Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Pemerintah adalah aktor utama di balik kegagalan otsus Papua selama 20 tahun”
Oleh: Welis Doga
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian bunyi pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Yang dimaksud negara hukum adalah negara yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan yang bersifat mengikat dan mempunyai sanksi tegas.
Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan bernegara adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah “the rule of law, not of man”. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai “wayang” dari skenario sistem yang mengaturnya.
Gagasan negara hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri, sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” atau penjaga sekaligus “the ultimate interpreter of the constitution” atau penafsir terakhir dari konstitusi.
Berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Lalu dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomorr 15/2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 15/2019). Kemudian pasal 21 ayat (3) UU 15/2019 menyebutnya “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.”
Dalam konteks revisi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, Presiden RI Joko Widodo telah mengirim Surat Presiden (Surpres) kepada DPR pada 4 Desember 2020. Dewan Perwakilan Rakyat telah menerima surpres tentang revisi UU Nomor 21 tentang Otsus Papua.
Surpres itu diumumkan oleh Wakil Ketua DPR Aziz Syamsudin dalam rapat paripurna penutupan masa sidang, Jumat, 11 Desember 2020. Azis mengatakan, revisi ini akan ditindaklanjuti setelah DPR membuka kembali masa sidang pada 10 Januari 2021.
“Surat ini tentu akan kami jalankan secara mekanisme dan tata tertib yang berlaku dalam masa sidang yang akan kita lakukan secara bersama-sama tanggal 10 Januari 2021.”
Sebelumnya, revisi UU Otsus Papua masuk Prolegnas Prioritas 2021. Revisi ini merupakan usulan pemerintah. Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menyebut ada perubahan UU Otsus Papua. Yaitu mengenai besaran dana. Yaitu dinaikan dari 2 persen menjadi 2,25 persen. Serta tata kelola akan diubah dari melalui Perda Otsus Papua menjadi Peraturan Pemerintah (merdeka.com).
Sementara itu, Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai kewenangannya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 77 UU Otsus Papua dan pasal 51 dan 52 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2008 tentang perubahan atas PP Nomor 54 tahun 2004 tentang MRP, sedang berupaya mendorong penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dimulai pada pertengahan 2020 hingga dilanjutkan awal 2021.
Rapat Dengar Pendapat yang didorong MRP ini dilakukan dalam rangka menjaring aspirasi rakyat Papua atas pro dan kontra status Otsus Papua. Forum RDP sendiri telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan NKRI.
Di sisi lain, pemerintah benar-benar tidak menghiraukan aspirasi penolakan otsus yang digaungkan oleh rakyat Papua dari waktu ke waktu. Di akhir masa berlakunya otsus Papua selama 20 tahun, mayoritas rakyat Papua menyatakan menolak UU Otsus Papua.
Sikap penolakan itu datang dari berbagai komponen rakyat di Papua yang tergabung dalam Tim Petisi Rakyat Papua (PRP) yang terdiri dari berbagai organisasi sipil, baik dalam negeri, maupun luar negeri, yang berjumlah 102 organisasi.
Dalam konferensi pers Tim PRP 7 Januari 2021 disebutkan bahwa petisi penolakan keberlanjutan otsus yang berhasil digalang hingga 7 Januari 2021 sebanyak 654.561. Tim PRP sendiri usai konferensi pers menyatakan bahwa 102 organisasi yang tergabung dalam Tim PRP akan terus menggalang dukungan petisi penolakan otsus Papua.
Dalam pandangan mayoritas rakyat Papua atas keberadaan otsus selama 20 tahun di Papua, tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan orang asli Papua (OAP). Oleh karena itu, rakyat Papua menolak keberlanjutan osus yang dipaksakan oleh pemerintah.
Ketidakberhasilan otsus Papua atau pasal-pasal yang seharusnya dilaksanakan pemerintah, di antaranya, pasal 28 tentang partai politik, pasal 45 ayat (2) tentang pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, pasal 48 ayat (5) tentang persetujuan gubernur dalam rangka pengangkatan Kapolda Papua.
Beberapa pasal di atas adalah pasal-pasal yang jelas-jelas diatur dalam UU Otsus Papua, tetapi beberapa pasal tersebut sama sekali tidak tersentuh dan tidak terlaksana, pasal-pasal tersebut benar-benar mati suri.
Lalu dari empat program pembangun prioritas yang diamanatkan dalam UU Otsus sendiri pun sungguh tidak berdampak pada OAP di seluruh Tanah Papua. Sementara itu yang lebih parah lagi adalah kepala negara RI, Presiden Jokowi justru mengeluarkan Surpres kepada DPR untuk mendesak DPR segera merivisi UU Otsus Papua, padahal pasal 77 UU Otsus mensyaratkan “Usul perubahan atas UU Otsus dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Bahwa 20 tahun keberadaan produk hukum otsus itu sudah diangap gagal total oleh mayoritas rakyat Papua. Karena itu, rakyat Papua menolak keberlanjutan otsus di Papua dengan menggalang petisi penolakan UU Otsus Papua dalam wadah PRP oleh 102 organisasi sipil.
Sementara para komplotan elite Papua dan Jakarta masih menganggap otsus berhasil di Papua walaupun pemerintah tidak mampu membuktikan keberhasilannya selama 20 tahun. Yang parahnya lagi adalah pemerintah tidak mengkawal RDP yang didorong oleh MRP dalam rangka menjaring aspirasi rakyat Papua, yang sebenarnya dilakukan sesuai amanat pasal 77 UU Otsus.
Justru pihak keamanan (negara) yang berupaya menghambat RDP, seakan dengan adanya RDP, seketika itu pula Papua merdeka. Ini keanehan di NKRI. Bersambung. (*)
Penulis adalah Masyarakat Pegunungan Tengah Papua
Editor: Timoteus Marten