Rasisme: Allah itu Separatis yang Adil

Rasisme Papua
Foto ilustrasi. - pixabay.com

[sebuah tinjauan moral sosial] 

Oleh: Petrus Odihaypai Boga

Read More

Menarik sekali membaca sebuah diskusi Nicolaas Jouwe dan duta Besar Israel di kedutaan Israel di Washington, (1962). Nicolaus adalah pelaku dan sejarahwan bangsa Papua masa lalu (anak muda Papua harus mengenalnya). Ia bertemu duta besar Israel di kantornya. Duta besar melihat Nico sedang menangis. Ia bertanya, “Tuan Jouwe, mengapa anda menangis?” Nico menjawab, “Saya dipermalukan oleh Tuan Banker”; karena ia meninggalkan tanpa menyelesaikan pertemuan dan diskusi tentang kolonialisme pada saat itu yang terjadi di antara Belanda dan Indonesia dalam perebutan kekuasaan wilayah Papua yang telah merdeka pada tahun sebelumnya (1961).

Duta berkata “Jouwe, boleh menangislah, kadangkala itu boleh membantu! Nico, lain kali kamu kembali dan ketuk pintu dan pada hari berikutnya ketuk pintu lagi. Sepanjang hidupmu kamu mengetuk pintu sampai mereka buka dan bertanya kepada anda dengan nada marah, ‘apa yang anda inginkan?’ lalu katakan pada mereka”. Ia menguatkan Nico, bahwa kami orang Yahudi pernah diperlakukan seperti binatang dan seperti penjahat. Sesudah dua ribu tahun, setelah enam juta orang Yahudi dibunuh Hitler, kami kembali ke tanah perjanjian kami. Kami saling menatap dan sepakat bahwa tanah kami tidak ada yang merebut lagi. Nico kamu melakukan hal yang sama”.

Menurut penulis, menarik bahwa duta mengatakan: Papua New Guinea (west Papua) diciptakan oleh Tuhan dan diberikan kepada orang-orangmu, seperti Tuhan memberikan setiap bangsa di bawah matahari. Tuhan adalah separatis besar. Nicolaus percaya bahwa Tuhan itu separatis sejati. Tuhan menciptakan bumi dengan dua kutub dan empat arah mata angin, serta semua diciptakan-Nya unik. (Kisah hidup Tokoh-tokoh Papua, Farhasian, hlm. 234-235). Pertanyaannya, apakah benar Tuhan itu separatis?

Tuhan Itu Separatis Adil

Memahami frasa ‘Tuhan itu separatis’ perlu melihat kata separatis dari arti harafiahnya. Kata separatis berasal dari kata Inggris separate, artinya pisah; separated, artinya terpisah, tersendiri; separation, artinya pemisahan, perceraian, perpisahan, kelepasan; separatist, artinya orang yang memisahkan diri; separator, artinya alat atau mesin pemisah.  Kemudian istilah ini berkembang dan muncul istilah separatisme, yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut paham yang memisahkan diri ‘dari’ suatu bangsa dan ‘untuk merdeka sebagai suatu bangsa tersendiri’.

Jadi berdasarkan arti harfiahnya, separatis adalah suatu keadaan realistis yang terpisah atau dipisahkan oleh alat atau mesin pemisah tertentu, dari suatu realitas untuk realitas lain demi terwujudnya tujuan tertentu dari penggerak utama yang menggerakkan objek pemisahan itu menjadi terpisah. Penggerak utama pemisah itu adalah Tuhan. Objek yang dipisahkan-Nya adalah kosmos (ciptaan-Nya).  Gerak yang sedang bergerak untuk memisahkan objek “kosmos” itu adalah tujuan dari Tuhan dan misteri-Nya. Misteri itu penulis menyebutnya ‘estetika daya kreasio-Nya’. Penulis membatasi pengulasannya, kita dapat mengerti dengan pemahaman sederhana, bahwa ‘esterika daya kreasi-Nya’ adalah sebuah ukuran keindahan menurut Sang Pencipta.

Barangkali manusia sulit memahami misteri Tuhan itu. Pencipta menciptakan segala isinya dengan unik dan menempatkan semua itu pada tempat yang layak bagi ciptaan-Nya. semua baik adanya dan indah. Pencipta memisahkan dan menempatkan semua ciptaan-Nya, berdasarkan jenis dan habitatnya. Ia menempatkan semuanya secara adil. Jadi semua yang unik dan keberadaannya itu tanda Tuhan itu hadir. Tuhan itu separatis yang adil. Namun demikian kesulitan memahami maksud dan rencana pencipta atas semua keberadaan yang telah menempati pada ruang yang disebut bumi ini, sehingga manusia sering cenderung salah kaprah terhadap esensi dan eksistensi keunikan ciptaan itu.

Menurut penulis, yang dimaksud dengan keunikan pada esensi ciptaan adalah inti mendasar dari sebuah objek penciptaan-Nya yang ada bersama-sama atau yang ada pada dirinya ketika objek itu diciptakan dan membentuk dirinya berbeda dengan objek ciptaan lain. Sedangkan keunikan eksistentensi ciptaan adalah semua keberadaan dan cara berada dari objek itu dan membentuk dirinya menjadi dirinya sendiri dari objek lain. Misalnya, monyet dan manusia. Monyet tentu amat berbeda dengan manusia. Monyet dan manusia adalah sama-sama ciptaan. Keduanya boleh disebut objek ciptaan-Nya, namun tidak bisa disebut satu substansi, seperti: manusia dan monyet adalah hewan atau keduanya manusia.

Melihat keunikan dari aspek ‘cara ber-ada’ Monyet. Secara fisik monyet tidak memiliki rambut tetapi berbulu, ia tinggal di hutan, tidak pandai membangun rumah, tidak berkebun dan beternak, tidak bisa menyadari akan suatu kebaikan atau nilai hidup; monyet tidak bisa berbicara tentang dirinya sendiri, dia bisa meneruskan gen dan kebiasaan bawaan kepada keturunannya tetapi tidak dapat meneruskan sebuah sejarah; tidak bisa mengatakan bahwa ia sedang berada dan memimpikan suatu masa depan yang ideal. Kebiasaan dan cirinya ini telah tersistem dan terbentuk suatu keunikan tersendiri pada dirinya sendiri dan itulah yang disebut eksistensi monyet.

Keunikan eksistensi itu formula dari suatu esensi diri dari keberadaan objek itu sendiri.  Esensi monyet adalah gerak atau daya yang ada dalam dirinya sejak diciptakan-Nya, yang selalu mendorong ia ‘menjadi monyet’ bukan manusia. Saya meminjam istilah biologis bahwa gerak itu adalah ‘naluri’nya. Sedangkan manusia secara singkat dapat katakan bahwa, manusia dapat berbicara tentang dirinya sendiri, merencanakan atau memimpikan masa depan yang ideal dan mempelajari sejarahnya. Ia mempunyai jiwa dan roh atau akal budi. Dengan demikian ada keunikan esensial dari keberadaan monyet itu, bahwa monyet itu bukan manusia. Maka jelas bahwa secara substansial manusia dan monyet itu tidak sama.

Bagaimana dengan sikap manusia yang ‘mau’ menyebut sesama manusia itu ‘Monyet’? Prinsip memahami sikap itu dengan pendekatan pemahaman dalam frase “proyeksi diri dan bangsanya”. Sedang berekspresi batinnya. Sebenarnya, pihak yang memiliki sikap demikian itu ‘mengakui’ dirinya atau bangsanya tidak mampu mengakui dan menerima kekayaan ciptaan-Nya. Mereka memisahkan sesamanya dari dunianya. Manusia yang mempunyai jiwa dan roh tetapi bersikap demikian adalah tanda “buta akal sehat dan kerusakan moral bangsanya serta tanda lemah Negara memelihara nilai moral”. Perbedaan itu memang ada. Pencipta yang membuatnya. Tetapi segelintir bangsa gagal menerima perbedaan itu. Akibatnya, mengotori keluhuran dari keberadaan sesama yang lain. Salah satu tindakan yang ironi adalah rasisme. Rasisme adalah tindakan melawan Tuhan yang separatis.

Rasisme Itu Gerakan Melawan Tuhan yang Separatis

Rasisme atau rasialisme merupakan prasangka terhadap orang dari ras atau kelompok etnis lain. Prasangka berarti mengadili sebelumnya: memutuskan mengenai seseorang atau sesuatu sebelum anda mempertimbangan fakta atau bukti. Kaum rasis percaya bahwa manusia dapat dipisahkan menjadi kelompok-kelompok rasial. Sebagian besar dari ras itu akan menjadi kelompok inferior. Kelompok Si rasis sendiri tentu akan menjadi ras yang superior. Salah satu bentuk rasisme adalah warna kulit, seperti terjadi antara bangsa kulit putih dan kulit hitam. Prasangka ini akan lahir tindakan diskriminasi rasial. Pemahaman yang mirip pernah dibahas juga oleh Simon dan Danes dalam bukunya “Moral Sosial Aktual” (2000).

Diskriminasi rasial berarti mempraktekan rasisme. Memperlakukan orang dengan jelek atau tidak adil karena mereka berasal dari ras atau kelompok etnis yang berbeda. Tindakan diskriminasi rasial itu pernah terjadi di berbagai tempat di dunia, seperti: di Jerman dengan berkembangnya teori ras oleh Hitler, terhadap bangsa Yahudi; kasus yang sama terjadi di Inggris di antara bangsa kulit putih dan hitam yang berasal dari berbagai tempat (1991). Di Amerika Latin, Afrika, Amerika Serikat, sebelum reformasi terhadap etnis Cina di Indonesia, dan kini di Indonesia pada bangsa Melanesia (2019) dan (2021).  Jadi pemahaman dasar dari tindakan diskriminasi rasial adalah tindakan “membenci” dari ras yang superior terhadap ras yang inferior.

Dari sudut pandang ‘Tuhan adalah separatis yang Adil’ rasisme adalah paham yang melawan Tuhan separatis itu. Tuhan yang telah memisahkan dan menempatkan segala-sesuatu pada tempat atau habitatnya. Kaum yang menganut paham rasis ini menolak kehendak pencipta menata dunia dan segala isinya.

Misalnya, bangsa Melanesia dan bangsa Melayu di Negara Indonesia, ketika tindakan diskriminasi rasial itu dilakukan oleh salah satu bangsa (Melanesia atau Melayu), maka sedang ‘membenci’ karya Pencipta dan kehendak-Nya yang telah memisahkan antara bangsa Melanesia dan Melayu dengan ciri-ciri fisik dan sekaligus memisahkan pulau sebagai habitatnya, sesuai ukuran pencipta manusia yang mendiami pulau itu hidup lebih lama.

Menurut penulis, tindakan diskriminasi rasial ini melawan Tuhan yang separatis karena Manusia (kaum rasial) ‘menginginkan tidak ada bangsa lain selain bangsanya dan mereka mau sebuah bangsa di dunia itu hanya satu ras. Pemahaman seperti itu menghina, membenci, dan melecehkan martabat manusia lain dan tentunya melawan kehendak dan kodrat Pencipta yang menciptakan manusia begitu unik dan berbeda itu.

Bagaimana dengan tindakan diskriminasi rasial atau praktek rasisme yang dipraktekan di Indonesia pada etnis Cina sebelum masa reformasi dan di Surabaya pada mahasiswa Papua berbangsa Melanesia (2019) dan kepada Natalius Pigai (2021)?

Di dalam setiap kasus atau konflik diskriminasi rasial, penulis tidak ‘menghakimi’ siapa yang salah atau siapa yang benar; saya bukan ahli melabelkan nama pendosa atau bukan dan juga bukan ahli memvonis bersalah atau tidak bersalah, namun dalam penulisan ini penulis menyadari bahwa tindakan diskriminasi rasial adalah melawan Pencipta yang separatis itu.

Alasan sederhana, ketika penulis menyebut salah satu pihak, baik itu pelaku praktik rasisme, kelompok yang mendukung atau memilihnya, pihak korban atau menyebut pemerintah menjadi aktor atau negara yang bersalah, berarti saya juga melawan Tuhan separatis yang adil itu. Artinya, saya berhamba pada sebatas nilai iman, moral dan nilai budaya, tentunya totalitas diri saya akan terposisi pada posisi yang lemah atau pihak korban. Saya menyadari bahwa saya akan dituduh menjadi sang pejuang nilai iman, moral dan budaya.

Tuduhan ini berpotensi memupuk kebencian yang terpola dalam pola pikir pelaku rasisme dan membuka ruang konflik rasisme yang laus di dalam kelompok minoritas. Menjadi pembela nilai iman, moral dan budaya sering menjadi melawan Tuhan separatis, karena disposisi pribadi (pejuang nilai itu), tidak berdiri pada posisi esensial dari niat untuk sesama berdamai dan harmoni.

Posisi mendasar itu adalah ‘ruang berada ke-benar-an’. Kebenaran adalah akar dari hidup damai dan harmoni dalam suatu bangsa dan Negara.

Jadi dalam konteks ini saya berposisi pada ‘sisi benar’. Pada posisi ini tidak sama sekali membela nilai iman, moral dan budaya yang bersifat pluralistis itu tetapi saya bergerak untuk mengarahkan akal sehat manusia melihat kebenaran dari pada semua yang ada. Posisi benar adalah tempat orang-orang bijak. Seharusnya, para pemimpin negara ada pada posisi benar itu.

Pemimpin harus keluar dari darinya dan melihat yang benar saja, setiap nilai hidup yang lain seperti nilai iman, moral dan budaya, akan berada pada ruangnya di dalam hidup masyarakat ketika masyarakat itu menyadari dan menerima kebenaran.

Maka gerakan melawan Tuhan yang separatis adil (rasisme) itu terlihat ketika kita mengenal Negara yang bertuhan, berdasarkan ‘Benar’ menjadi tolak ukur melihat esensi hidup damai dan bahagia bagi suatu bangsa atau Negara.

Kebenaran adalah dasar dari solusi kemungkinan ultim bagi suatu Negara 

Kemungkinan ultim adalah suatu harapan yang diharapkan oleh suatu bangsa yang mungkin menjadi cita-cita ideal suatu bangsa. Hal ini berkaitan dengan filsafat teologis suatu bangsa, yaitu mencapai suatu kebahagiaan kini di sini dan kelak bersatu dengan Allah di surga (Thomas Aquinas).

Menurut penulis, kemungkinan ultim suatu bangsa yang bergerak dari kebenaran sebagai pusat bergerak menuju kebahagian adalah jalan potensial mencapai tujuan Negara untuk mensejahterakan dan membahagiakan semua warga Negara. Di dalam hal ini para pemimpin atau pembuat konstitusi, penegak hukum, pembuat sistem Negara, mestinya pribadi-pribadi yang mempunyai akal sehat, budi yang cemerlang, peka terhadap keadaan masyarakat dan bijak dalam mengambil keputusan, bertanggung jawab serta berani menerima konsekuensinya.

Mereka adalah orang yang mampu keluar dari zona nyaman, melihat menyeluruh, hati terbuka mendengarkan suara masyarakat. Jadi pribadi seperti ini adalah pribadi yang terbuka dan mampu menyatakan kebenaran melalui tindakan dan karya nyata bersama masyarakatnya. Pemimpin adalah pribadi yang mampu keluar dari nilai iman, moral dan budaya yang dibawanya dan pandai melihat suatu kebenaran dari suatu sudut pandang yang dapat diterima semua masyarakat yang majemuk itu.

Di Indonesia seharusnya Negara mengidealkan para pemimpin seperti ini, dan memperjuangan melalui sistem pendidikan yang ada secara serius. Menurut penulis indonesia itu akan damai dan masyarakatnya bahagia ketika mereka mendapat pemimpin yang berkepribadian baik, adil, jujur dan bertindak benar.

Pemimpin yang benar, semua hal yang melawan kodrat manusia akan menyelesaikan dengan cara yang benar dan tindakan benar diterima masyarakat. Di sanalah esensi, eksistensi dan identitas Negara akan diakui semua orang, bahwa Negara itu (indonesia) adalah Negara baik: Negara yang harmoni, saling menghargai, menerima, mencintai, empati dan simpatik terhadap sesamanya. Negara yang pemimpinnya berdedikasi baik pada Negara adalah Negara yang dapat dipercayai masyarakat.

Jadi Negara yang baik adalah Negara yang tidak melawan Allah atau sang pencipta yang separatis itu. Negara baik yang dapat didorong dengan tindakan benar dari pemimpin, merupakan suatu solusi kemungkinan menghadiahi bangsanya ‘kebahagiaan’ yang merupakan ultim kemungkinan bersama semua manusia.(*)

*) Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) ‘Fajar Timur’.

   Anggota kebadabi voice

Related posts

Leave a Reply