Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ratusan warga Nabire berunjukrasa dan berjalan kaki dari Kelurahan Oyehe menuju Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Kabupaten Nabire, Selasa (20/08/2019). Mereka mengecam persekusi, intimidasi, dan rasisme yang dialami para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16-17 Agustus 2019 lalu, dan sejumlah kekerasan atau intimidasi yang dialami mahasiswa Papua di Malang, Semarang, dan Makassar.
Di sepanjang jalan menuju Kantor DPRD Nabire, massa terus meneriakkan yel Papua merdeka. Koordinator aksi, Pieter Worabay berorasi mengatakan aksi para warga Nabire itu merupakan buntut dari penyerangan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, serta teriakkan rasisme yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Semarang, dan Makassar.
Worabay menyebut, Indonesa tengah merayakan HUT RI ke- 74 Tahun. Namun, rakyat Papua yang merupakan bagian dari NKRI dihina sebagai monyet. “Kejadian ini membuat Rakyat Papua termasuk yang di Nabire, kecewa dan sakit hati, dan amarah yang tak bisa dibendung,” ujar Worabay.
Worabay meminta DPRD Kabupaten Nabire segera meminta Bupati Nabire memulangkan seluruh mahasiswa asal Nabire yang berkuliah di Jawa. “Sebab, tidak mungkin monyet hidup bersama dengan manusia. Maka biarkan monyet kembali ke kandangnya. Ini kami minta DPRD agar berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Nabire sesegera mungkin,” katanya.
Worabay menyebut peringatan 74 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi ironi bagi orang Papua yang terus menerus dilecehkan, sementara sumber daya alam Papua terus dikuras demi kepentingan Indonesia. Ia juga menyebut bagaimana hak sipil dan politik warga Papua terus dikungkung, dan hak ekonomi, sosial, dan budaya orang Papua dirampas.
Worabay mengeluhkan semakin rendahnya keterwakilan orang Papua dalam DPRD maupun jabatan publik lainnya. Padahal sebelumnya masyarakat non Papua telah mendominasi perekonomian di Nabire.
“Jadi kalau tidak puas ambil semua sudah. Kami orang Papua biar jadi binatang saja. Persoalan Papua bukan hanya penghinaan sebagai monyet, tapi terlalu banyak pelanggaran hak asasi manusia dan intimidasi yang dialami orang Papua. Orang Papua terus miskin di atas tanah kelahirannya,” kata Worabay.
Pengunjukrasa lainnya, Hendrik Andoi mengungkapkan selama ini orang Papua sangat toleren kepada masyarakat non Papua yang ada di Papua. Akan tetapi, ia kecewa karena orang asli Papua justru dianggap rendah, seperti tidak diakui sebagai warga negara Indonesia. “Kalau begitu, lepas kami (Papua) to. Biarkan kami merdeka. Kami punya sumber daya manusia maupun sumber daya alam,” ungkap Andoi dalam orasinya.
Andoi mengingatkan, para mahasiswa Papua datang ke Jawa dan Sulawesi untuk menuntut ilmu. “Jadi lebih terhormat mana, ‘monyet’ mencari ilmu di negeri manusia, atau manusia yang mencari makan di tempat ‘monyet’,” tuturnya.
Pengunjukrasa lainnya, Melkianus Windesi menyatakan persekusi dan tindakan rasial yang dialami mahasiswa Papua membuktikan banyak orang Indonesia tidak menganggap orang Papua layak menjadi warga negara Indonesia. Ia juga mengkritik prasangka rasial yang membuat orang Papua serta-merta menjadi tertuduh kasus perusakan bendera merah putih di Surabaya, tanpa mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
“Jadi yang sebenarnya kami inginkan itu Papua merdeka, segera referendum. Tapi, kalau tidak mau, ya segera di selesaikan persoalan ini,” ungkap Windesi.
Saat menerima aspirasi para pengunjukrasa, Wakil Ketua I DPRD Nabire, Mercy Kegou dengan satir menyebut dirinya sebagai “induk monyet” yang senang menerima aspirasi itu. “Aspirasi telah disampaikan, akan kami koordinasi dengan Ketua dan Bupati yang sedang melaksanakan tugas di luar daerah. Kami akan sesegera mungkin mengumpulkan Muspida setelah Bupati kembali, dan membicarakan masalah ini,” kata Kegou. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G