Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Immount de Djthem
Kolonial Indonesia mempunyai garis sejarah yang cukup panjang perihal demokrasi dan hukum. Demokrasi dan hukum menjadi sebuah filosofi ataupun dasar negara itu. Pancasila dan UUD 1945, setidaknya berakar pada dua konteks dasar negara ini. Tak heran, apabila pada tingkat waktu tertentu menyebut dirinya—negarawan di negara itu mengagungkan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Katanya, Indonesia adalah negara dengan paham demokrasi terbesar ketiga di dunia dan disebut-sebut sebagai negara hukum. Menurut mereka, demokrasi dan hukum sangat menjamin toleransi di negara kepulauan dengan ragam suku, bangsa, budaya, wilayah, leluhur, dan lain sebagainya itu. Sampai percaya diri, pemimpin di negara itu mengatakan bahwa negara ini menjamin ruang ekspresi, ruang demokrasi, HAM, tidak rasis, dan diskriminatif.
Indonesia mengklaim tidak pernah menjadi penjajah bagi Timor Leste, dan hingga saat ini bukan lagi menjadi penjajah bagi Aceh, RMS, West Papua, Borneo, Bali, Minahasa, Pasundan, Sangir dan Talaud, serta Riau, yang pernah membentuk badan negara hingga lambang nasional—yang akhirnya dibubarkan oleh kolonial Indonesia sendiri melalui rentetan operasi militer dengan misi menjadikan wilayah-wilayah koloni itu dimasukan ke dalam bingkai NKRI.
Sejak wilayah tersebut dicaplok ke Indonesia, Bali, Minahasa, Pasundan, Sangir dan Talaud, serta Riau tidak nampak lagi. Kaum budak di negara-negara kecil yang pernah ada itu tenggelam langsung dalam kendali kekuasaan kolonial Indonesia. Namun yang nampak menolak dan melawan kolonial Indonesia hanya West Papua, RMS, dan Aceh.
Dalam perjalanan waktu, ketiga daerah ini mengalami banyak hal. Pengalaman dan kenyataan itu sering membuat mereka mengambil kesimpulan yang nantinya boleh juga disebut kesimpulan empiris historis atas perlakuan perlakuan kolonial Indonesia terhadap mereka.
Karya ini merupakan sebuah catatan kecil yang mengupas tentang status Indonesia di West Papua dalam perspektif jurnalis, aktivis nasionalis yang progresif, pemerhati lingkungan hidup, pemerhati HAM, tokoh gereja, dan masyarakat. Tulisan ini merupakan studi kecil-kecilan yang berbasis pada pendekatan observasi, wawancara, dan percakapan singkat melalui media massa.
Lemahnya, di sini tidak memuat sejarah masalah dan teori-teori yang berkaitan dengan tema-tema yang terterah di bawah ini. Namun ini tidak kalah menarik, karena karya ini merupakan hasil riset sederhana selama melalui buku-buku, majalah, jurnal, pengamatan langsung, dan interview dalam rentan waktu kurang lebih 9 tahun (2012-2020).
Ini akan semakin menarik lagi karena mengutip pendapat para aktor dan orang-orang yang mengalami langsung perlakuan kolonial Indonesia. Kutipan pernyataan mereka akan menggambarkan wajah demokrasi dan hukum (antara keadilan dan ketidakadilan) yang sebenarnya sulit terbantahkan.
Kaum budak West Papua, bahkan orang-orang dari kalangan Indonesia sendiri, sejak daerah koloni itu dianeksasikan pada 1 Mei 1963 melalui UNTEA—kemudian legitimasi aneksasi itu melalui PEPERA 1969, meyakini bahwa Indonesia memang kolonial, negara kekerasan, musuh demokrasi, pelanggaran HAM, penyebar hoaks, kapitalis dunia, perusak lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Indonesia sebagai kolonial
Indonesia itu kolonial. Penjajah. Penindas. Pembudak bagi orang West Papua. Label itu beranjak dari dalam dasar pemikiran, hati, perasaan, kehendak, niat, kemauan, ikhtiar, tujuan, dan kepentingannya. Kemudian hal tersebut tergambar dalam praktek penjajahan, penindasan, dan perbudakannya di Papua. Status itu berlaku sebelum merebut Papua dengan cara aneksasi.
Sejak awal Soekarno melihat Papua dengan kacamata aneksasi. Kemudian merebut dan mendudukinya dengan cara-cara kolonial. Hal demikian diperhitungkan dalam sejarah KMB, 1 Mei 1963, New York Agreement, Roma Agreement, pasca Pepera 1969 yang penuh dengan peran kekuatan militer (operasi militer).
Menurut keyakinan orang Papua, setelah membuka lahan koloni barunya bersama Amerika Serikat dan Belanda, menduduki dan menguasai secara ilegal. Dia memperjelas statusnya sebagai kolonial, penjajah, penindas, dan pembudak di Tanah Papua, dengan menghancurkan dan menghilangkan sejarah, budaya, bahasa, dan basis pendidikan.
Benny dalam “Konsep Alienasi Manusia Menurut Karl Marx” menulis bahwa status Indonesia di Papua bisa dilihat dari keberadaan dan praktik kolonialisme. Indonesia sedang menduduki West Papua (koloni) dan merampas hak milik dan hak hidup orang Papua (kapitalisasi). Apa yang menjadi Indikator Indonesia menjajah Papua? Indonesia mencetuskan Trikora. Indonesia melakukan mobilisasi pasukan, merebut wilayah, mengirim penduduk (transmigrasi), dan mempraktikkan semua yang dia mau di Papua. Ia memberi nama-nama tempat, menghilangkan nama asli, menempatkan penduduk mempraktikkan semua aturannya di antara penduduk asli, memaksakan dengan satu kekuatan asing atau hukumnya untuk ikut (kemauannya).
Contoh konkret mobilisasi ini berkaitan dengan transmigrasi di Papua. Lihat daerah transmigrasi di Kabupaten Jayapura (Genyem), Keerom, Merauke, Nabire, dan Manokwari. Soal perubahan nama tempat atau jalan (kolonisasi) itu, misalnya Cartenz/Tembagapura (Nemangkawi), pegunungan Jayawijaya/Trikora (Irimuliak/Hiriakup), stadion Mandala, lapangan Trikora, Taman Yos Sudarso, Tugu PEPERA, jalan Ahmad Yani, Soekarno, Thamrin, Sudirman, Sulawesi, dlsb.
Cara-cara tersebut merupakan ciri khas dari sebuah negara penjajah, penindas, dan pembudak bagi suatu suku atau bangsa pada suatu wilayah tertentu. Dalam sejarah masa silam maupun realitas hari ini telah memperlihatkan ini. Bahkan setelah memperluas daerah koloni melalui kebijakan DOB di West Papua, kolonial Indonesia terus melakukan perubahan sana sini, termasuk mengendalikan sistem pendidikan berpola asrama (agama/gereja).
Indonesia sebagai negara pelaku kekerasan
Jumlah penduduk asli West Papua pada 1969 berdasarkan dokumen-dokumen pemerintah kolonial Belanda tercatat kurang lebih delapan ratus ribu jiwa. Hal tersebut disampaikan Yan Christian Warinussy, advokat dan pengacara HAM yang berbasis di Manokwari, Papua Barat, 1 April 2020 melalui pesan WhatsApp. “Yang bapa tahu, bahwa di masa pemerintahan Netherland Nieuw Guinea, dahulu penduduk OAP baru berjumlah sekitar 800-an ribu jiwa. Belum mencapai angka 1 juta. Makanya itu kalau waktu Pepera atau act of free choice 1969 diambil hanya 1.025 orang sebagai ‘wakil’ dari sejumlah daerah. Tidak melibatkan semua orang Papua. Pertanyaannya: apakah setiap orang mewakili berapa jiwa dari 800-an ribu jiwa OAP saat itu?”
Per 2018, di tangan kolonial Indonesia, populasi orang Papua terdata sekitar 2 juta. Ini data bersumber dari BPS Provinsi Papua dan Papua Barat. Lalu pertanyaannya adalah dimana 600 ribu orang West Papua lainnya? Mereka melarikan (menyelamatkan) diri ke PNG, Australia, Belanda?
Mengapa mereka melarikan (menyelamatkan) diri ke sana? Karena militer kolonial Indonesia mengancam, meneror, mengintidasi, dan mengejar mereka untuk menangkap, menculik, menyiksa, memukul, memperkosa, menembak, penikaman, membunuh, mencabut, dan lain sebagainya. Lainnya meninggal karena sakit biasa, seperti malaria, dlsb.
Tapi sebagian besar tewas akibat tindak kekerasan aparat keamanan dan militer kolonial Indonesia. Sebagian lagi meninggal dunia akibat kekerasan nonfisik (keracunan) melalui makanan, minuman (air), perempuan/laki-laki, uang, kebijakan (otsus, raskin, UP4B, Pemekaran DOB, jalan trans dll), miras, obat-obatan di rumah sakit, hotel, warung, dlsb. Sebagai rujukan, bisa lihat ragam laporan pelanggaran HAM dari buku-buku memori passionis, berita di media massa, dan lain sebagainya.
Selain itu, ada juga kekerasan politik dalam bentuk operasi militer maupun operasi biasa, baik sejarah fisik maupun non fisik yang melibatkan TNI-Polri, maupun milisi sipil di berbagai tempat tersebut sangat jelas. Macam-macam kekerasan itu menunjukkan betapa benarnya kolonial Indonesia melakukan kekerasan. Hal itu diperkuat dengan pembukaan pos-pos dan pendropan pasukan yang berlebihan di seluruh kabupaten/kota (DOB).
Meki Mulait, imam projo Keuskupan Jayapura, dalam tesisnya ”Menjadi Gereja Keuskupan Jayapura Yang Berdaya Transformatif di Tengah Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Papua” menyebutkan bahwa, setidaknya ada 12 kali operasi militer di Papua. Jumlah ini tergolong dari 1989 hingga 2005. Isinya merujuk pada laporan dari Otmar Oehring (upaya lintas agama demi perdamaian Papua Barat, lembaga misi Katolik internasional, 2006). “Konteksnya: mau memperlihatkan atau mempertegas bahwa baik sebelum maupun sesudah cabut DOM pelanggaran HAM Papua yang berat maupun ringan tetap saja sama, tidak ada perubahan. Sehingga catatan selanjutnya disinggung jg pelanggaran HAM berat setelah tahun 2005, meskipun secara kronologi waktu tidak begitu tegas karena di bawah tahun 2005 dan sesudah tahun 1989 tindakan DOM masih diberlakukan. Secara de jure dicabut tetapi de facto-nya masih diberlakukan. Mungkin nuansa politis pada masa ini cukup tinggi karena masa peralihan,” katanya, Jumat (15/5/2020).
Jumlah operasi militer ini tidak termasuk pada 1960-an hingga 1987. Tetapi yang jelas operasi militer di West Papua itu diberlakukan semenjak operasi militer “Trikora” diberlakukan oleh Soekarno pada 19 Desember 1961 di Jakarta hingga tahun 2000. Belum termasuk motif operasi militer baru pada dewasa ini, tahun 2006 hingga saat ini, yang menurut pemerintah kolonial Indonesia bersama aparat keamanan dan militernya adalah operasi penegakan hukum.
Operasi militer baru ini, atau operasi militer atas nama penegakan hukum ini bisa lihat sekarang di areal PT Freeport Indonesia, Kabupaten Timika, Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, dan Maybrat di masa ancaman Covid-19. Banyak orang meninggal akibat operasi militer model baru ini. Ini juga tidak hanya menunjukkan kolonial Indonesia sebagai negara berbasis militerisme. Tapi juga sekaligus digambarkan sebagai negara kekerasan.
Kolonial Indonesia juga boleh disebut sebagai negara militeristik, karena aktif melakukan praktek militerisme dalam semua sendi kehidupan manusia., termasuk para kapitalis yang aktif membayar dana keamanan dengan jumlah besar untuk menjaga aset-aset mereka di perusahaan-perusahaannya. Bahkan di dalam sistem birokrasi kolonial Indonesia sekalipun, semua institusi negara yang strategis dan berbasis sipil sekalipun, aparat keamanan dan militer aktif serta pensiunan yang berkuasa.
Keberadaan para jenderal berbintang ini menunjukkan wajah pemerintahan kolonial yang militeristik. Maraknya, pendropan pasukan yang berlebihan hingga kekerasan dan kejahatan politik yang berujung pada pelanggaran HAM di West Papua, semakin meyakinkan dunia bahwa Indonesia itu memang negara militeristik (militerisme).
Indonesia sebagai musuh demokrasi
Kekerasan tak hanya berlaku bagi tubuh, darah dan nyawa orang Papua. Tetapi wujud dari teror, intimidasi, penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemukulan, penembakan, penikaman, pembunuhan, kecelakaan (tabrak lari), pelanggaran HAM, dan genosida menjadi musuh utama dalam sendi-sendi demokrasi di West Papua.
Kolonial Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai negara dengan paham demokrasi terbesar di dunia. Namun pendayagunaan kekerasan tanpa ampun pada prinsip takut akan Tuhan serta pada nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bermaha esa, bermaha adil, dan bermaha damai hanya membuat dunia bertanya pada eksistensi demokrasi kolonial Indonesia. Hal ini bisa dipelajari dari berbagai kekerasan, penegakan ruang ekspresi, dan demokrasi di tanah koloni modern itu.
Di West Papua, kolonial Indonesia menutupi ruang gerak dan tempat-tempat ekspresi orang West Papua sagat rapat dan keras. Pada saat yang sama, dia mengunci semua jalan masuk bagi jurnalis asing, peneliti, pegiat HAM, dan sekalipun pelapor khusus PBB memperlambat proses kunjungannya dengan alasan administrasi, keamanan dlsb.
Pembatasan ruang gerak dan tempat-tempat ekspresi orang West Papua ini, tak hanya memperlemah, menodai, dan menjadi negara beranti demokrasi dunia. Tapi juga memperjelas status kolonial Indonesia sendiri. Bahwa dia bukan semata-mata negara demokrasi di dunia yang besar.
Wajah demokrasi di Papua justru mencerminkan Indonesia sebagai musuh demokrasi di dunia, sehingga eksistensi Indonesia sebagai Negara demokrasi patut dipertanyakan.
Indonesia sebagai negara pelanggar HAM berat
Sejak 1960 operasi militer di Papua terus terjadi, baik secara fisik, maupun nonfisik. Operasi militer secara fisik berupa tindak kekerasan dan kejahatan (penangkapan, penculikan, penyiksaan, pemukulan, penembakan, penikaman, pembunuhan, kecelakaan tabrak lari). Misalnya, operasi militer di Nduga, Wamena Berdarah I, II, dan III, Biak Berdarah,dlsb.
Sementara itu, yang dimaksud dengan operasi militer non fisik berupa, teror, intimidasi, persekusi, ujaran rasis (monyet, kete, kera dll), pengepungan, membangun stigmatisasi (separatis, GPK, KKB, KKSB, primitif, bodok, kanibal dll) dan masih banyak lagi.
Misalnya teror terhadap aktivis nasionalis dan mahasiswa sahabat demokrasi, masyarakat sipil dan pendeta/pastor pro perdamaian, keadilan, dan keutuhan manusia beserta alam semestanya. Tak cerita operasi militer di atas bebas pelanggaran HAM. Semua itu bertentangan dengan keutuhan manusia. Maka pantas disebut Indonesia 100% Pelanggaran HAM Berat. Bersambung. (*)
Penulis adalah warga Papua, tinggal di Jayapura
Editor: Timoteus Marten