“Sa Pu Kisah”, keras kelam perempuan Papua dalam rupa

Papua
Irene Wagab, “Ona Pak-Pak Mani Tombora”, Acrylic di atas kanvas 40-x-60 cm 2021. Foto dok Kelompok Udeido-AJAR
Papua No.1 News Portal | Jubi

Yogyakarta, Jubi – Tangannya menengadah. Mata sendu. Tangan kanan memegang baki berisi cangkir. Di tangan kirinya, tergantung tas kulit. Isinya buku dan perkakas entah apa. Dia berdiri tegak. Di bawahnya riak air. Biru warnanya.

Di citraan lain,kita bisa melihat figur serupa dua totem kelam bermata satu. Posisinya atas dan bawah seperti saling berefleksi. Figur di atas menyandang selendang bertuliskan “Black Label” lalu ada infus, tumpukan tengkorak. Sedangkan di figur bawah, tersuruk alkitab. Lukisan akrilik di atas kertas itu adalah karya Diana Yembise. Judulnya “Broken”

Read More

Pameran lukisan Daring ini diberi tajuk “Sa Pu Kisah; Buka Mata, Buka Hati.” Perhelatan ini merupakan kampanye digital yang fokus pada cerita-cerita Perempuan Papua. Pameran ini digagas kelompok seni rupa Papua “Udeido” dan organisasi Asia Justice and Rights (AJAR).

Baca juga: Kelompok perupa Udeido kisahkan “Surga Papua” di Yogyakarta

Kampanye ini disebut adalah sebuah upaya untuk “melantangkan” suara perempuan-perempuan Papua tentang pengalaman-pengalaman kekerasan dan konflik yang mereka alami dan perjuangan mereka untuk melawan dan melanjutkan kehidupan mereka dalam kekerasan.

Pengalaman kekerasan yang dialami perempuan Papua tidak terlepas dari konflik panjang yang sudah lama terjadi di Papua, sejak tahun 1963 hingga saat ini. Kekerasan diterima perempuan Papua dari berbagai pihak, baik kekerasan yang dilakukan oleh negara, kekerasan domestik dan kekerasan yang diterima dari keduanya.

Pameran ini diikuti oleh sepuluh perupa muda perempuan Papua. Mereka adalah Betty Adii, Blandina Yeimo, Diana Yembise, Irene Wagab, Nancy Nahuway, Ritha Karubuy, Nadili Aibini, Dessy Baru, Aquino Renwarin, Jenita Hilapok. Pameran dibuka pada 8 Maret lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia.

Kurator pameran ini, Ignatsus Dicky Takndare dalam pengantar pameran   mengutip laporan Kelompok Kerja Dokumentasi Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963 –2009, “Stop Sudah!”, serta temuan UN Women dalam Joint Programme on Combating Violence Against Women and Girls in Papua Province. Di sana disebut tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Papua adalah yang paling tinggi di Indonesia.  4,5 kali lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Baca Juga :Untuk Papua yang bebas dan setara, suara perempuan Papua dalam kolaborasi “Tonawi Mana”

Para perupa perempuan yang terlibat, mengekspresikan kisah-kisah dalam ragam gaya ungkap. Seniman muda Irene Wagab memilih warna warna kalem dan pastel. Dia berangkat dari kisah hidupnya sehari-hari sebagai seorang perempuan Fak- Fak. Ia mengeluhkan posisi mereka dalam tatanan adat bahkan keluarga yang ia sebut sebagai “tukang masak saja”. Absennya para perempuan pada skala tertentu dalam tatanan adat menjadi masalah tersendiri yang dihadapi perempuan Papua.

Diana Yembise, menggunakan idiom patung Korwar yang berasal dari budayanya sendiri untuk menggambarkan manusia. Diana ingin menggambarkan betapa minuman keras dan penggunaan zat-zat adiktif bukan hanya merusak manusia saja, tetapi juga merusak budaya Papua. Selain itu para perempuan adalah yang paling sering menjadi korban langsung atas penggunaan barang—barang ini yang notabene lebih sering berada di pihak laki-laki. Pameran ini juga menampilkan karya sejumlah perupa yang dijaring lewat jalur seleksi.

Kalau sempat, Coba buka tautan sapukisah.asia-ajar.org/pameran-online. Di sana kita bisa melihat lebih jauh lagi seperti apa perempuan Papua dalam balutan kisah. Semangat juga derita yang menderanya. (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply