Tukang ojek di Nabire diintai bahaya

Nabire, Papua
Salah satu tukang ojek di Nabire, Meky Boma memarkir kendaraan roda duanya di Kali Harapan, Nabire Papua. - Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi – Salah seorang asli Papua yang menjadi pengojek di Nabire, Meki Boma mengatakan pekerjaannya memiliki tantangan tersendiri. Menurutnya, menjadi tukang ojek di Nabire berbahaya, karena rawan menjadi korban kekerasan.

Boma telah bekerja sebagia tukang ojek dari tahun 2014, dan pekerjaan itu menjadi penghidupannya. “Saya sewa motor ini dari orang Jawa. Saya setor setiap hari sebesar Rp35.000 kepada bos. Sisa dari setoran saya gunakan untuk kehidupan sehari-hari,” kata Boma saat ditemui Jubi di sekitar Kali Harapan, Nabire, Rabu (5/1/2022).

Read More

Lelaki Suku Mee yang sehari-harinya mangkal di Pasar Karang Tumaritis, Nabire Barat itu mengatakan setiap hari ia mengangkut penumpang tujuan dalam kota Nabire maupun luar kota Nabire.

“Saya pernah antar sampai, luar kota Nabire seperti di SP, Yaro, Wami, Samabusa, Selebihnya saya anatar dalam kota. Saya libur setiap hari Minggu pagi, saat jam ke gereja. Kadang hari Sabtu saya tidak mencari penumpang, karena saya beristirahat di rumah,” katanya.

Tarif jasa ojek di Nabire pun relatif seragam. “Kalau kami antar penumpang di dalam kota dengan jarak dekat 1,5 kilometer Rp10.000 – Rp20.000. Sementara untuk penumpang dengan jarak jauh 7 – 9 kilo, Rp150.000. Kalau total pendapatan sehari, dari pagi sampai sore bisa dapat Rp200.000. Bahkan sampai Rp300.000 kalau seharian [kerja] full. Kalau [kerja] setengah hari, [bisa dapat] Rp75.000,” katanya.

Meski memiliki pendapatan yang bagus, Boma menuturkan tukang ojek di Nabire berisiko tinggi menjadi korban kekerasan. “Jadi tukang  ojek di Nabire Barat, di wilayah SP itu rawan. Ada pengalaman teman ojek asal suku Jawa yang ditikam lalu meninggal. Orang tak dikenal itu mencuri motornya. Padahal motor yang dia gunakan itu motor sewaan yang baru, belum lunas” katanya.

Tukang ojek lainnya, Yunus menjadi tukang ojek juga berbahaya karena ada orang yang menyaru menjadi tukang ojek untuk melakukan kejahatan. Yunus yang sehari-hari mangkal di Terminal Oyehe, Nabire, menceriterakan istrinya juga pernah ditabrak oleh orang yang menyaru sebagai tukang ojek, dan barang bawaan istrinya dirampas.

“Mereka tabrak saya punya istri, lalu membawa uang dan telepon genggam milik istri saya. Saya [lalu] antar istri saya ke rumah sakit,” katanya.

Yunus mengatakan menjadi tukang ojek adalah pekerjaan utama baginya. Akan tetapi, ia juga mempertimbangkan risiko saat bekerja melayani penumpang pada malam hari. “Jadi kalau sudah malam, saya pulang ke rumah. Saya mengantar penumpang sekitar dalam kota. Saya biasa mengantar penumpang ke dalam kota Nabire,” katanya.

Dibutuhkan warga

Jasa tukang ojek dibutuhkan warga Nabire, karena sarana angkutan umum belum mengjangkau banyak daerah di Nabire. Salah seorang warga Nabire, Kristian Keiya mengatakan ia mengandalkan jasa ojek untuk bepergian, karena angkutan umum yang biasa disebut taksi tidak lagi melewati permukimannya.

Menurut Keiya, pada 2007 taksi masih beroperasi melintasi permukimannya, namun sejak 2019 tidak ada lagi taksi yang melintasi permukimannya. “Yang masih beroperasi hanya pengojek saja. Mereka biasanya antar penumpang di dalam perkotaan di Nabire,” katanya.

Keiya mengatakan kini taksi yang beroperasi hanya melayani penumpang tujuan kampung, dan tidak beroperasi di dalam kota. “Kalau Taksi jurusan Nabire Barat, SP Wanggar, Yaro, Wami. Nabire Timur Samabusa Kampung, Lagari, dan perkampungan sekitar masih ada. Kemudian Nabire Topo, Kilo 100 masih ada Taxi yang beroperasi,” katanya.

Maikel Magai, siswa SMA YPK Tabernakel menuturtkan sering naik ojek ke sekolah, apalagi jika ia terlambat berangkat ke sekolah. “Kalau dari rumah ke sekolah saya biasa bayar pengojek sebesar Rp5.000. Harga itu juga berlaku untuk orang dewasa, termasuk pegawai kantor,” katanya. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply