Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua Dr Benny Giay meminta Presiden Joko Widodo jangan membangun pencitraan dengan menyatakan kepedulian terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia di negara lain, sementara nasib ribuan warga sipil Kabupaten Nduga yang mengungsi diabaikan. Hal itu dinyatakan Benny Giay usai menghadiri peluncuran buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” yang berlangsung di Jayapura, Selasa (30/7/2019).
“Presiden Jokowi ke luar negeri, menyatakan keprihatinan dan kepedulian kepada masyarakat [korban pelanggaran hak asasi manusia yang mengungsi di sana]. Indonesia bahkan memberikan bantuan bagi para pengungsi di sana. Sementara, pada saat yang sama masyarakat Nduga sedang menderita,” kata Giay kepada wartawan.
Giay juga menyinggung dukungan Jokowi bagi upaya penyelesaian konflik Palestina, karena pasca dukungan itu Jokowi justru memerintahkan operasi aparat gabungan TNI/Polri di Kabupaten Nduga. “Kami masih percaya bahwa Presiden Jokowi akan menanggapi surat gembala kami terkait masalah Nduga. Kekerasan di Nduga seharusnya tidak terjadi, [karena kekerasan itu merupakan buah dari] kekerasan operasi militer yang dilakukan pada tahun 1996,” kata Giay.
Giay menjelaskan, operasi militer Mapenduma yang dilakukan pada 1996 menimbulkan banyak korban dari kalangan warga sipil di wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Kabupaten Nduga. Menurutnya, banyak anggota kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya merupakan korban atau keluarga korban kekerasan aparat dalam operasi Mapenduma pada 1996.
Kelompok bersenjata Egianus Kogoya menyatakan bertanggungjawab atas pembunuhan 16 pekerja PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, dan kini tengah diburu operasi gabungan TNI/Polri. Operasi gabungan TNI/Polri itu menyebabkan ribuan warga sipil Nduga mengungsi ke berbagai wilayah, termasuk ke sejumlah kabupaten tetangga seperti Lanny Jaya, Jayawijaya, Mimika, dan Yahukimo.
Tim Solidaritas Peduli Konflik Nduga pada pekan lalu merilis laporan yang mencatat 139 pengungsi Nduga di Wemena telah meninggal dunia, sementara empat warga lainnya meninggal tertembak di Nduga. Seorang warga lainnya meninggal karena suara tembakan senjata api. Konflik bersenjata di Nduga juga telah menewaskan 17 aparat TNI/Polri dan anggota kelompok bersenjata.
Giay menyatakan penderitaan warga sipil Nduga pada hari ini menambah penderitaan warga sipil Nduga yang telah terjadi sejak operasi militer di Mapenduma pada 1996 silam. “Orang Nduga memang [telah lama] dalam keadaan berduka, karena operasi militer di Mapenduma pada 1996 menewaskan sekitar 200 orang [warga sipil]. Hari ini, anak-anak [para korban operasi Mapenduma 1996] yang besar dalam suasana kekerasan itu melakukan perlawanan,” katanya.
Giay menyesalkan kebijakan Jokowi yang mengedepankan pendekatan keamanan, ketimbang menempuh jalan damai untuk menyelesaikan konflik di Nduga. Menurutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlatarbelakang militer justru lebih terbuka menerima saran untuk mengedepankan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan Papua. Giay juga menyinggung keberhasilan pemerintahan Yudhoyono menyelesaikan konflik Aceh dengan dialog.
“Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat, kami meminta dialog [dijadikan pendekatan untuk menyelesaikan masalah Papua], dan [pemerintahan Yudhoyono] mendahulukan dialog. Mereka sangat humanis. Kami meminta Presiden Jokowi juga mengambil sikap yang sama untuk Papua,” kata Giay.
Ia meminta pemerintah pusat mencabut stigma “kelompok kriminal bersenjata” atau “separatis” terhadap United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Organisasi Papua Merdeka, sebagaimana perlakuan pemerintah pusat kepada Gerakan Aceh Merdeka. “Kami meminta pemerintah Indonesia berdialog dengan orang Papua. Kami meminta Presiden dan kabinet membentuk tim yang merintis dialog pemerintah Indonesia dengan ULMWP,” katanya.
Perwakilan ULMWP, Edison Waromi dalam diskusi peluncuran buku “Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua” mengatakan persoalan Papua adalah persoalan internasional. Waromi menyebut pelanggaran hak asasi manusia (HAM) telah terjadi terus menerus di Papua, sejak tahun 1961 hingga kini, termasuk sejumlah pelanggaran HAM berat yang tidak pernah diproses hukum.
“Kasus Nduga ini ada bukti bahwa Negara Indonesia sedang melakukan operasi dan membunuh masyarakat Papua di atas tanahnya sendiri. Ini kejahatan Negara yang sedang terjadi West Papua,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G