Resolusi konflik pascakasus rasisme dan demo vandalisme di Papua

Aparat keamanan yang berjaga di depan Kampus Uncen di Abepura saat ratusan mahasiswa menggelar demonstrasi di halaman auditorium Uncen - Jubi/Roy Ratumakin
Aparat keamanan saat berada di depan Kampus Universitas Cenderawasih – Jubi/Roy Ratumakin.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Pares L. Wenda

Read More

“Rasialisme telah menembus redline sehingga tidak ada orang yang harus ditetapkan menjadi tersangka,” (Natalius Pigai-Aktifis HAM dan Mantan Komisioner Komnas HAM RI).

Konflik Papua baru-baru ini dipicu oleh dua hal. Pertama, 16 Agustus 2019 bendara Merah Putih diduga dijatuhkan ke parit (got) oleh OTK (orang tak dikenal) yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Papua depan asrama mereka.

Namun dugaan itu tidak terbukti hingga hari ini. Pelakunya masih belum jelas alias OTK. Peristiwa ini terjadi di asrama Kamasan II Jl. Kalasan No.10 di Surabaya.

Implikasinya oleh ormas reaksioner, Satpol PP, masyarakat, serta oknum TNI dan polisi yang bertugas saat itu mengeluarkan kata-kata rasis seperti, “monyet, babi, anjing, usir Papua, usir Papua sekarang juga”  dan kata-kata rasis lainnya.

Dampaknya terjadi demo damai yang berujung pada konflik dan kekerasan (vandalize-violance) di seluruh tanah Papua pasca kejadian di Surabaya dan Malang.

Mengapa demo berujung konflik kekerasan terjadi di Papua? Menurut Natalis Pigai “ketika disebut monyet bagi orang Papua, maka itu masuk dalam wilayah redline”. Artinya bahwa orang Papua tanpa diajak demo, mereka datang dengan inisiatif sendiri.

Dalam konteks politik misalnya, golongan yang berhaluan kanan dan kiri bersatu. Mereka meninggalkan perbedaan dari banyak hal. Mereka bersatu memperjuangkan dignity mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan.

Karena itu salah kalau Wiranto sebagai Menkopolhukam mengatakan akan cari otak/aktor di balik demo yang berujung konflik kekerasan itu. Hal ini dibantah oleh Natalius Pigai. Wiranto salah kaprah. Tidak ada aktor. Karena itu tidak perlu cari siapa aktor. Aktor ya semua OAP (orang asli Papua) yang disebut “monyet” itu.

Kata-kata rasis ini meluas pada wilayah politik dan pelanggaran HAM, dalam kategori konflik Papua digolongkan ke dalam marjinalisasi dan diskriminasi.

Dalam kacamata resolusi konflik, konflik ini digolongkan ke dalam konflik rasial yang dipicu oleh mental rasial dan mempunyai paham rasialisme dan mungkin juga fasisme dalam konteks merendahkan martabat manusia lainnya.

Ini juga sebenarnya bukan konflik politik, tetapi konflik sosial yang berujung pada kekerasan. Dalam konteks konflik sosial ini kemudian merambat ke konflik Papua dalam konteks Papua hari ini.

Pemicu konfliknya adalah mental rasialis yang secara nyata ditunjukkan kepada mahasiswa Papua, dimana mahasiswa Papua memang secara natural seperti orang Melanesia lainnya berkulit hitam dan berambut keriting.

Di Indonesia bukan baru kali ini terjadi. Sudah sering terjadi, baik secara personal, maupun kepada tim sepak bola Persipura, mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I di Yogyakarta tahun 2017, bahkan pada mata uang Rp 10.000 yang bergambar Frans Kaissepo juga disebut “monyet” di media sosial.

Ketika menyebut “monyet” kepada orang Papua sebagai representasi bangsa kulit hitam, orang kulit hitam di Melanesia, di Afrika dan di belahan dunia lainnya juga merasa, bahwa dignity mereka telah diganggu oleh suku bangsa yang juga mentalnya sudah terkooptasi dengan ujaran kebencian kepada bangsa atau suku lain yang ditujunya.

Dalam konteks global segregasi di AS juga terjadi karena mental rasial yang dibangun orang kulit putih, demikian juga dengan Aparteid di Afrika Selatan, pembantaian 6 juta jiwa bangsa Yahudi di Jerman. Pemain-pemain berkulit hitam di beberapa klub sepak bola Eropa juga sering disebut “monyet” oleh suporter.

Apa resolusi konflik yang harus dilakukan? 

Pertama, setiap warga negara di Indonesia kembali ke akarnya yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini sekarang sudah menjadi slogan, bukan lagi menjadi attitude.

Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di bawah burung Garuda hendaknya menjadi panglima sebagai perekat bangsa Indonesia yang mempunyai suku bangsa 200-an juta jiwa ini. Kalau Papua dianggap sebagai miniatur Indonesia, maka kebhinekaan ini wajib dijaga dan dilaksanakan.

Kalau tidak suka orang kulit hitam seperti orang Papua ini menjadi bagian integral dari negara yang bernama Indonesia, maka pernyataan Bung Hatta benar, bahwa bangsa Papua bukan bangsa Melayu. Mereka bukan serumpun dengan kita dan karena itu mereka hendaknya diberikan kesempatan untuk menentukan masa depan mereka sendiri, walaupun mereka merupakan wilayah yang menjadi bagian kolonial Belanda sama seperti wilayah Indonesia lainnya.

Ini resolusi konflik yang bermartabat, elegan, simpatik, dan manusiawi; menghargai manusia di atas segalanya. Manusia di muka bumi ini adalah ciptaan dan karya Allah yang Agung, diciptakan dengan tangan-Nya sendiri, karena itu setiap manusia memiliki 14 miliar sel.

Sel yang dimilik manusia itu tidak bisa disamakan dengan komputer, atau pesawat secanggih atau ciptaan mutakhir, hasil karya manusia. Kalau memang sama apa yang manusia yang satu, mengatakan “monyet” kepada manusia yang lain. Ini aneh bin ajaib;

Kedua, penyelenggara negara, terutama anggota TNI/Polri wajib diedukasi sebagai penjaga NKRI di garis terdepan. Jika mereka saja mempunyai mental rasis, apalagi dengan masyarakat akar rumput.

Jangan ditanya mereka pasti lebih rasis, dan bahayanya kalau masyarakat ini diindoktrinasi oleh organisasi-organisasi reaksioner berhaluan kiri. Ingat Rusia itu negara yang mempunyai luas daratan jauh lebih luas dari Indonesia.

Indonesia adalah negara kepulauan. Secara geoplitik negara ini mudah terpecah-belah. Jangan lupa akar persoalannya masih ada di dalam negara ini.

Timor Leste tidak pernah ada dalam kamus TNI/Polri sebagai penjaga keutuhan NKRI untuk melepaskannya, tetapi apa daya, ada kekuatan lain yang melampaui kekuatan Indonesia. Apa artinya? Potensi Papua lepas dari Indonesia itu sungguh ada di depan mata.

Belajarlah dari bangsa Israel, semakin ditindas oleh raja Firaun di masa itu, seruan mereka didengar oleh Tuhan di Surga. Pada akhirnya mereka melakukan eksodus, bebas dari penindasan, teror, dan kekejaman yang dialami hampir setiap hari. Bukan bangsa Israel yang bertindak untuk pembebasan mereka, tetapi Tuhanlah yang memimpin langsung eksodus itu.

Tuhan juga yang menyediakan pemimpin, untuk memimpin eksodus bangsa Israel, siapa pemimpin mereka, tidak asing lagi bagi semua orang yang beragama, yaitu nabi Musa.

Karena itu di parlemen Amerika patung nabi Musa terdepan dari semua pembuat hukum di dunia ini. Atas petunjuk Tuhan, Musa menulis 10 hukum Tuhan bagi bangsa Israel, yang (olehnya) hari ini seluruh negara mempunyai hukum. Hukum positif dan hukum adat;

Ketiga, siapa pelaku yang menjatuhkan MP (merah putih) diusut tuntas. Siapa yang membagikannya di WA dimana depan asrama Kamasan II di Surabaya bendara dijatuhkan di got itu? Siapa penyebar hoaks itu? Karena dalam pemeriksaan awal tidak ada anak Papua yang diduga menjatuhkan bendera di got.

Ketika aparat keamanan dan ormas atau masyarakat yang mengeluarkan kata-kata rasis baik di Surabaya dan Malang itu diusut dan ditangkap, tidak ada yang kebal hukum di Indonesia;

Keempat, pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan dana untuk menggantikan segala bangunan dan isinya yang terbakar atau rusak pascademo rusuh;

Kelima, tarik pasukan TNI/Polri 6.000 lebih yang dikirim ke Papua dan fungsikan secara maksimal aparat yang ada di Papua untuk menjaga objek-objek vital negara di Papua;

Keenam, Veronica Koman dan aktifis kemanusiaan lainnya tidak bisa dijadikan tersangka karena mereka melawan kasus rasialisme (wilayah redline). Rasialisme adalah musuh dunia. Orang sudah jenuh dengan kasus rasialisme secara global, bahkan banyak orang menjadi korban hampir setiap hari di dunia ini karena rasisme;

Ketujuh, buka ruang dialog bagi semua pemangku kepentingan antara Jakarta dan Papua untuk menemukan jalan terbaik. Dialog bukan berarti menyelesaikan masalah di dalam dialog itu, tetapi dialog sebagai alat yang digunakan untuk menemukan solusi terbaik bagi masa depan Papua.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar yang demokratis dan negara Islam demokrasi setelah Turki. Berbagai isu di Papua dapat dipilah-pilah misalnya isu pembangunan, regulasi untuk mendorong pelaksanaan pembangunan dialog dengan siapa? Menjaga keberagaman dalam kebinekaan dialog dengan siapa?

Distorsi sejarah, pelanggaran HAM dialog dengan siapa? Sehingga pemerintah dan representasi rakyat Papua jika berdialog orang mana yang dipertemukan atau siapa ketemu siapa? Jelas arahnya.

Jika beberapa hal di atas tidak dilakukan oleh pemerintah, bukan tidak mungkin Papua akan lepas dari Indonesia. Amin Rais mengatakan negara bekas Uni Soviet memecahkan dirinya menjadi negara-negara di Eropa Timur. Bukan tidak mungkin seperti Timor Leste bisa terjadi di Tanah Papua, bukan tidak mungkin seperti Sudan Selatan dan Sudan Utara bisa terjadi yang difasilitasi oleh PBB.

Indonesia negara besar, yang mampu menyelesaikan masalahnya, tetapi kebiasaan mengedepankan security approach dan kebiasan pembiaran masalah terus dilakukan, impunitas aparat di Papua terus dipelihara, kelompok pro-Indonesia yang melakukan pembunuhan, di Entrop, asrama Nayak di Abepura, pembunuhan beberapa orang di Deiyai dibiarkan, maka jangan salahkan siapa-siapa. Jangan salahkan Benny Wenda, jangan salahkan ISIS, jangan salahkan orang asing, tetapi introspeksi diri. Kata Gusdur, “gitu aja kok repot!”

Kiranya beberapa pemikiran di atas menjadi catatan penting bagi penyelesaian masalah Papua secara keseluruhan. Semoga! (*)

Penulis adalah aktivis kemanusiaan di Jayapura dan Ketua Pemuda Gereja Baptis sedunia mewakili Papua dan Indonesia

Editor: Timo Marten

Related posts

Leave a Reply