Sebutan ‘monyet’ bukan hal baru bagi masyarakat Papua

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Mamta bersama pengurus saat wawancara di Sentani - Jubi/Engel Wally
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Mamta bersama pengurus saat wawancara di Sentani – Jubi/Engel Wally

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Sentani, Jubi – Ketua Dewan Adat Papua wilayah Mamberamo Tabi (Mamta), Sadrakh Taime, mengatakan sebutan ‘monyet’ bukan hal baru bagi masyarakat Papua.

Read More

Hal ini, kata Taime, sudah terjadi sejak lama. Ketika Persipura menjuarai Liga Sepak bola Indonesia, ada teriakan rasisme terhadap para pemain dan itu bukan kali pertama terjadi bagi masyarakat Papua.

“Padahal ada jutaan orang non-Papua yang hidup di tanah monyet ini, mencari makan, berusaha, dan bekerja di sini. Kami memperlakukan mereka dengan baik,” ujar Sadrakh Taime, saat ditemui di Sentani, Rabu (28/8/2019).

Dikatakan, apakah rasisme menjadi perilaku dan karakter bangsa yang besar ini kepada masyarakatnya. Hal ini perlu diklarifikasi, apa yang kurang dari masyarakat Papua.

Agama apapun pastinya menolak adanya perlakuan rasis yang terjadi beberapa waktu lalu terhadap saudara-saudara Papua yang sedang menimba ilmu di tanah Jawa.

“Ini sebuah penghinaan yang tidak bisa ditolerir, baik bagi masyarakat Papua tetapi juga Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara telah dinodai dengan penyebutan rasis itu,” ujarnya.

Lanjut Taime, proses integrasi Papua ke NKRI pada waktu lalu terlalu cepat dan tidak memperhatikan hal-hal yang nantinya terjadi seperti saat ini.

“Dalam proses itu, yang dipikirkan bagaimana Papua (Irian Jaya) harus masuk dalam pangkuan ibu pertiwi. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana nantinya manusia, tanah, dan sumber daya alam milik orang Papua,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Dewan Adat Papua wilayah Mamta, Irenius Pepuho, mengatakan perlakuan rasis yang terjadi beberapa waktu lalu di tanah Jawa terhadap mahasiswa Papua, lalu belum ada titik terang penyelesaiaannya, merupakan sebuah gambaran kelemahan dan kemunduruan negara yang tidak melindungi masyarakatnya dengan penuh tanggung jawab.

“Inilah perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak boleh terjadi, dan ini juga menggambarkan karakter sebuah bangsa sejak awal terbentuk. Ketika ujaran rasis ini muncul, maka rasa kebangsaan itu mulai pudar, tetapi juga akan muncul pada jalan yang lain. Mau tidak mau, pasti kita akan berada pada satu keputusan untuk mencari kehidupan yang lebih baik,” ungkapnya. (*)

Editor: Dewi Wulandari

Related posts

Leave a Reply