Papua No. 1 News Portal | Jubi
“Rata-rata deforestasi tanah Papua 34.918 hektare per tahun, sedangkan secara nasional Indonesia dua juta hektar per tahun.”
Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht Indonesia pernah menerbitkan buku berjudul “Potret Keadaan Hutan Indonesia” dan menyebutkan hutan dataran rendah Indonesia yang memiliki persediaan kayu dan keanekaragaman yang paling tinggi adalah yang memiliki risiko paling tinggi. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan Sumatera sudah lenyap pada 2005, selanjutnya Kalimantan pada 2010.
Bahkan Kalimantan Tengah akan menjadi ibukota baru Indonesia. Hal ini jelas akan mengubah bentangan alam menjadi kota baru. Apalagi saat itu dalam buku tersebut dikatakan hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri.
Kondisi pulau Sumatera, saat arsip.jubi.id melakukan pelayaran bersama Rainbouw Warriors dalam kampanye Greenpeace pada 2008 dari Singapura ke Dumai, Provinsi Riau, termasuk pelabuhan crude palm oil (CPO) terbesar di Indonesia. Tampak laut di sekitarnya pelabuhan Dumai dan selat Malaka berwarna keruh dan tak sejernih biasanya.
Perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia awal mulanya di Pulau Sumatera, terutama PT Perusahaan Nusantara (PN II) dari Tanjung Morawa miliki pemerintah ke Papua yaitu PT Perkebunan Nusantara II di Arso dan juga di Prafi Manokwari di era 1990-an.
Kini perusahaan milik negara ini bangkrut dan hanya kelapa sawit setinggi kelapa. Pada 2018 lalu arsip.jubi.id melintasi perkebunan sawit di Prafi tak ada lagi aktivitas.
Tak heran kalau buku Potret Hutan Indonesia menyebutkan bahwa negara kepulauan terbesar di dunia ini mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia. Bayangkan hutan Indonesia sangat lebat pada 1950-an. Sekitar 40 persen dari hutan pada 1950 telah ditebang dalam waktu 50 tahun berikutnya.
“Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162 juta hektar menjadi 98 hektar,”tulis laporan buku tersebut jelang akhir 1990-an.
Sejak 1996 lalu laju deforestasi hutan di Indonesia tampaknya meningkat lagi, menjadi rata rata dua juta hektar pertahun.
Laporan terkini dari Auriga telah melihat Papua, provinsi dengan luas hutan alam masih terluas di Indonesia. Hingga 2018, luas hutan Papua 33.847.928 hektare atau 74,31 persen dari total luas Tanah Papua (gabungan Provinsi Papua dan Papua Barat). Dengan luas hutan itu, Papua memiliki flora terkaya di dunia dan tiga kali lipat dari keragaman tumbuhan Pulau Jawa.
Seperti tren deforestasi pulau lain, penggundulan hutan akibat konversi lahan juga turun, namun rasionya naik. Dalam dua dekade terakhir hutan Papua menyusut 663.443 hektare. Sebanyak 29 persen terjadi pada 2001-2010 dan 71 persen pada 2011-2019. Dengan luas kehilangan hutan tertinggi pada 2015 seluas 89.881 hektare, rata-rata deforestasi Papua 34.918 hektare per tahun.
Deforestasi itu, menurut Auriga, terutama untuk lahan pertanian dan perkebunan. Sejak 1992 hingga 2019 ada 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan yang dibuat Menteri Kehutanan dengan total luas 1.549.205 hektare, 84 persen untuk tujuan pertanian lalu perkebunan.
Menurut analisis Auriga, tabrakan antara UU Otonomi Khusus dan UU Pemerintah Daerah membuat laju pemekaran kabupaten di Papua meningkat. Papua kini terbagi dua provinsi dan 55 kabupaten kota. Pelepasan kawasan hutan bermula dari izin prinsip yang diterbitkan oleh bupati dan disetujui oleh Menteri Kehutanan.
Dengan menganalisis citra satelit, Auriga menyimpulkan seluas 1.292.497 hektare atau 82 persen dari total luas pelepasan kawasan hutan dalam kondisi memiliki tutupan hutan alam yang rapat ketika pemerintah memberikan izin perubahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu dalam laporan versi bahasa Inggris, Auriga menyebutnya planned deforestation atau deforestasi terencana.
Walau demikian melalui pemungutan suara para Menteri Keungan dari 52 negara pada 10 Februari 2021 telah memilih Menkeu RI, Sri Mulyani Indrawati, karena peroleh suara terbanyak. Sri Mulyani mengalahkan dua pesaing dari Filpina dan Uganda hingga menjadi co-chair The Coalition of Finance Minister for Climate Action 2021-2023.
Kementerian Keuangan, dalam rilis sehari berikutnya menyatakan bahwa pemilihan tersebut mengafirmasi kepercayaan besar komunitas aksi perubahan iklim global kepada Indonesia.
“Ini tak lepas dari berbagai aksi nyata mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh pemerintah Indonesia,” kata Sri Mulyani sebagaimana dilansir dari https://www.forestdigest.com
Sri berjanji menjalankan peran co-chair secara optimal bersama Finlandia melalui pengurangan emisi yang sudah ditetapkan dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) di PBB sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen atau 1,1 miliar ton setara CO2 dengan bantuan internasional pada 2030.
Salah satu usaha menurunkan emisi adalah melalui pengurangan deforestasi dan degradasi lahan yang berada di bawah komando Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tahun lalu pengurangan deforestasi mendapatkan hibah dari pemerintah Norwegia dan badan keuangan PBB.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.70/2017, deforestasi didefinisikan sebagai perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Sementara dalam aturan lain, definisi hutan adalah lahan minimal 0,25 hektare dengan tutupan tajuk 30 persen dengan tinggi pohon lima meter. (*)
Editor: Angela Flassy