Papua No.1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tokoh Gereja di Tanah Papua, Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman menegaskan, merevisi dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua justru menambah panjangnya penderitaan rakyat asli Papua.
Pasalnya, menurut Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP) ini, Otsus lahir lantaran tawaran Pemerintah Republik Indonesia dengan status politik West Papua, karena ketika itu 100 persen rakyat Papua hendak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Undang-undang Otonomi Khusus bukan Undang-undang Keuangan. Revisi hanya keuangan saja itu salah, jangan mengukur Orang Asli Papua (OAP) dengan uang. Martabat kami tidak bisa diukur dengan uang. Dulu kami bisa dan biasa hidup tanpa uang, sekarang Negara Indonesia hargai martabat kami, bagaimana ada rasa keadilan bagi OAP supaya tidak ada rasisme, tidak ada kekerasan, tidak ada penembakan terhadap rakyat sipil dan tidak boleh ada lagi pelanggaran HAM. Tetapi Otsus ini sudah dikacaukan oleh Negara Indonesia sendiri,” ungkap Pdt. Dr. Socratez Sofyan Yoman kepada jurnalis Jubi ketika ditemui di kantor PGBWP, Jumat (7/5/2021).
Sebenarnya, Yoman menyarankan dalam merevisi UU Otsus harus ada pengurangan militer bukan penambahan militer. Sejak adanya Indonesia di Tanah Papua ada segudang kegagalan yang dilaksanakan, Otsus secara undang-undangnya bagus, namun persoalannya adalah pelaksanaannya yang tidak menyentuh sasaran yang tepat.
“Yang seharusnya negara bicara bukan perbaiki dua pasal dalam UU Otsus itu, tetapi negara harus berbicara bagaimana mengurangi militer Indonesia di Tanah Papua. Itu sebenarnya dilakukan dalam revisi UU Otsus itu. Di situlah baru kita bisa bangun, kalau mau uang-uang, lebih baik bangunlah orang Indonesia sendiri yang hidup di bawah kolong jembatan banyak itu, ada juga banyak pengemis itu, bangun di sana,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal pasal 77 dalam UU Nomor 21 2001. Menurut Yoman, jika itu perintah hukum, semestinya kembalikan kepada MRP dan rakyat Papua untuk menentukan apakah Otsus dilanjutkan atau tidak. “Jadi Jakarta mau drop berapa triliun pun tidak akan ada rasa damai dan adil sepanjang rasisme, terorisme dan pelanggaran HAM itu masih ada. Uang itu tidak ada artinya, Jakarta mestinya patuh pada pasal 77 itu. Ya, kami tidak butuh uang. Kami mau martabat kami dihargai dan dengarkan suara kami mau jadi tuan di negeri kami sendiri,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR Republik Indonesia, Yan Permenas Mandenas mengatakan, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) difokuskan pada dua pasal, selebihnya tidak bisa merevisi sekalipun banyak masukan, saran dan kritik terkait pemberlakuan Otsus di tanah Papua sejak 2001.
Menurut Yan, revisi terbatas yang dilakukan pasca-2021 dana Otsus akan berakhir. “Sehingga revisi terbatas ini mendorong dana Otsus pada 2022 kepada pemerintah, untuk menaikkan dana 2 persen jadi 2,25 persen dari DAU nasional. Revisi ini tidak bisa menjawab seluruh permintaan masyarakat Papua dan Pemerintah Provinsi Papua,” kata Mandenas. (*)
Editor: Kristianto Galuwo