Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Tifa adalah penghubung antara dunia roh dan manusia dalam budaya asli orang Papua. Orang Asmat setelah membangun rumah adat Jew, akan membuat tifa karena merupakan simbol dalam budaya orang asli Papua.
“Tifa ada dua model; ada tifa panjang dan pendek. Model panjang berasal dari Teluk Cenderawasih, Asmat, sedangkan dari Teluk Humboldt bentuk pendek sesuai dengan gerakan mereka yang slow atau lambat,” kata Enrico Kondologit kepada Jubi beberapa waktu lalu.
Dia menambahkan tifa itu sangat sakral karena hampir semua suku mempunyai mitos atau cerita tentang terjadinya tifa dalam dunia roh. Misalnya saja, kata dia, tifa juga terdiri dari bermacam-macam kulit, dari suku Biak, yaitu, kulit soa-soa, dari Teluk Humboldt kulit kanguru, dari Kepulauan Waigeo Raja Ampat memakai kulit ikan terbang, sedangkan dari Fakfak memakai kulit rusa.
Alat perkusi tifa ini, lanjut Kondologit, hampir terdapat di seluruh tanah Papua mulai dari Kepala Burung (Domberai-Bomberay) hingga, Saireri dan Meepago, khususnya di suku Mek dan Epomek di Pegunungan Bintang. “Hanya Lapago yang tidak menggunakan alat musik tifa,” kata antropolog dari Uncen ini.
Baca juga: Asal-usul sirep atau tifa orang Biak
Menurut dia, orang Waropen, Biak dan Serui, di wilayah adat Saireri memukul tifa sesuai dengan gerakan, sesuai kosmologi yang berhubungan dengan lingkungan. Bahkan dalam setiap suku menyebut tifa sesuai dengan bahasa asli masing-masing suku, misalnya, orang Teluk Humbolt menyebut enji, orang Merauke suku Marind bilang kandera, orang BIak sebut sirep dan orang Sentani menamakan waku.
“Ini berarti masing-masing suku sudah mengenal tifa sejak lama dan menyebutnya sesuai nama asli suku setempat,” katanya.
Meskipun terbuat dari kulit yang beragam, tifa memiliki pegangan yang sama yaitu terdapat pegangan di sisinya. Ini berbeda dengan tifa dari Maluku yang hanya berbentuk tabung biasa yang tidak memiliki pegangan.
Memang ada dua model tifa, panjang dan pendek, tetapi terdapat empat jenis alat musik tifa, yaitu tifa jekir, tifa potong, tifa dasar, dan tifa bas.Tifa-tifa ini dan sesuai jenisnya sangat ditentukan berdasarkan asal daerah dan ciri khasnya masing-masing.
Baca juga: Knambut atau Garamut, alat tifa celah dari Skouw dan Sepik
Tifa dibuat dari sebatang kayu yang dikosongkan isinya. Bahan dasar yang tifa adalah kayu lenggua, karena kayu jenis ini dinilai memiliki kualitas yang sangat baik, tebal dan kuat. Ada pula yang memakai kayu susu dalam membuat tifa dengan melobangi bagian dalamnya.
Ada pun jenis kayu-kayu ini banyak terdapat di hutan belantara dan kemudian dibuat menjadi tifa melalui serangkaian proses pembuatan khusus. Walaupun demikian, sebenarnya kayu kayu untuk membuat tifa juga terancam hilang akibat penebangan hutan yang berlebihan di tanah Papua.
Setelah dikosongkan bagian dalam kayunya, salah satu sisi tifa biasanya akan ditutup dengan kulit hewan. Bisanya kulit biawak soa-soa atau rusa. Kulit tifa ini akan diikat dengan rotan secara melingkar.
Antropolog Enrico Kondologit mengatakan, asal-usul tifa tidak terlepas dari mitos-mitos yang ada di kalangan masyarakat pedalaman Papua. Misalnya di Biak, dalam mitosnya, dahulu ada dua bersaudara yang bernama Fraimun dan Sarenbeyar. Mereka pergi berpetualang meninggalkan desa mereka yang sudah tenggelam. Mereka kemudian menetap di Wampemder, Biak Utara. Saat sedang berburu di malam hari, dua bersaudara ini menemukan pohon opsur, sebuah pohon yang mengeluarkan suara di tengah hutan.
Keesokan harinya ketika mereka kembali mendatangi pohon untuk mencari tahu asal suara. Ternyata mereka menemukan lebah madu, soa-soa, biawak, serta binatang-binatang lain yang tinggal di pohon tersebut.
Baca juga: Tifa Merauke telah miliki hak cipta dan diakui dunia
Akhirnya mereka memutuskan untuk menebang pohon tersebut dan kemudian bagian tengahnya dibuang menggunakan besi panjang, yang ujungnya sudah dibuat tajam.
Bagian tengah pohon yang sudah dilubangi hingga menyerupai pipa kemudian mereka bakar supaya terlihat lebih rapi dan bagus.
Awalnya sang adik berniat menutupi salah satu sisinya menggunakan kulit paha sang kakak, namun karena akan menyakiti sang kakak akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan kulit soa-soa.
Cara menangkap soa-soa pun terbilang cukup. Mereka tidak menangkapnya begitu saja, tapi malah memanggil hewan tersebut menggunakan bahasa Biak. “Hei, napirem Bo..”.
Entah mengapa hewan tersebut seperti paham dan mengerti dan mendatangi keduanya begitu saja.
Soa-soa pun dibunuh dan dikuliti untuk menutupi salah satu permukaan lubang kayu, dan hasilnya berupa alat musik tifa sebagaimana yang dikenal sekarang.
Alat musik tifa biasanya menjadi bunyi pendukung dari alat musik yang lain atau dikenal sebagai musik pengiring saja.
Dengan tambahan alat musik ini, maka suara yang dihasilkan akan lebih indah didengar.
Tifa juga menjadi alat musik wajib dalam setiap upacara adat atau ritual yang diselenggarakan oleh masyarakat Papua.
Tifa adalah alat musik ritmis yang sangat menentukan untuk menghasilkan bunyi tetabuhan yang bisa membuat suasana ritual menjadi lebih hikmat.(*)
Editor: Timoteus Marten