Oleh: Vredigando Engelberto Namsa, OFM
Dalam kehidupan sekarang ini, manusia tidak lagi memandang alam ciptaan sebagai bagian dari hidupnya, yang pada dasarnya harus dirawat, dipelihara, dan dijaga. Manusia melihat alam sebagai bagian yang dapat mendatangkan keuntungan dalam kehidupannya. Maka, alam ciptaan dan manusia tidak berada dalam kondisi relasi yang sesuai rancangan Pencipta. Perubahan itu memperlihatkan kebangkrutan mutu relasi keduanya.
Cikal bakal kebangkrutan ini bermukim pada kesadaran dan penemuan diri manusia di hadapan ciptaan. Manusia diharapkan dapat membangun suatu pemahaman yang baik, tentang bagaimana berada di tengah alam ciptaan, yang ada bersama dengan dirinya sebagai sesama ciptaan.
Pada dasarnya alam ciptaan ini memiliki makna tersendiri pada dirinya, ia dapat memuji dan memuliakan Sang Pencipta dengan caranya sendiri, karena segala ciptaan, baik manusia, maupun ciptaan yang lain, adalah ciptaan Allah. Kedudukan mereka di hadapan Allah adalah sama.
Oleh karena itu, sebagai sesama ciptaan, manusia perlu mengembangkan suatu spiritualitas sebagai saudara terhadap sesama ciptaan yang lain. Hal inilah yang dikembangkan dalam spiritualitas persaudaraan yang universal.
Memiliki pemahaman yang benar tentang alam ciptaan
Dalam kehidupan manusia sekarang ini, alam ciptaan dilihat sebagai suatu bagian yang dapat menjamin seluruh kelangsungan hidupnya. Alam dilihat sebagai objek yang dapat menguntungkan manusia.
Maka, tidak mengherankan terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran; pembongkaran hutan berskala besar dengan tujuan pembangunan; pengambilan bahan tambang dan mineral tanpa dikontrol secara baik, dll. Inilah bentuk pemahaman yang salah dari manusia dalam melihat seluruh alam ini.
Dari semua aktivitas yang salah ini, tidak mengherankan terjadi akibat buruk dan menelan korban. Banjir terjadi dimana-mana, hilangnya keanekaragaman hayati yang menjamin keseimbangan kelangsungan hidup seluruh ciptaan ini, krisis air yang melanda sebagian negara di dunia ini, suhu udara dan iklim yang tak menentu musimnya. Ini semua merupakan krisis yang dialami oleh manusia di atas planet ini.
Dalam ensiklik Laudato Si, Paus Fransiskus mengutarakan dampak kerusakan alam ciptaan kepada semua orang. Di sisi lain, Paus juga mengutarakan pemahaman yang benar tentang alam ciptaan, yang disertai dengan sumbangan yang dapat dibuat untuk mengatasi krisis tersebut.
Bagi Paus, alam ciptaan pada dasarnya mempunyai makna intrinsik tersendiri, yang daripadanya ia sendiri dapat memuji dan memuliakan Allah, sehingga sekali lagi, manusia tidak bisa menjadikan alam ciptaan sebagai objek saja demi kepentingannya. Karena itu, tepatlah kalau dikatakan Allah adalah sumber dan pusat segala sesuatu. Maka manusia harus memiliki pemahaman teosentris, bukan pemahaman antroposentris.
Cerita dalam kitab Kejadian menyatakan kebenaran bahwa Allah menciptakan segala sesuatu, dengan bersabda dan dalam suatu proses. Allah adalah pelaku tunggal dalam penciptaan. Allah sendirilah yang menjamin seluruh ciptaan-Nya.
Jika semua ciptaan ini, termasuk manusia, diciptakan oleh Allah, maka Allah saja yang mempunyai kuasa atas ciptaan. Kenyataannya, manusia sekarang ini salah mengerti atau mempunyai pemahaman yang keliru terhadap alam ciptaan. Manusia melihat alam sebagai suatu bentuk keuntungan yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya, tanpa menghargai alam ciptaan sebagai bagian dari hidupnya yang dipelihara dan dijaga.
Kenyataan bahwa keseimbangan yang terganggu telah menjadi isu global yang menarik untuk dilihat secara bersama. Kerusakan alam mengakibatkan bencana, seperti, tanah longsor, banjir, pencemaran air, udara dan tanah, serta makin bertambahnya marga satwa yang punah. Hal ini terjadi karena manusia tidak lagi mampu menguasai dampak-dampak teknologi yang dikembangkannya.
Teknologi menawarkan diri sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan masalah-masalah, tetapi pada kenyataannya, biasanya (ia) tidak mampu melihat jaringan hubungan yang tersembunyi antara banyak hal, lalu kadang-kadang memecahkan satu masalah hanya untuk menciptakan masalah yang lain (Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato Si Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Jakarta: Obor 2015) Selain itu, kegiatan eksploitasi kandungan alam secara besar-besaran juga telah menambah kerusakan lingkungan alam.
Kesadaran manusia akan pentingnya keseimbangan alam sangat dibutuhkan. Keseimbangan alam merupakan sentral bagi setiap tindakan manusia. Keseimbangan alam yang harmonis menjadi kekuatan yang mendorong manusia untuk meningkatkan rasa tanggung jawabnya terhadap seluruh alam ciptaan.
Bila menyimak berbagai persoalan yang terjadi berkaitan dengan kerusakan alam ciptaan, yang kita butuhkan sekarang adalah perubahan perilaku secara konkret, sebab pada prinsipnya dan paling fundamental dari krisis dan bencana lingkungan hidup secara global adalah kesalahan cara pandang, maka sebenarnya memungkinkan terjadinya perubahan perilaku tersebut yang paling pokok adalah diperlukan adanya perubahan cara pandang. Hanya dengan cara atau metode ini, bisa terjadi perubahan perilaku kita terhadap alam dan lingkungan.
Hal mendasar yang harus terjadi dalam kehidupan kita manusia adalah terjadinya perubahan cara pandang kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Alam tidak sekadar mempunyai nilai instrumen bagi kepentingan manusia, melainkan memiliki makna intrinsik pada dirinya, sehingga pada dasarnya, manusia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara moral untuk menjaga alam dan lingkungan hidup, terlepas dari kegunaan manusia dalam mengeksploitasi alam ini, demi suatu tujuan atau maksud dari kehidupan ini.
Secara nyata dan terbukti bahwa dari pengalaman manusia, baik tingkat internasional, maupun tingkat nasional, yang secara nyata menunjukkan sikap kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup, tidak hanya pada dirinya secara pribadi, tetapi juga bagi kelangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Bila dilihat dan dikaji secara baik, alam dan lingkungan itu mempunyai peran sangat mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Karena itu, manusia salah dan tidak masuk akal kalau manusia masih saja melakukan kerusakan kepada alam sekehendak hatinya; seakan-akan alam dan lingkungan hidup ini adalah hal yang tidak bernilai apa-apa di mata manusia.
Suatu kekeliruan jika manusia masih saja menyamakan alam dan lingkungan dengan suatu kepentingan ekonomi. Hal-hal yang kurang terpuji ini yang seringkali kita jumpai dalam kehidupan kita di atas planet ini.
Di sisi lain perubahan itu juga dituntut harus sampai pada tingkat moral, bahkan boleh dibilang dalam tingkat teologi. Pada tingkat moral, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia berada dalam lingkungan moral yang tidak hanya dengan manusia.
Manusia ada dalam tingkat kehidupan moral bersama seluruh kehidupan yang ada di planet ini dan seluruh ekosistem. Karena itu, apa yang disebut sebagai komunitas itu tidak hanya menyangkut komunitas manusia, melainkan juga komunitas ekologis. Manusia tidak hanya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia, melainkan juga terhadap kehidupan seluruhnya dan terhadap ekosistem, alam semesta, khususnya planet bumi ini (Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius 2010)
Kenyataan sekarang ini, seiring dengan perkembangan budaya, sadar ataupun tidak sadar manusia menjadi perusak alam ciptaan itu sendiri. Pengrusakan itu, dibuat demi suatu kebutuhan yang menguntungkan diri sendiri.
Bila dilihat zaman dahulu orang-orang masih berburu atau mengambil makanan dari hutan seperlunya. Misalnya, ketersedian pangan, manusia harus membuka hutan, mengubah menjadi area pertanian, yang di satu sisi menggunakan cara-cara pertanian yang tidak ramah lingkungan, tetapi di sisi lain, (demi) keperluan industri, dilakukan penambangan besar-besaran. Mereka membuat lubang-lubang raksasa di muka bumi untuk mengambil bijih tambang. Manusia sebenarnya lupa bahwa dirinya sebenarnya bergantung pada alam semesta.
Pemahaman yang benar tentang manusia
Dalam cerita penciptaan yang pertama dalam Kitab Kejadian, rencana Allah meliputi ciptaan manusia. Setelah Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.(Kejadian 1:31). Pada dasarnya Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26).
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia mempunyai martabat yang tinggi, yang bukan hanya sesuatu, tetapi merujuk kepada seseorang. Dia mampu mengenal diri, menguasai diri dan bebas memberikan dirinya dan masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain.
Menurut pemahaman Kristiani, manusia berkedudukan khusus dan berperan unik di antara ciptaan. Peran dan kedudukan khusus ini lahir dari pemahaman Kristiani tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26, Gaudium et Spes 34).
Sebagai gambar dan rupa Allah, maka manusia diberi tugas untuk menjaga dan memelihara seluruh ciptaan ini, karena manusia memiliki akal dan kehendak yang baik, yang diterimanya dari Allah sendiri sebagai Penciptanya, sehingga pada prinsipnya manusia adalah partner Pencipta dan bukan tuan atau penguasa atas ciptaan (Peter C. Aman, Lingkungan Hidup, Keadilan dan Ekaristi, Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2013).
Dalam kitab suci diungkapkan dengan cerita-cerita tentang manusia itu dan sebenarnya dalam cerita-cerita itu mengandung ajaran tentang eksistensi manusia yang terbentang dalam realitas sejarah. Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia didasarkan pada tiga relasi dasar yang terkait: hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Menurut Alkitab, tiga hubungan penting itu telah rusak, bukan hanya secara lahiriah, melainkan juga di dalam diri kita. Perpecahan ini merupakan dosa.
Harmoni antara Pencipta, manusia dan semua ciptaan dihancurkan karena kita mengira dapat mengambil tempat Allah, dan menolak untuk mengakui diri sebagai makhluk yang terbatas. Hal ini juga telah menyebabkan salah pengertian atas mandat untuk “menaklukkan” bumi (Kejadian 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15).
Akibatnya, hubungan yang awalnya harmonis antara manusia dan alam, berubah menjadi konflik (Kejadian 3:17-19). Maka manusia itu adalah bagian dari ciptaan Allah. Manusia sebagai bagian dari ciptaan, diharapkan harus menghargai, menghormati dan memelihara alam.
Manusia diciptakan pada hari terakhir penciptaan alam semesta. Sebagai puncak dari segala ciptaan, manusia tampaknya lebih istimewa daripada ciptaan yang lain. Hal ini benar, namun keistimewaan itu terletak pada tanggung jawabnya; pada kebaikan tata ciptaan yang telah diciptakan lebih dahulu.
Alam semesta telah diciptakan sebelum manusia, ia memiliki nilai pada dirinya sendiri demi keseimbangan ekosistem bumi. Hal ini menjadi tanggung jawab manusia yang memiliki kesadaran akan nilai alamiah setiap benda yang ada di atas bumi ini.
Panggilan untuk melestarikan alam ciptaan
Atas nama keuntungan ekonomi, alam dieksploitasi sedemikian rupa. Manusia sekarang ini bertekad untuk mengambil alam seisinya tanpa mengindahkan kelestarian, bahwa manusia tak pernah bisa hidup sendiri tanpa sesamanya, yakni sesama manusia maupun sesama ciptaan Tuhan yang lain. Maka, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk sosial dan juga merupakan makhluk ekologi, karena manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa alam ciptaan yang lain. Karena, “sebagai makhluk ekologis, manusia semestinya menyadari cara hadirnya di bumi dan cara berelasinya dengan bumi dan alam ini”.
Kuasa yang diberikan oleh Allah kepada manusia, bukanlah kuasa untuk menguasai alam secara penuh. Akan tetapi, kuasa itu diberikan dengan tujuan (agar) manusia merawat dan menjaga alam ini, karena manusialah yang memiliki akal dan budi yang dapat melaksanakan tugas ini. Dengan menjalankannnya, sekali lagi manusia menjadi rekan kerja Allah dalam memelihara karya penciptaan ini.
Mentalitas zaman ini turut memberi andil yang sangat besar dalam menghancurkan bumi. Kita menyadari bahwa bumi ini, karena sifat-sifat destruktif yang ada dalam diri manusia. Sadar atau tidak sadar sifat-sifat itu muncul karena dorongan pemuasan nafsu sesaat. Dalam ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus menyadari mentalitas manusia zaman ini dan pemuasan sesaat.
Mentalitas ini telah menjadi akar dari lunturnya nilai-nilai luhur dan tiadanya penghargaan serta rasa hormat terhadap martabat manusia dan alam semesta. Hal ini berdampak pada kurangnya kepedulian dan hilangnya rasa solidaritas terhadap yang lain.
Namun perlu diakui, bahwa atas nama keuntungan ekonomi dan alasan kesejahteraan, alam itu dihancurkan. Contoh yang dapat kita lihat yakni: tanah-tanah yang diambil dan diolah oleh suatu perkebunan besar; mereka ini menghancurkan tanah dengan berbagai obat-obat kimia yang merusak. Akibatnya ada berbagai limbah dan tanah rusak. Ini hanya contoh kecil yang dapat ditunjukkan, masih banyak contoh-contoh yang lain.
Situasi seperti ini sangat memprihatinkan bahwa kekerasan merusak jati diri manusia ekologis. Kehancuran ekologis sebagaimana menentukan nasib manusia dalam seluruh kelangsungan hidupnya di dunia ini.
Pada dasarnya masa depan akan menjadi bencana jika planet ini dihuni manusia yang buta ekologis. Bahkan tak perlu menunggu masa depan, beberapa bencana alam pun telah menunjukkan hal ini, seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dsb. Demi terciptanya pelestarian alam yang baik, manusia semestinya kembali kepada jati dirinya sebagai makhluk ekologis yang terlibat dalam seluruh relasi antarmakhluk di atas planet ini.
Kearifan alam selama ini menunjukkan bahwa makhluk hidup satu dengan yang lain sebenarnya saling membutuhkan dalam kondisi seimbang. Hal lain, bahwa alam dilihat sebagai ketergantungan bagi kelangsungan hidup.
Manusia sebenarnya memiliki kesadaran untuk melestarikan alam. Ia sadar bahwa tindakannya yang menyebabkan rusaknya alam merupakan suatu tindakan yang kurang baik, salah dan tidak dipuji. Manusia sadar bahwa yang ia lakukan itu merupakan tindakan yang tidak mencerminkan dia sebagai citra Allah, yang dipanggil oleh Allah sendiri untuk turut serta dalam karya di bumi ini.
Relevansi untuk kita di Papua : Mencintai alam ciptaan dengan usaha nyata
Di bagian ini dibicarakan tentang perubahan perilaku. Perubahan perilaku itu dinyatakan dalam tindakan nyata. Tindakan nyata itu bisa bersifat pribadi, ataupun bersama sebagai wujud kepedulian manusia terhadap alam ciptaan.
Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tindakan nyata itu.
Pertama, mencintai alam ciptaan diwujudkan dalam tindakan nyata (melalui) pengolahan sampah, baik sampah industri, maupun sampah rumah tangga. Dalam hal sampah rumah tangga, digunakan tas belanja yang ramah lingkungan daripada plastik, apalagi plastik yang tidak mudah hancur. Dalam hal belanja kurangilah pembelian barang baru dan gunakanlah barang-barang yang masih bisa dipakai;
Kedua, mencintai alam ciptaan dapat diwujudkan dengan perubahan pola konsumsi, khususnya makanan. Kurangilah makan-makanan yang membutuhkan pengorbanan dari ciptaan yang lain.
Demikian juga,.makanlah makanan yang didapatkan dari sekitar lingkungan tempat di mana manusia itu tinggal, daripada harus mendapatkannya dari luar, dengan membutuhkan biaya dan pengorbanan. Intinya makan makanan yang bergizi, tetapi pengolahan dan proses mendapatkannya bersifat sederhana;
Ketiga, mencintai alam ciptaan dapat diwujudkan dengan menanam pohon atau penghijauan kembali di lahan-lahan yang kosong, pekarangan rumah, dan di tempat-tempat yang memungkinkan hal itu terjadi.
Bersama dengan hal ini, perlu adanya undang-undang bagi industri yang mengatur penggunaan kayu secara teratur dan dikontrol secara baik, sehingga tidak ada kesan bahwa pengambilan kayu sebagai bentuk eksploitasi atas nama kepentingan bisnis;
Keempat, mencintai alam ciptaan dengan dialog tentang lingkungan dalam skala internasional, lintas agama, dan budaya. Dari dialog ini diharapkan ada kesepakatan bersama yang dapat dijadikan dasar dalam menata dan mencintai alam ciptaan ini sebagai saudara dan saudari. Bukan lagi atas nama bisnis atau kepentingan ekonomi.
Pada dasarnya sangat dibutuhkan perjanjian-perjanjian internasional yang dapat ditegakkan, karena pemerintah-pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif. Hubungan antarnegara harus menjaga kedaulatan masing-masing negara, tetapi juga membangun jalur-jalur kesepakatan, untuk mencegah bencana lokal yang akhirnya akan menimpa semua orang.
Diperlukan kerangka peraturan global untuk memaksakan kewajiban, dan mencegah tindakan yang tidak dapat diterima, misalnya, ketika beberapa negara yang kuat memindahkan limbah dan industri yang sangat mencemari negara-negara lain. Boleh dikatakan, bahwa masih banyak aksi nyata yang perlu dilakukan oleh manusia dalam hal mencintai alam ciptaan. Tetapi di sini penulis membatasi diri pada keempat hal di atas, karena dianggap cukup konkret dan mendasar dalam kehidupan manusia saat ini.
Paus Fransiskus mengundang semua manusia untuk turut bekerja sama dengan Allah; untuk terlibat memulihkan dunia, termasuk tanah air kita ini, dalam proses penyembuhan dari luka-luka yang selama ini dideritanya.
Manusia juga dipanggil untuk memulihkan martabat seluruh ciptaan, baik manusia, maupun alam semesta. Kita diajak untuk merawat “ibu bumi” dengan memulihkan kesadaran kita bersama sebagai makhluk yang diundang Allah, untuk bekerja sama membangun suatu peradaban yang luhur dan mulia yang telah Tuhan sediakan untuk manusia.
Bila melihat persoalan yang sedang dihadapi manusia, di sini dibutuhkan penanganan yang serius, sebagai bentuk tanggung jawab manusia terhadap alam ciptaan. Paus Fransiskus mengajak umat manusia untuk membangun niat bersama mencari solusi dalam mengatasi persoalan kerusakan alam.
Solusi yang diberikan oleh Paus ialah melalui jalan dialog. Dialog antaragama, antarbudaya dan dialog dalam lingkup hukum internasional.
Dari semua solusi ini, bagi Paus diharapkan ada suatu kesepakatan bersama untuk mengatasi persoalan alam ciptaan, karena segala ciptaan, baik manusia, maupun ciptaan yang lain, adalah ciptaan Allah. Kedudukan mereka di hadapan Allah adalah sama.
Oleh karena itu, sebagai sesama ciptaan, manusia perlu mengembangkan suatu spritualitas sebagai saudara terhadap sesama ciptaan yang lain. Hal inilah yang dikembangkan dalam spritualitas persaudaraan yang universal.
Perubahan cara pandang dan perilaku manusia dalam mencintai alam ciptaan sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia di tengah ciptaan yang lain. Hal yang diharapkan dari perubahan ini adalah manusia dapat menyatakannya dalam tindakan nyata. Salah satu tindakan nyata itu ialah: pengolahan sampah, baik sampah industri, maupun sampah rumah tangga.
Untuk itu, (sebaiknya) menggunakan tas belanja yang ramah lingkungan daripada plastik. Dalam hal belanja kurangilah pembelian barang baru dan gunakanlah barang-barang yang masih bisa dipakai. Masih banyak tindakan nyata yang dapat diwujudkan oleh manusia sebagai bukti bahwa manusia mencintai dan menghargai seluruh ciptaan. (*)
Penulis adalah mahasiswa pascasarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua
Editor: Timo Marten