Oleh: Yorim Sasaka
Setiap manusia membutuhkan kebutuhan primer dan sekunder demi melangsungkan hidupnya. Kebutuhan primer seperti makanan, minuman dan pakaian sangat penting bagi setiap makhluk hidup, sebab makanan dan minuman adalah sumber kekuatan dan energi.
Makanan dan minuman adalah sumber kehidupan itu sendiri dan merupakan suatu kebutuhan mendasar yang mesti terpenuhi bagi makhluk hidup.
Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial dan ekologis. Sebagai makhluk sosial ia membutuhkan sesama, sebagai makhluk ekologis ia membutuhkan alam ciptaan.
Di seluruh dunia, termasuk Indonesia dan Papua pada khususnya, semua orang sedang dalam kondisi sulit menghadapi penyebaran virus corona (covid-19) yang semakin ‘merajalela’.
Untuk mengantisipasi situasi yang semakin parah ini, Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah-pemerintah daerah di setiap kabupaten, gereja, dan tokoh-tokoh masyarakat telah mengambil kebijakan dalam penanganan covid-19, dengan mengajak seluruh masyarakat untuk lebih tertib mengikuti setiap imbauan dari pemerintah.
Mereka melarang dan mengimbau agar masyarakat tetap di rumah, tidak melakukan kegiatan yang bersifat mengumpulkan banyak orang, demi keselamatan diri dan sesama.
Virus ini mudah sekali menular dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Imbauan ini hendaknya ditaati karena alat bantu untuk mengobati dan mengatasi covid-19 sangat minim, bahkan belum ada obat yang ditemukan untuk menyembuhkan penyakit ini.
Dua provinsi di Papua sedang dalam ancaman bahaya virus corona, karena penyakit ini tidak hanya terdapat di ibu kota provinsi-provinsi, tetapi sudah menjurus ke kabupaten-kabupaten, dan semakin meningkat jumlah mereka yang terpapar virus ini.
Dalam keadaan seperti ini, tentu diprediksi bahwa dunia akan mengalami krisis ekonomi, khususnya masyarakat yang hidup di kota akan mengalaminya secara langsung, karena semua masyarakat kota tergantung dengan persediaan makanan di pasar, toko-toko dan kios.
Hal ini memang menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang untuk para pemimpin dan masyarakat untuk bersikap kritis dalam menghadapi situasi ini.
Menjadi tantangan karena mungkin kalau lockdown terlalu lama akan menjadi krisis ekonomi, krisis keuangan dan apapun jenisnya.
Sedangkan yang menjadi peluang ialah pemilik-pemilik modal usaha seperti supermarket, toko-toko, kios-kios dan apapun namanya, mendapatkan keuntungan banyak, karena mereka yang menyediakan kebutuhan primer maupun sekunder bagi semua masyarakat yang hidup di kota-kota.
Di saat demikian orang asli Papua (OAP) diharapkan untuk lebih mencintai ibu bumi. Karena ibu bumi memiliki segala kebutuhan bagi manusia, tinggal bagaimana ia mau mencintai dan mengolahnya atau tidak.
Keprihatinan pemerintah terhadap masyarakat dalam menangani wabah virus corona ini sudah diberikan dengan berbagai alternatif, salah satunya ialah memberikan bantuan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu.
Pembagian makanan dan sembako sudah dilakukan di beberapa kabupaten guna mengurangi beban sesama di tengah pandemi covid-19 yang berdampak pada perekonomian. misalnya Polres Tolikara dipimpin Kabag Ops AKP Klemens Titirlolobi menyerahkan bantuan berupa beras kepada Gereja “Ebenheizer”. Masyarakat juga diajak untuk menaati anjuran pemerintah dalam penanganan covid 19 dan terapkan pola hidup sehat (Cepos, 28 Maret 2020).
Hal serupa juga dilakukan tim gabungan TNI-Polri Asmat, yang memasak makanan di dapur umum Polres Asmat dan membagikan makanan kepada warga terdampak covid-19 di Distrik Asmat, Kabupaten Asmat.
Kasat Sabhara Polres Asmat mengatakan, Polri dan TNI datang untuk memberikan informasi tentang pencegahan penyebaran virus covid -19 dan membagikan nasi bungkus serta air mineral kepada warga (Cepos, 28 Maret 2020).
Keprihatinan pemerintah dengan memberikan bantuan kepada masyarakat, hemat saya, sebagai pemerintah harus demikian, apalagi saat-saat seperti begini.
Namun dari sisi lain keprihatinan pemerintah menurut hemat saya tidak benar, karena mematikan semangat juang mereka untuk bisa mengolah alam.
Mereka tidak lagi mencintai alam dan melindungi serta mengelolanya dengan baik dan akhirnya mereka menjadikan alam sebagai alat jual beli tanpa memikirkan masa depan anak cucu.
Pemerintah seharusnya mengajak masyarakat untuk kembali mencintai dan mengolah alam, sambil memberikan bantuan berupa makanan, seharusnya pemerintah juga bisa memberikan bibit-bibitan jangka pendek, menengah dan jangka panjang yang bisa menghasilkan makanan pokok.
Tidak hanya bibit tanaman, tetapi masyarakat juga harus diberikan alat kerja seperti sekop, linggis, parang, kapak, dan alat kerja lainnya, agar masyarakat dapat mengolah alam dan menghasilkan sesuatu yang bisa dimakan.
Jika kita memberikan makanan instan, maka itu akan habis dalam waktu singkat dibandingkan menanam di kebun yang diolah sendiri oleh masyarakat.
Kehidupan kebanyakan OAP bukan dari hasil kerja sebagai pegawai atau usahawan, melainkan dari hasil alam yang diolahnya di dusunnya. Mereka bisa mendapatkan makanan, menghidupi keluarganya, sejauh dusun, ibu bumi dijaga dan digunakan sebagai sumber kesejahteraan hidup masyarakat OAP sebagai pemilik ibu bumi.
Sebaliknya jika tidak menjaga dusun, ibu bumi dan tidak diolah dengan baik, maka ibu bumi tidak menjamin kesejahteraan hidup. Kekayaan alam di ibu bumi ini bukan hanya menjamin kehidupan manusia, melainkan juga memberi kehidupan bagi segala jenis makhluk hidup di darat, laut dan udara.
Segala jenis tumbuhan dan makhluk hidup di darat, dan air saling menghidupkan dan menjamin kelestarian alamiah. Maka ibu bumi memiliki fungsi bagi keberlangsungan hidup setiap makhluk hidup, termasuk manusia OAP.
Dalam menghadapi situasi demikian saya teringat akan sebuah ungkapan cinta seorang gembala umat kepada umat dan masyarakat yang dilayaninya, “lebih baik tidak punya uang daripada tidak punya dusun”.
Demikian ungkapan keprihatinan Gereja yang mendorong kita semua untuk melibatkan diri dalam gerakan melindungi dan mengelola sumber hak hidup ekonomi masyarakat lokal.
Dusun yang dilindungi dan dikelola dapat menghasilkan uang bukan dengan cara menjual dusun, atau membiarkan tanpa memanfaatkannya untuk kehidupan.
Bagi OAP ‘tungku api’ harus tetap menyala sejauh ada sesuatu yang dimasak dan disajikan untuk dimakan setiap hari dari kekayaan alam di dusun masyarakat adat pemilik hak ulayat (Pendidikan dan realitas sosial di Papua;2017:179-180).
Dalam hal ini, mau mengingatkan kita semua untuk lebih mencintai dan mengolah ibu bumi kita, karena ibu bumi memiliki seluruh kebutuhan hidup kita.
Ungkapan keprihatinan Gereja yang disampaikan almarhum Uskup Timika Mgr Yohanes Philipus Saklil, Pr di atas memang memang sangat benar dan dia mengajak semua orang, khususnya OAP untuk memanfaatkan alam dengan baik, tidak dijadikan sebagai alat untuk diperjualbelikan.
Gerakan ‘tungku api’ yang dibuat oleh bapa uskup Timika mesti dihidupkan kembali. Dalam hal ini pemerintah, gereja dan tokoh-tokoh yang berperan penting mesti bekerja sama untuk menyelamatkan ibu bumi ini dan mengajak masyarakat untuk tetap melindungi, memanfaatkan dan mengola alam dengan baik pula.
Pertanyaannya mengapa kita mesti menyelamatkan tanah; ibu bumi kita? Karena tanah dipercaya oleh manusia Papua yang hidup di bumi ini, sebagai ibu yang memberikan sumber segala kehidupan.
Maka ketika tanah itu diobralkan maka putuslah hidup manusia orang asli Papua. Sumber susu dan madu akan menjadi racun mematikan bagi manusia Papua.
Orang asli Papua akan mengalami kelaparan, sakit, dan mati karena ‘air susu’ sudah tiada. Ketiadaan air susu disebabkan karena orang asli Papua menjual tanah, tidak mengadakan ritual-ritual adat yang mendatangkan kesuburan, hidup tidak bermoral, meninggalkan rumah-rumah adat seperti bokam (rumah adat suku Ngalum), pilamo (rumah adat suku Dani) yang adalah sebagai pusat kehidupan.
Untuk menyelamatkan anak cucu kita, pertama-tama kita mesti selamatkan tanah ibu bumi kita. Untuk menyelamatkan manusia OAP dan ibu bumi harus ada kerja sama antara pemerintah, gereja dan tokoh-tokoh adat.
Mereka harus memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pemeliharaan dan pengelolaan ibu bumi ini, sehingga masyarakat bisa mengelola alam sesuai dengan hak ulayat mereka.
Untuk menyelamatkan ibu bumi ini maka yang bisa dilakukan adalah melindungi dan mengola serta menanam tanaman jangka pendek, menengah dan panjang serta melindungi tanah-tanah adat, membuat pemetaan tanah-tanah adat, mengkampanyekan seruan“stop jual tanah”, seperti yang dibuat oleh Bapa Uskup Timika dengan gerakan melindungi dan mengelola hak hidup ekonomi masyarakat adat.
Selain itu juga semua elemen masyarakat harus mendorong pembuatan perda hak ulayat tanah adat, dan mendorong agar membuat konsep pembangunan berbasis kebudayaan, juga menghidupkan kembali ritual-ritual adat, dan menolak serta mengurangi segala macam hal yang masuk merusak alam ibu bumi ini.
Hemat saya dengan kerjasama semua pihak demi perlindungan dan keselamatan tanah ibu bumi ini dapat menjamin hidup OAP serta menyelamatkan anak cucu dari segala macam bencana kehidupan.
Bentuk konkret ini merupakan perwujudan dari tindakan misi untuk keselamatan dunia dan manusia. Kita perlu sadar bahwa ketika kita menjadikan tanah sebagai alat jual beli, maka saat itu pula kita sedang menjual diri kita serta anak cucu kita. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura, Papua dan anggota Aplim Apom Research Group (AARG)