dan berkarya lama di Papua. Dalam kebersamaan ini kami mau bergumul, mau bicara masalah kami terutama tentang kerusakan lingkungan hidup akibat kehadiran perusahan-perusahan ganas yang melakukan eksplotasi sumber daya alam. Dan pelanggaran HAM yang melahirkan duka cita, tangisan dan air mata yang tak kunjung selesai,” kata Melvin Waine.
Satu Suara Kaum Awam Katolik Papua berharap para klerus terutama para uskup menjadi juru selamat dalam menghadapi persoalan dan pergumulan hidup di Tanah Papua. Bukan sebagai juru pembawa masalah, kehancuran, dan kerusakan atas nama apapun.
“Kami akan selalu ingin agar suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat Tuhan menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan para Uskup, gereja katolik di Tanah Papua, Indonesia, dan dunia,” katanya.
Petrus Supardi, salah satu anggota yang tergabung dalam Suara Kaum Awam Katolik Papua, mengatakan uskup perlu mencabut kembali MoU dengan PT. Tunas Sawa Erma karena sangat merugikan masyarakat Jair di Boven Digoel.
“Kalau uskup berdalih bahwa perusahaan harus memberi dana CSR untuk masyarakat maka silakan bicara dengan masyarakat Jair bukan untuk membangun seminari,” ujarnya.
Kata Petrus gereja di lima keuskupan di Papua tidak kekurangan dana sehingga tidak perlu meminta bantuan dana dari perusahaan untuk membangun seminari. Tetapi keuskupan harus lebih memberdayakan masyarakat untuk memaksimal sumber daya alam yang ada demi kepentingan gereja dan umat.
“Persoalannya sekarang adalah sejauh mana uskup tapi juga pastor-pastor, mereka menggerakkan umat untuk menggalang dana bukan hanya bangun-bangun gedung tapi juga pemberdayaan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan untuk umat orang asli Papua di tanah ini,” katanya.
Jika memang ada dana CSR perusahaan yang diperuntukan bagi masyarakat, kata Petrus, seharusnya dibicarakan dengan masyarakat Jair di Boven Digoel. Sehingga persoalan membangun seminari merupakan tanggung jawab umat bukan perusahaan.
“Kami tidak bermaksud memecah belah gereja katolik tapi berjalan bersama. Awam katolik, para iman, uskup berada di pihak masyarakat yang mengalami penindasan dan kerusakan hutan yang tidak berkesudahan,” ujarnya. (CR-7)
Editor: Angela Flassy