Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Yan Christian Warinussy, pengacara sekaligus aktivis HAM di Papua Barat mengatakan referendum di Provinsi Kepulauan Bougenville oleh Pemerintah Papua Nugini merupakan penyelesaian masalah secara demokratis. Warinussy berharap referendum itu dijadikan pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia dan para pemimpin politik Papua.
Warinussy menyebut referendum Bougenville yang dijalankan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) itu merupakan contoh konkrit penyelenggaraan demokrasi. “Referendum tersebut kiranya menjadi satu contoh konkrit tentang penyelenggaraan demokrasi di wilayah mayoritas etnis Melanesia di kawasan Pasifik dan dampaknya bagi situasi politik di Tanah Papua ke depan,” tulisa Warinussy dalam siaran persnya, Senin (25/11/2019).
Penghargaan Internasional Hak Asasi Manusia (HAM) “John Humphrey Freedom Award 2005” dari Kanada itu mengatakan proses referendum di Bougenville tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dan para pemimpin politik Papua untuk merancang pola penyelesaian konflik sosial-politik Papua yang damai dan demokratis. “Adalah penting untuk memulai cara damai dan bermartabat untuk memastikan tidak terjadi lagi penggunaan kekerasan fisik dan senjata di atas Tanah Papua” katanya.
Warinussy mengatakan upaya perdamaian dapat dirintis dengan pertemuan informal. “Sejarah penyelenggaraan Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atay yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang diduga penuh manipulasi dan melanggar hak asasi manusia serta melanggar Perjanjian New York 15 Agustus 1962,” katanya.
Menurut Warinussy seharusnya Indonesia mengabil contoh yang dapat dipakai untuk memperbaiki strategi dan pola serta rencana memperbaiki situasi sosial-politik di Tanah Papua. “Pendekatan yang bertumpu pada penghormatan hak rakyat Papua dalam menentukan nasib sendiri sebagai masyarakat asli dan adat berdasarkan amanat pasal 3 dari Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak Masyarakat Pribumi (indogenous Peoples),” katanya.
Warinussy mengatakan, Temuan Greg Poulgrain dalam penelitiannya yang dituangkan dalam Buku : Bayang Bayang Intervensi. Perang Siasat John.F.Kennedy dab Allen Dulles atas Sukarno, 2017 penting menjadi referensi untuk mengembalikan hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua sebagai salah satu komunitas etnis asli Melanesia di Pasifik.
“Sejarah penemuan singkapan bijih emas di wilayah Pegunungan Papua dengan kadar tembaga dan konsentrat emas yang sangat tinggi oleh 3 (tiga) orang Belanda tahun 1936. Sesungguhnya itu menjadi awal terjadinya pergulatan politik antara Belanda sebagai penguasa pemerintahan di Tanah Papua dengan pemerintah Amerika Serikat dalam konteka ekonomi dan politik bersama Indonesia di saat itu yang pada gilirannya sama sekali mengabaikan hak-hak dasar rakyat Papua selaku penguasa bumi Cenderawasih kala itu,” katanya.
Lanjut Warinussy, penting bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk secara terbuka dan jujur dengan berlandaskan cita-cita demokrasi di dalam UUD 1945 dapat mulai melakukan dialog damai dengan pihak-pihak yang berkepentingan seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk merancang formula penyelesaian damai atas penghormatan hak-hak politik rakyat Papua sesuai standar hak asasi manusia dan demokrasi yang bersifat universal.
“Salah satu langkah yang dapat dimulai oleh pemerintah Indonesia adalah memberikan kepercayaan kepada kira-kira 2 (dua) lembaga survey bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta perguruan tinggi negeri terkemuka untuk melakukan jejak pendapat secara ilmiah mengenai keinginan rakyat Papua untuk merdeka dana atau melakukan referendum tersebut secara terbuka di bawah pengawasan PBB,” katanya.
Kepala Suku Bakile dari Maleai di Bougenville berkata, “Kita senang melihat lebih banyak kehadiran polisi selama Referendum Bougainville. Masyarakat kita merasa sangat aman dan bisa bergerak dengan bebas. Kita akan membantu polisi dengan informasi yang bisa membantu mereka melakukan tugasnya.” (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G