Semangat anak-anak “kaki abu” di rutan Polda Papua

Papua Penjara
Ilustrasi penjara. - IST

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh: Selekage Wita

Rabu, 16 Februari ini, penyidik datang ke rumah tahanan (rutan) Polda Papua, tempat dimana Malvin Yobe, dkk. sedang menjalani proses hukum karena pada 1 Desember 2021 mereka mengibarkan “simbol”–bukan bendera ‘Bintang Fajar’ asli di halaman GOR Cenderawasih, APO, Kota Jayapura, Papua.

Read More

Tanggal 1 Desember bagi orang Papua adalah hari kemerdekaan West Papua. Untuk memperingati hari bersejarah itulah yang mereka kibarkan bendera di tengah-tengah ibu kota provinsi Papua.

Tapi bagi pemerintah berwenang, hari tersebut bertentangan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, sehingga aksi yang dilakukan oleh Yobe dkk dianggap melanggar konstitusi dan mengancam keutuhan NKRI di Papua.

Tujuan kedatangan penyidik

Tujuan kedatangan penyidik ke tempat , yang menurut anak-anak “Universitas Kaki Abu” (Unikab) ini adalah universitas paling bergengsi di dunia–khususnya bagi orang Papua, selain istana yang paling menjanjikan dalam istilah yang digunakan oleh Philip Karma, birokrat nasionalis dan pro kemerdekaan Papua, adalah untuk menjemput Zode Hilapok, yang sakit sekarat dan menderita parah di rumah tahanan Polda Papua sejak Januari 2022 supaya dibawa ke rumah sakit Bhayangkara Jayapura.

Zode, adalah salah satu orang yang ikut terlibat dalam pengibaran bendera pada 1 Desember 2021. Dia dengan Malvin Yobe adalah dua orang yang sakit dan menderita di Rutan Polda Papua selama dua bulan, Desember hingga Januari lalu.

Gejala sakit

Gejala sakit dari Hilapok adalah muntah darah, berat badan turun, muka pucat, tidak bisa tidur baik, tidak bisa makan baik, tidak bisa berdiri lama. Badan lemas dan maunya tidur terus.

Sedangkan Malvin, sebelum masuk telah mengantongi penyakit paru-paru. Dokter di rumah sakit menyatakan dia harus melakukan pengobatan dan minum obat program Tuberkulosis (TB) secara rutin.

Sejak masuk, Yobe sudah beritahu kepada penyidik. Tetapi pihaknya tidak seriusi itu. Selamat Desember hingga Januari awal, ia tidak mengkonsumsi obat program TB. Karena semua obat dan dokumen medis ada di luar, tempat tinggal.

Upaya pembiaran?

Mau katakan bahwa ini ada upaya pembiaran atau sengaja supaya mereka sakit, dan menderita hingga membuat mereka mati bodok-bodok di dalam tahanan yang tidak ada ventilasi udara segar itu. Tetapi agak sulit untuk mengatakan benar secara sepihak, karena nanti akan berlawanan dengan sudut pandang penyidiknya.

Pihak Yobe dkk akan mengatakan benar. Namun, itu akan berbeda dengan pemikiran pihak berwenang. Mereka akan bicara lain dan main lain dengan sudut pandang yang berbeda. Ini bukan baru. Tapi lagu lama dalam dunia dialektika hukum.

Percakapan penyidik dan tapol

Terlepas dari itu, di sini ada sesuatu yang paling menarik di dalam ruang tahanan–yang para polisi juga agak sial karena para tahanan di dalam kalau keluarganya mengantar makanan, termasuk pinang–mereka tidak tahu diri.

Artinya, makan pinang tapi buang ludah sembarangan, sampai ikut menciptakan suasana bak sampah atau Tempat Pembuangan Sementara (TPS), baik sampah-sampah organik dan nonorganik dalam istilah orang-orang yang belajar di dunia lingkungan hidup untuk sedikit menggambarkan Rutan Polda Papua itu.

Ludah pinang itu seperti cat merah yang baru atau hitam yang lama. Tak hanya membuat suasana bau busuk, tapi juga menjijikkan karena hagats atau nyamuk yang sangat suka dengan kotoran dan amis kadang kala mulai membanjiri lokasi samping rumah tahanan, yang bagi anak-anak “kaki abu” adalah sekolah “PM” yang paling bergengsi.

Sesuatu yang menarik itu adalah percakapan antara penyidik yang datang pada pukul 09:15 WIT, yang hendak menjemput Zode Hilapok dengan salah seorang tahanan politik di balik jeruji besi.

Polisi datang langsung tanya Zode Hilapok. Lalu dia keluar dan penyidik meminta untuk Zode pakai pakaian rapi. Kemudian salah satu rekan dari Hilapok tanya kepada penyidik, “mau bawah Zode Hilapok kemana?” Jawab penyidik, “bawah ke rumah sakit.”

Salah satu tahanan meminta kepada penyidik untuk ikut mengawal dan merawat Zode sama-sama di rumah sakit. Tetapi penyidik bilang, “tidak usah”. Karena takut tapol tersebut melarikan diri.

“Kamu mau lari to?” tanyanya kepada tahanan politik itu.

Lalu dia menjawab, “Saya tidak bermaksud itu. Kami ini bertanggung jawab penuh. Kami sadar baru kibarkan bendera. Kalau kami takut dan mau lari, pasti sejak awall polisi datang tangkap kami, kami sudah lari.”

Lanjutnya, “Tapi justru kami siap bertanggung jawab, maka ketika bapa dorang datang kita menyerahkan diri baik-baik dan dengan cara terhormat kan?”

Psikologi dan mentalitas tapol

Beberapa kali saya mengunjungi para tahanan politik itu dan melakukan wawancara. Karena dalam video pengibaran bendera, jalan santai menuju ke depan Polda Papua itu menunjukkan bahwa mereka tidak takut ditangkap, disiksa, dipenjarakan, diproses hukum dan bahkan tidak takut untuk mati.

“Kami ini anak adat. Laki-laki yang lahir dari honai adat. Berjuang dengan sadar. Kami bekerja keras dan berjuang mati-matian karena kami tahu sejarah dan kami siap dengan segala resiko, baik maupun buruk,” kata seorang di tahanan itu.

Secara psikologis dan mentalitas tidak dapat diragukan lagi. Mereka sudah teruji dan berkomitmen penuh untuk menghabiskan waktu hidupnya demi perjuangan untuk menentukan nasib dan masa depan orang Papua, termasuk migran yang lahir besar, hidup dan berkarya di tanah Papua.

Semangat dasar perjuangan

Mereka ditangkap, disiksa, ditikam, ditembak, dipenjarakan dan diproses hukum karena menuntut hak hidup sebagai manusia dan bangsa sendiri adalah hadiah paling istimewa. Sebuah kehormatan yang sangat luhur di mata Tuhan, alam semesta dan Australo-Melanosoid.

Itu menjadi sebuah keyakinan paling menjanjikan dalam perjuangan mereka di tengah-tengah kota. Bahkan akan selalu menjadi sebuah nilai dan kehormatan tak tertandingi sepanjang masa, terutama di mata anak cucu mereka kelak.

Mereka menjadikan cinta sebagai landasan perjuangan dan pergerakan mereka. Sampai berkomitmen bahwa hidup harus dalam cinta dan mati pun haruslah dengan cinta.

Bagi anak-anak kaki abu ini, berjuang untuk Papua merdeka juga adalah karena cinta. Cinta mereka adalah cinta yang rela berkorban, damai, adil, dan merdeka.

Cinta dalam perjuangan mereka merupakan sebuah cinta yang mengandung etika deontologis. Mereka terlibat dengan kesadaran moral dan apa yang mereka lakukan pada 1 Desember lalu merupakan bagian dari aksi yang paling bermoral dan bertanggung jawab.

Makanya sejak kedatangan polisi, mereka tidak takut, tidak lari dan sampai di tahanan pun mereka tidak banyak mengeluh. Tapi mereka sangat bersyukur karena bisa kuliah di rumah tahanan Polda Papua.

Mereka percaya bahwa apa yang mereka tempuh adalah jalan kebenaran, kehidupan dan keselamatan bagi orang Papua. Olehnya, mereka mempertaruhkan segalanya, bahkan menyangkal diri untuk kepentingan bersama orang pribumi dan migran Papua.

“Kami sedang melakukan praktik jalan penderitaan Yesus Kristus menuju kemerdekaan sejati di rutan Polda Papua,” kata seorang yang tidak ingin menyebutkan namanya sambil mengunyah pinang.

Dia mengajak orang Papua agar tidak usah takut sebelum mencoba dan bertindak untuk cita-cita luhur. Karena masuk di dalam tahanan itu sangat baik dan istimewa.

“Di sini sangat istimewa. Kurang apa? Semua terjamin. Makanan minum semua sudah tersedia. Kita tidak perlu kerja kebun, berburu dan cari ikan di laut setengah mati. Karena ada orang sudah cari uang, alokasikan dana untuk kasih makan kita dan segala,” katanya sambil tersenyum manis.

Mereka percaya bahwa orang yang memilih jalan penderitaan pada mula-mula akan membawa kemerdekaan bagi orang lain di kemudian hari.

Harapan anak-anak kaki abu

Jadi, mereka berharap agar orang Papua tidak menganggap penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, proses hukum dan kematian karena PM adalah sesuatu yang buruk.

Tetapi bersyukur dan percaya bahwa itu adalah jalan yang sangat baik dan istimewa di mata Tuhan, leluhur, dan anak cucu kelak. Bahkan Rutan Polda Papua merupakan “istana” sekaligus universal yang paling bagus.

“Jika kamu ingin sekolah, mengambil pengalaman dan inspirasi sebagai pejuang dan penulis, mari masuk di istana ini. Mari datang kuliah di kampus Rutan Polda Papua,” katanya dalam kunjungan pada pertengahan Januari lalu. (*)

Penulis adalah masyarakat Papua tinggal di Jayapura

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply