Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Koordinator Papuan Observatory for Human Rights atau POHR Thomas Ch Syufi menyatakan situasi Hak Asasi Manusia Papua semakin memburuk. Hal itu ditandai dengan semakin banyak kekerasan yang mengorbankan warga sipil, dan semakin represifnya aparat keamanan menghadapi penyampaian pendapat orang Papua di muka umum.
Hal itu disampaikan Thomas Ch Syufi menyikapi kasus bentrokan demonstran tolak pemekaran Papua dan aparat keamanan yang terjadi di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo, pada Selasa (15/3/2022). Bentrokan itu menyebabkan dua demonstran—Yakob Meklok dan Esron Weipsa—meninggal dunia karena terkena tembakan, serta memicu amuk massa yang membakar sejumlah ruko dan kantor pemerintah di Dekai.
“Sangat memprihatinkan, dua orang mati dan beberapa orang terluka, diduga karena ditembak oleh aparat keamanan. Hal itu sangat tidak sesuai dengan standar prosedur negara hukum yang menjunjung tinggi martabat dan Hak Asasi Manusia,” katanya saat dihubungi Jubi melalui layanan pesan WhatsApp, Kamis (17/3/2022).
Baca juga: Komnas HAM Papua lakukan investigasi tewasnya 2 demonstran di Yahukimo
Syufi mengatakan cara aparat keamanan menangani demonstrasi menolak rencana pemekaran Provinsi Papua di Dekai itu sangat tidak tepat dan fatal, karena para demonstran sedang menggunakan hak mereka untuk menyatakan pendapat di muka umum. Bahkan, cara aparat keamanan menangani demonstrasi itu justru memicu kericuhan yang menyebabkan sejumlah ruko dan kantor pemerintah dibakar.
“Siapa pun orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana, seharusnya diproses lewat jalan pengadilan, bukan [diselesaikan dengan] show force brutal seperti itu. Tidak boleh ada pihak yang memonopoli kebenaran dalam proses penegakan hukum,” katanya.
Syufi menegaskan cara aparat keamanan menangani demonstrasi di Dekai tidak profesional dan tidak mencerminkan keberadaan polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat Papua. Padahal, sebagai aparat penegak hukum, polisi seharusnya mengedepankan profesionalitas, bukan irasionalitas atau arogansi.
Baca juga: Polda Papua nyatakan kondisi Yahukimo relatif aman dan kondusif
“Apa yang disuarakan adalah aspirasi, tidak perlu alergi. Pemerintahan pusat memaksakan pemekaran Papua, padahal orang Papua tidak minta pemekaran, juga Otonomi Khusus. Daerah lain di nusantara sudah belasan tahun berjuang untuk pemekaran wilayah, seperti di Nusa Tenggara Timur, Nias, Toraja, dan lain-lain. Upaya mereka tidak pernah digubris oleh pemerintah pusat. Namun, di Papua, tanpa diminta bahkan ditolak, pemekaran tetap akan dipaksakan oleh Jakarta,” ujarnya.
Syufi mengatakan dugaan kejahatan kemanusiaan dalam penanganan demonstrasi di Dekai seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah pusat untuk menunda rencana pemekaran Provinsi Papua. “Dengan tragedi Yahukimo itu, upaya pemekaran di Papua [harus] segera dihentikan. Karena, setiap kebijakan Jakarta yang menimbulkan resistensi orang Papua selalu menciptakan sungai darah dan kematian bagi orang Papua,” katanya.
Syufi meminta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera menginvestigasi kasus tersebut. Menurutnya, investigasi itu juga harus melibatkan lembaga advokasi HAM non-pemerintah dan Gereja di Papua.
Baca juga: Polda Papua akan dalami penyebab kericuhan di Yahukimo
“Siapa pun pelaku maupun [orang yang] menyuruh penembakan yang menyebabkan kematian dan melukai demonstran itu harus bertanggung jawab secara hukum. [Mereka harus] dihukum dan dipecat dari jabatannya. Itu langkah yang tepat dalam konteks negara hukum,” katanya.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Papua, Helina Murib meminta pemerintah menghentikan pendekatan militer di Tanah Papua. Murib menyatakan orang Papua membutuhkan perdamaian.
Ia mengingatkan jika persoalan represi dan buruknya pemenuhan HAM di Papua terus dibiarkan, hal itu akan menimbulkan masalah serius. “Kami harap pemerintah RI harus melihat persoalan itu. [Penambahan] militer itu berpotensi menimbulkan masalah bagi kami,” katanya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G