Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Anggota Petisi Rakyat Papua atau PRP, Jhon Giyai mengatakan pihaknya tetap akan melawan rasisme terhadap orang Papua. Giyai mengkritik negara Indonesia yang masih melanggengkan rasisme, ditandai dengan para pejabat publik, aparatur negara, dan tokoh yang terus mencederai martabat bangsa Papua.
“Kami akan terus melawan rasisme. Kami meminta untuk Polda Papua dan Kejaksaan Negeri Jayapura agar segera membebaskan Viktor Yeimo. Penangkapan Yeimo yang merupakan juru bicara PRP dan Komite Nasional Papua Barat dengan tuduhan aktor [demonstrasi anti rasialisme] adalah bukti negara Indonesia menghidupkan isu rasial di kalangan rakyat Papua dan Indonesia,” kata Giyai saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Rabu (18/7/2021).
Giyai menyatakan tuduhan bahwa Yeimo menjadi aktor demonstrasi anti rasisme pada 2019 tidak masuk akal, karena aparat penegak hukum sebelumnya sudah memvonis sejumlah aktivis Papua sebagai aktor unjuk rasa yang sama, termasuk tujuh narapidana politik yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur. Giyai menyatakan para aktivis Papua itu dituntut dengan hukuman penjara belasan tahun gara-gara demonstrasi anti rasisme dituding sebagai tindakan makar, namun mereka hanya dihukum kurang dari dua tahun.
Baca juga: Gustav Kawer sebut demokrasi mati dan rasisme merajalela
Giyai mengatakan respon aparat penegak hukum terhadap demonstrasi anti rasisme justru menunjukkan bahwa aparatur negara Indonesia tidak memiliki keberpihakan untuk menghapuskan rasisme di Indonesia. Ia menyatakan pemerintah pusat bersama DPR RI juga bersikap diskriminatif dan mengabaikan aspirasi Papua, dan terus memaksakan Otonomi Khusus Papua Jilid 2.
“Kami melihat bahwa Penentuan Pendapat Rakyat 1969 ilegal dan penuh dengan unsur pemaksaan. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua,” katanya.
Sekretaris Jendral Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), Ambrosius Mulait mengatakan Indonesia melalui para pejabat penjabat tingginya terus menunjukkan pandangan rasial yang merendahkan orang asli Papua. “Ujaran rasial salah satunya dilontarkan Menteri Sosial Tri Rismaharini dan tokoh Indonesia lainnya, itu bagian dari penghinaan terhadap orang Papua,” katanya.
Baca juga: Ketua DAP Meepago sebut Victor Yeimo adalah korban rasisme
Mulait mengingatkan bahwa, protes rakyat Papua terhadap isu rasisme itu bermula dari sikap segelintir rakyat Indonesia dan oknum militer yang melakukan persekusi dan perlakuan rasis terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya dan Semarang berturut-turut pada tanggal 15-17 Agustus 2019. Berbagai insiden itu memicu demonstrasi anti rasisme di berbagai wilayah.
“Aksi rasis tersebut mendorong seluruh rakyat Papua melakukan protes di berbagai wilayah Tanah Papua, dengan memobilisasi diri berbagai kabupaten/kota di Tanah Papua, 17 kota di Indonesia, dan lima kota di luar negeri. [Semua] menuntut [penghentian] rasisme dan berikan referendum bagi rakyat Papua,” katanya.
Mulait juga mengkritik sejumlah elit politik Papua yang dinilainya menjadi bagian dari praktik rasisme Papua. Selain itu, ada sejumlah elit politik Papua yang mengeksploitasi isu rasisme. “Apabila ada elite yang mengeksploitasi isu rasisme untuk kepentingan pribadi atau kelompok, mereka adalah penjajah yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G