Suara Pasifik di COP26 minim, kesenjangan iklim tak disuarakan

Dampak dari gelombang pasang tinggi di Majuro, ibu kota Kepulauan Marshall, pada 2014. - Marshall Islands Journal

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Aniruddha Ghosal 

Read More

Saat ini masyarakat Kepulauan Pasifik sedang menghadapi tantangan yang unik, bahkan dalam melakukan perjalanan ke Glasgow di tengah-tengah pandemi. Hal ini membatasi suara mereka dalam konferensi perubahan iklim tahun ini.

Hanya empat negara Kepulauan Pasifik yang akan diwakili oleh para pemimpin mereka dalam acara diskusi perubahan iklim PBB mendatang di Glasgow akibat pembatasan perjalanan terkait pandemi Covid-19. Sebagian besar negara kepulauan terpaksa mengirim tim yang lebih kecil.

Perkembangan ini telah memicu kekhawatiran bahwa suara negara-negara kepulauan ini – yang keberadaannya terancam oleh perubahan iklim padahal mereka hanya menyumbang sebagian kecil dari emisi gas rumah kaca (GRK) dunia – tidak akan terdengar di Konferensi Perubahan Iklim PBB 2021, juga dikenal sebagai COP26, yang dimulai pada hari Minggu ini.

Negara-negara kepulauan kecil ini sangat berjasa penting dalam memastikan bahwa ambang batas pemanasan global yaitu 1,5 °Celcius atau 2,7 °Fahrenheit bisa diadopsi dalam Kesepakatan COP21 Paris pada 2015. Sekarang ilmuwan-ilmuwan mengatakan bahwa pemanasan global dunia telah mencapai hampir 1,1 °C (2 °F), dan sebuah laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ilmu perubahan iklim terbesar di dunia, awal tahun ini mengingatkan kita bahwa kemungkinan besar dunia akan melewati ambang 1,5 °C yang sudah ditetapkan itu lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.

Pertemuan di Glasgow ini mungkin merupakan ‘kesempatan terakhir’ bagi dunia untuk mencoba membatasi pemanasan global hingga batas atas 1,5 °C, itu menurut Frank Bainimarama, Perdana Menteri Fiji. Lautan dunia yang memanas telah menyebabkan pemutihan terumbu karang sementara bencana alam terkait perubahan iklim menjadi lebih sering frekuensinya dan meningkat keparahannya, tambahnya.

“Kedaulatan dan kelangsungan hidup kita dipertaruhkan,” tegasnya.

Hanya Fiji, Papua Nugini, Tuvalu, dan Palau yang akan diwakili langsung oleh kepala-kepala negara mereka pada COP26.

Negara-negara kepulauan kecil lainnya akan diwakili oleh menteri-menteri, pejabat senior dari ibu kota, atau duta besar di Eropa atau AS, itu kata Fatumanva Luteru, kepala kelompok Pacific Small Island Developing States, sekelompok negara Pasifik yang bergabung sebagai satu blok selama negosiasi perubahan iklim ini, dan Duta Besar Samoa untuk PBB.

Mereka yang tinggal di Kepulauan Pasifik menghadapi tantangan yang tersendiri, bahkan jika mereka ingin melakukan perjalanan ke Glasgow. Hanya sedikit penerbangan komersial yang tersedia dan delegasi lokal harus merencanakan penerbangan mereka selambat mungkin untuk meminimalkan waktu yang mereka habiskan di karantina di negara-negara transit, menurut Luteru. Biaya perjalanan juga merupakan salah satu faktor lainnya.

Dengan tutupnya perbatasan, kasus Covid-19 masih relatif rendah di seluruh wilayah Kepulauan Pasifik. Banyak negara yang tidak terpengaruh secara langsung oleh pandemi, tetapi memiliki sistem pelayanan kesehatan yang rapuh dan ada kekhawatiran bahwa seseorang yang kembali dari luar negeri dapat membawa virus ke pulau-pulau itu.

Tagaloa Cooper, Direktur Perubahan Iklim di organisasi regional Pasifik, Secretariat of the Pacific Regional Environment Program (SPREP), menekankan ketakadilan bahwa negara-negara yang paling terkena dampak ekstrem dari perubahan iklim tidak akan hadir di KTT perubahan iklim ini.

“Kita tidak bisa diam begitu saja… Suara kita harus didengarkan,” tegasnya.

Untuk beberapa negara, ambang batas 1,5 °C mungkin terlihat sebagai sebuah target yang ambisius, tetapi untuk negara-negara kepulauan di Pasifik batas itu adalah sebuah ‘kompromi’, karena mereka sendiri sudah mulai menghadapi langsung dampak dari perubahan iklim yang menghancurkan. Jika tidak berhasil membendung pemanasan global di bawah batas tadi, itu bisa berarti negara-negara kepulauan Pasifik akan kehilangan 30% hingga 70% dari perekonomiannya yang berbasis daratan, dan seluruh pulau dapat tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, kata Satyendra Prasad, Duta Besar Fiji untuk PBB.

Dengan absennya sejumlah pemimpin Pasifik dari negosiasi ini, atau dengan hadirnya tim negosiasi yang lebih sedikit anggotanya, berarti tidak akan mungkin bagi negara-negara ini untuk hadir secara langsung di semua pertemuan selama KTT COP26 ini, kata Prasad.

“Partisipasi masyarakat sipil juga akan dibungkam,” Prasad menambahkan, karena “faktor-faktor buruk yang saling terkait dan memburuk ini.”

Pulau-pulau kecil memiliki peran penting yang “tidak proporsional” dalam negosiasi perubahan iklim global karena mereka merupakan komunitas yang paling rentan dan, oleh karenanya, pemimpin-pemimpin mereka memiliki “otoritas moral untuk mendesak agar ada aksi iklim yang lebih signifikan,” karena kegagalan dalam hal ini adalah sebuah ancaman eksistensial bagi negara mereka, tekan Nigel Purvis, yang merupakan negosiator iklim Departemen Luar Negeri AS saat pemerintahan George W. Bush dan Bill Clinton.

“Suara mereka benar-benar penting untuk memastikan ada capaian yang ambisius dalam negosiasi ini,” katanya.

“Kegagalan itu bukan pilihan,” tegas Tina Stege, utusan perubahan iklim dari Kepulauan Marshall di PBB. Menurut Stege, negara-negara perlu mengurangi emisi GRK mereka, meningkatkan pendanaan untuk upaya melawan perubahan iklim, dan memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana negara-negara yang rentan dapat mengakses dana tersebut.

“Pulau-pulau kami, warisan kami, cara hidup kami, semua dipertaruhkan,” tambahnya. (The Diplomat)

Aniruddha Ghosal adalah seorang penulis untuk Associated Press.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply