Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Aris Yeimo
Filsuf menjadi seorang pemimpin dalam suatu negeri merupakan ide ‘gila’ dari seorang filsuf kenamaan, Plato (427-347 SM). Bagi sebagian pemikir filsafat, politik, dan hukum, nama Plato tidaklah asing.
Bagi segelintir pemimpin politik, pemikiran Plato bukanlah hal baru, bahkan sering menjadi acuan dalam sistem pemerintahan suatu negara.
Pemikiran-pemikirannya tentang politik tidak terlepas dari keadaan dan situasi kehidupan yang ia alami sendiri. Pengalaman itu kemudian ia refleksikan menjadi bahan pemikiran dalam bidang filsafat politik.
Mengenal Plato
Tokoh filsafat Barat ini bernama asli Aristokles dan dibesarkan dalam lingkup keluarga keturunan bangsawan, lantaran ayahnya Ariston adalah seorang keturunan Raja Kodrus yang hidup sekitar 1068 SM.
Plato sudah tidak asing lagi dengan kehidupan politik pemerintahan. Apalagi ibunya Periktione pun adalah seorang keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena yang hidup sekitar seratus tahun lebih awal dari Periktione. Tak ayal apabila darah politiknya pun sebenarnya sudah merupakan bawaan dari keluarganya.
Plato lahir dalam suasana puncak kejayaan pemerintahan demokratis Athena di bawah pimpinan Perikles. Ia tumbuh dewasa saat perang Peloponesos. Ia menyaksikan sendiri kekalahan Athena dari Sparta pada 404 SM.
Dalam benaknya, kekalahan Athena merupakan buah dari ketidakmampuan sistem pemerintahan demokratis untuk memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik, moral, dan spiritual. Kekalahan Athena membuatnya terangsang untuk menempuh karier politik.
Semangatnya semakin berkobar ketika saudara sepupu dan paman dari ibunya masuk dalam kelompok tiga puluh tirani yang membentuk pemerintahan oligarkis-aristokratis.
Pada awalnya, kelompok ini dinilai memperjuangkan kehidupan rakyat Athena. Namun lama-kelamaan kelompok ini berubah menjadi kejam dan diktatorial. Plato semakin skeptis dengan kelompok ini karena mempraktikkan sistem pemerintahan yang jauh dari ajaran guru filsafat yang sangat dikaguminya, Sokrates.
Pada akhirnya kelompok ini hanya bertahan delapan bulan kemudian diganti oleh kelompok demokratis. Kelompok ini membawa harapan baru bagi rakyat Athena, Plato, dan Sokrates.
Namun sekali lagi, pil pahit harus ditelan olehnya lantaran gurunya, Sokrates harus kembali ditangkap dan diadili kemudian dihukum mati. Ia dituduh telah meracuni pikiran anak muda Athena untuk tidak lagi percaya kepada dewa-dewi Yunani (Rapar, 1983).
Pil pahit inilah yang membuat ia berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan saat itu sangat bobrok, kejam, kotor, dan tidak layak dipertahankan.
Pemerintahan negara hanya akan menjadi lebih baik dan membahagiakan apabila pemerintahan diserahkan kepada seorang filsuf.
Hanya filsuflah yang layak menjadi raja dan penguasa karena ia menguasai filsafat, orang yang memiliki pengetahuan, kebijaksanaan, dan yang tidak mungkin salah memimpin negara.
Dengan demikian, ia akan membebaskan rakyatnya dari segala belenggu nestapa. Ide ini dituangkan dalam bukunya Politeia (Republik).
Filsuf sebagai legislator ideal
Mengapa harus filsuf yang menjadi legislator ideal? Bukankah semua orang memiliki hak politik yang sama untuk menjadi seorang pemimpin rakyat?
Bagi sebagian masyarakat, keberadaan filsuf tidak begitu penting. Perannya dalam suatu negara terbatas pada aktivitasnya sebagai pemikir atau cendekiawan.
Filsuf juga terkadang dibatasi oleh pengetahuannya yang kaku dan dogmatis. Tidak berani mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan nyata. Malahan, ia terbelenggu dalam sistem kekuasaan.
Dengan berbagai penilaian tersebut, Plato dengan tegas mengungkapkan kriteria filsuf dalam negara idealnya. Filsuf adalah seorang pecinta segala sesuatu yang benar.
Kualitas lain yang mereka miliki ialah bahwa mereka tidak akan dengan sengaja memasukkan kesalahan ke dalam pikiran mereka, karena itu merupakan suatu kebencian bagi mereka.
Selain itu, seorang filsuf harus memiliki ingatan yang bagus, cepat belajar, bersifat mulia, ramah, bersahabat bagi kebenaran, keadilan, keberanian, kesabaran dan ketenangan.
Semua hal tersebut menjadi keluarganya (Plato, 2015). Dapat disimpulkan bahwa seorang filsuf adalah seorang yang berkebajikan, berpendidikan, memiliki semangat keadilan dan kebaikan. Oleh karena itu, seorang pemimpin rakyat yang ideal adalah seorang filsuf seperti yang dicirikan oleh Plato.
Plato juga menyadari bahwa untuk menemukan orang seperti ini tidaklah mudah. Pemimpin ideal tidak mudah ditemukan dalam suatu lingkup kekuasaan yang dinamis.
Oleh karena itu, Plato mengatakan bahwa jika kita tidak dapat memiliki negara yang diperintah oleh para filsuf sebagai penguasa, yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan untuk menetapkan ketertiban dan keadilan, serta mengatur masyarakat demi keuntungan semua orang, maka hal terbaik yang dapat kita harapkan ialah terciptanya negara dengan sistem hukum yang disusun secara bijaksana (David Melling, 2016).
Memilih legislator Papua yang berjiwa filsuf: Ekspektasi untuk Pemilu 2019
Pemikiran sebesar apapun tidak pernah luput dari cacat dan kekeliruan. Mungkin ada beberapa pemikiran Plato yang cerdas dan kritis, tapi di lain pihak ia mendapat kritikan dari filsuf-filsuf lain, termasuk muridnya sendiri, Aristoteles.
Terlepas dari berbagai kritikan yang ditujukan kepadanya, Plato sudah membuka cakrawala pemikiran kita untuk berlaku sebagai pribadi-pribadi yang kritis terhadap sistem perpolitikan di negeri ini.
Di tengah kontestasi pemilihan umum 2019 yang kian ketat, masyarakat Papua diajak untuk mulai memikirkan tipe caleg (calen legislatif) seperti apa yang ingin dipilihnya nanti.
Sebagai pemilih yang cerdas, kita harus memiliki kriteria tersendiri dalam memilih caleg. Pemilih yang ‘ikut-ikutan’ hanya menghasilkan penyesalan bagi dirinya sendiri dan orang banyak, karena satu suara yang diberikan sangat berharga bagi perkembangan kehidupan orang Papua ke depan.
Plato menawarkan ciri pemimpin ideal yang seharusnya ada dalam sebuah negara, walaupun mungkin tidak lumrah. Bahkan sistem rekrutmen para pemimpin ideal yang digambarkan oleh Plato pun jauh berbeda dengan kaderisasi kepemimpinan di Papua.
Situasi Athena saat itu juga ‘mungkin’ berbeda dengan situasi Papua saat ini. Namun sekali lagi, Plato mengajak kita untuk menjadi pemilih-pemilih cerdas untuk Papua yang lebih baik.
Plato tidak bersalah. Kriteria kepemimpinan yang ia maksudkan tergolong wajar dan haruslah demikian di tengah kompleksitas permasalahan orang Papua saat ini.
Ia hanya menciptakan dan mengagumi sistem pemerintahan ideal yang dipimpin oleh filsuf. Kriteria filsuf menurut Plato juga dapat dilekatkan kepada siapa saja yang siap menjadi legislator.
Semoga legislator yang kita pilih nanti berjiwa filsuf ala Plato. Legislator yang berkebajikan, berpendidikan, memiliki semangat keadilan dan kebaikan untuk memimpin negeri ini. (*)
Penulis adalah mahasiswa STFT Fajar Timur Abepura
Editor: Timo Marthen