Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Melky Weruin
Tiba masa, tiba akal. Itulah ungkapan yang menggambarkan berbagai kebijakan negara terkait upaya penegakan HAM di Tanah Papua. Ketika ada konflik, negara dengan cepat bereaksi untuk mengupayakan pemulihan dan penanganannya.
Kehadiran negara dapat dilihat melalui keberadaan aparat keamanan di tempat-tempat terjadinya konflik. Penanganan konflik seperti ini biasa disebut dengan pola pendekatan keamanan. Namun ketika semuanya berjalan tenang, negara nyaris tidak menampakkan kehadirannya.
Sesungguhnya masyarakat Papua masih menanti penegakan HAM yang berkeadilan. Dalam berbagai kesempatan, masyarakat Papua selalu menyuarakan perjuangan ini sebagai penanda bahwa para korban masih setia menunggu keadilan, sekaligus tanda peringatan bagi negara bahwa masalah ini belum diselesaikan.
Penegakan HAM yang dimaksud adalah meminta pertanggungjawaban negara terhadap setiap bentuk pelanggaran HAM maupun pelanggaran HAM berat masa lalu, bahkan hingga saat ini.
Namun kenyataannya, penegakan HAM di Tanah Papua sangat sulit dilakukan, apalagi berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan institusi negara. Hal ini setidaknya telah menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penegakan HAM beserta aparat penegaknya.
Jika kondisi ini terus-menerus terjadi setiap era kepemimpinan negara, maka kredibilitas negara menjadi taruhannya. Perlu dipahami bahwa benih-benih ketidakpercayaan itu bisa meruntuhkan kekuatan negara yang perkasa sekalipun.
Di sisi lain, ketika menghadapi persoalan hidup yang bersentuhan dengan hukum dan HAM, masyarakat akan cenderung main hakim sendiri dan tidak memilih proses hukum sebagai wadah untuk menangani persoalan itu.
Kita bisa saja kembali ke masa silam, dimana hukum rimba berlaku, kekerasan merajalela–seperti kata Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain).
Hal ini terjadi karena proses penegakan HAM dinilai tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Keadilan hukum untuk mewujudkan perdamaian hanya slogan semata. Papua tanah damai akan sulit terealisasi. Tanah Papua akan terus membara jika negara tidak memiliki good will untuk menyelesaikan persoalan sampai ke akar-akarnya. Apakah kita membutuhkan sebuah konflik sebagai momentum untuk menekan reaksi negara?
Ada masalah apa di Tanah Papua?
Salah satu jawaban ketika seseorang (orang asli Papua dan orang yang pernah tinggal di Papua, termasuk orang yang mengenal kondisi Papua secara historis) ditanya: ada masalah apa di Papua sehingga terus bergejolak?
Pada umumnya pertanyaan tersebut dijawab dengan pernyataan: pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan oleh negara.
Jawaban ini, mengindikasikan bahwa publik sesungguhnya telah memetakan salah satu persoalan akut yang harus diselesaikan oleh negara.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa persepsi tentang akar masalah Papua versi pemerintah–semua disebabkan oleh faktor kesejahteraan yang kurang, sehingga muncul keinginan Papua untuk merdeka–tidak dibenarkan oleh masyarakat Papua sendiri.
Menurut kajian LIPI, setidaknya ada empat akar masalah di Papua.
Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Orang Papua memandang bahwa proses integrasi Papua ke dalam Indonesia itu dilakukan dengan cara yang tidak benar;
Kedua, operasi militer yang berlangsung sejak 1965 hingga kini, membuat masyarakat Papua memiliki catatan panjang mengenai kekerasan negara dan pelanggaran HAM.
Hal itu membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia. Luka kolektif itu terpendam lama dan selalu disosialisasikan dari honai ke honai;
Ketiga, semua hal buruk yang terjadi di Papua menimbulkan stigma pada masyarakat Papua sebagai orang yang termarjinalisasi. Dengan migrasi, pembangunan, dan lain-lain yang tidak melibatkan orang Papua, maka mereka merasa tersingkir.
Jika sudah merasa tersingkir dengan kenyataan kondisi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang buruk, masyarakat Papua semakin merasa terdiskriminasi oleh proses modernisasi;
Keempat, kegagalan pembangunan Papua. Pemerintah gagal membangun (di Tanah Papua). Ukurannya sederhana saja, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Kenyataan di Papua, mudah sekali ditemukan sekolah yang proses belajar-mengajarnya tidak berjalan, karena ketiadaan guru dan puskesmas yang kosong karena ketiadaan tenaga medis dan obat-obatan. Negara tidak hadir saat orang Papua membutuhkannya.
Selanjutnya, LIPI menyarankan agar dilakukan dialog sebagai pembuka jalan untuk menyepakati masalah dan menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah itu.
Untuk merespons saran LIPI, Jaringan Damai Papua (JDP) yang dimotori Alm. Pastor Neles Tebay, Pr menggagas dialog Jakarta-Papua dalam suatu sistem, yang memungkinkan (dua pihak) untuk membedah dan mengobati masalah secara bersama.
Namun hingga kematian Pater Neles, dialog Jakarta-Papua belum direalisasikan. Sementara pemerintah (negara) tidak menunjukkan keseriusannya untuk merespons ide dialog tersebut. Apakah kita membutuhkan konflik sebagai momentum untuk memancing reaksi negara membuka ruang dialog itu?
Carut-marut penegakan HAM di Tanah Papua
Sejak era reformasi hingga saat ini penegakan HAM di Papua tidak menunjukkan kemajuan berarti. Tidak ada good will dari setiap rezim untuk menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM di Papua dalam sebuah sistem yang berkeadilan. Kita dapat merunutnya satu per satu.
1999 – 2001 era kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada masa ini isu Papua merdeka semakin menguat. Keberadaan Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) sangat mempengaruhi pergerakan masyarakat sipil. Gus Dur meresponsnya dengan kebijakan otonomi khusus (otsus). Bendera bintang kejora boleh berkibar. Namun, 23 Juli 2001, Gus Dur dilengserkan secara politis melalui MPR dalam Sidang Istimewa.
Meskipun masyarakat Papua mengenangnya sebagai pemimpin moderat, pada masa kepemimpinan Gus Dur terjadi dua peristiwa yang cukup menghebohkan, yakni, Abepura Berdarah (7 Desember 2000) dan Wasior Berdarah (13 Juni 2001).
2001 – 2004 era Megawati Soekarnoputri. Pada masa ini otsus terbentuk melalui UU No. 21/2001. Di tengah isu disintegrasi yang masih berhembus kencang, masyarakat Papua berharap bahwa kebijakan otsus dapat menyelesaikan sejumlah persoalan, termasuk penegakan HAM melalui KKR dan Pengadilan HAM.
Situasi bertambah buruk ketika Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, diculik dan dibunuh oleh anggota Kopassus, 10 November 2001.
Untuk menghadapi beragam persoalan ini, Megawati menetapkan sebuah kebijakan melalui Instruksi Presiden Nomor 1/2003 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan implementasi UU Nomor No. 45/1999 tentang Pemekaran Wilayah Provinsi Papua.
Kebijakan ini menuai protes panjang. Masyarakat Papua memandang bahwa pemekaran wilayah Papua mutlak menjadi wewenang Pemerintah Papua sesuai amanat otsus. Namun pemerintah pusat tetap pada keputusannya.
Dalam keadaan demikian, masyarakat Papua, sekali lagi, dikejutkan dengan aksi pembobolan gudang senjata di Kodim 1702/Wamena, 4 April 2003, yang berujung pada peristiwa Wamena Berdarah.
2004 – 2014 (dua periode) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada era SBY, ketika masalah Papua semakin hangat, pemerintah belum menunjukkan keseriusannya untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Papua.
Isu dialog Jakarta-Papua yang digagas JDP bersama LIPI tidak ditanggapi secara serius. Presiden SBY memandang bahwa masalah di Papua itu soal kesenjangan pembangunan semata. Untuk mengatasinya dia membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) melalui Peraturan Presiden No. 66/2011.
2014 – sekarang, era Joko Widodo. Pada awalnya masyarakat Papua memiliki harapan pada sosok Jokowi untuk menyelesaikan sejumlah pelanggaran HAM di Tanah Papua karena dia terpilih dari kalangan sipil.
Kenyataannya, Jokowi memiliki pandangan berbeda; masalah Papua adalah soal ketidakadilan pembangunan. Jokowi tercatat sebagai presiden yang paling sering mengunjungi Papua dan menitikberatkan pembangunan pada aspek infrastruktur.
Dalam hal penegakan HAM, Jokowi tidak menunjukkan komitmen untuk menyelesaikannya. Padahal Jokowi pernah meminta bawahannya untuk mendokumentasikan sejumlah pelanggaran HAM di Tanah Papua untuk diselesaikan.
Namun perintah ini tidak diikuti dengan kontrol yang efektif. Pada masanya, ketika beberapa bulan setelah dilantik, terjadi peristiwa di Paniai, 8 Desember 2019, yang dikenal sebagai Paniai Berdarah.
Terhadap berbagai persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua, sejak berlakunya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap beberapa kasus yang berpotensi terjadi pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM telah menetapkan 4 kasus sebagai pelanggaran HAM berat, yakni, Abepura Berdarah ditetapkan pada 8 Mei 2001, Wasior dan Wamena Berdarah ditetapkan pada 31 Juli 2004 dan Paniai Berdarah baru ditetapkan pada 3 Februari 2020.
Berkas hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut, telah diserahkan pada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang ada. Penegakan HAM tidak selesai pada hasil penyelidikan Komnas HAM semata.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah (negara) pemerintah memiliki itikad baik dan komitmen yang tinggi untuk menyelesaikannya sesuai dengan mekanisme UU 26/2000? Jawabannya sudah jelas: tidak ada.
Kita bisa berkaca pada pengalaman. Hingga kini belum ada satu presiden pun yang menyatakan komitmennya dan diikuti dengan tindakan konkret secara sungguh-sungguh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Satu-satunya kasus pelanggaran HAM berat yang sudah diselesaikan melalui mekanisme pengadilan HAM adalah peristiwa Abepura Berdarah, yang digelar di Pengadilan HAM Makassar dan diputus pada 8 September 2005.
Hingga hari ini masyarakat Papua masih menanti keseriusan pemerintah–meskipun mereka sadar bahwa perjuangan ini membutuhkan energi kesabaran yang ekstra. Apakah kita membutuhkan konflik sebagai momentum untuk menagih negara menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua?
Beberapa peristiwa yang disebut di atas belum termasuk konflik di Nduga yang menyebabkan ribuan warga sipil mengungsi. Kasus rasisme di Surabaya yang direspons masyarakat Papua dengan aksi demonstrasi berakhir anarkistis. Puluhan nyawa melayang sia-sia, sedangkan yang lainnya menunggu giliran sidang di pengadilan.
Penanganan kelompok kriminal bersenjata di Intan Jaya menyisakan masalah baru.
Dalam kondisi yang mengerikan ini, pemerintah masih meresponsnya dengan pola yang sama: pendekatan keamanan dan penegakan hukum tanpa menyentuh sedikit pun akar masalahnya.
Manajemen konflik seperti ini hanya menimbulkan psikologi kolektif masyarakat Papua semakin terusik. Jika semakin lama, akan tumbuh benih ketidakpercayaan masyarakat Papua kepada negaranya. Ketidakpercayaan ini kelak menjadi lagu merdu yang selalu didendangkan setiap waktu.
Apa yang harus kita lakukan?
Memang kita tidak pernah tahu kapan pemerintah RI melakukan upaya penegakan HAM secara menyeluruh dengan menyentuh dan membedah kasus per kasus untuk menyelesaikannya sampai ke akar-akarnya.
Kendati demikian, harapan tidak boleh surut. Perjuangan harus terus digelorakan secara bersama. Isu penegakan HAM tidak dapat dilakukan secara parsial dan sporadis semata. Upaya ini harus menjadi gerakan bersama secara konsisten. Perjuangan bersama dengan hati nurani dan pikiran yang jernihlah yang akan menyuburkan harapan itu. Kita harus terus mengingatkan negara.
Setiap keputusan untuk menyelamatkan kemanusiaan, kebenaran, keadilan dan kedamaian adalah mulia. Manusia-manusia mulia inilah yang akan membentuk negara berbudaya. Ini tentu kerja besar yang tidak dapat dilakukan secara parsial.
Karena itu, apapun keadaannya, sesungguhnya harapan itu masih ada. Harapan itulah yang menjadi alasan mengapa Komnas HAM Perwakilan Papua dan para pejuang HAM masih terus bekerja meskipun belum optimal seperti yang didambakan. (*)
Penulis adalah komisioner Komnas HAM Perwakilan Papua
Editor: Timo Marten