Tujuh marga memprotes pembangunan anjungan lepas pantai Tangguh LNG

A. Kinder tokoh adat suku Sebyar mewakili tujuh marga pemilik hak ulayat sumur migas di muara Kali Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni memperlihatkan sejumlah foto pertemuan bersama manajemn Tangguh LNG yang belum menyepakati pembangunan anjungan lepas pantai Train 3 Tangguh LNG - Jubi/Hans Arnold Kapisa
A. Kinder tokoh adat suku Sebyar mewakili tujuh marga pemilik hak ulayat sumur migas di muara Kali Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni memperlihatkan sejumlah foto pertemuan bersama manajemn Tangguh LNG yang belum menyepakati pembangunan anjungan lepas pantai Train 3 – Jubi/Hans Arnold Kapisa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Manokwari, Jubi – Masyarakat adat  di wilayah muara Kali Arandai, Kabupaten Teluk Bintuni merasa terancam oleh pembangunan anjungan lepas pantai proyek Tangguh LNG Train 3 yang ditargetkan mulai berproduksi pada 2020. Pembangunan anjungan lepas pantai itu berisiko merusak sejumlah mata air sumber air minum warga. Pembangunan di anjungan juga akan membatasi akses warga melewati muara Kali Arandai.

Read More

Mewakili tujuh marga pemilik hak ulayat dan selaku tokoh adat Suku Sebyar, A Kinder mempertanyakan komitmen Tangguh LNG dan Pemerintah Kabupaten Teluk Bintuni untuk melindungi masyarakat adat atas dampak lingkungan pembangunan anjungan lepas pantai di muara Kali Arandai itu. “Belum ada kata sepakat antara tujuh marga-yakni  Kinder, Inai, Efun, Gegetu, Kaitam, Nawarisa, dan Kosepa-dan pihak perusahaan untuk pembangunan anjungan itu,” ujar Kinder kepada wartawan di Manokwari, Senin (18/3/2019).

Masyarakat adat di sekitar lokasi takut aktivitas anjungan lepas pantai Tangguh LNG Train 3 akan mencemari sejumlah mata air yang selama ini menjadi sumber air minum mereka. “Di muara Arandai terdapat sejumlah mata air  yang dipakai untuk kebutuhan air minum warga tiga distrik di wilayah itu,” kata Kinder.

Ia mengingatkan, muara Arandai merupakan akses menuju lokasi pencarian ikan para warga. Muara itu juga menjadi jalur utama bagi warga untuk bepergian melalui laut, karena lautnya yang tidak bergelombang. “Jika sudah ada pembangunan anjungan lepas pantai, akses warga dan nelayan akan sangat terbatas. Anjungan itu akan membuat nelayan harus melaut lebih jauh ke tengah laut yang bergelombang,” ujar Kinder.

Kinder menyatakan keberatan para warga atas pembangunan anjungan lepas pantai di muara Kali Arandai telah disampaikan kepada manajemen Tangguh LNG. Akan tetapi mereka belum menanggapi keberatan warga, dan justru melanjutkan pembangunan anjungan lepas pantai itu.

“Jika anjungan itu tetap dibangun di muara Kali Arandai, maka kita harus cari solusi bersama. Solusi yang saya tawarkan adalah penyediaan sarana air bersih untuk masyarakat. Juga pembuatan kanal, agar akses tranportasi masyarakat tidak terlalu jauh ke laut bergelombang. Saya juga meminta solusi pekerjaan bagi nelayan di sana, karena lokasi untuk mencari nafkah mereka sudah dibangun anjungan . Permintaan kami itu belum dijawab,” kata Kinder.

Kinder menjelaskan, tuntutan yang disampaikannya adalah sebatas tuntutan tujuh marga pemilik hak ulayat atas lokasi pembangunan anjungan lepas pantai proyek Tangguh LNG Train 3. Kinder menegaskan pihaknya tidak mengatasnamakan lembaga apapun. Namun, Kinder juga menegaskan secara adat ketujuh marga itu berhak menutup lokasi pembangunan anjungan.

Ketua  Dewan Adat Papua (DAP) wilayah III Domberai, Paul Finsen Mayor meminta BP dan SKK Migas harus segera mengambil langkah bijak untuk menanggapi tuntutan masarakat adat suku Sebyar, khususnya ketujuh marga pemilik hak ulayat lokasi pembangunan anjungan. Mayor juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup maupun dinas di tingkat provinsi dan kabupaten memeriksa ulang dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan pembangunan anjungan itu.

“Seminggu lalu, masyarakat adat suku Sebyar sudah mengadukan hal ini kepada DAP Domberai. Kami sudah sarankan para pemilik sumur (tujuh marga) menemui Gubernur Papua Barat guna mendapatkan kepastian. Akan ada pertemuan di Manokwari untuk membahas tuntutan warga. DAP  juga akan terlibat untuk memediasi,” kata Mayor.

Humas SKK Migas Galih W Agusetiawan, yang dikonfirmasi Jubi menyatakan belum dapat memberikan keterangan terkait tuntutan masyarakat adat suku Sebyar, khususnya tujuh marga pemilik hak ulayat di muara Arandai. Dia mengatakan akan meneruskan permintaan konfirmasi Jubi kepada pihak BP Tangguh.

“Detail pertanyaan akan saya sampaikan ke pihak BP untuk menjawab. Mungkin butuh waktu, mohon bersabar,” ujar Agusetiawan dalam pesan singkatnya kepada Jubi.

Mengacu kepada dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) proyek itu, pembangunan Tangguh LNG dijanjikan berpusat kepada masyarakat asli. Dokumen itu menyatakan bahwa, masyarakat asli adalah penerima manfaat utama dari kehadiran Tangguh LNG di  kawasan Teluk Bintuni.

Dalam dokumen itu, Tangguh LNG juga menjanjikan komitmen melaksanakan kegiatan bisnis yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat, termasuk di dalamnya berupaya  meminimalkan dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul akibat adanya proyek tersebut. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply