Tak hanya negara, masyarakat pun merugi akibat penyitaan kayu

Ilustrasi dikusi tentang pengelolaan kayu di Papua belum lama ini - Jubi/Arjuna Pademme
                      Ilustrasi dikusi tentang pengelolaan kayu di Papua belum lama ini – Jubi/Arjuna Pademme

 

Papua No. 1 News Portal | Jubi 

Read More

 

 

Jayapura, Jubi – Sekretaris II Dewan Adat Papua, John NR Gobai mengatakan, 384 kontainer kayu asal Papua yang disita tim terpadu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Makassar, Sulawesi Selatan dan Surabaya, Jawa Timur dalam beberapa bulan terakhir merugikan masyarakat adat Papua.

Ia mengatakan, ratusan kayu seharga Rp105 miliar yang disita tersebut merupakan milik masyarakat adat yang dijual kepada pelaku industri lokal, namun dianggap ilegal oleh pihak terkait dan menyebabkan kerugian negara.

Ia mengatakan, masalah kehutanan di Papua adalah masalah besar, karena terkait piring makan banyak orang, kemudian masyarakat adat juga ingin memanfaatkan hasil hutannya lantaran selama ini kayu tersebut pemilik HPH dari hutan adat di wilayah masyarakat adat.

“Jika pengelolaan kayu oleh masyarakat dianggap pemerintah dan pihak terkait adalah illegal serta merugikan negara, bagaimana dengan kayu masyarakat adat yang ditahan. Sebaiknya, sama-sama hitung kerugian,” kata Gobai via teleponnya kepada Jubi, Minggu (3/2/2019).

Katanya, jika pemerintah menghitung kerugian negara, maka kerugian masyarakat adat juga harus dikalkulasi, karena pengelolaan kayu yang dilakukan masyarakat adat selama ini untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

Menurutnya, lantaran tuntutan kebutuhan hidup masyarakat tidak dapat dibendung, mereka kemudian mengelola kayu di hutan wilayah adatnya dan menjualnya kepada para pengusaha lokal untuk dikirim ke luar Papua.

Dalam jual beli itu ada dua metode yang digunakan antara masyarakat adat dan pelaku industri lokal. Cara pertama, pelaku usaha membayar tunai kayu yang dijual masyarakat. Cara kedua, kayu dibayar pelaku industri likal setelah terjual di luar Papua.

“Kalau kayu dibayar tunai, masyarakat langsung dapat uang, namun kalau dibayar setelah kayu terjual di luar Papua, tentu merugikan masyarakat jika kayu itu ditahan karena dianggap ilegal,” ucapnya.

Hanya saja lanjutnya, pihak terkait menilai yang berhak menjual kayu ke luar Papua adalah pengusaha pemilik HPH, sehingga kayu yang dijual masyarakat kepada pelaku industri lokal itu dianggap ilegal dan terkadang ditahan.

“Dalam situasi ini, pemerintah menganggap negara dirugikan, namun masyarakat adat juga merasa dirugikan, karena jika kayu yang ditahan itu dilelang, uangnya masuk ke kas negara,” ujarnya.

Untuk itu lanjutnya, kalau saja masyarakat adat diberikan ruang kelola, dan dibebankan membayar kewajiban kepada negara sesuai aturan yang ada, kondisi seperti itu tak akan terjadi.

“Kalau masyarakat dibebankan membayar kewajiban, pasti mereka bayar selema mereka dilegalkan mengelola kayu dari hutan adatnya,” katanya.

Namun kata Gobai, hingga kini KLHK belum mengeluarkan NSPK untuk kepentingan ruang kelola bagi masyarakat. KLHK dinilai lebih mengutamakan pemilik HPH.

Sementara, Koordinator Hukum dan HAM Tabi, Pdt. Albert Yoku dalam diskusi bersama anggota DPR Papua, aktivis dan Plt Kepala Dinas Kehutanan Papua belum lama ini menyarankan pihak terkait agar berupaya menghentikan berbagai izin pengelolaan pemanfaatan hutan sementara waktu, karena ada berbagai hal yang perlu dibenahi.

Katanya, jika pengelolaan kayu oleh masyarakat yang dianggap pemerintah dan pihak terkait ilegal dan merugikan negara, bagaimana dengan kayu masyarakat adat yang ditahan dan lain sebagainya.

“Jika pemerintah menghitung kerugian negara, kerugian masyarakat adat juga harus hitung. Negara hitung kerugiannya dari sisi apa? Jadi hentikan sementara (izin) dan semua kayu masyarakat adat dihitung dulu,” kata Pdt. Albert Yoku kala itu.

Menurutnya, rakyat sudah berkeringat, berusaha, dan menghasilkan, kenapa selalu dianggap ilegal. Negara ada karena ada rakyat, kalau semua dianggap ilegal, negara ada untuk siapa.

Sementara Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani belum lama ini mengatakan, penindakan yang dilakukan itu merupakan tindak lanjut dari rekomendasi dan supervisi yang diberikan KPK terkait kasus perusakan lingkungan.

“Tim KLHK, yang terdiri dari 70 penyidik terus bekerja berdasarkan supervisi KPK. Tim sedang mendalami dugaan adanya keterlibatan 18 perusahaan dalam kasus kayu illegal itu. Jika terbukti, KLHK akan mensanksi perusaha itu mulai sanksi administrasi hingga pidana,” kata Ridho kala itu. (*)

 

Reporter         : Arjuna Pademme

Editor              : Edho Sinaga 

Related posts

Leave a Reply