Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Meskipun pemerintah memerintahkan semua warga melakukan physical distancing, tetapi persidangang tiga terdakwa kasus kerusuhan Wamena 23 September 2019, kembali digelar di Pengadilan Negeri Wamena, Senin (6/4/2020).
Penasehat hukum, Mersi Waromi, mengaku sudah beberapa kali minta penundaan sidang, namun tidak diterima oleh majelis hakim.
“Seakan-akan lembaga peradilan kebal terhadap virus ini. Apa yang dianjurkan pemerintah pusat, juga gubernur, yang mengeluarkan kebijakan kerja di rumah, tidak diikuti oleh jaksa dan hakim yang berada di wilayah hukum pengadilan tinggi Jayapura dan kejaksaan tinggi Papua,” katanya kepada Jubi, Selasa (7/4/2020).
Sidang berlangsung seperti biasa, terdakwa dihadirkan ruang sidang, demikian juga hakim, jaksa, dan penasehat hukum terdakwa.
Mersi memahami, kedua institusi itu berada di bawah Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung.
“Namun untuk keselamatan kita bersama yang terlibat di peradilan dan juga rakyat, seharusnya mereka serius hentikan proses hukum untuk sementara,” katanya.
Sidang dipimpin hakim Ketua, Yajid SH.MH, anggota Frans Efendi Manurung SH.MH, dan anggota 2, Ottow W.T.G.P Siagian SH berlangsung sejak pukul 10.56 hingga 11.46 memasuki agenda putusan untuk terdakwa Eliezer Siep, replik untuk terdakwa Ricky Wanimbo, dan agenda putusan untuk terdakwa Pilatus Pahabol.
Dalam sidang dengan terdakwa Eliezer Siep, dalam amar putusannya hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana pasal 170 Ayat 1 KUHP dengan menyatakan Pidana Penjara 8 bulan, dari tuntutan Jaksa penuntut Umum (JPU) 1 tahun penjara.
Terdakwa Ricky Wanimbo dengan agenda replik, namun kemudian diputuskan sidang ditunda hari ini, Selasa, 7 April 2020.
Sedangkan untuk terdakwa Pilatus Pahabol yang dipimpin Hakim ketua Yajid SH.MH, dan hakim anggota Frans Efendi Manurung SH.MH, serta anggota 2: Imelda SH memasuki agenda putusan, namun sidang dilanjutkan pada Rabu, 8 April 2020.
Peradilan jadi pintu masuk penularan virus
Gustaf Kawer dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua mengatakan semua warga yang tingga di Provinsi Papua perlu mengapresiasi kebijakan Pemerintah Provinsi Papua dan bupati/wali kota yang menutup daerah dari arus masuk dan keluar Papua, baik transportasi udara dan laut serta kebijakan social distancing maupunpPhysical distancing.
Namun langkah itu tidak diikuti oleh institusi peradilan di Papua, karena institusi Peradilan lebih mengikuti ‘perintah’ atasannya yakni Mahkamah Agung.
Ia menjelaskan ada beberapa persidangan yang sidangnya berjalan normal, bahkan dilakukan lebih meningkat lagi. Misalnya persidangan pelaku demo anti rasisme di Wamena, Jayapura, Manokwari, dan beberapa daerah lainnya termasuk persidangan terhadap mahasiswa Papua di Jakarta.
“Apa yang dilakukan Pemda akan percuma, jika lembaga negara lainnya tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh pemda. Peradilan bisa saja menjadi pintu masuk penyebaran virus corona,” katanya kepada Jubi, Selasa (7/4/2020).
Melihat realitas tersebut, ia minta Pemprov Papua dan bupati/wali kota supaya berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Ketua Kejaksaan Tinggi, Ketua Kejaksaan Negeri se-Papua untuk menghentikan semua proses persidangan.
“Gubernur, Bupati, Wali Kota, Kejati, dan Kejari juga harus membuat kebijakan untuk membebaskan tahanan/narapidana yang ada di Papua, juga tahanan Papua yang ada di luar Papua demi keselamatan mereka dan keselamatan kita semua,” katanya.
Ia berharap semua pihak dapat serius melihat permasalahan ini, karena itu dibutuhkan intervensi Pemda, DPR Papua, juga MRP agar dapat mengatasi permasalahan ini. (*)
Editor: Dewi Wulandari