Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Daniel Eduard
Wajah rasisme kini mulai perlahan menghilang dari pikiran massa yang bersorak-sorai meminta keadilan di Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat. Pemerintahan cukup menawan untuk memadamkan api kemarahan yang memporak-porandakan berbagai fasilitas masyarakat.
Fasilitas-fasilitas yang menunjang mobilisasi perekonomian sempat terhenti. Tameng pemerintah yang memukai mendatangkan pihak keamanan cukup banyak kurang lebih 6.000 personil untuk meruntuhkan massa rasisme dan seakan-akan peperangan dimulai.
Masalah rasisme seakan bom waktu yang sewaktu-waktu akan pecah.
Masyarakat menjadi batu loncatan bagi pihak-pihak yang mencari keuntangan. Keuntungan untuk mencari kekuasaan dan berjuang untuk jabatan yang semu. Untuk apa memperjuangkan jabatan yang semu hingga mendatangkan korban, entah dari orang Papua asli ataupun orang non Papua (dari luar Papua).
Slogan yang tidak asing terdengar bahwa barang yang rusak dapat diperbaiki, tetapi manusia yang sudah rusak bahkan mati tidak dapat diperbaiki. Tentunya aspek keadilan dan perdamaian diperuntukkan untuk orang kecil dan termarginisasi entah orang asli Papua dan orang bukan asli Papua.
Cukup jelas, peristiwa di Wamena banyak sarana dan fasilitas umum yang dibakar dan korban pengungsian entah orang asli Papua atau orang non-Papua yang berlarian menyelamatkan diri mereka. Dari peristiwa itu kerugian besar-besaran melanda masyarakat asli Papua dan non-Papua.
Wajah dua blok
Setiap orang mempunyai pengertian, pandangan, dan penjelasannya masing-masing. Pandangan yang berbeda-beda ini membentuk wajah dua blok. Kenapa wajah dua blok? Peristiwa massa rasisme yang meminta keadilan tentu menjadi satu wajah yang terus ada. Kompleksitas masalah di negeri Papua terus kian merambat ke sendi-sendi bawah.
Dengan keadaan seperti ini, wajah yang terluka amat susah disembuhkan. Penyembuhannya memakan waktu yang panjang (referendum) dan sukar diterima oleh orang yang tidak menerima kehancuran semu (Pemerintah Republik Indonesia).
Di lain pihak, wajah blok lain yang membentuk komunitas untuk mempertahan dirinya tetap berjuang. Perjuangan ini tidak hanya soal diri, melainkan perekonomian yang kian menguntungkan blok ini (Negara Republik Indonesia). Negera Republik Indonesia berupaya terus membiaskan diri dengan membentuk komunitas-komunitas seperti Barisan Merah Putih, Gerakan Pancasila, dan lain-lainnya.
Pertahanan ini menjadi tameng negara bahwa Papua masih bagian dari NKRI.
Rambu-rambu pasca konflik rasisme
Dari wajah dua blok diatas, Dewan Perwakilan Rakyat Papua berupaya membuat suatu resolusi atas konflik di Papua. Jhon Gobay selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua melihat bahwa masalah yang terjadi akibat konflik sosial. Dengan konflik sosial ini resolusi yang ditawarkan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dalam Pasal 3, Penanganan Konflik bertujuan:
Pertama, menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera;
Kedua, memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan;
Ketiga, meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara;
Keempat, pemelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan, melindungi jiwa dan harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
Kelima, memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban;
Keenam, memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum.
Menurut saya, resolusi yang dibuat oleh DPR Papua sebagai rambu-rambu pascakonflik rasisme tidak mudah diterima oleh wajah blok yang berjuang untuk terus mencari referendum. Melainkan menjadi sebuah penghalang terbesar. Dan tentunya wajah blok yang terus mempertahankan Papua menjadi bagian dari NKRI merasa terbantu oleh resolusi ini.
Dari wajah dua blok ini, kompleksitas masalah akan terus terjadi di negeri Papua tercinta. Konflik akan terus terjadi yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial budaya sengketa sumber daya alam antarmasyarakat, entah pelaku usaha atau distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Oleh karena itu, perlu pemulihan pascakonflik dengan cara dialog antar orang Papua dan orang non-Papua, serta melibatkan Pemerintah, DPRP, MRP, Pemprov Papua dan Pemkab/Pemkot, Polda Papua, Kodam, BIN, LSM, mahasiswa, aktivis, perempuan dan lembaga adat, KNPB untuk memetakan permasalahan dan merumuskan rencana tindak lanjut bersama yang harus dijaga dan dilaksanakan. Pertanyaannya “Masih mungkinkah dialog itu terjadi?”. (*)
Editor: Timo Marten
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, Papua