Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua bersama sejumlah mitranya mendorong terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua untuk merekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, baik hak-hak sipil dan politik (sipol), maupun ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).
Upaya itu dilakukan dalam sebuah seminar dan diskusi daring (dalam jaringan) dan luring (luar jaringan) bertajuk “Membangun Strategi Bersama Dalam Mendorong Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Tanah Papua Berdasarkan Nilai-Nilai Tradisi Orang Papua” di Jayapura, Selasa (25/1/2022).
Perwakilan Jerat Papua, Fadhal Alhamid mengatakan, pihaknya merasa perlu mengatur langkah bersama dalam membangun strategi untuk mendorong KKR di Tanah Papua, sehingga KKR Aceh dan KKR Timor Leste hadir dalam kegiatan tersebut bersama akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen), Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), AJAR, BUK (Bersatu Untuk Kebenaran), dan KPKC Sinode GKI.
Baca juga: Menyeru dialog dan demiliterisasi, merawat asa damai untuk Papua (5/5)
Peneliti Litbang Jerat Papua Hans Gerry Wally menjelaskan, pembentukan KKR di Papua sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus), tetapi hingga kini pembentukan KKR belum terealisasi. Tiadanya KKR ditambah pelanggaran-pelanggaran HAM bermunculan dinilai sebagai bentuk pembiaran oleh pemerintah. Hal ini justru menambah ketidakpercayaan orang asli Papua terhadap pemerintah.
Dia berharap agar pemerintah mengadopsi nilai-nilai sosial dan budaya orang Papua dalam skema KKR hingga penyusunan policy paper tentang konsep KKR berbasis wilayah adat Papua.
“Semua pihak yang berkepentingan di tanah ini harus terlibat, DPRP, DPR PB, MRP, MRPB, gubernur Papua dan Papua Barat, tokoh agama, tokoh adat sehingga pemetaan konsep KKR berbasis karakteristik budaya Papua dapat terjawab,” katanya.
Dia juga mengharapkan agar dialog tentang konsep KKR terus dilakukan, sehingga perlu gerakan bersama dan mendorongnya menjadi undang-undang.
Baca juga: Kisah pilu dalam bayang-bayang kemerdekaan Papua (4/5)
Diskusi ini pun menyatukan masukan-masukan berbagai pihak yang hadir untuk menyusun policy paper untuk didorong hingga ke eksekutif dan legislatif.
Komisioner KKR Aceh Afridal Darmi mengatakan, hal yang penting dari KKR adalah terkait dengan ownership (kepemilikan). Di Aceh, KKR lahir dan menjadi salah satu item perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga dari sisi kepemilikan, KKR di Aceh adalah produk dan milik NKRI dan GAM.
Dia mengumpamakan KKR sebagai ‘anak kandung’ yang lahir dari ‘janji suci’ pernikahan antara NKRI dan GAM. Namun seiring berjalannya waktu kedua ‘orang tua’ ini tidak mengakuinya lagi sebagai ‘anak kandung’ karena dinamika politik yang terjadi. Mahkamah Konstitusi memang telah mencabut/membatalkan regulasi terkait dengan KKR nasional. Namun masih ada Perda KKR Aceh yang belum dicabut.
“Perda KKR ini adalah perda pertama yang menggunakan inisiatif DPR yaitu UU KKR pasal 259 Pemerintah Aceh. Hal berikut yang penting adalah sinergitas– merawat dan membangun kerja sama dengan berbagai pihak Di Aceh. Kami menyadari pentingnya membangun konsolidasi pemikiran dari berbagai stakeholder. Kami menginisiasi diskusi dengan melibatkan para ahli (para doctor dan ahli hukum) dalam menyusun naskah akademik dan kanon,” katanya.
Baca juga: “Kami harus bisa pulang ke kampung halaman kami” (3/5)
Selain itu, membangun trust, membuka jati diri KKR yang sesungguhnya kepada semua pihak. KKR Aceh menyadari penting untuk membangun kepercayaan dengan semua pihak, termasuk pihak yang bertikai/berkonflik. Perlu menjelaskan dengan utuh tentang keberadaan KKR yang salah satu madat utamanya adalah mengupayakan adanya rekonsiliasi. Penting juga untuk memberikan pencerahan kepada pihak yang selama ini masih terkesan antipati dengan keberadaan KKR, karena menganggap KKR keberadaanya seperti Komnas HAM. Keberadaan KKR adalah mendapatkan background information jadi KKR ada untuk mengurus korban bukan mengejar pelaku kekerasan.
Penting untuk membangun komunikasi – membangun komunikasi sangat penting agar kita bisa secara utuh memahami dan memberikan pemahaman terkait segala sesuatu mengenai KKR dari beragam sudut pandang.
Hugo Fernandes dari KKR Aceh mengatakan, setelah referendum langsung ada inisiasi dibentuknya KKR oleh Dewan Nasional di Timor Leste.
Baca juga: Kisah anak tokoh OPM dan TPNPB, dari menjadi buronan sampai didiskriminasi (2/5)
“Ide ini disampaikan kepada pemerintah sementara saat itu yaitu UN lalu dibentuklah Steering Committee. Steering Committee ini melakukan workshop pertama pada bulan Juni dengan tujuan mendengar keinginan banyak orang lalu pada tahun 2001, Pemerintah sementara UN menyetujui regulasi nomor 10 tentang komisi kebenaran, sehingga regulasi ini lalu dikukuhkan dan dimasukkan dalam konstitusi Timor Leste,” katanya.
Akademisi Uncen Prof. Hetaria, yang juga anggota Tim Pembentukan KKR yang diinisiasi Gubernur Papua Lukas Enembe menjelaskan tujuan strategi mendorong KKR Tanah Papua adalah agar masyarakat Papua dapat mengetahui, memahami konsep konsep dasar, mendiskusikan pola/model KKR Papua, merumuskan kebijakan, turut melaksanakan dan mengawasi.
Sedangkan anggota DPR Papua dari jalur pengangkatan Jhon NR Gobai mengatakan, sesuai UU Nomor 26 tahun 2000, KKR Papua harus dapat mengungkap pelanggaran HAM sejak tahun 1961-2000.
Pengungkapan kebenaran sejarah harus menjadi kerAjaan KKR Papua. Sesuai tujuannya KKR di Papua menyelesaikan pelanggaran HAM di bawah tahun 2000 dan mengungkap sejarah integrasi Papua, sesuai dengan pasal 46. (*)
Editor: Jean Bisay