Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
SITUS Gereja Tua Asei Besar, Yomokho, Tugu Mc. Arthur, Situs Tangki BBM Depapre, dan Situs Megalitik Tutari merupakan situs-situs budaya yang sudah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dan dikelola Dinas Kebudayaan Provinsi Papua.
Lima situs itu berada di Kabupaten Jayapura. Situs Yomokho di Kampung Asei, Distrik Sentani Timur dan Situs Tutari di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibhu, merupakan situs arkeologi dan menjadi obYek penelitian para arkeolog Papua dan dunia.
Bumi Khenambay Umbay masih punya 60 situs lainnya, yang sedang disurvei dan diteliti Balai Arkeologi Papua bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayapura.
"Sebanyak 60 situs itu berada di Kampung Ayapo, Babrongko, Atamali, Ifar Besar, Sereh, Tablasupa dan Kampung Yansu di Genyem," kata Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Jayapura, Elvis Kabey, kepada Jubi, di Jayapura, Sabtu, 3 November 2018.
Balai Arkeologi Papua menemukan pecahan gerabah dalam survei permukaan tanah di sektor keempat Situs Megalitik Tutari.
Berdasarkan pengamatan arkeolog tersebut, pecahan gerabah Tutari berdinding tebal, dan diperkirakan bentuk utuhnya untuk menyimpan air.
Dari temuan gerabah di permukaan tanah ini, Balai Arkeologi Papua melakukan ekskavasi (penggalian). Ekskavasi merupakan metode ilmiah untuk memperoleh data arkeologi dalam konteks aslinya.
Hasil ekskavasi menunjukkan, pecahan gerabah hanya ditemukan di lapisan tanah bagian atas saja. Tidak ada temuan lain selain gerabah.
Dengan demikian, Situs Megalitik Tutari berkaitan dengan religi atau pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Gerabah yang ditemukan di Situs Tutari merupakan tempayan. Kondisi bukit Tutari yang kering, menjadikan manusia prasejarah menggunakan tempayan untuk menyimpan air. Diperkirakan tempayan ini berkaitan dengan kegiatan religi.
Kini gerabah masih diproduksi di Kampung Abar. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) adalah cara untuk mengetahui asal-usul gerabah di Situs Megalitik Tutari, apakah berasal dari Kampung Abar atau bukan.
Analisis XRD Balai Arkeologi Papua yang bekerja sama dengan laboratorium FMIPA Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, dilakukan untuk mengetahui apakah unsur mineral yang terkandung dalam gerabah Tutari dengan gerabah Abar memiliki kesamaan.
"Hasil analisis XRD menunjukkan unsur mineral dalam gerabah Tutari dengan gerabah Abar berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa gerabah Tutari pada masa lalu bukan berasal dari Kampung Abar," ujar peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto.
Apakah gerabah Tutari didatangkan dari luar Danau Sentani atau manusia prasejarah di Situs Megalitik Tutari mampu membuat gerabah sendiri? Ini masih dilakukan penelitian. Letak hunian prasejarah manusia Situs Tutari juga belum ditemukan.
Situs Megalitik Tutari sangat menarik untuk diteliti. Balai Arkeologi Papua tahun 2019 melanjutkan penelitian di situs itu dan kawasan Danau Sentani bagian barat.
"Penelitian ini akan memfokuskan mencari lokasi hunian prasejarah," kata Kepala Balai Arkeologi Papua, Gusti Made Sudarmika.
Made mengakui masih terkendala dengan perlengkapan menyelam. Padahal eksplorasi di perairan sekitar Kampung Doyo Lama berhasil ditemukan tiang-tiang rumah dalam air. Diperkirakan di dalam air juga terdapat tinggalan arkeologi lainnya.
Dinas Kebudayaan Provinsi Papua bahkan dikabarkan akan bekerja sama dengan Balai Arkeologi Papua untuk melanjutkan penelitian di Situs Tutari.
Dalam diskusi dengan Balai Arkeologi Papua, Kamis lalu, Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, Elna F. Rumsawir, mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan Situs Tutari.
"Saat ini gambar-gambar prasejarah di Situs Megalitik Tutari sebagian tidak kelihatan lagi, tertutup oleh lumut sehingga perlu dikonservasi."
Namun, ketika dikonfirmasi Jubi, Kamis lalu, beliau belum memberikan komentarnya.
Situs Tutari dan peninggalan budaya Jayapura dan Papua lainnya bakal menjadi obyek wisata andalan Jayapura selain pesona alamnya.
Chieh-Ching Toen (2003) dalam "The Role of Museum Cluster in The Cultiral Tourism Industry" yang dikutip Komang (2016:170) menuliskan hasil studi "Travel Industry Association and Smithsonian Magazine" pada tahun 2003.
Hasil studi itu menyebutkan wisatawan yang mengunjungi situs sejarah dan atraksi budaya umumnya berpendidikan lebih tinggi, tinggal lebih lama, dan membelanjakan uangnya lebih banyak dibandingkan jenis wisatawan lainnya.
Ni Komang Ayu Astiti (2016) dalam artikelnya "Mengoptimalkan Sumber Daya Arkeologi Sebagai Daya Tarik Wisata untuk Ketahanan Budaya", yang diterbitkan Jurnal Arkeologi Papua (2016:170) menyebutkan Papua memiliki warisan budaya bendawi–tinggalan kuno dari masa prasejarah sampai masa perang Pasifik–yang sangat unik, serta situs-situs perkampungan kuno dengan tradisi berupa adat-istiadat dan kegiatan budaya.
"Potensi ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena kekhasannya jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain tentunya sangat terkait dengan bagaimana sumberdaya budaya itu dikembangkan dan disajikan," tulis Ni Komang.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu mempertahankan keaslian dan kontekstualisasi sumberdaya arkeologi. Sumber daya arkeologi Papua sangat multikultural sehingga menjadi modal besar dalam mengembangkan industri pariwisata. (*)