Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1
Jayapura, Jubi – Perusahaan Indonesia-Korea, PT. Korindo, dikatakan bertanggung jawab terhadap maraknya deforestasi, pelecehan hak atas lahan, dan pembakaran ilegal hutan hujan terbesar di Papua dan Maluku, di dalam sebuah laporan yang diluncurkan Kamis (1/9/2016) di Jakarta.
Secara keseluruhan, Korindo telah membabat lebih dari 50.000 hektar hutan tropis dataran rendah di Papua dan Maluku Utara demi kelapa sawit. Luasan ini kira-kira setara dengan luas ibukota Korea Selatan, Seoul. Sejak 2013, Korindo telah membabat 30.000 hektar hutan di dua provinsi tersebut dan 12.000 hektar diantaranya adalah hutan primer.
Laporan investigasi itu dikeluarkan oleh organisasi-organisasi seperti Mighty, SKP-KAMe Merauke dan PUSAKA, Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan (European Federation for Transport and Environment), dan Federasi Korea untuk Gerakan Lingkungan (Federation for Environmental Movements/KFEM).
Laporan ini dirilis bersamaan dengan musim kebakaran hutan dan lahan yang sedang memanas di seluruh Indonesia.
Menurut investigasi mereka, citra-citra satelit, foto, dan video mengungkapkan penghancuran besar-besaran di Papua dan Maluku Utara yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan kayu bernama Korindo, demikian berdasarkan rilis yang diterima redaksi, Kamis (1/9/2016).
“Semua itu adalah bukti-bukti deforestasi dan pembakaran ilegal masif terhadap hutan hujan oleh perusahaan Indonesia-Korea, Korindo, semata-mata untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua dan Provinsi Maluku Utara,” demikian rilis tersebut.
Karena terbatasnya akses terhadap media di Papua, Korindo dikatakan lolos dari pengamatan publik terkait aktivitas pembukaan lahan dan pembakaran yang sistematis demi perkebunan kelapa sawit yang mereka lakukan, yang hampir tidak memberikan pertanggungjawaban apapun.
Bustar Maitar, Direktur Mighty Asia Tenggara, bahwa hal yang mengejutkan adalah bersamaan dengan ‘musim kebakaran’ yang melanda Indonesia tahun ini, penggunaan api justru secara sistematis dilakukan oleh Korindo untuk membuka lahan demi perkebunannya.
“Ketika musim kebakaran sedang melanda kembali tahun ini, kita perlu bertindak tegas dan bersama untuk menghentikan korporasi-korporasi yang memberi model destruktif dan berbahaya terhadap agrikultur di Indonesia,” ujarnya.
Laporan ini menyebutkan bahwa Korindo merupakan penyumbang signifikan terhadap krisis kabut asap pada 2015 yang menyebabkan penyakit pernapasan terhadap jutaan manusia, kematian bayi, serta menimbulkan kerugian ekonomi sekitar 16 miliar dolar AS bagi Indonesia.
Korindo bisa dianggap bertanggung jawab sesuai hukum Transboundary Haze Singapura yang dapat menjatuhkan sanksi denda dan penjara terhadap perusahaan-perusahaan asing yang menyebabkan asap ke Singapura. Temuan-temuan ini, dikatakan, akan disusun oleh para jaksa di Indonesia dan Singapura.
Keselamatan Hutan dan Orang Papua
“Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah untuk menghentikan perusahaan yang mengubah harta karun alami milik Papua menjadi lahan pertanian untuk industri,” ujar Pastor Amo, seorang pemuka agama dan Direktur SKP KAMe Merauke yang selama ini aktif mendampingi perjuangan masyarakat adat Marind Anim menuntut hak-hak adatnya.
Bagi orang Papua, lanjutnya, hutan hujan adalah pembentuk kehidupan dan kebudayaan di Papua. “Hanya dalam beberapa tahun, Korindo telah menghancurkan hutan yang disebut rumah oleh para leluhur kami, hutan yang memberikan kami makan, perlindungan, dan air bersih,” ujarnya.
Papua merupakan surga hutan hujan yang menjadi rumah bagi sekitar 50 persen keragaman hayati yang ada di seluruh Indonesia. Dan yang menyedihkan, menurut laporan tersebut, 100.000 serangga, termasuk burung-burung surge, ikan pelangi dan kanguru pohon di wilayah dimana Korindo saat ini beroperasi di Maluku Utara, terancam punah karena habitat hutannya telah hilang.
Baca juga Kebun Sawit Korindo Hancurkan Rumah Kanguru Pohon di Merauke
Pada dasarnya, menurut Direktur Pusaka Y. L. Franky, pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat dengan berbagai cara di Papua saat ini, hanya bertujuan untuk memuluskan penghancuran sumber-sumber penghidupan orang-orang yang hidup bergantung dan ada disekitar hutan.
“Papua itu menjadi rumah untuk lebih dari 300 suku asli yang unik. Secara umum, Korindo tidak mengakui hak masyarakat lokal untuk memberikan atau menolak Persetujuan Di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA/FPIC) terhadap pengembangan baru apapun di atas lahan masyarakat,” kata Franky yang sering berkeliling ke beberapa wilayah di Papua untuk memotret persoalan masyarakat adat dan perjuangan mereka.
Anak perusahaan Korindo, PT Gelora Mandiri Membangun, juga menduduki lahan pertanian dan hutan-hutan masyarakat di Kabupaten Halmahera Selatan di Maluku Utara. Sebagian besar masyarakat, yang telah tinggal disana selama ratusan tahu, sangat menentang perkebunan kelapa sawit. Korindo mengabaikan hak-hak atas wilayah adat dengan tetap melanjutkan operasinya.
“Tindakan ini harus dihentikan dan pemerintah harus menjadi pelindung utama bagi masyarakat adat dan sumber-sumber pengidupannya,” tegas Franky.
Berdasarkan laporan investigasi tersebut, saat ini 75.000 hektar hutan-hutan perawan masih berada di wilayah konsesi kelapa sawit Korindo yang sangat berisiko untuk dirusak. Bahkan ada lebih banyak lagi yang masih berada di konsesi-konsesi penebangan kayu milik Korindo.
Korindo, perusahaan yang diduga bertanggung jawab atas deforestasi dan pembakaran di Papua, merupakan konglomerat Korea-Indonesia dengan anak-anak perusahaan di bidang sumber daya alam, manufaktur kertas koran, industri berat, dan keuangan.
Perusahaan dengan 20.000 karyawan ini memiliki afiliasi di seluruh dunia, termasuk manufaktur kertas koran, Aspex, yang mempunyai banyak pelanggan dari media cetak ternama di Indonesia.
Minyak sawitnya digunakan dalam beragam barang konsumsi seperti sampo, margarin, es krim, adonan pizza, donat, lipstick, dan masih banyak lagi. Diperkirakan sekitar 50% barang konsumen mengandung minyak sawit.
Minyak sawit sekarang juga banyak digunakan untuk biofuel. Subsidi biofuel di Indonesia dikatakan telah memicu permintaan domestik terhadap minyak sawit yang tidak berkelanjutan.(*)