Papua No. 1 News Portal | Jubi
Port Vila, Jubi – Debat berusia 43 tahun tentang siapa yang memiliki Pulau Matthew dan Hunter, sejak Prancis mengklaimnya pada 1976, mungkin akan berakhir tahun ini.
Menteri Luar Negeri Vanuatu, Ralph Regenvanu, menjelaskan Vanuatu telah mengambil beberapa langkah penting dalam proses mengklaim kembali Matthew dan Hunter dari Prancis, termasuk saat mendukung kebijakan untuk penentuan nasib sendiri Kepulauan Chagos bulan lalu di hadapan Mahkamah Internasional (International Court of Justice; ICJ) di Belanda.
“Dalam keputusan itu, saya mengatur supaya beberapa pengacara dari Inggris pergi mewakili Vanuatu, dalam mendorong prinsip-prinsip ini, dan kasus itu berhasil menang melawan kekuasaan yang lebih besar. Hal ini sudah sangat jelas memperkuat prinsip-prinsip itu, dan untuk pertama kalinya dalam hukum internasional, kami mendapat dukungan dalam klaim Matthew dan Hunter. ”
Setelah putusan pengadilan yang bersejarah bulan lalu di Peace Palace di Den Haag, Regenvanu menambahkan, prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh ICJ dalam kasus ini (Kepulauan Chagos), akan sangat membantu penyelesaian berbagai sengketa yang sedang berlangsung, termasuk negosiasi Vanuatu dengan Prancis atas Matthew dan Hunter, diskusi yang terus dihindari oleh Prancis.
“Kita telah memulai negosiasi dengan Prancis untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. Kita sekarang bernegosiasi dengan mereka di depan meja yang sama. Kita sudah meminta pertemuan setelah Juli tahun lalu, tetapi Prancis membalas dengan menerangkan mereka sedang fokus pada referendum Kaledonia Baru, jadi mereka tidak bisa bertemu dengan kami.”
Regenvanu percaya Prancis sengaja mengulur waktu, namun, sebuah pertemuan telah dijadwalkan untuk dilaksanakan pada minggu terakhir bulan ini.
Dengan jadwal pertemuan yang terus mendekat itu, sebuah delegasi dari Vanuatu telah berangkat ke Timor Leste minggu lalu, dalam upayanya untuk memahami kebijakan yang digunakan antara Timor Leste dan Australia saat mereka menyelesaikan sengketa atas perbatasan Maritim, juga diselesaikan di Den Haag, Maret 2018.
“Delegasi kita pergi ke Timor Leste agar bisa mempelajari bagaimana mereka menggunakan ketetapan tertentu, dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut untuk memaksa Australia menyetujui proposal mereka. Karena Australia memperlakukan Timor Leste dengan cara yang sama seperti Prancis memperlakukan kami. Timor Leste menggunakan pasal khusus untuk memaksa Australia berunding. Jadi kita mengirim delegasi ke Timor Leste untuk belajar, bagaimana tepatnya kita bisa menggunakan mekanisme itu jika Prancis terus menolak untuk bernegosiasi,” tegas Regenvanu. (Vanuatu Daily Post)
Editor: Kristianto Galuwo