RDP Otsus murni hak dan ruang Rakyat Papua (bagian 3)

papua-anggot-mrp-bandara-wamena
Anggota MRP, Engelbertus Kasibmabin (kiri), berkoordinasi dengan Kepala Trigana Wamena untuk menyiapkan pemulangan anggota tim ke Sentani - Jubi/Yuliana Lantipo

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Welis Doga

Pengadangan terhadap tim RDP dari Majelis Rakyat Papua (MRP) di Bandara Wamena 15 November 2020 oleh kelompok LMA dan BMP atau penangkapan terhadap tim RDP MRP di Merauke 18 November 2020, jelas-jelas telah merugikan keuangan negara, karena perjalanan mereka justru tidak membawa hasil yang maksimal (RDP gagal digelar).

Read More

Yang menyebabkan kerugian keuangan negara adalah adanya aksi pengadangan oleh kelompok yang mengatasnnamakan diri BMP dan aparat kepolisian yang merupakan penegak hukum. Padahal aparat negara sesuai namanya saja sebagai penegak hukum. Aparat negara sesuai tupoksinya wajib melaksanakan tugasnya untuk mengamankan amanat UU, yang merupakan juga perintah negara. Namun tindakan aparat penegak hukum itu justru keluar dari tupoksinya hingga menyebabkan kerugian pada keuangan negara.

Kehadiran MRP di Wamena dan Merauke guna menjalankan agenda negara, amanat undang-undang. MRP adalah pejabat negara di daerah, sehingga dalam situasi seperti itu, polisi berkewajiban untuk segera mengamankan pejabat negara yang melaksanakan tugas negara.

Namun, aparat keamanan justru terkesan memfasilitasi para pendemo seperti di Wamena dan Merauke. Di Merauke justru kapolres memimpin pembubaran, penangkapan, pengeledahan, hingga penahanan anggota MRP maupun tim MRP lainnya.

Parahnya lagi adalah penggeledahan, penangkapan, hingga polisi memborgol anggota MRP dan tim MRP di Merauke sebelum melaksanakan kegiatan, masih di penginapan/hotel, hingga peserta RDP ditangkap dan ditahan di Polres Merauke. Ini sudah tentu melanggar hukum.

Di satu satu sisi perjalanan MRP ke Wamena atau Merauke dalam rangka RDP menggunakan anggaran negara, tetapi kegiatan RDP tidak dilaksanakan karena diadang oknum-oknum yang tidak bertangung jawab itu.

Dengan peristiwa itu, MRP tentu mengalami kerugian pada anggaran negara. Pertanyaannya, siapa yang akan bertangung jawab atas kerugian tersebut, apalagi penggunaan anggaran negara itu tanpa hasil? Persoalannya biaya transportasi pergi-pulang dari Jayapura ke Wamena dan Merauke sudah pasti menggunakan anggaran negara, sebab perjalanan mereka merupakan perjalanan dinas yang dijamin undang-undang.

Dalam kasus pengadangan di Wamena, pihak-pihak yang harus bertangung jawab atas kerugian keuangan negara itu adalah kelompok pengadang (LMA, BMP, Polres Jayawijaya, Kodim 1702/Jayawijaya, dan Pemkab Jayawijaya), sedangkan pihak yang harus bertangung jawab terhadap kerugian anggaran negara di Merauke adalah Polres Merauke, Bupati Merauke, dan masyarakat binaan yang menolak RDP.

Pihak-pihak di atas harus bertanggung jawab karena TNI/Polri sudah berada di tempat kejadian saat terjadi pengadangan di Wamena, tetapi mereka tidak mengambil tindakan pengamanan. Di Merauke justru aparat keamananlah yang melakukan tindakan premanisme.

Pemkab Jayawijaya dan Merauke tidak respek terhadap tim RDP dari MRP. Ini membuktikan bahwa pemerintah daerah seenaknya menggunakan anggaran otsus tapi tidak mau mengevaluasi anggaran yang telah digunakan.

Lalu dari sisi tupoksi sebagai aparat keamanan, polisi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang diadang adalah pejabat negara di daerah yang melakukan perjalanan dinas sesuai perintah undang-undang. Oleh karena itu, demi efektivitas pengelolaan keuangan negara, pihak-pihak yang menolak RDP harus ditindak tegas. Hukum harus berdiri tegak, sebab MRP sedang menjalankan amanat undang-undang NKRI.

Aparat negara wajib menjamin keamanan pelaksanaan RDP

Pengadangan MRP di Wamena dan Merauke membuktikan kinerja aparat negara di Papua semakin buruk. Penangkapan di Merauke yang dilakukan kepolisian, apalagi kapolres tanpa membuktikan pelanggaran hukum—hanya karena menduga-duga, adalah sebuah kelalaian dan tentu melawan perintah undang-undang.

Apa yang hendak dilakukan MRP dengan RDP bukan perintah pribadi dan demi keuntungan pribadi setiap anggota MRP, tetapi untuk kepentingan negara sesuai amanat undang-undang.

Kehadiran mereka di daerah-daerah dengan membuka ruang RDP menyasar orang asli Papua. Pelaksanaannya juga dibatasi jumlah pesertanya.

Sebenarnya tidak ada aturan untuk membatasi jumlah peserta yang harus hadir dalam RDP. Undang-Undang Otsus dan PP No.54/2004 yang kemudian diubah PP No.64/2008 tentang MRP juga tidak mengatur tentang batasan peserta RDP. Oleh sebab itu, jaminan keamanan dalam pelaksanaan RDP harus menjadi tanggung jawab aparat keamanan. Aparat wajib memberikan ruang seluas-luasnya kepada rakyat Papua, untuk mengemukakan pendapatnya dalam ruang yang difasilitasi MRP, bukan malah mempolitisir lalu melakukan tindakan sewenang-wenang.

Pengadangan oleh kelompok LMA dan BMP di Bandara Wamena adalah kelalaian besar TNI/Polri di Jayawijaya. Di Merauke aparat keamanan justru melakukan tindakan represif, tidak melaksanakan tupoksi secara profesional, padahal MRP hadir di sana dalam rangka melaksanakan perintah UU.

Saat pendemo dari kelompok BMP dan LMA mengadang MRP di Bandara Wamena, aparat keamanan justru ada di sana. MRP terpaksa harus kembali ke Jayapura, padahal ada aparat keamanan yang mestinya mengamankan pejabat negara di daerah yang melaksanakan tugas negara, sebagaimana perintah undang-undang.

Namun di Merauke Kapolres malah melakukan tindakan tidak terpuji hingga anggota MRP diborgol secara sewenang-wenang. Ini jelas-jelas telah melangar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di satu sisi pengadangan di Wamena terjadi pada hari minggu—hari beribadah umat kristiani, lalu tidak jelas apakah ada izin demontrasi atau tidak, bahkan pendemo tidak menjaga protokol kesehatan. Mereka berkumpul untuk melaksanakan aksinya tanpa menggunakan masker.

Hal lain adalah pendemo melakukan aksi pengadangan di areal objek vital, bandara, padahal itu jelas-jelas melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan yang diadang adalah aparat negara yang sedang melaksanakan tugas kenegaraan. Aparat keamanan yang sudah berada di kawasan Bandara Wamena tidak mengamankan area objek vital (bandara) dan tidak mengamankan pejabat negara (MRP) yang melaksanakan tugas.

Oleh sebab itu, pembiaran terhadap aksi-aksi demontrasi seperti pengadangan, penangkapan, dan pemborgolan terhadap MRP, merupakan kelalaian aparat negara di Papua, yang sesuai tupoksi mestinya menjaga ketertiban umum atau menjamin keamanan dalam pelakanaan RDP.

Maklumat Kapolda Papua mencederai UUD 1945

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan amanat konstitusi NKRI, yang terangkum dengan sempurna dalam pasal 28 UUD 1945. Lalu secara spesifik diatur pula pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan diatur dalam DUHAM.

Oleh sebab itu, maklumat Kapolda Papua tentang pembatasan ruang berpendapat dengan dalih menghindari penyebaran klaster baru Covid-19 di Papua, telah mencederai konstitusi (UUD 1945) atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Yang jadi soal adalah dalam perisitiwa penangkapan, pengeledahan, serta penahanan hingga pemborgolan anggota MRP –pejabat negara di Merauke, merupakan tindakan sewenang-wenang yang berlebihan oleh Kapolres Merauke. Padahal kegiatan RDP belum dilaksanakan, belum juga ditemukan adanya peserta yang berlebihan dalam ruangan RDP yang dapat berbahaya pada penyebaran pandemi covid-19. Kapolres Merauke hanya menduga-duga dan tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran hukum dalam pelaksanaan RDP yang baru direncanakan itu.

Kapolres Merauke juga boleh dikatakan sudah berlebihan dalam tindakannya, sebab isi maklumat kapolda hanya memperingatkan dan membatasi adanya peserta RDP melebihi 50 orang yang rentan dengan penyebaran covid-19.

Namun dalam praktiknya bawahan kapolda Papua ini melenceng dari isi maklumat. Hal ini membuktikan sebagai seorang kapolres bertindak tidak profesional, melenceng dari isi maklumat sendiri. Ini yang orang bilang, yang diperintahkan lain, lain pula yang dipraktikkan.

Di Wamena kapolres saat peristiwa pengadangan sudah ada di TKP (Bandara Wamena). Namun tim RDP dari MRP harus kembali ke Jayapura. Padahal aparat itu wajib mengamankan MRP, pejabat negara yang sedang melakukan perjalanan dinas, untuk melaksanakan amanat undang-undang. Ini juga membuktikan Kapolres Jayawijaya tidak mampu menjaga keamanan di wilayah hukumnya.

Persoalannya adalah karena atas dasar maklumat kapolda itu agenda lembaga negara yang resmi itu harus batal, hingga mengalami kerugian keuangan negara yang cukup besar. Oleh sebab itu, pihak-pihak yang menyebabkan adanya kerugian anggaran negara tersebut harus bertangung jawab secara hukum.

Sebagai sesama lembaga negara, Polda Papua harus gentlemen dalam bertangung jawab atas kerugian keuangan negara yang dikeluarkan MRP, akibat dari sikap polisi yang tidak profesional itu. Republik ini negara hukum, sehingga tidak ada yang kebal hukum, penegak hukum sekalipun wajib tunduk pada hukum. Selesai. (*)

Penulis adalah masyarakat pegunungan tengah Papua

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply