Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pimpinan Lintas Agama se-Papua berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo, meminta agar tujuh tahanan politik Papua yang tengah menjalani proses hukum sebagai terdakwa makar diperlakukan secara adil. Dalam surat mereka tertanggal 12 Juni 2020, Pemimpin Lintas Agama se-Papua juga meminta Joko Widodo serius menyelesaikan masalah rasisme di Papua.
Seruan Pimpinan Lintas Agama se-Papua itu melibatkan para pimpinan umat beragam dari Forum Kerukunan Umat Beragama, Persekutuan Gereja-gereja Papua, Persekutuan Gereja-gereja Jayapura, Keuskupan Jayapura, dan sejumlah Sinode Gereja di Papua. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan berbagai unjuk rasa anti rasisme yang terjadi di Papua dan Jakarta dipicu oleh sejumlah insiden rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Semarang.
Ketujuh tahanan politik (tapol) Papua itu adalah para mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Ketujuh tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.
Baca juga: PGI minta keadilan untuk tujuh Tapol Papua
Dalam persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh tahanan politik Papua itu dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.
Para pemuka agama meminta proses hukum terhadap ketujuh tapol Papua diperlakukan secara lebih adil. Pemimpin Lintas Agama se-Papua menyatakan kasus hukum ketujuh tapol itu bermula dari masalah rasisme, dan bukan makar.
“Dengan demikian, negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua, KH Saiful Islam Al Payage di Kantor Simode Gereja Kristen Injili, Kota Jayapura, Jumat (12/6/2020).
Baca juga: Pastor Katolik Pribumi Papua dari lima keuskupan minta keadilan untuk Buchtar Tabuni Cs
Mengingat situasi pandemi Covid-19, para pemimpin agama meminta Presiden Jokowi membebaskan tanpa syarat ketujuh tapol Papua itu. Payage juga mendesak majelis hakim yang mengadili ketujuh tapol Papua dalam membuat putusan yang bisa mencerminkan proses hukum ketujuh tapol tidak diskriminatif secara rasial. “Hakim harus menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa masih ada keadilan bagi rakyat Papua dalam proses hukum di negara ini,” katanya.
Pemimpin Lintas Agama se-Papua juga meminta agar Presiden Jokowi segera menyelesikan akar masalah konflik Papua, sebagaimana telah dirumuskan dan direkomendasikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Rekomendasi LIPI itu meliputi soal pelurusan sejarah dan status politik integrasi Papua ke dalam NKRI, penyelesaian kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sejak tahun 1965, penghapusan diskriminasi dan merginalisasi orang Papua, dan memperbaiki kegagalan pembangunan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakya Papua.
Koordinator Tim Perumus Pemimpin Lintas Agama se-Papua, Pdt. Hiskia Rollo mengatakan para pemimpin agama di Papua melihat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap tujuh tapol Papua tidak masuk akal, karena jauh dari fakta. “Saksi yang diajukan JPU, enam diantaranya polisi dari Kepolisian Daerah Papua, dan satu dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Papua, sehingga apa yang disampaikan tidaklah sesuai [fakta],” kata Rollo.
Baca juga: Muslim Papua minta Jokowi bebaskan 7 tapol Papua
Pemimpin Lintas Agama se-Papua meminta agar negara hadir dan berperan serius untuk menyelesaikan masalah rasisme Papua, serta menegakkan hukum secara adil dan bermartabat. Penyelesaian masalah rasisme itu dibutuhkan untuk membantu pemerintah menciptakan stabiitas politik dan keamanan jangka panjang di Papua.
“Apabila suara keagamaan tidak disampaikan, kami khawatir bangsa ini akan mengalami gejolak. [Itu] sangat berbahaya, bisa memicu disintegrasi bangsa, serta menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara,” ujar Rollo.
Sebelumnya, secara terpisah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Jakarta menyatakan telah mengikuti dengan seksama proses peradilan atas tujuh tapol Papua yang didakwa melakukan tindakan makar, sebagai buntut demonstrasi anti rasisme oleh masyarakat Papua. PGI menilai tuntutan jaksa atas para pemuda Papua yang teramat tinggi itu terbilang janggal.
Terlebih jika dibandingkan dengan vonis yang dijatuhkan kepada pelaku rasisme di Surabaya, yang hanya diganjar kurungan badan kurang dari satu tahun. Humas PGI, Irma Riana Simanjuntak mengatakan pernyataan itu disampaikan untuk mengingatkan majelis hakim agar bertindak adil dan mengedepankan hati nurani.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G