Rasisme Papua, tumbuh sejak dalam kandungan atau dibesarkan sistem yang menindas?

Ketidakadilan di Papua
Foto ilustrasi. - Pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Frederika Korain*

Menyimak pernyataan sikap masyarakat Batak di Tanah Papua atas tindakan rasis Ambroncius Nababan terhadap Natalius Pigai, saya belajar untuk yakin bahwa perbuatan satu orang itu tidak mewakili seluruh kaum, suku, agama, dan berbagai identitas lain yang serba berbeda dari Papua. Karena, masih ada orang baik lain di antara kaumnya, marganya.

Read More

Saya tidak tahu persis bagaimana pertalian keluarga diantara mereka, tapi ada Nababan lain yang memberi hati bagi Papua. Ia adalah orang yang saya hormati, dan sepantasnya orang Papua mengingat jasanya, almarhum Asmara Nababan.

Jasanya besar, karena turut membuka ruang kebebasan hukum dan demokrasi Papua seperti apa yang kita rasakan saat ini. Saat ia menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, ia bekerja pada masa gelapnya rezim Soeharto, lantang bicara tentang kekejaman militer yang membunuh orang Irian, (sebutan bagi Papua saat itu).

Bisa jadi ia terpanggil bekerja menolong Papua, lantaran ia mengetahui seluk-beluk hidup orang Irian dari seorang kakak perempuannya yang telah puluhan tahun menjadi guru di Papua. Kakak perempuan Asmara Nababan menetap di wilayah Dok 5, Kota Jayapura.

Baca juga: Pemikiran Jean Paul Sartre dan pembebasan di West Papua

Rasisme terhadap orang Papua memang harus dipahami pelan-pelan, dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua sudah mengakar sejak lama.

Sejak zaman Papua berkontak dengan dunia di luar Papua, seperti masa persinggungan Papua dengan Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate masa perdagangan budak dari pantai yang disinggahi pelaut dan pedagang dari kedua kerajaan itu. Sejumlah guru Zendeling dan Misi yang datang dari Maluku juga memandang orang Papua rendah. Mereka merasa kelas mereka jauh lebih tinggi dari kaum hitam keriting yang hendak dikristenkan ini.

Begitu pula ketika pemerintahan Indonesia hadir untuk pertama kali, orang Papua dianggap kelas paria, dilucuti, diinjak, dianggap manusia kelas ke sekian yang tidak berharga. Pekerjaan yang ketika masa Belanda sudah dilakukan orangtua kami lantas diambil paksa, dan pelan-pelan dikuasai oleh saudara-saudara yang datang dari luar Papua. Situasi itu berjalan panjang dan menciptakan ketimpangan yang hari ini kita lihat di seluruh Tanah Papua.

Dalam dunia bisnis dan jasa, ada sejumlah toko, kios, ataupun kegiatan ekonomi lain yang saat itu dikelola dan dimiliki oleh orang Papua. Ada Keluarga Numberi, Rumbiak, Mahuze, Malibela, dan yang lainnya, yang saat itu dipilih mewakili suku-suku yang ada di Papua untuk terjun dalam dunia perdagangan.

Banyak dari mereka pernah dikirim ke Delft, Amsterdam, Den Haag untuk mempelajari berbagai bidang usaha. Ada juga orang Papua yang dikirim pemerintah Belanda ke Fiji dan Papua Nugini. Setelah pulang, mereka mengelola berbagai kegiatan ekonomi saat itu, termasuk dengan membuka toko, konveksi, bengkel, dan lain-lain.

Baca juga: Kolonialisme bermetamorfosis di Papua

Misalnya di Kota Jayapura, mereka berusaha di sepanjang Jalan Irian, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Percetakan. Pasca Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, banyak usaha orang Papua itu dirampas kelompok pendatang yang disokongan moncong senjata militer Indonesia. Para pemilik semula itu hanya gigit jari, tak kuasa mempertahankan hak mereka.

Mereka hidup dengan hati yang perih, banyak diantaranya mati merana. Tapi apakah dengan begitu, kita orang Papua serta-merta mencap bahwa orang Ambon, Kei, Batak, Jawa, Tionghoa dan lainya itu semuanya berlaku rasis terhadap orang asli Papua? Tidak! Di antara mereka ada yang menjadi rasis karena disokong oleh sistem yang sedang berlaku.

Pada zaman Belanda, pandangan rasis para guru agama itu tidak kelihatan, bisa jadi karena ada ruang sosial yang tidak memungkinkan pandangan seperti itu tersebut merajalela. Orang Papua diberi kesempatan oleh Belanda untuk mandiri, menjadi dirinya sendiri.

Pada masa NKRI ini, watak rasis tersebut justru tumbuh subur, karena sistem yang sedang mengelola Papua memang mengandung watak yang anti Papua. Jadi, siapapun orang itu, dari suku mana saja di Indonesia, ketika berkontak dengan orang Papua akan dikuasai pikiran bawah sadar yang rasis, sehinga ia serupa dengan para pelaku rasisme yang dulu, kini, dan pada masa mendatang.

Papua dipandangnya sama dengan keset kaki yang harus diinjak-injak, bila perlu dimusnahkan sekaligus. Kepada anak-anak saya, saya selalu menasehati sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. “Agar kamu, anak Papua, bisa dianggap manusia yang punya martabat sama dengan manusia lain di Indonesia, sekalipun itu di negeri kalian sendiri, kamu harus kerja jauh lebih keras, tiga sampai empat kali lebih keras. Di sekolah, kamu harus belajar lebih keras dan punya prestasi, barulah kamu dianggap ada, karena kamu Papua yang hitam keriting!”

Baca juga: Akal sehat disita oleh nilai rupiah

Pandangan dan perilaku rasis terhadap Papua sebenarnya sudah ditakutkan oleh Mohammad Hatta. Bapak Proklamator RI itu telah membicarakan masalah itu dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hatta menegaskan jangan hitung New Guinea atau Papua masuk dalam wilayah Indonesia yang akan diproklamirkan. Hatta mengingatkan mayoritas penduduk Papua ras Melanesia, kebudayaannya berbeda jauh dari ras Melayu yang mayoritas. Kalau mereka dimasukkan ke dalam negara Indonesia yang nanti diproklamirkan, Hatta khawatir suatu kelak ras mayoritas akan membuat perlakuan buruk terhadap ras Melanesia, mempraktikkan rasisme dan penjajahan internal.

Pengetahuan Hatta tentang New Guinea lebih dalam lantaran ia menjalani tiga tahun masa pembuangan di belantara Digoel (Tanah Merah, Boven Digoel kini). Apa daya, saat itu suara Hatta kalah dari Moch Yamin dan Soekarno yang bermimpi menegakkan kembali kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Sayang, apa yang ditakutkan seorang Hatta itu kini terjadi kini!

Jadi rasisme Papua punya jalan cerita yang sudah panjang sejak awal interaksi orang Papua dengan orang non Papua terjadi pada abad 14-15. Rasisme itu berjalan makin kuat dan kentara sejak Indonesia menginjakkan kakinya di Tanah Papua. Rasisme itu terjadi bukan karena tindakan orang perorangan seperti yang kini terjadi.(*)

* Penulis adalah advokat hak asasi manusia di Papua. 

Editor: Aryo Wisanggeni G

Related posts

Leave a Reply