Oleh: Bernard Koten
Narasi atau kisah tentang ‘hadir’ di depan publik melalui ekspresi seni, untuk menyuarakan ketidakadilan dan ketidakbaikan di Tanah Papua, masih tetap pada jalur yang sama. Masih tetap seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ketika orang Papua dan mereka yang bersolider tentang pergumulan dan ketidakbaikan di Tanah Papua, mereka harus ‘bersua’ dengan tangan besi. Negara Indonesia masih tetap mempertontonkan sikap tidak empati, terhadap kelompok/komunitas masyarakat yang menyuarakan ketidakbaikan di Tanah Papua.
Sederetan kisah pilu pada tahun 2020 tak dilupakan bagi para pejuang keadilan, kebenaran dan HAM di Tanah Papua. Jiwa seni yang mengalir dalam diri bukan lagi miliknya, melainkan milik tangan besi.
Seorang pemuda Papua berinisial GM mencoba melukiskan pergumulan sejarah suku bangsanya dalam motif Bintang Kejora. Ia mau menunjukkan bahwa pergumulan Papua sudah diketahui publik di luar Papua, termasuk pemimpin negara sendiri. Bintang Kejora tersebut dilukiskan pada sebuah topi yang dikenakan oleh Presiden Joko Widodo. Pada 20 Mei 2020, pemuda ini akhirnya ‘dikejar’ dan ditahan dengan alasan bahwa karya seninya melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Detik.com, 20 Mei 2020).
Cerita lain lagi terjadi di Mimika. Dua orang warga di Mimika mengeluarkan pernyataan mengejutkan publik dalam akun media sosialnya (facebook). Menurut mereka, Kapolda Papua Irjen Pol. Paulus Waterpauw bertanggung jawab dan ada di balik pembunuhan warga di Mimika, 13 April 2020. Pada 27 Mei 202, kedua warga yang menyebarkan informasi tersebut ‘dikejar’, ditembak dan ditahan oleh alat negara (Liputan6.com, 29 Mei 2020).
Dua kisah di atas, ditanggapi oleh tokoh Gereja di Tanah Papua, Pdt. Socratez Yoman. Menurut Socratez, penanganan hukum terhadap warga Papua oleh alat negara, sepertinya berbeda dengan warga yang hidup di luar Papua. Warga di luar Papua lebih dihargai martabatnya ketimbang orang Papua. Yoman kemudian dipanggil oleh Polda Papua (Suarapapua.com, 1 Mei 2020).
Pada 16 Juni 2021, dalam sebuah diskusi virtual, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM, mengungkapkan bahwa pada era pemerintahan Joko Widodo sekurang-kurangnya ada 72 kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap para aktivis pembela HAM. Kekerasan ini terjadi karena ada stigmatisasi dari negara terhadap para aktivis sebagai separatis atau pemberontak (CNNIndonesia.com, 17 Juni 2020).
Pada 2 Juli 2020, Jubi menggelar diskusi bertajuk “Understanding Information About the Land of Papua”. Dalam diskusi tersebut Pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia Sade Bimantara menyebut Papua sudah jauh lebih terbuka, daripada yang dituding di berbagai media sosial. Itu berarti negara memberikan akses bagi media asing untuk datang ke Papua.
Antara tahun 2016 – 2020 ada 69 permohonan untuk mengunjungi Papua, 55 diantaranya disetujui, artinya 80 persen disetujui (Jubi.co.id, 2 Juli 2020). Bimantara menjelaskan bahwa proses bagi jurnalis untuk pergi ke Papua telah dipercepat dan media berbasis di Jakarta serta jurnalis-jurnalis asing “bebas pergi kapan pun” dengan syarat memberitahukan kemana mereka pergi.
Pendapat dari Bimantara ini ditanggapi oleh Direktur Pacific Media Centre, Professor David Robie. Menurut Robie, sangat susah bagi jurnalis di Australia, Selandia Baru, dan Pasifik untuk berkunjung dalam rangka tugas ke Papua. Bagi David, jurnalis bebas tanpa ‘pemantauan’ bisa melaporkan isu-isu pembangunan dan tantangannya maupun isu keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Pandemi Covid-19 bukan penghalang bagi warga Papua untuk bersuara akan kecemasannya di tanahnya. Selain menghadapi pandemi ini, mereka juga harus berhadapan dengan situasi ketidakbaikan, persoalan sejarah bangsa dan keberlanjutan Otsus Jilid II. Mereka tetap berupaya menyuarakan pergumulannya di depan publik.
Pada 15 Agustus 2020, warga Papua di Jayapura melakukan aksi menggugat Perjanjian New York, 15 Agustus 1969 dan menolak keberlanjutan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II (Detik.com, 15 Agustus 2020). Aksi tersebut dibubarkan secara paksa oleh kepolisian, karena surat pemberitahuan aksi tidak memenuhi syarat (Suarapapua.com, 23 September 2020).
Tanggal 23 September 2020, masyarakat Papua yang tergabung dalam Front Rakyat Papua melakukan aksi penolakan keberlanjutan Otsus Jilid II. Aksi itu kemudian dibubarkan secara paksa dengan kekerasan oleh TNI/Polri, dan menangkap tujuh orang dalam aksi tersebut.
Lalu pada 27 Oktober 2020, mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) menggelar aksi penolakan keberlanjutan Otsus Papua di Jayapura. Rencana dan harapan untuk menyampaikan aspirasi di luar kampus itu diadang, dipukul bahkan ditembak oleh aparat keamanan gabungan yang bertugas saat itu. Seorang dari massa aksi, Matias Soo tertembak. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Dian Harapan. Yang lainnya, Yabet Lukas Degei dipukul dengan popor senjata hingga kepalanya berdarah. Sedangkan tiga teman mereka sempat ditangkap dan sudah dilepaskan (Jubi.co.id, 28/9/2020, Tirto.id, 29 September 2020, Suara.com, 28 September 2020).
Pada 17 November 2020, warga Papua yang menuntut penentuan nasib sendiri dan menolak Otsus di Amban, Manokwari dan Kota Sorong dibubarkan oleh pihak kepolisian yang dibantu Brimob Polda Papua Barat. Sebanyak 29 orang di Manokwari dan tujuh orang Kota Sorong ditahan dan dimintai keterangan oleh kepolisian (Liputan6.com, 27 November 2020).
Hal menarik yang perlu dicermati dalam usaha “membangun opini” dari pihak kepolisian di Papua adalah “demo tidak diizinkan karena tidak mendapatkan surat izin”. Pernyataan yang hampir selalu disampaikan di media oleh kepolisian ini, sepertinya bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian, yang juga mantan Kapolri. Menurut Tito, demo itu tidak perlu mendapatkan surat izin. Pihak atau kelompok yang melakukan aksi hanya memasukkan surat pemberitahuan. Orang demo cukup memberi tahu, tanpa perlu izin, dan polisi wajib untuk mengamankan (CNNIndonesia.com, 3 November 2020)
Pernyataan Tito juga sejalan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 sudah sangat jelas menjadi pedoman bagi setiap warga menyampaikan pendapatnya di muka umum. Di Tanah Papua, berlaku sangat terbalik.
Suara warga Papua tentang pelanggaran HAM, ketidakadilan hukum, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya, selalu dicap sebagai suara perlawanan terhadap negara. Warga Papua dan aktivis yang bersuara seringkali berhadapan dengan situasi kriminalisasi oleh para pihak yang tidak mau agar suara kebenaran tersebut didengar. Kasus pencemaran nama baik yang dialami oleh aktivis HAM Papua, Theo Hesegem menjadi bukti, bahwa negara terus menutupi keburukannya.
Penanganan demonstrasi di Tanah Papua pun sangat berlebihan. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI, Amiruddin Al Rahab menjelaskan, adanya kondisi penyempitan ruang menyampaikan pendapat atau berekspresi. Kondisi ini dialami oleh masyarakat dan jurnalis. “Tidak selalu institusi kenegaraan tapi kelompok-kelompok di dalam masyarakat bisa juga mempersempit ruang itu. Artinya apa? Tidak membuka ruang berdiskusi atau berdialog lebih jauh tapi lebih banyak menggunakan tangan aparatur hukum untuk mengatasi perbedaan pendapat dengan kelompok yang lain” (Suara.com, 27 Oktober 2020).
Semua kisah di atas merupakan pembungkaman kebebasan berekspresi sepanjang tahun 2020 di Tanah Papua, masih terjadi tahun ini. Apakah kedamaian itu terjadi ketika kita hanya diam melihat ketidakadilan di tanah ini? Apakah boleh dikatakan kedamaian itu ada kalau kita hanya mengiyakan saja apa yang sudah diputuskan oleh penguasa? (*)
Penulis adalah staf SKPKC Fransiskan Papua dan Koordinator Umum Papuan Voices
Editor: Timoteus Marten