Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Immount de Djthem
Indonesia sebagai negara rasialis dan diskriminatif
Buku Surat-surat Gembala dari FKOGP, karya Benny Giyai dkk menyinggung tentang rasisme kolonial Indonesia terhadap pelajar dan mahasiswa West Papua yang kuliah di Indonesia. Sudah lama orang-orang asli Papua disamakan dengan “binatang” dengan ucapan rasis “monyet, kera” oleh orang Indonesia ketika studi di Pulau Jawa. Mereka juga telah mengangkat isu rasisme dari negara yang sama terhadap klub, manajemen, dan pemain asal West Papua. Salah satunya Persipura Jayapura. Saat mereka main tandang, misalnya di Jawa, para suporter di sana sering menghujat pemain, dan manajemen, bahkan melemparkan mereka dengan kulit pisang (makanan monyet).
Kasus rasisme dalam konteks olahraga, secara nyata pecah pada 2017 lalu. Grup Jawa Pos, memuat berita sangat sensasional dan rasis dengan gambar logo Persipura dan Arema Malang. Radar Malang menaruh judul “Kera ini Kandang Singa”. Orang-orang Papua protes ini, tetapi negara tidak bertindak tegas atau menjerat hukum kepada pelaku (reporter, editor dan redaktur).
Saat pemilihan presiden (2014), Natalius Pigai mendapat ujaran rasisme oleh sejumlah oknum masyarakat Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Indonesia mengeluarkan uang pecahan baru untuk sepuluh ribu rupiah. Di dalam gambar itu, terdapat wajah Frans Kaisiepo, pahlawan nasional Indonesia asal Biak, Papua.
Banyak orang dari kubu kolonial Indonesia menolak gambar tersebut. Pigai dan Kaisiepo dihina dan dijatuhkan martabat dan harga diri mereka tanpa sedikit pun mempertimbangkan kontribusi dan nasionalisme mereka terhadap kolonial Indonesia. Kedua tokoh asal Papua ini bakalan disamakan dengan monkey (kera) pula. Meski demikian, negara masih membiarkan pelaku. Tidak pernah berusaha untuk menjerat hukum kepada pelaku rasis.
Kemudian, kasus rasisme yang paling menghebohkan dunia, pecah pada Rabu, 16 Agustus 2019—minus satu hari menjelang HUT ke-74 kemerdekaan RI. Pelaku rasisme (aparat keamanan dan militer bersama RT dan Satpol PP kota Surabaya, Jawa Timur) mengepung asrama mahasiswa Papua, Kamasan III. Aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia bersama ormas milisinya melancarkan ujaran rasisme di sana.
Mereka menyuruh mahasiswa di dalam asrama keluar dan pulang dari negara kolonial Indonesia dengan seragam kenegaraan dan simbolisme kolonial Indonesia (atribut negara kolonial). Tindakan rasisme ini menarik perhatian, bahkan amarah dari kaum budak kolonial Indonesia menjelang pelantikan presiden Jokowi pada Oktober setelah memenangkan pemilihan presiden pada 2019 yang dilakukan secara bersamaan-serentak dengan pemilihan legislatif.
Hampir semua kota di West Papua protes terhadap rasisme kolonial tersebut. Mereka melakukan demonstrasi secara spontan. Banyak ruko dan mal yang dibumihanguskan oleh para demonstran. Pada saat yang sama, banyak orang ditembak mati oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap hingga menjalami proses hukum yang dianggap rasis meski sudah dinyatakan bebas. Semua tahanan politik rasisme kolonial Indonesia kurang lebih ada 63 orang.
Pada saat yang sama kolonial Indonesia menerapkan sistem aneksasi dalam proses hukum makar. Bahkan dengan jelas-jelas menerapkan sebuah diskriminasi politik rasial terhadap orang Papua.
Indonesia perusak lingkungan hidup
“Perusak Lingkungan Hidup & Kemanusiaan juga kebudayaan,” tulis Aji Adhinatha Laksmana melalui Mesangger (Facebook) pada Rabu (1/4/2020). Dia mengatakan West Papua yang identik dengan sumber daya kekayaan alam itu seharusnya mampu membebaskan kaum budak kolonial Indonesia setempat dari kerja-kerja yang sifatnya menindas kaum budak pribumi West Papua.
“Kalau gunung emas di Papua itu menghasilkan emas, seharusnya emas itu sebagai material untuk membuat teknologi alat produksi yang membebaskan manusia di bumi. Bukan hanya di Papua. Seharusnya di situ manusia sudah dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas—dibebaskan dari kerja-kerja yang menindas sesama Manusia.”
Eksploitasi sumber daya alam oleh kolonial Indonesia bersama para kapitalis dan imperialis global, cukup merusak keutuhan alam semesta, ekosistem, lingkungan hidup, dan mencemarkan sumber-sumber air tanpa ampun dan rasa kepedulian sama sekali. Bahkan menghancurkan dan memusnahkan seluruh makhluk hidup yang ada di kawasan pertambangan atau perusahaan apa saja.
Tentu ini tak hanya membuat bumi kepanasan. Tetapi di samping itu, kolonial Indonesia bersama antek-anteknya menghancurkan seluruh tatanan makhluk hidup, meluluhlantakkan struktur sosial masyarakat budak yang berakar pada potensi lingkungan hidup. Banyak orang merasa kehilangan mata pencaharian, seperti berburu, berkebun, dan bernelayan karena negara klaim tanah dengan kekuatan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Pendekatan seperti ini tak hanya membuat masyarakat budak pemilik tanah adat ketakutan, tetapi juga membunuh psikologi masyarakat sipil yang menolak dan melawan. Banyak orang West Papua menjadi korban akibat kehadiran perusahaan yang dibekingi oleh kekuatan tangan besi. Hal ini bisa dilihat dari perusahaan kelapa sawit, pertambangan, batu bara, dan lain sebagainya di tanah koloni ini.
Indonesia sebagai negara “penyebar hoaks”
Semua orang sudah melihat perlakuan melawan hukumnya sendiri, hukum Tuhan dan prinsip dasar yang tertuang dalam berbagai macam kovenan internasional. Lalu bersaksi dusta tentang pelanggaran HAM berat dan pembatasan ruang demokrasi Papua di hadapan media massa dan diatas mimbar PBB. Sudah jelas berujar rasis pada 16 Agustus 2019 terhadap mahasiswa Papua di asrama Kamasan III, Surabaya, Indonesia; sudah jelas melakukan operasi militer di Nduga yang mengakibat sekitar 10000 jiwa/warga sipil mengungsi di hutan-hutan hingga daerah tetangga dan masih banyak contoh kasus penyangkalan lainnya. Baru bilang semua itu tidak benar? Katanya kasus rasisme di Surabaya itu bukan rasis. Sedangkan orang Papua yang memprotes kasus rasisme itu dicap atau disebut orang atau kelompok yang termakan isu hoax hingga menyebut mereka penyebar hoax. Kemudian mengaburkan gerakan penegakan demokrasi (demonstran) itu dengan label anarkis, bentrok dan kerusuhan (vandalistik).
Sementara operasi militer di Nduga dikatakan bukan operasi militer. Tapi bilang TNI/Polri melakukan penegakan hukum. Dimana bedanya antara operasi militer dan TNI/Polri melakukan penegakan hukum? Lalu seluruh pelanggaran HAM berat disebut bukan pelanggaran HAM berat. Tetapi pelanggaran ringan.
Pembohongan publik seperti ini tumbuh dan berkembang pesat atas nama keutuhan atau “NKRI harga mati” di Papua. Kebenaran dipermainkan seperti boneka. Data ditutupi dengan kata. Fakta dibungkus dengan omong kosong. Kenyataan diinternalisasi dengan senjata, perempuan, uang, jabatan, dan kekuasaan. Tak ada dosa apabila kolonial Indonesia disebut 100% Penyebar Hoax.
Roberta Agumuyai Muyapa, seorang aktivis, perempuan yang anti feminism, dan inisiator Solidaritas Pasar Mama-Mama West Papua di Nabire, menyebut kolonial Indonesia memanfaatkan teknologi dan media massa untuk membangun kesadaran palsu. Kesadaran masyarakat, khususnya kaum budak marginal di mata kolonial Indonesia pun ikut dialienasi.
“Dia (kolonial Indonesia) bangun kesadaran palsu melalui alat media dll. Jadi gaya berpikir dan kesadaran kita juga dialienasi. Bahkan segala bentuk yang berkaitan dengan kesadaran kaum perempuan pun ikut dibungkam (secara sistematis melalui penyebaran Hoax pula),” tulisnya, Jumat (15/5/2020).
Indonesia sebagai negara neoliberalisme
Kolonial Indonesia boleh dikatakan juga Negara neoliberalisme, karena menjalankan monopoli kapitalisme. Membentuk sistem pasar dan menjalankan berbagai fungsi. Misalnya, presiden bisa punya perusahan pribadi, atau parpolnya. Bahkan aparat atau jenderal aktif bisa punya perusahaan dimana-mana. Makanya, tak heran jika di Indonesia marak dengan adanya penolakan dwifungsi militer. Bukan tidak lain. Ini merupakan wajah negara yang erat kaitannya dengan neoliberalisme.
Indonesia sebagai negara feodalis
Di samping itu, kolonial Indonesia juga bisa disebut negara feodalis, karena masih mempunyai beberapa kerajaan di Indonesia yang aktif dan masih diwariskan hingga saat ini di dalam sistem birokrasi pemerintahan sekalipun. Misalnya, Kraton Jogja, Kraton Surakarta, dst. Raja di sana menjalankan sistem feodal dengan mengklaim tanah-tanah milik masyarakat dengan hanya menjadikan hak milik pakai.
Bukan hak milik pakai berdasarkan basis komunitas masyarakat. Artinya, suatu waktu ketika ada perusahan hotel, mall, dst, raja bisa mengambil kembali dan meminggirkan masyarakat dan berikan kepada pihak perusahan. Akhirnya masyarakat terpinggirkan dan terbentuk banyak perlawanan disana sini. Tetapi sistem feodal ini tidak penuh feodal. Barangkali setengah feodal, dan setengah kapitalis.
Indonesia sebagai negara oligarki
Pada rezim Jokowi sangat terasa. Sistem birokrasi kolonial Indonesia itu tidak murni menjalankan sistem pemerintahan yang bersih hukum dan murni demokratis. Pemerintah saat ini lebih dikendalikan oleh militer kolonial Indonesia. Lihat saja Luhut Panjaitan, Wiranto, Moeldoko, Prabowo, Tito Karnavian, dan lainnya. Semua instansi yang penting dikuasai oleh aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia.
Jokowi menjadi seperti “o harokmaman”, dalam bahasa Hugula itu kayu harokmaman. Pohon ini bisa tumbuh. Suka kesana-kemari. Selalu mengikuti arus angin. Artinya, ikut-ikutan—ikut ramai. Begitulah wajah kepemimpinan Jokowi saat ini. Dia presiden memang, tapi nampak presidennya Megawati atau para jenderal berbintang di atas. Mereka yang kuasai dan kendalikan. Ini juga merupakan wajah sistem birokrasi yang penuh dengan oligarki.
Indonesia sebagai negara kapitalis
Sejarah kapitalisme di dunia erat kaitannya kepentingan ekonomi. Sejarah masa lalu maupun orientasi kebijakan pembangunan hari ini jelas. Semua mengandung kepentingan ekonomi di Papua. MoU Freeport (7 April 1967), Pepera, termasuk, KMB, penyerahan Tanah Papua (1 Mei 1963), New York Agreement, Roma Agreement itu sarat kepentingan ekonomi.
Salah satunya adalah program kerja sama antara kolonial pertama di Papua, Belanda dengan orang Papua yang mendorong gerakan kebangkitan ekonomi rakyat Papua melalui Irian Jaya Joint Development Foundation (JDF, 1970-an). Program ini dihancurkan oleh kolonial Indonesia pada 1980 karena takut dan tidak mau melihat orang Papua sejahtera dan makmur.
Sekarang kolonial Indonesia mengarahkan fokus kebijakan di Papua pada sektor pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan trans, jalan kereta, jembatan, pelabuhan, bandar udara, gedung, masjid/pesantren (gerakan islamisasi) dan lainnya. Pembangunan fisik tersebut sarat kepentingan ekonomi bagi pengusaha, kaum miskin dan penganggur asing (non Papua).
Dalam praktik sejarah masa lalu maupun fokus kebijakan pembangunan hari ini jelas. Indonesia memperjelas dirinya dengan pendekatan sebagai sebuah negara kapitalis. Dengan demikian jelas. Bahwa Indonesia adalah 100% kapitalis di dunia. Status ini diperkuat dengan praktek eksploitasi SDA Papua dari 1967 hingga pada detik saat ini. Berikut ini adalah menurut Mikael Kudiai.
Indonesia dalam konteks negara boleh dikatakan sebagai kapitalis. Karena melakukan praktek penghisapan melalui perusahan-perusahan yang dikelola oleh BUMN dan BUMD. Misalnya, perusahaan PLN, PDAM, pasar mama-mama di Jayapura, Telkom, dan semua perusahan yang dikelola BUMN dengan mewajibkan rakyat harus bayar mahal untuk menghidupi kebutuhan dasar manusia di West Papua.
Akhirnya rakyat, terutama buruh, mama-mama pasar, tani, dan masyarakat kelas bawah lainnya, yang upahnya pas-pasan agak susah untuk membayarnya sesuai permintaan perusahaan oleh negara. Selain kolonial Indonesia dalam konteks negara, di Indonesia juga banyak kapitalis-kapitalis nasional, seperti Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Prabowo, Luhut, dst, atau Yoris Waweyai yang punya perusahan di Kalimantan. Ini kapitalis-kapitalis asal Indonesia atau biasa disebut kapitalis nasional.
Mereka dikatakan kapitalis karena selain menjadi penguasa, pemodal dan pengendali sistem kapitalisme di dalam sistem birokrasi—eksekutif, yudikatif dan legislatif, mereka juga punya perusahan dimana-mana. Dengan mengerjakan ratusan buruh dengan upah yang tidak sesuai dengan undang-undang perburuhan nasional. Misalnya, jam kerja yang tidak sesuai undang-undang, upah kecil yang tidak sesuai undang-undang, tidak ada cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, dan lain sebagainya.
Ada juga kapitalis seperti Freeport. Freeport itu multi kapitalis karena di dalam ada sekitar 3 ratusan perusahaan yang kuras tambang. Mulai dari underground, listrik, mobil berat, tabung udara bawa tanah, dst. Asal Indonesia hanya ada satu perusahaaa, kalau tidak salah itu PT. Pangansari milik Aburizal Bakhir di Kediri, tempat produksi makanan buat buruh di Freeport.
Indonesia menuju negara imperialis
Pada abad ke-19, imperialis Inggris yang memimpin klasemen imperialisme dunia. Pasca perang dunia II, urutan pertama diduduki oleh imperialis Amerika Serikat, setelah imperialis Inggris tumbang. Hingga hari Amerika Serikat masih memimpin imperialisme dunia diatas saingan musuh abadinya, antara China, Jepang, dan Rusia.
Di kawasan Asia Indonesia dengan perkembangan dan kemajuan di sektor pembangunan industri, teknologi, infrastruktur fisik, dan lainnya memasuki dalam konteks persaingan imperialisme global. Hari ini nampak mengantongi status ± 20 – 50% imperialis. Dalam rentan waktu 30-50 tahun mendatang, kolonial Indonesia bisa menjadi 100% imperialis.
Tetapi ini berbeda dengan pandangan Yason Ngelia, aktivitas nasionalis dari Gerakan Mahasiswa dan Rakyat (GempaR Papua). Dia mengatakan, “kalau kolonial Indonesia sebagai negara imperialis, saya pikir mungkin akan ada perdebatan. Karena Indonesia tidak memiliki syarat sebagai negara imperialis sesuai definisi (historis). Justru Indonesia adalah negara yang menurut saya korban imperialis global”.
Menarik itu, menurut lelaki berambut gondrong ini ”sistem kesatuan RI yang mengklaim bangsa-bangsa Nusantara tidak bisa dibilang sebagai praktik imperialis karena diikat dalam sejarah perjuangan. Yang bikin Indonesia besar di mata dunia itu menurut saya karena politik internasional, bebas aktif. Sehingga dia bisa berada di mana saja selama untuk kepentingan oligarki nasional.”
Ketika ditanya, apakah Anda punya prediksi atau tidak? Perihal jika kolonial Indonesia disebut sebagai negara imperialis di kawasan Asia Pasifik dan 100 tahun ke depan di dunia? Dia katakana, “saya pikir susah melihat Indonesia menjadi negara besar. Karena saya melihat Indonesia justru sebaliknya—sedang menuju kehancuran dari dalam, dengan intoleransi, terorisme, disintegrasi bangsa, dan krisis. Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan Cina dan Amerika, bahkan Australia sekalipun.” Selesai. (*)
Penulis adalah warga Papua, tinggal di Kota Jayapura
Editor: Timoteus Marten