Polemik otsus Papua seperti kompetisi dalam sepak bola

papua-dialog-jakarta
Ilustrasi dialog Jakarta-Papua - Jubi/Dok

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh: Soleman Itlay

Pro dan kontra tentang otonomi khusus (otsus) Papua dan Papua Barat sangat terasa, makin meluas dan berpotensi menimbulkan perdebatan, dan kerusuhan yang berakhir dengan pertumpahan darah pada 2021. Terasa seperti sebuah kompetisi (ideologi) dalam sepak bola. Mengapa?

Read More

Pertama, bisa dilihat dari pembentukan tim Pansus Otsus yang sepihak, tidak aspiratif, dan demokratis; Kedua, minimnya sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah atau pemerintah daerah dengan semua elemen masyarakat West Papua, termasuk dari kelompok nasionalis pro kemerdekaan West Papua.

Pemerintah Indonesia sudah membuat tim pansus otsus sendiri. Tim ini pun terpecah-belah dan tidak terorganisir secara baik. Pemerintah pusat–Mendagri, DPR RI, DPD RI dan jajarannya bikin tim sendiri.

Di daerah pun demikian. Mereka tidak mau kalah atau ketinggalan. DPR Papua, dan MRP di Provinsi Papua sudah membuat Pansus Otsus sendiri, tetapi Provinsi Papua Barat belum memperlihatkan upaya yang sama.

Kita boleh optimistis bahwa itu akan menyelesaikan persoalan di West Papua, khususnya polemik otsus 2021. Namun, yang tidak perlu dilupakan lagi adalah pembentukan tim Pansus Otsus terkesan sepihak dan tidak mengakomodasi semua pihak terkait, terutama kelompok nasionalis (pro kemerdekaan Papua).

Di satu pihak, ini barangkali boleh dikatakan awal dari sebuah langkah yang baik dalam menyelesaikan persoalan West Papua, khususnya dalam hal polemik otsus. Namun, di lain pihak ini merupakan awal dari sebuah malapetaka besar yang akan menimbulkan persoalan besar di kemudian hari.

Pendekatan seperti ini, harus diingat baik, bahwa bukan satu-satunya langkah efektif dan efisien. Justru itu diproyeksikan, bahwa agenda kedua belah pihak, terutama tuntutan orang Papua tidak terakomodasi dengan baik, lantaran masing-masing pihak mengandalkan hasil kerja dan pemikirannya sendiri.

Orang West Papua merasa kuat dengan aksi massa dengan turun ke jalan-jalan. Namun, bagi Indonesia itu adalah lagu lama dan laten.

Dalam aksi massa, orang West Papua sering berhadapan dengan kekuatan aparat keamanan dan militer Indonesia. Hampir pasti akan ada pengiriman pasukan lebih banyak untuk mengamankan situasi di West Papua terkait polemik otsus.

Indonesia adalah negara demokrasi dengan ungkapan populer “kekuatan ada di tangan rakyat”. Namun, itu hanya berlaku di atas kertas. Sungguh tidak akan berlaku dalam dinamika sosial tatkala senjata api dan barracuda mampu mencabik psikologi hingga melumpuhkan keberanian orang West Papua, yang akan melayangkan protes melalui demonstrasi di mana-mana.

Jubi sekalipun akan berserakan pada saat senjata api mulai nampak di permukaan. Busur pun akan dibuang sia-sia jika kendaraan Komando 4×4 Battering Ram, Komando Missile Launcher, Komando 4X4 APC Police, Komando 4X4 Recon dan lainnya, yang berisi timah panas dengan kecepatan tinggi menghiasi jalan-jalan, di hadapan massa aksi, bahkan di pemukiman OAP dengan melakukan patroli 24 jam dalam siaga satu dari Merauke-Sorong.

Hukum dan aturan apa saja boleh menjamin keadilan, yang tentunya akan memprioritaskan aspek kemanusian (nasib dan masa depan orang).

Tetapi dalam proses dan kenyataan, itu tidak akan berguna sama sekali. Apalagi ini akan berlangsung di bawah kekuasaan “kolonial” Indonesia yang dalam sejarah perebutan West Papua penuh dengan rekayasa, manipulasi, dan melanggar mekanisme internasional.

Orang West Papua menginginkan jalan demokratis untuk menyelesaikan polemik otsus, misalkan dengan meminta pengakuan kedaulatan politik, referendum, gugat Pepera 1969, dan ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Orang West Papua minta atas nama Tuhan, kebenaran dan keadilan, tetapi satu hal yang orang West Papua sadar adalah kolonial tidak akan pernah dengar, apalagi menerima tuntutan orang West Papua yang mengarah pada kemerdekaan (kedaulatan politik).

Sampai Tuhan Allah kasih ancaman juga tidak akan pernah mengubah paradigma “kolonial” Indonesia, kecuali kalau Indonesia didesak dunia internasional, agar bisa kompromi dengan tuntutan Papua.

Kalau tidak, orang West Papua berteriak sampai kerongkongan kering juga, bahkan sisa satu orang West Papua sekalipun, kolonial tidak akan pernah mengabulkan tuntutan West Papua.

Begitu pun dengan “kolonial” Indonesia. Walaupun evaluasi otsus atau kebijakan itu diperpanjang sekalipun, yang perlu dicatat adalah kolonial tidak akan pernah menyelesaikan persoalan di West Papua dengan cara apapun, kapan pun dan dengan bagaimanapun juga selama akar persoalan– status politik West Papua–belum diluruskan.

Kebijakan kolonial dalam bentuk apapun juga persis akan sama, tidak akan pernah mencabut akar persoalan West Papua, apalagi meredam internasionalisasi isu West Papua.

Neraca kemenangan dan kekalahan dalam polemik otsus

Ujung-ujungnya yang menentukan adalah proses pengambilan keputusan yang didominasi oleh penguasa “kolonial” Indonesia saat ini, bukan kelompok minoritas pro kemerdekaan West Papua dan penolak perpanjangan otsus jilid II, yang tidak punya pengaruh besar dalam pengambilan keputusan di lingkaran Joko Widodo, Megawati, Tito Karnavian, Prabowo, dan Luhut Panjaitan.

Otsus (baca: perpanjangan kucuran dana otsus) akan dilanjutkan atau diperpanjang masa aktifnya dengan kekuatan pemerintah pusat yang meningkatkan konsolidasi, sosialisasi dan memperluas dukungan kepada sejumlah elite politik lokal hingga nasional; melibatkan tokoh-tokoh adat, agama, intelektual dan lainnya yang lama dan baru dari kalangan orang West Papua.

Hal ini akan semakin genap dengan adanya kekuatan rakyat West Papua yang sengaja dipecah-belahkan dan semakin lemah dalam faksi hingga masyarakat akar rumput.

Ibarat kompetisi dalam sepak bola

Polemik otsus ini ibarat sebuah kompetisi dalam sepak bola. Kedua belah pihak akan main bola di lapangan hijau. Untuk memenangkan pertandingan, masing-masing tim akan melakukan latihan, mengatur strategi, dan menurunkan pemain-pemain dengan kualitas terbaik, guna mencapai target kemenangan (juara).

Saat ini bola di depan gawang. Siapa yang akan menendang, menjemput, dan kasih goyang jaring? Berbahagialah orang yang menjemput bola duluan dan kasih gol dengan bebas.

Tapi ingat. Kiper yang jaga gawang bukan satu orang. Juga orang yang mau tendang bola bukan satu orang pula. Penjaga gawang cukup maupun orang yang mau kasih gol, walaupun bukan striker juga banyak dan berlapis-lapis.

Tapi bola itu gol atau tidak, sangat tergantung pada kekuatan, kekompakan dan persatuan. Jika, satu tim lemah dalam tendangan, maka bola tidak akan gol. Apalagi penjaga gawangnya berlapis-lapis.

Tenaga sekuat apapun, kalau penjaga gawangnya melebihi kekuatan tendangan, sama saja percuma. Katakanlah bola yang telah ditendang tidak gol, ditangkap oleh kiper, melenceng keluar atau bisa saja pantul keluar mencederai para penendangnya.

Butuh wasit

Para pemain pun, dari penjaga gawang, defender, gelandang dan striker sudah standby di lapangan hijau untuk memulai babak kedua—setelah babak pertama bermain tanpa wasit. Sama-sama baku bisik kiri kanan di lapangan sambil ‘menantikan bunyi peluit tanpa wasit’. Pada babak pertama pertandingan berlangsung tanpa wasit. Babak kedua pun rentan bermain tanpa wasit. Pertanyaannya, akankah pertandingan terakhir dan penentu itu akan berjalan normal tanpa wasit? Semoga saja. Tetapi kalau itu yang terjadi, maka risikonya sangat besar. Banyak pelanggar hukum bisa mewarnai pertandingan ini. Banyak pemain dan penonton bisa menjadi korban jiwa dan kehilangan material.

Polemik otsus pada 2021 membutuhkan wasit untuk mengontrol jalannya pertandingan. Katakan saja, bahwa dalam polemik otsus ini butuh orang, lembaga atau pihak ketiga yang paling netral, independen, berkompeten, dan profesional.

Jika Indonesia ingin menyelesaikan ragam persoalan di West Papua, maka ia harus membuka ruang demokrasi yang legal (perundingan): mengajak orang West Papua–bukan dari kelompok milisi, borjuis dan oportunis–tetapi harus menghadirkan kelompok pro kemerdekaan West Papua.

Orang West Papua, baik mau minta pengakuan kedaulatan politik, referendum, menggugat Pepera 1969, maupun meminta penyelesaian kasus pelanggaran HAM, harus dan mulai berpikir untuk duduk bicara dan selesaikan dengan Indonesia.

Carilah sebuah tempat yang legal, yang bisa membuat kedua belah pihak duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Lalu bicarakan semua hal dari kedua belah pihak dengan damai. Carilah pihak ketiga yang paling netral, independen, berkompeten dan profesional untuk memfasilitasi kedua belah pihak.

Indonesia dan West Papua harus duduk di sebuah tempat untuk meminta wasit dan sepakat untuk melakukan perundingan segitiga di bawah kendali kekuasaan dan kepercayaan penuh kepada pihak mediator.

Carilah tempat yang legal dan paling aman. Lalu melakukan perundingan internasional secara damai dan tanpa kekerasan. Indonesia dan West Papua harus menempuh jalan ini untuk mengakhiri pertandingan sengit dengan jalan damai.

Kalau saja kolonial bisa bicara otsus di Aceh dengan GAM, mengapa Indonesia harus takut untuk melakukan perundingan yang sama atau takut membahas otsus di West Papua dengan TPNPB/OPM bersama ULMWP di bawah kontrol pihak ketiga yang paling netral, independen, berkompeten dan profesional? (*)

Penulis adalah masyarakat Papua, tinggal di Jayapura

Editor: Timoteus Marten

Related posts

Leave a Reply