Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura pada Rabu (6/11/2019) mulai menyidangkan kasus dugaan tindak pidana kekerasan perusakan terkait amuk massa yang terjadi di Jayapura, Papua, pada 29 Agustus 2019 lalu. Penasehat hukum menyatakan akan mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut hukum kepada empat terdakwa dalam perkara itu.
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Maria Magdalena Sitanggang bersama dua hakim anggota, Muliyawan dan Abdul Gafur Bungin itu dimulai pukul 13.00 WP. Jaksa penuntut umum Adrianus Y Tomana mengajukan empat orang terdakwa yang diadili dalam perkara yang terpisah.
Sejumlah tiga dari keempat terdakwa yang diajukan ke persidangan Rabu itu adalah mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) di Jayapura. Mereka adalah Dorti Kawena (mahasiswa baru Uncen, berasal dari Mamberamo Raya ditangkap 30 Agustus 2019), Yali Loho (mahasiswa semester 8 Uncen), dan Pandra Wenda (mahasiswa semester 3 Uncen).
Dalam sidang pertama, Dorti Kawena yang baru berusia 18 tahun didakwa sengaja menghacurkan barang atau melakukan kekerasan mengakibatkan luka, sebagaimana diatur Pasal 170 ayat (2) angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kawena juga didakwa secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Jaksa mendalilkan Kawena bersama massa melakukan perusakan di sepanjang jalan dari Kotaraja hingga Kantor Gubernur di Dok II. Jaksa mendakwa perusakan itu dilakuan dengan cara melempar batu.
Dakwaan serupa juga dikenakan kepada Pandra Wenda (19 tahun), yang dihadirkan pada sidang ketiga Rabu itu. Mirip dengan dakwaan kepada Kawena, Pandra Wenda juga didakwa bersama massa melakukan perusakan di sepanjang jalan dari Kotaraja hingga Kantor Gubernur Dok II. Seperti Kawena, Wenda juga didakwa dengan Pasal 170 ayat (2) angka 1 dan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Dalam sidang kedua Rabu, jaksa menghadirkan Yali Loho (22 tahun) yang dituduh sebagai pembakar Kantor Majelis Rakyat Papua. Jaksa mendakwa Loho melakukan pembakaran yang membahayakan barang umum, sebagaimana diatur Pasal 187 ayat (1) KUHP. Loho juga didakwa secara terang-terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Terdakwa keempat yang didakwa pada Rabu adalah Wilem Walilo, seorang aparatur sipil negara. Wilem Walilo ditangkap pada 30 Agustus 2019, karena membawa badik yang disisipkan dipinggangnya. Saat ditangkap, warga Dok V Bawah itu sedang dalam perjalanan dari APO untuk memberi makan ternak babi.
Saat melintas di depan Kantor Gubernur Papua, Walilo berpapasan dengan massa mahasiswa, sehingga ia mengurungkan niatnya. Walilo akhirnya mengendarai motornya menuju Dok V Atas, mengambil jalan memutar menuju ke APO. Dalam perjalanan, Walilo ditangkap polisi, karena kedapatan membawa senjata tajam. Jaksa mendakwa Walilo melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1951.
Keempat terdakwa itu didampingi para penasehat hukum dari Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia versi Luhut MP Pangaribuan dan Lembaga Bantuan Hukum Gabah Papua. Selaku penasehat hukum para terdakwa, advokat Sugeng Teguh Santoso menyatakan akan mengajukan eksepsi atas empat dakwaan itu.
“Dalam pembelaan kasus ini, kami tidak hanya memakai perspektif hukum pidana saja, lalu mengenakan pasal seperti Pasal 170 KUHP atau pasal Undang-undang Darurut Nomor 12 Tahun 1951. Kami akan mengupas proses politik perendahan terhadap martabat orang asli Papua. Itu akan kami sampaikan dalam eksepsi kami pada pekan depan,” kata Sugeng. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G