Jayapura, Jubi – Menanggapi wacana mendorong Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua yang dilontarkan oleh aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua Barat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, korban pelanggaran HAM Papua mengatakan DPRP perlu melihat dan mempelajari KKR yang ada di Aceh.
“DPRP dan aktivis sebaiknya mempelajari kasus KKR di Aceh. Kami sudah mendengar sendiri dari kawan-kawan korban di Aceh, KKR di sana tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan,” ujar Nehemia Yarinap, sekretaris Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) kepada Jubi, Rabu (5/6/2019).
Menurut Nehemia, BUK baru saja melaksanakan konsolidasi korban pelanggaran HAM Papua dan Kongres BUK. Salah satu rekomendasinya adalah tidak mendorong adanya KKR sebelum ada pengadilan HAM yang mengadili kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM yang pernah terjadi, terutama yang selama ini telah didorong dalam mekanisme hukum dan HAM.
“Kongres dan konsolidasi yang diselenggarakan pada 24-27 April kemarin itu dihadiri oleh sekitar 100 orang. Yang hadir adalah korban pelanggaran HAM Papua sipol dan ekosob dari seluruh wilayah Papua dan Papua Barat dan lembaga-lembaga pegiat HAM lokal, nasional serta internasional,” lanjut Nehemia.
Ia menambahkan, KKR tanpa mengadili para pelaku pelanggaran HAM di Papua tidak akan selesaikan/mengakiri pelanggaran HAM d Papua. Para pelaku tetap leluasa mengulangi kekerasan di Papua dan mereka justru mendapat impunitas, penghargaan dan pangkat dari negara.
“Kami tidak mendorong KKR di Papua karena pembelajaran kami atas KKR di Aceh. KKR tidak bisa berjalan seperti yang diharapkan selama belum ada pengadilan HAM yang dilakukan dan niat baik untuk menyelesaikan persoalan HAM di Papua,” tambah Nehemia.
BUK, menurut Nehemia berkesimpulan pembentukan KKR di Aceh pada akhirnya hanya untuk memenuhi mandat MOU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh, bukan untuk menyelesaikan persoalan HAM yang pernah terjadi.
Terpisah, Zulkifli, pendiri Ikatan Keluarga Orang Hilang Aceh (IKOHA), mengatakan keberadaan KKR Aceh yang merupakan mandat dari MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh selama ini cukup memprihatinkan. KKR Aceh menurutnya mendapatkan mendapatkan fasilitas namun dirusak oleh masyarakat karena tidak seperti yang diharapkan.
“Selain itu anggaran yang minim dan kewenangan yang kecil. Secara SDM komisioner telah cukup kredibel namun tidak ada dukungan yang memadai. Jika mendorong adanya KKR di Papua maka harus dikawal dan kuat.” ungkap Zulkifli.
Baik Zulkifli maupun Nehemia berpandangan pemerintah atau institusi apapun yang ingin menyelesaikan masalah HAM, seharusnya berkomunikasi dengan pihak korban pelanggaran HAM. Keduanya sepakat dalam upaya rekonsiliasi dalam bentuk apapun, korban harus ditempatkan sebagai subyek, bukan obyek.
Saat ini yang mendesak bagi korban pelanggaran HAM Papua, sebagaimana rekomendasi Kongres BUK adalah memperkuat BUK sebagai organisasi berbasis korban pelanggaran HAM dan memastikan korban-korban dan keluarga mereka mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
“Salah satunya adalah mendorong pemulihan trauma yang sensitif gender mengingat iklim kekerasan yang dialami korban perempuan dan korban laki-laki itu berbeda. Juga perhatian pada anak-anak dari korban pelanggaran HAM agar mendapatkan hak kesehatan dan pendidikan yang baik,” kata Nehemia.
BUK adalah jaringan korban pelanggaran HAM Tanah Papua yang didirikan pada tahun 2008. Jaringan ini mengorganisir ratusan korban pelangaran HAM Papua, baik korban pelanggaran ekosob maupun sipol. (*)