Oleh Islami Adisubrata (Refleksi akhir tahun 2019 Lapago)
SETAHUN sudah kejadian atau konflik yang terjadi di Nduga, terhitung sejak 4 Desember 2018 sampai 4 Desember 2019. Hingga kini masyarakat Nduga yang memilih untuk mengungsi ke luar dari kampung mereka masih terabaikan.
Pengungsian itu dipicu akibat adanya pembunuhan karyawan PT. Istaka Karya oleh kelompok TPN-PB pada 2 Desember 2018 di sekitar Puncak Kabo, Distrik Yigi, yang pascakejadian itu konflik meluas ke 11 distrik lainnya.
Seiring kejadian itu, masyarakat sipil yang tidak tahu menahu harus menjadi korban konflik, mereka berbondong-bondong mengungsi ke luar Nduga, akibat ketakutan dan trauma dengan operasi militer.
Mengungsi adalah satu-satunya pilihan masyarakat 11 distrik di Nduga. Mereka ke luar daerah seperti ke Jayawijaya, Lanny Jaya, ibu kota Nduga, hingga ke Mimika.
Berbagai persoalan pun muncul setelah masyarakat memilih untuk keluar dari kampung mereka, mulai dari sakit yang dialami baik orang dewasa maupun anak-anak hingga mengakibatkan kematian.
Pendidikan anak-anak Nduga pun menjadi persoalan, dimana banyak anak-anak yang mengungsi harus ditampung di sekolah darurat yang dibuat para relawan khususnya di Jayawijaya. Meski awalnya berjalan baik, namun memasuki tahun ajaran 2019-2020 sekolah darurat yang didirikan tidak lagi digunakan karena kondisinya sudah mulai rusak.
Meski pada 19 Agustus 2019 tim relawan kembali membuka sekolah bagi anak-anak Nduga yang mengungsi di halaman Gereja Kingmi jemaat Weneroma, Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, namun hal itu pun tidak berjalan lama akibat tidak adanya dukungan dari pemerintah daerah.
Bahkan pada awal Agustus 2019, tim solidaritas peduli konflik Nduga yang terdiri dari unsur gereja dan pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) maupun lembaga lainnya, merilis data terbaru korban masyarakat sipil yang meninggal pascakonflik di Nduga sejak Desember 2018.
Theo Hesegem sebagai pemerhati HAM dan Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua menyebutkan, korban meninggal sejak 4 Desember 2018 hingga akhir Juli 2019 ada 182 orang baik dewasa maupun anak-anak.
“Data ini dari para klasis gereja Kingmi di Nduga, perwakilan MRP dari Nduga, perwakilan koordinator Jayawijaya, tim kemanusiaan Nduga dan melibatkan seluruh pengungsi dengan melakukan verifikasi data korban,” katanya, saat menggelar jumpa pers di halaman Gereja Kingmi jemaat Weneroma, Ilekma, Kabupaten Jayawijaya, Kamis (1/8/2019).
Dari data itu, dirincikan korban perempuan dewasa yang meninggal 21 orang, laki-laki dewasa 69 orang, korban anak perempuan 21 orang, anak laki-laki 20 orang, balita perempuan 14 orang, balita laki-laki 12 orang, bayi laki-laki 8 orang, bayi perempuan meninggal 17 orang dengan total 182 orang.
“182 orang meninggal ini data di pengungsian termasuk yang ada di Wamena, Timika, Paro, dan tempat lainnya. Data ini akurat, karena kami pun memiliki bukti seperti foto-foto, keterangan dari kampung mana, distrik mana, dikubur di mana, sudah jelas semua. Kecuali mereka yang meninggal di daerah konflik itu memang tidak ada foto, tetapi bagi yang meninggal di pengungsian itu ada foto sebagian dan lainnya akan kami usahakan untuk ambil kembali foto-foto itu,” kata Theo Hesegem.
Menurutnya, dari 182 orang itu mereka meninggal akibat adanya kekerasan fisik yang dilakukan aparat gabungan TNI-Polri, ada yang dibakar hidup-hidup dalam rumah, meninggal di hutan karena lapar, anak-anak yang terindikasi meninggal itu karena kedinginan, sakit dan kelaparan.
Tim solidaritas peduli konflik Nduga menyampaikan rasa keprihatinan mereka terhadap 17 orang korban di Puncak Kabo, Distrik Yigi, Nduga.
Perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) daerah Nduga, Luis Maday mengatakan hal itu perlu diperhatikan dan dilihat secara kemanusiaan. Data korban meninggal yang berada di tangan tim itu adalah data akurat dan dapat dipertanggungj-awabkan.
“Data korban di tangan kami dengan jumlah 182 orang ini akurat, kami yang melakukan pendataan ini siap bertanggung-jawab,” kata Maday, kala itu.
Pengungsi merasa dilupakan
Meski ada upaya dan langkah pemerintah pusat hingga daerah dalam menangani persoalan pengungsi Nduga ini, namun hal itu justru dianggap tidak menyelesaikan persoalan, bahkan ada penolakan dari pengungsi yang berada di Jayawijaya atas bantuan dari pemerintah pusat.
Pada 8 Agustus 2019, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise, berkesempatan mengunjungi para pengungsi Nduga di halaman Gereja Weneroma sambil membawa bantuan, tetapi ditolak oleh masyarakat dan mereka hanya meminta agar presiden segera menarik pasukan keamanan atau militer dari Nduga.
Tim relawan pengungsi Nduga, Rabu (4/12/2019), juga menyelenggarakan ibadah bertempat di Gereja Kingmi jemaat Weneroma, Elekma, Jayawijaya, untuk memperingati setahun konflik Nduga, 4 Desember 2018 – 4 Desember 2019.
Tim relawan pengungsi Nduga, Dolia Ubruangge mengatakan, dari data yang diketahui tim relawan ada sebanyak 238 warga sipil meninggal dunia yang disebabkan tiga faktor seperti terkena tembakan aparat, sakit di pengungsian hingga kelaparan saat bersembunyi di tengah hutan belantara.
“Sesungguhnya bukan hanya 238 orang saja, korban pengungsi ini diketahui lebih dari itu, karena korban yang ada data di kami mereka yang meninggal dunia di Wamena dan Kuyawage, dimana hal itu didapat setelah warga melaporkan ke tim relawan,” kata Dolia Ubruangge.
Menurutnya, ada juga sebagian pengungsi yang meninggal dan keluarganya tidak melaporkan ke tim relawan maupun tim kemanusiaan Nduga, sehingga tidak masuk dalam data.
Kata Dolia Ubruangge, setahun konflik Nduga para pengungsi Nduga masih merasa tidak diperhatikan atau merasa dilupakan baik oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten.
Ia berharap, ke depan pemerintah dapat memperhatikan penanganan pengungsi ini, serta pemerintah jangan hanya melihat dari satu sisi politiknya, tetapi harus melihat dari sisi kemanusiaannya, dimana selama satu tahun ini tidak ada penanganan dari pemerintah dan bantuan yang diterima hanya dari gereja-gereja atau solidaritas masyarakat lainnya.
Tim relawan pengungsi Nduga lainnya, Arim Tabuni mengaku ibadah ini dilakukan untuk mengingat kejadian di Nduga pernah dan terjadi, serta sudah setahun ini masyarakat di 11 distrik yang terdampak konflik belum kembali ke kampung mereka masing-masing.
Ia pun menyinggung janji presiden Joko Widodo, jika operasi militer hanya berjalan tiga bulan, namun hingga ini masih ada operasi militer di wilayah Nduga.
Pada Hari HAM Sedunia, 10 Desember 2019, sejumlah pemerhati HAM di Pegunungan Tengah Papua memperingatinya dengan menyalakan lilin sebagai tanda duka di depan Tugu Salib Wio Silimo. Mereka mengenang kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua khususnya kejadian 23 September 2019 di Wamena dan kasus Nduga.
Menurut para aktivis, pelanggaran HAM bukan hanya tentang kasus-kasus pembunuhan, namun pelayanan publik yang tidak berjalan dengan baik seperti di bidang pendidikan dan kesehatan, termasuk juga pelanggaran HAM.
“Mari sekarang membangun Papua dengan rasa kemanusiaan dan dengan mengutamakan pendekatan nilai-nilai budaya, persaudaraan, ekonomi dan yang paling penting ialah pendekatan persoalan politik harus diselesaikan secara politis pula,” kata Pastor Jhon Djonga, salah satu aktivis HAM di Papua.
Ia juga menilai persoalan Nduga seperti dibiarkan oleh negara, dimana jumlah korban meninggal akibat konflik jika digabungkan antara masyarakat sipil asli Nduga ditambah dengan pekerja jembatan dan jalan yang terbunuh,mencapai 255 orang dan itu harus diseriusi. (*)
Editor: Kristianto Galuwo