Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Nama politisi Partai Hanura, Ambroncius Nababan mendadak diperbincangkan publik gara-gara berlaku rasis terhadap mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Dalam laman Facebooknya, Nababan yang juga Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin mengunggah foto Pigai disandingkan dengan foto gorila, gara-gara Pigai mengkritisi penggunaan vaksin produksi Sinovac dalam vaksinasi COVID-19 di Indonesia.
Dalam unggahan lainnya, Nababan juga mengomentari pemberitaan yang berisi pernyataan Pigai bahwa rakyat berhak menolak vaksinasi COVID-19. Unggahan Nababan itu telah diadukan sejumlah pihak ke Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat.
CNN Indonesia melansir Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen R Prabowo Argo Yuwono di Jakarta mengatakan kasus itu akhirnya diambil alih Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, karena Nababan berdomisili di Jakarta. Argo menyatakan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga telah melakukan analasis terkait unggahan Nababan di akun Facebook.
Baca juga: Masyarakat Batak Papua Barat kecam keras ujaran rasis Ambroncius Nababan pada Natalius Pigai
CNN Indonesia juga melansir pernyataan Nababan yang mengaku unggahannya di Facebook dia tujukan untuk pribadi Natalius, dan bukan untuk masyarakat Papua. Nababan mengaku pernah menjadi calon anggota legislatif dari Papua, sehingga dia tidak mungkin mengkhianati atau menghina rakyat Papua, apalagi melakukan rasis.
Tapi kali ini polisi berpendapat lain. Pada Selasa (26/1/2021), Tempo.co melansir bahwa Bareskrim Polri menetapkan Ambroncius Nababan sebagai tersangka dalam kasus dugaan rasisme terhadap Natalius Pigai. “Ya betul,” ujar Direktur Tindak Pidana Siber Brigadir Jenderal Slamet Uliandi saat dihubungi Tempo pada Selasa.
Natalius Pigai mengingatkan, tindakan Nababan hanya bagian dari persoalan rasisme yang dipelihara di Indonesia. Pigai mengatakan selama pemerintahan Joko Widodo, pembantaian, pembunuhan dan kejahatan hak asasi manusia di Papua cenderung didasari rasisme. Pigai menyebut negara memang memelihara dan mengelola rasisme sebagai alat pemukul setiap orang yang berseberangan dengan kekuasaan.
Rasisme adalah masalah orang Indonesia
Peneliti Papua dari Georgetown University, Amerika Serikat, Veronika Kusumaryati menyebut kasus rasisme terhadap Orang Asli Papua (OAP) selalu berulang. Perulangan itu menunjukkan bahwa rasisme terhadap OAP itu adalah persoalan struktural dan sistematik yang melibatkan kebudayaan dan kepercayaan yang mengakar. Veronika menegaskan rasisme bukan persoalan individual, tetapi berakar pada kepercayaan, perilaku, dan sistem sehari-hari masyarakat yang menganggap ras satu lebih rendah dari ras lain.
“Dalam hal rasisme terhadap orang Papua, akar rasisme ini sudah berjalan lama dan mencakup berbagai aspek bernegara dan berbangsa di Indonesia. Bahkan nasionalisme Indonesia bisa dibilang berakar pada denigrasi/perendahan orang Papua. Contoh, kata ‘membebaskan’ dari Soekarno, dan sekarang ini istilah ‘NKRI Harga Mati’,” ujar Veronika yang dihubungi Jubi pada Selasa (26/1/2021).
Veronika menyoroti berbagai kasus rasisme terdahulu, di mana para pelakunya tidak diproses secara hukum. Dalam sejumlah kecil kasus rasisme terhadap orang Papua, pelaku diproses secara hukum, namun hanya mendapat hukuman ringan. “Padahal Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Akan tetapi, undang-undang itu tidak dipahami dan dilaksanakan bahkan oleh penegak hukum sendiri,” kata Veronika.
Antropolog yang telah beberapa kali melakukan penelitian di Papua itu menyatakan tindakan rasis tidak cukup diselesaikan di level pribadi orang per orang, misalnya dengan minta maaf. “Rasisme adalah persoalan sosial dan hukum. Perubahan di level pribadi saja tidak cukup. Harus ada pembenahan besar-besaran di sistem kepercayaan, termasuk sistem pendidikan, sistem hukum, politik dan lainnya untuk menciptakan masyarakat yang antirasis,” ujar Veronika.
Ia mengimbau individu orang Indonesia seharusnya bisa belajar mengapa orang Papua merasa mereka didiskriminasi secara rasial. “Orang Indonesia harus mendengar, bukan menggurui orang Papua, karena yang punya masalah rasisme adalah orang Indonesia,” tegasnya.
“Kita harus membongkar dan menolak pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan rasis. Melihat kembali fondasi negeri ini. Jangan makan mentah-mentah versi pemerintah,” lanjut Veronika.
Harus dibicarakan sampai akarnya
Veronika Kusumaryati mengajak publik Indonesia meredefinisikan konsep kebangsaan Indonesia. Menurutnya kesulitan utama untuk menghapuskan cara pandang rasis di Indonesia adalah abainya orang Indonesia yang membiarkan definisi kebangsaan didominasi dan didikte oleh kekuatan militer yang jelas tidak demokratik.
“Tahun 1965 menurut saya bukan hanya kekalahan bagi kaum kiri, tapi secara besar [kekalahan] kaum demokratik Indonesia. Tentu saja ini bukan masalah Indonesia saja, karena New York Agreement yang memungkinkan Indonesia masuk ke Papua diilhami ideologi rasis Barat, terutama Amerika. Orang Indonesia sering merasa dirinya punya supremasi moral terhadap orang Amerika dan Eropa yang rasis. Orang Indonesia merasa dirinya tidak rasis karena berjuang melawan kolonialisme. Akan tetapi, bisa dilihat dari tindak tanduk kita ke orang barat, orang Tionghoa, dan orang Papua. Sebenarnya Indonesia rasis juga,” lanjutnya.
Veronika menduga realitas itu diterima orang Indonesia, karena sejak merdeka belum banyak mendapat capaian. “Mungkin itu cara untuk menutupi pemaksaan dan eksploitasi Indonesia di Papua. Persoalan [rasisme] itu tidak unik, karena banyak negara lain memilikinya. Akan tetapi, menerima bahwa Indonesia bukan apa-apa tanpa Papua itu mungkin pahit,” katanya.
Baca juga: Kasus Rasisme Natalius Pigai, ini imbauan Polri kepada warga Papua
Pada Agustus 2019, publik di Indonesia terkejut melihat kemarahan orang Papua atas kasus rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019. Polisi sempat menyangkal rasisme itu dan berencana memburu penyebar video ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua. Akhirnya, sejumlah unjuk rasa memprotes kasus rasisme di Surabaya itu berkembang menjadi amuk massa.
Satu bulan setelah peristiwa rasisme di Surabaya itu, akademisi dari The University of Queensland, Jenny Munro menulis di jurnal daring The Conversation, menjelaskan bahwa rasisme yang dilakukan orang Indonesia justru meningkat karena orang Indonesia tidak mau membicarakan apa itu rasisme, seperti apa bentuknya, dan apa akibatnya.
Akademisi yang lebih sepuluh tahun meneliti di Papua ini menyebut masyarakat Papua telah lama mengalami perlakuan rasis di Indonesia. Akan tetapi, masyarakat Papua selalu dituntut untuk diam saja, demi persatuan dan keharmonisan.
“Rasisme bisa berakibat serius. Rasisme menyebabkan orang tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang masa depan dirinya sendiri. Hal ini bisa digunakan untuk mencabut martabat, lahan, otonomi, dan hak,” katanya. Masalah rasisme memang harus dibicarakan secara terbuka, bersama-sama, dengan kepala dingin tentunya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G