Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua berharap IH dibebaskan melalui putusan sela

Suasana sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Rabu (20/11/2019). - Jubi/Hengky Yeimo
Suasana sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Rabu (20/11/2019). – Jubi/Hengky Yeimo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Anggota Tim Advokat untuk Orang Asli Papua, Frederika Korain menyatakan menolak jawaban atas eksepsi terdakwa IH yang dibacakan jaksa penuntut umum Adrianus Tomana pada sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura pada Rabu (20/11/2019). Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua berharap majelis hakim akan menjatuhkan putusan sela yang membebaskan IH.

Read More

Korain menyatakan pihaknya tetap berharap majelis hakim yang dipimpin ketua majelis Maria Sitanggang beserta hakim anggota Muliyawan dan Adul Gafur Bungin akan mengabulkan eksepsi dalam perkara nomor 569/Pid.b/2019/PN.Jap atas nama terdakwa IH itu. Pasalnya, jawaban jaksa penuntut umum dinilai mengabaikan alat bukti otentik yang disampaikan dalam eksepsi perkara IH pada 13 November 2019 lalu.

“Kami menolak jawaban dari JPU terkait dengan terdakwa IH sebab. Berdasarkan data, Ijasah, Akta kelahiran, bahwa IH masih di bawah umur. Oleh sebab itu kami memohon kepada Majeis hakim untuk mempertimbangkan hal itu,” kata Korain saat ditemui seusai persidangan pada Rabu.

Dalam siaran persnya, Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua menyatakan akan tetap berpegang kepada berbagai bukti otentik yang menunjukkan terdakwa IH belum berusia 18 tahun, sehingga tidak bisa diadili dalam peradilan umum. “Pasal 1 angka 1 UU No. 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur: ‘Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan’,” demikian siaran pers itu.

Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua berpegang kepada prinsip bahwa secara hukum penentuan usia seseorang didasarkan kepada dokumen hukum yang sah, seperti Akta Kelahiran ataupun Ijazah Kutipan Akta Kelahiran sebagai dokumen kependudukan merupakan dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana, dan mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti otentik.

“Oleh karenanya, berdasarkan data Keterangan Diri Siswa seperti: Ijazah SD; Ijazah SMP; dan Kutipan Akta Kelahiran an. IH (Terdakwa dalam Perkara No.. 569/Pid.B/2019/PN.Jap.,) yang menyebutkan bahwa Terdakwa IH lahir pada tanggal 30 Desember 2002, maka Terdakwa masih berumur 17 (tujuh belas) tahun, sehingga terkualifikasi sebagai Anak,” demikian siaran pers Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua.

Apabila merujuk pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Surat Dakwaan terhadap Terdakwa IH, yang menyebutkan Terdakwa IH lahir pada tanggal 1 Desember 2001. Terdakwa IH sejak ditangkap, ditahan dihadapkan dimuka persidangan belum genap 18  tahun, sehingga tergolong Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Dengan mendasarkan diri kepada ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua menyatakan  terdakwa IH saat ditangkap masih berusia 17 tahun 8 bulan.

Berdasarkan hal-hal tersebut, diatas Tim Advokat OAP menyatakan jawaban eksepsi jaksa penuntut umum yang mengesampingkan bukti otentik usia IH merupakan jawaban yang tidak berdasar. “Jaksa semestinya tetap berkewajiban membuktikan usia Terdakwa IH dengan alat bukti yang lain, berupa Kutipan Akta Kelahiran sebagai dokumen kependudukan.”

“Kewajiban ini didasari pada asas hukum acara pidana, yakni untuk menemukan kebenaran materil, sebagaimana pula tersirat dalam dalam rumusan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, bahwa ‘Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain,’” demikian siaran pers Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua.

Tim Advokasi untuk Orang Asli Papua meminta majelis hakim untuk menjatuhkan putusan sela yang menerima eksepsi dalam perkara terdakwa IH, dan menyatakan Pengadilan Negeri Jayapura tidak berwenang mengadili IH. Mereka meminta majelis hakim membebaskan terdakwa IH, sekaligus memulihkan harkat, martabat, dan nama baik IH.

Seusai membacakan jawaban eksepsinya dalam sidang Rabu, Jaksa Penuntut Umum Adrianus Tomana kembali menegaskan eksepsi penasehat hukum yang mendalilkan IH sebagai anak itu tidak tepat. “Karena IH sudah tidak lagi di bawah umur. Berdasarakan keterangan dari dokter dan ahli gigi. Berdasarkan hasil pemeriksaan giginya dan hasilnya menunjukkan bahwa anak tersebut sudah masuk umur 18 tahun,” kata Tomana.(*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply