Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Dua persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional yang diterima Papua setiap tahunnya selama 20 tahun, berakhir pada 2021 ini. Pemerintah berencana memperpanjang dana Otsus Papua. Meningkatkan jumlahnya menjadi 2,25 persen dari DAU Nasional.
Akan tetapi para pihak di Papua mempertanyakan rencana perpanjangan dan penambahan dana Otsus, tanpa evaluasi itu.
Akademisi dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Doktor (DR) Yusak Reba, mengatakan tanggung jawab pemerintah bersama DPR RI mendorong evaluasi pemanfaatan dana Otsus selama ini.
Sebab, kebijakan Otsus Papua levelnya adalah undang-undang, bukan peraturan daerah khusus atau peraturan daerah provinsi. Pemerintah bersama DPR RI, yang bersama membahas dan mengesahkan Undang-Undang Otsus pada 2001 silam.
“Apakah selama ini dana dua persen bermanfaat atau tidak. Mestinya yang mendorong dan berinisiatif mengevaluasi adalah pemerintah pusat dan DPR RI,” kata Yusak Reba kepada Jubi, Senin (1/2/2021).
Mestinya pemerintah dan DPR RI mengevaluasi pemanfaatan dana Otsus, dengan memberi ruang dan memfasilitasi semua pihak bicara pengelolaan dana khusus itu.
Namun, selama ini pemerintah terkesan membiarkan para pihak berdebat, menyampaikan pendapat masing masing. Padahal, tidak mungkin mengambil alih kewenangan institusi atau lembaga lain.
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Uncen itu berpendapat evaluasi secara menyeluruh penting, agar tidak ada perdebatan dan saling curiga di antara semua pihak di provinsi tertimur Indonesia ini.
“Dengan begitu semua pihak bisa bicara kekurangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bukan menjadikan ini bola liar di kalangan kita di daerah,” ujarnya.
Ketika nominal dana Otsus Papua ditambah, patut pertanyakan apa acuan pemerintah dengan kebijakan itu.
Kata Reba, pemikiran sederhananya, ketika nominal dana ditambah berarti selama ini anggaran itu dinilai tidak mencukupi. Mestinya ada hasil kajian ilmiah memadai yang menjadi rujukan penambahan dana Otsus.
Ia mengatakan selama ini pemerintah, sejumlah lembaga non pemerintah, dan perguruan tinggi, memang banyak mengkaji dan mengevaluasi Otsus Papua.
Akan tetapi hingga kini belum ada hasil kajian yang disepakati semua pihak sebagai acuan bersama yang telah melibatkan semua pihak bicara secara terbuka.
“Kalau tidak, ada ruang bagi masyarakat mempersoalkan itu. Kalaupun dana Otsus dinaikkan, desainnya nanti seperti apa. Apakah menggunakan pola seperti sebelumnya, ditransfer langsung kepada daerah atau ada metode lain,” ucapnya.
Di Jakarta, Wakil Presiden Indonesia (Wapres), Ma’ruf Amin, meminta penyaluran dana Otsus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dievaluasi menyeluruh.
Evaluasi mesti menyasar efektivitas penggunaan dana itu untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Permintaan itu disampaikan Ma’ruf Amin saat memimpin rapat terbatas tentang isu-isu politik, hukum, dan keamanan terkait percepatan pembangunan kesejahteraan di dua provinsi di timur Indonesia itu, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
“Pemerintah akan merumuskan kembali kebijakan Otsus baru dengan melibatkan orang asli Papua dalam setiap perencanaan dan pelaksanaannya,” kata Ma’ruf Amin.
Pemerintah menyatakan akan membahas kebijakan Otsus bersama masyarakat di Tanah Papua. Cara ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan terbaik untuk mensejahterakan warga kedua provinsi itu dan memajukan pembangunan di daerah.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan rencana menambah dana Otsus tercantum dalam poin-poin revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.
Pemerintah juga menambah skema pendanaan menjadi dana transfer dengan skema block grant dan performance based. Sebelumnya, dana otsus hanya disalurkan melalui dana transfer dengan skema block grant.
Melalui skema ini, dana diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah. Skema itu diharapkan meningkatkan efektivitas dana otsus.
“Untuk meyakinkan masyarakat Papua benar-benar menikmati dana otsus baik untuk fasilitas pendidikan dan kesehatan,” kata Sri Mulyani, di Jakarta, awal pekan lalu.
Baca juga: Akademisi: Pasal pemekaran UU Otsus tidak mendesak direvisi
Rencana pemerintah melanjutkan kucuran dana Otsus dan menuai kritik dari berbagai pihak.
Petisi Rakyat Papua beranggapan kebijakan itu cenderung fasis dan lebih dilatarbelakangi kepentingan sepihak elit politik Jakarta untuk memaksakan kelanjutan Otsus.
Juru bicara Petisi Rakyat Papua yang digulirkan untuk menolak kelanjutan Otonomi Khusus (Otsus), Sem Awom, mengatakan kebijakan sudah cenderung sangat fasis, karena memaksakan doktrin subyektif negara, bahkan dengan menggunakan kekuatan militer untuk mengamankan semua kebijakan.
“Fasisme itu paham atau prinsip kepemimpinan dengan otoritas yang mutlak atau absolut. Perintah pemimpin dan kepatuhan berlaku tanpa pengecualian,” kata Awom.
Sem Awom menyatakan mayoritas rakyat di Bumi Cenderawasih menolak kebijakan fasis itu. Usulan pemerintah pusat itu justru menunjukkan pemerintah mengharapkan kepatuhan mutlak Papua terhadap kebijakannya.
Cara dan langkah pemerintah pusat itu dinilai didasari perspektif bahwa rakyat Papua adalah musuh yang mengancam kepentingan serta kekuasaan pemerintah pusat atas Tanah Papua.
“Itu terbukti pemimpin dan militer harus kuat menjaga negara. Jakarta terus membuat kebijakan sepihak untuk Papua. Untuk amankan [kebijakan itu], [pemerintah pusat] terus menambah pasukan. Sudah jelas, [itu] fasis,” tegasnya.
Awom menyatakan rakyat sudah tahu jika penambahan pasukan bertujuan menghancurkan musuh. Ia menilai musuh itu dikonstruksikan dalam kerangka konspirasi atau ideologi—mulai dari aspirasi Papua merdeka, pandangan bahwa orang Papua bodoh dan tidak mampu—sehingga Jakarta terus melakukan kontrol terhadap Papua. (*)
Editor: Angela Flassy