Tolak Otsus Jilid 2: Rakyat Papua menuntut janji keadilan dan referendum

Otsus Papua
Ilustrasi Otsus Papua. - Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Sebedeus Mote*

Pengantar

Read More

Menurut Ensiklopedi Indonesia, keadilan berarti tidak berat sebelah atau memihak ke salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan hak yang diperolehnya, mengetahui hak dan kewajiban, bertindak tepat menurut peraturan atau syarat atau rukun yang telah ditetapkan.

Keadilan itu selalu didahului oleh tindakan orang lain, dimana seorang berhak mendapatkan sesuatu sehingga ia menuntut untuk diberikan apa yang menjadi haknya.

Setiap pribadi yang berbicara tentang keadilan sebagai suatu keutamaan maka sikap seseorang yang mempunyai kehendak yang kuat tetap memberikan apa yang menjadi haknya. Tetapi keadilan juga tidak terbatas pada tindakan timbal balik, karena seseorang itu bisa menuntut haknya tanpa didahului oleh suatu tindakan.

Baca juga: Dialog internasional dulu sebelum otsus jilid 2 diberlakukan di Tanah Papua

Melalui penciptaan itu, setiap orang dapat menuntut haknya secara mutlak, dan hak menjadi suatu kesadaran. Manusia bisa menuntut haknya tetapi hewan tidak bisa menuntut haknya, mengapa demikian? Karena ia tidak sadar akan haknya.

Berbanding terbalik dengan manusia, ia sadar akan haknya. “Cogito ergo sum” saya sadar (berpikir) maka saya ada . Menurut Rene Descartes “saya yang sedang menyangsikan, ada”. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapapun besar usahaku.

Eksistensi manusia mengandung harga dan nilai pada dirinya. Dengan demikian sebelum manusia berbuat sesuatu, ia sudah memiliki harga, nilai dan martabat dalam dirinya. Jadi mempunyai hak yang mutlak.

Kalau nilai keadilan tidak lagi dilihat sebagai nilai yang mutlak dalam masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak mempunyai kemajuan untuk berkembang menjadi masyarakat yang baik, luhur dan mulia menuju pembebasan atas ketidakadilan itu.

Apakah otsus jawaban atas keadilan?

Dalam perspektif ini otonomi berarti, pemerintah daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Kekuasaan pemerintah pusat diberikan kepada daerahnya sendiri. Pemerintah memberikan wewenang yang seluas-luasnya bagi rakyat Papua untuk mengatur (daerahnya) sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan.

Tetapi khusus di Provinsi Papua, otonomi yang sudah berjalan tidak menjamin masyarakat Papua dan non-Papua yang ada di Papua. Pada era ini rakyat Papua belum menjadi tuan di atas negeri ini, karena otonomi yang diberikan hanyalah sebuah gula-gula setangkai untuk membasmikan nilai keadilan.

Pemerintah Indonesia memberikan otonomi ini semata-mata supaya Papua tidak terlepas dari NKRI. Tetapi ini bukan solusi untuk menjawab keadilan yang didambakan oleh rakyat Papua.

Keadilan belum tercipta karena otonomi bukan jawaban atas keadilan. Misalnya muncul pertanyaan, bagaimana kalau otonomi khusus berakhir?

Jawaban penulis sederhana, yakni menjamin keadilan dalam luka keadilan memang tidak bisa, itu menambah tidak adil dalam keadilan. Maka supaya menegakkan keadilan yang benar di negeri ini mesti dilakukan dialog damai antara Jakarta dengan Papua secara bermartabat, yakni untuk menemukan solusi yang tepat bagi Papua untuk referendum.

Negara Indonesia tidak adil rakyat Papua meminta referendum

Di West Papua masalah ketidakadilan sangat kompleks dan itu sangat menyusahkan masyarakat asli Papua. Ketidakadilan mulai dari segi ekonomi, politik, sosial dan pelanggaran-pelanggaran HAM (hak asasi manusia).

Rentetan ketidakadilan ini menimbulkan ketidakpuasan yang tiada henti yang mana menuntut hak-hak asasinya yang diinjak-injak, dihina, dikebelakangkan, dan lupa untuk ditegakkan.

Rakyat Papua selalu dan selalu menuntut perubahan yang radikal itu pantas, baik secara kolektif, maupun personal yang dapat menjadi keadilan yang solid, jujur dan terbuka. Di “surga kecil yang jatuh di tanah subur” Papua, paling sering kita jumpai teriakan rakyat West Papua yang ingin membangun sebuah negara sendiri yang terpisah dari NKRI, yakni negara West Papua yang merdeka dan berdaulat yang dipimpin oleh rakyat West Papua sendiri dan terpisah dari negara Indonesia yang selalu menindas.

Baca juga: Perspektif Eks Tapol Korban Rasisme Tentang Otsus dan Solusinya

Yang menjadi pertanyaan besar bagi penulis adalah faktor apa yang melatarbelakangi rakyat Papua menuntut kemerdekaan untuk tanah Papua? Jhon R. G Djopari dalam bukunya “Pemberontakan OPM” memberikan jawaban atas pertanyaan ini.

Pertama, Belanda mengubah sistem dan cara penjajahan di Papua sedemikian rupa sehingga rakyat Papua tidak merasa dijajah malahan merasa dibangun dan dipersiapkan sesuatu bangsa yang dimiliki tanah air sebagai karunia Tuhan Allah dan pada suatu saat mencapai kemerdekaan.

Dalam pembangunan Papua pemerintah Belanda harus menanggung defisit anggaran tiap tahun untuk stabilitas ekonomi dan pembangunan Papua. Pemerintah Belanda memberikan apa yang diminta oleh rakyat Papua dan tidak membuat janji banyak sehingga rakyat tidak merasa cemas dan frustasi pemerintah Belanda;

Kedua, perkembangan kebudayaan yang berbeda jauh antara masyarakat Papua dan masyarakat di wilayah Indonesia dan lainnya. Kondisi ini menimbulkan keterbelakangan, ketinggalan, dan kesenjangan budaya yang sulit diintegrasikan dengan cepat, bahkan menjadi sumber disintegrasi yang mengarah kepada disintegrasi politik;

Ketiga, rakyat Papua tak ada andil dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka atau kemerdekaan itu diperoleh sebagai hadiah tanpa perjuangan. Akibatnya pertumbuhan kebudayaan lamban bahkan diperlambat rakyat Papua. Walaupun tercatat putra Papua yang terlibat dalam perjuangan trikora tersebut dan tidak menjadi idola yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

Keempat, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, merupakan paham unitarisme. Karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, maka rakyat Papua sama sekali tidak terlibat dengan peristiwa yang penting tersebut. Barulah pada tahun 1963, pemuda pelajar dan mahasiswa Papua menyatakan dukungannya terhadap sumpah pemuda itu. Akibatnya rakyat Papua secara moral tidak merasa terikat dengan NKRI dan bebas menentukan nasib sendiri yaitu suatu negara West Papua yang merdeka;

Kelima, adanya solidaritas yang kuat yakni solidaritas ras Melanesia. Walaupun Papua terdapat banyak suku yang berbeda satu dengan lainnya, mereka menyadari bahwa mereka masing-masing suku merupakan bagian dari sebuah kelompok bangsa yang besar yang datang dan tinggal di bagian timur dan pada suatu saat harus bersatu, membangun sebuah negara dan hidup sejahtera dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Pulau Cenderawasih.

Baca juga: Pansus otsus tidak akan menyelesaikan polemik Otsus 2021

Selain kelima faktor yang diutarakan oleh Jhon, R. G Djopari, penulis juga mampu melihat faktor lain adalah rakyat Papua saat ini merasa terpinggirkan, menjadi minoritas di atas tanah Papua. Semakin banyak orang luar masuk di Papua dengan niat yang berbeda-beda untuk menguasai Papua sesuai dengan panggilan hidup personal. Rakyat Papua juga merasa tertinggal dari segala aspek dengan wilayah Indonesia lainnya.

Ketertinggalan ini disebabkan karena kurangnya penanganan yang serius atau penanganannya tidak tepat pada sasaran. Kenyataan ini menunjukkan bahwa  integritas politik di Papua kurang mantap sejak tahun 1961.

Ini merupakan akar dan penyebab pemberontakan rakyat Papua. Pemerintah Indonesia tidak peka menangkap kehendak atau aspirasi masyarakat Papua dalam proses integrasi dengan Indonesia. Tuntutan untuk merdeka muncul dari kegagalan, ketidakpuasan terhadap keadaan dan kekecewaan. Sadar atau tidak, justru dalam kegagalan dan merasa tidak ada keadilan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia pada rakyat Papua membuat masyarakat Papua memiliki kesadaran nasionalisme West Papua yang mau merdeka sebagai satu negara sendiri yang terpisah dari NKRI.

Kesadaran nasionalisme West Papua sudah dan sedang bertumbuh dengan subur di setiap hati anak negeri surga kecil yang merasa dan berpikir bahwa mereka diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa maka jalan keluar untuk ketidakadilan yang mereka rasakan adalah membangun negerinya sendiri dengan kaki yang penuh dengan abu, yang terpisah dari penguasa yang tidak adil.

Mereka ingin menjadi tuan di atas negerinya sendiri dengan Negara yang merdeka yakni negara West Papua. Bukan di dalam NKRI lalu birokrasi dipimpin oleh anak asli Papua bukan itu, tetapi Merdeka secara berdaulat sebagaimana mestinya. Kata orang bijak: Masalah dibuat oleh manusia, maka manusialah yang dapat menyelesaikannya.

Penutup

“Keadilan” bila diucapkan mudah dan enak didengar dan sangat terpesona. Hidup yang penuh dengan kedamaian adalah yang berkeadilan. Rakyat Papua menuntut agar pemerintah bertindak adil. Bertindak adil berarti bertindak dengan sadar memberikan apa yang menjadi hak orang lain, memperlakukan manusia dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, tidak menjadikan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia, tidak menjadikan manusia sebagai objek politik kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan dan tindakan kemanusiaan lainnya.

Keadilan selalu terkait dengan orang lain. Seseorang tidak pernah menyebut atau mempersoalkan keadilan bagi dirinya sendiri, melainkan keadilan bagi orang lain. Keterarahan terhadap orang lain ini merupakan hakikat dari keadilan. Apa yang dimaksud dengan adil? Merujuk pengertian sederhana yang diberikan oleh K Bertens, keadilan berarti memberikan apa yang menjadi hak orang.

Baca juga: Praktik ketidakadilan dan kegelisahan nurani manusia (1/4)

Dalam pengertian sederhana ini, sikap adil berarti memberikan apa saja yang merupakan hak orang lain. Mengklaim sesuatu yang menjadi hak orang lain merupakan tindakan yang pertentangan dengan pengertian keadilan.

Sikap adil tidak hanya terkait dengan pemberian hak, melainkan juga pengakuan atas nilai-nilai mendasar yang melekat di dalam diri seseorang seperti keunikan, pikiran, aspirasi serta segala kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya. Orang yang adil adalah dia yang tidak bertindak sewenang-wenang.

Maka di samping itu ada pengakuan kesederajatan setiap individu untuk membangun kehidupan yang bermutu tinggi dihadapan sesama manusia maupun di hadapan manusia lain. Dengan demikian jika keadilan itu memberikan apa yang menjadi hak orang “manusia”, maka rakyat Papua tetap meminta referendum sebagai solusi demokratis dan damai, bukan otonomi jilid II. (*)

* Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua

Daftar Pustaka:

Bertens K. Prof., Ringkasan Sejarah Filsafat, hal.49

Herve, Van. 1980. Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru

Karya Ilmiah Kelompok 8 Rakyat Papua Menagih Janji Keadilan. 2012. STF Fajar Timur

Sihotang, Kasdin. Filsafat Manusia Upaya Membangkitkan Humanisme

Djopari, Jhon R.G. 1993. Pemberontakan OPM. Jakarta: Gramedia

Isaak, SVD. 1985. Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah

Poerwadarminta. 1996. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Editor: Timotius Marten

Related posts

Leave a Reply