Pledoi 7 Tapol Papua: Pledoi lengkap Buchtar Tabuni

Tapol Papua
Tim penasihat hukum saat mengunjungi tujuh tahanan politik Papua di Kaltim - Jubi. Dok
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan di Kalimantan Timur akan membacakan putusan bagi para Tahanan Politik atau Tapol Papua yang diadili dalam perkara makar pada Rabu (17/6/2020) pekan ini. Publik di Papua tengah menunggu, bagaimana majelis hakim akan mengadili dan memutus perkara ketujuh mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Ketujuh Tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexander Gobay, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Read More

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, JPU menuntut tujuh Tapol Papua dengan pasal makar dan meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Dalam persidangan yang berlangsung pada 9 Juni 2020 lalu, Tim Penasehat Hukum Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua telah membacakan pledoi bagi Buchtar Tabuni, yang berjudul “Mengadili Korban Konspirasi Negara Pasca Demonstrasi Menentang Rasisme”. Berikut isi lengkap pledoi Buchtar Tabuni:

 

NOTA PEMBELAAN

PENASEHAT HUKUM

“MENGADILI KORBAN KONSPIRASI NEGARA PASCA DEMONSTRASI MENENTANG  RASISME”

DALAM PERKARA PIDANA

NOMOR : 33/PID.B/2020/PN-BPP

ATAS NAMA TERDAKWA :

BUCHTAR TABUNI

Yang Didakwa :

Dalam Dakwaan Kesatu : Pasal 106 KUHP  Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,

atau Dakwaan Kedua : Pasal 110 Ayat (1) KUHP Jo.Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,

atau Ketiga : Pasal 160 KUHP

DIAJUKAN OLEH :

TIM PENASEHAT HUKUM KOALISI PENEGAK HUKUM DAN HAM PAPUA

DI PENGADILAN NEGERI BALIKPAPAN

BALIKPAPAN

2020

Nota Pembelaan Penasehat Hukum

“MENGADILI KORBAN KONSPIRASI  NEGARA PASCA DEMONSTRASI MENENTANG RASISME”

Dalam Perkara Pidana Nomor : 33/Pid.B/2020/PN-BPP

Atas Nama Terdakwa :

BUCHTAR TABUNI

Yang Didakwa :

Dalam Dakwaan Kesatu : Pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, atau Dakwaan Kedua : Pasal 110 Ayat (1) KUHP Jo.Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, Atau Ketiga : Pasal 160 KUHP

Di Pengadilan Negeri Balikpapan

I. PENDAHULUAN

 

Majelis Hakim yang terhormat,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

Sdr.Panitera yang kami hormati,

Hadirin yang juga kami hormati,

Puji syukur patut dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas izinnya proses persidangan perkara dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Dalam Dakwaan Kesatu : Pasal 106 KUHP  Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, atau Dakwaan Kedua : Pasal 110 Ayat (1) KUHP  Jo.Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, atau Dakwaan Ketiga : Pasal 160 KUHP atas nama terdakwa BUCHTAR TABUNI, telah berjalan  hingga pada hari ini, Selasa, 09 Juni 2019, kami Penasehat Hukum Terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan Nota Pembelaan (PLEDOI).

Proses hukum terhadap terdakwa bersama 6 (enam) terdakwa lainnya dalam persidangan di PN Balikpapan ini, sejak awal sangat tidak prosedural mulai dari penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dalam proses penangkapan hingga pemeriksaan yang tidak mengedepankan azas praduga tak bersalah (tersangka) telah ditetapkan sebagai tersangka tanpa diawali oleh bukti permulaan yang cukup, kesalahan prosedural ini berlanjut lagi dengan pemindahan Para Terdakwa pada tanggal 04 Oktober 2019 tanpa pemberitahuan kepada keluarga dan Penasehat Hukumnya, pengalihan ini membuat jarak antara selain menjadi tidak prosedural karena salah kompetensi relatifnya, tentu konsekwensinya berdampak bagi akses bagi  keluarga terdakwa bersama terdakwa lainnya dan seluruh rakyat Papua untuk melihat persidangan secara terbuka.

Proses hukum ini juga bertambah sulit dengan situasi wabah COVID-19, membuat persidangan dilakukan secara online terhitung mulai pada tanggal 15 April 2020, pesidangan secara online ini proses pembuktiannya tidak dapat dilakukan secara optimal, mulai dari sinyal yang terganggu, waktu yang tidak tepat, pembuktian yang tidak optimal hingga keluarga dan masyarakat umum juga tidak dapat mengakses persidangan ini dan tentu melanggar azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta azas persidangan yang terbuka untuk umum.

Pada persidangan hari Selasa, tanggal 02 Juni 2020 yang lalu, sdr. Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan Tuntutan Pidana kepada Majelis Hakim untuk menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah melakukan Tindak Pidana sebagai orang yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara, jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP.  Tuntutan pidana tersebut sangat “spektakuler” karena Terdakwa BUCHTAR TABUNI dituntut dengan hukuman penjara selama 17 (tujuh belas) tahun dikurangkan selama terdakwa berada dalam tahanan. Tuntutan ini menunjukan bahwa negara lewat Sdr. Jaksa Penuntut Umum meneruskan konspirasi mengkriminalkan aktivis Papua dibalik Demo Anti Rasisme yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019.

Ada 2 (dua) alasan kuat Negara melalui aparat penegak hukum secara khusus Polisi dan Jaksa sejak awal telah mempunyai rencana mengkriminalkan Terdakwa bersama 6 (enam) Terdakwa  (Aktivis) lainnya, sebagai berikut :

  1. Pelaku Rasis, Intimidasi dan Persekusi di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019, melibatkan Polisi, TNI, Ormas-Ormas Reaksionir dan Orang Partai besar di Republik ini, proses hukumnya tidak komprehensif dan terkesan pelakunya mendapat perlindungan dari negara berupa tuntutan dan vonis yang sangat rendah (Hanya 5 dan 7 bulan penjara);
  2. Pasca Demo Anti Rasisme tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019, telah ada konspirasi krimiminalisasi lewat pernyataan Menteri Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia yang menyatakan, “Benny Wenda sebagai actor utama kerusuhan di Papua dan Papua Barat.Wenda juga melakukan konspirasi dengan aktor-aktor lokal untuk membuat kisruh suasana.Pihak local yang diajak kerjasama diantaranya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB).Memang ada satu konspirasi antara Benny Wenda dengan organisasi itu.Baik KNPB maupun AMP, itu ada, jadi bukan mengada-ada.Itulah yang kemudian mendorong terjadinya satu demontrasi yang anakhis.”, pernyataan konspirasi yang sama disampaikan oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian, “Saya sudah dapat beberapa data, KNPB main, ULMWP main dan saya tahu rangkaiannya kemana.Termasuk gerakan AMP, teman-teman adik-adik Aliansi Mahasiswa Papua, ini juga digerakan oleh mereka. Jadi apa yang terjadi saat ini di luar itu semua didesaian oleh kelompok yang ada disini.Dan itu akan saya kejar”

Menjadi pertanyaan, mengapa Negara melalui Kepolisian tidak serius mengusut dan memproses hukum pelaku-pelaku Rasisme yang berasal dari TNI, Polisi, Ormas-Ormas Reaksionir dan orang dari Partai Besar di Republik ini ? selanjutnya memberikan vonis yang berat karena rasisme merupakan kejahatan yang sudah diatur dalam regulasi  internasional dan nasional sebagai kejahatan serius yang perlu ditangani secara serius pula oleh aparat negara.

Konspirasi Negara tersebut sangat nyata, Pasca demo anti rasisme di Papua yang terjadi bukan kasus rasisme diselesaikan sebagai momentum merubah bangsa ini kearah yang lebih baik, yang terjadi justru rasisme, intimidasi dan persekusi berlanjut terhadap rakyat Papua dalam penegakan hukum, pada bulan Agustus 2019 telah terjadi pengerahan Pasukan Gabungan TNI/Polri dari Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Jakarta, pada kurun waktu yang sama, dalam kurun waktu Bulan Agustus 2019 sampai dengan Oktober 2019, kurang lebih 1.000 orang ditangkap sebagai dampak dari demo anti rasisme dan terdapat kurang lebih 69 orang di Papua dan Papua Barat di proses hukum termasuk Terdakwa Buktar Tabuni bersama Terdakwa Agus Kossay, Terdakwa Steven Itlay, Terdakwa Ferry Kombo, Terdakwa Alex Gobay, Terdakwa Hengky Hilapok dan  Terdakwa Irwanus Uropmabin.

Mengenai ketentuan hukum yang diterapkan alangkah baiknya kita melihat sisi historisnya, sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana kita berasal dari KUHPidana Nederland (Negeri Belanda). Melalui Asas Korkodansi dalam pasal 131 I.S. KUH Pidana Nederland tersebut diberlakukan/diterapkan di negara Jajahan di Hindia Belanda termasuk ketentuan dalam Dakwaan : Pasal 106, 107 dan 110 KUHP, yang oleh Pemerintah Hindia Belanda pemberlakuan pasal aanslag (menyerang) kini disebut makar ini ditujukan untuk menjaga keutuhan wilayah jajahan Hindia Belanda termasuk Indonesia.

Timbul pertanyaan sekarang,  apakah pasal-pasal  dalam  dakwaan Pasal 106, 107 dan 110 KUHP yang dipakai oleh penjajah Pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga keutuhan wilayah jajahannya, masih dapat dipertahankan didalam Negara Republik Indonesia yang katanya Negara merdeka dan berdaulat sekarang ini ? Dalam alam demokrasi saat ini pemberlakuan pasal makar sebagaimana tersebut diatas telah membatasi kehendak Pasal 28 UUD 1945 dan secara tidak sadar kita telah mewarisi sistem dan pola-pola yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaan apakah kita akan mengulang kesalahan penjajah Belanda dahulu ?. Selayaknya kita membaca dan bercermin pada sejarah untuk lebih menghidupkan pengertian “merdeka” dalam pengertian yang lebih luas/tidak sempit, karena itu penggunaan pasal makar tersebut diatas seharusnya sudah tidak layak dipertahankan lagi dalam penegakan hukum di negeri ini.

Bila kita ingin mencari solusi atas problem sosial politik yang terjadi di tanah Papua umumnya dari akar masalahnya, maka harus ada ruang dialog untuk menyelesaikan akumulasi masalah-masalah sosial politik, hal dialog yang paling mendasar adalah menyelesaikan akar masalah di Papua yang disebut dengan, “PELURUSAN SEJARAH”, secara obyektif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam dialog harus sepakat menerima apapun hasilnya. Proses ini sangat penting untuk dilakukan karena sangat menentukan realitas integritas bangsa Papua hari ini, karena sampai saat ini mengenai sejarah integrasi Papua oleh mayoritas masyarakat Papua masih dinilai kabur dan masyarakat tahu karena politik sengaja dikaburkan. Klarifikasi perlu untuk dilakukan hari ini dengan semangat “Keinginan baik” kita semua, baik pemerintah, masyarakat  maupun aparat penegak hukum yang terlibat dalam persidangan saat ini.

Adapun hal-hal yang sangat urgent untuk diklasifikasikan serta menjadi penyebab timbulnya pergolakan politik di tanah Papua menurut kami Tim Penasehat Hukum Para Terdakwa antara lain :

  1. Bahwa sampai saat ini sebagian besar masyarakat Papua membenarkan bahwa Papua pernah berdaulat sejak tanggal 01 Desember 1961. Subtansinya jelas butuh klarifikasi, sebab soal ini ada relevansinya dengan salah satu butir isi Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang menyatakan : “Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda”.
  2. Bahwa lahirnya New York Agreement (Perjanjian New York) tanggal 15 Agustus 1962 oleh Mayoritas Rakyat Papua dipertanyakan dasar hukumnya, karena rakyat Papua menganggap itu sebagai pelecehan terhadap integritasnya, karena sebagai anak negeri yang hidup diatas tanah ini tidak pernah diikut sertakan dalam perundingan-perundingan antara Indonesia, Belanda dengan fasilitator Mr. Elswort Bunker sebagai wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa padahal sangat disadari bahwa konsep Elwort Bunker itulah cikal bakal isi Perjanjian New York 1962 yang menentukan masa depan bangsa dan tanah ini.
  3. Bahwa Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke UNTEA dan UNTEA ke Indonesia menurut Perjanjian New York dilakukan dengan 2 (dua) tahap dengan mekanisme tahap pertama Belanda menyerahkan kedaulatan tanah ini ke UNTEA dan tahap kedua UNTEA akan menyerahkan kepada Indonesia dengan syarat setelah diserahkan kepada Indonesia akan dilakukan self determination, plebisit atau lebih dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat ) dengan batas waktu akhir tahun 1969.
  4. Bahwa Rezim Orde Baru telah mengingkari perjanjian New York 1962 yang pada dasarnya menyatakan bahwa dalam semangat Perjanjian New York 1962 dan Statuta Roma 20-21 Mei 1969 dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat Papua namun kenyataan yang diterima oleh masyarakat Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat sampai adanya Kabinet Pembangunan dibawah rezim Suharto justru tidak menunjukan realisasi semangat tersebut;
  5. Bahwa di Era Reformasi sejak tumbangnya Rezim Orde Baru, baik masa pemerintahan Presiden Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono dan kini dibawah Pemerintahan Joko Widodo, persoalan “PELURUSAN SEJARAH”, belum mendapat respon penyelesaikan secara bermartabat.

Hal inilah yang masih dipertanyakan menyangkut keabsahan dan validitas Putusan Para Orang Tua mereka dalam PEPERA Tahun 1969, masalah ini yang sampai saat sekarang belum pernah dikomunikasikan dalam sebuah tataran sejajar antara para tokoh daerah Papua dengan Pemerintah, bahkan ada kecendurungan untuk ditutupi, sehingga beberapa kali meletus apa yang oleh pihak keamanan dinamakan sebagai Makar atau Gerakan Separatis OPM. Bahkan ada kecendurungan mempolitisir dengan melatenkan situasi demikian untuk kepentingan-kepentingan pribadi para oknum aparat negara dan aparat penegak hukum yang akhirnya menyebabkan meluasnya kesenjangan-kesenjangan sosial yang terakumulasi terus menerus dalam perjalanan sejarah daerah Papua ini.

Contoh konkret yang telah terjadi seperti eksploitasi sumber daya alam yang melimpah didaerah ini tanpa ada upaya untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya, menumpuknya pelanggaran HAM (Kasus Biak Berdarah, 06 Juli 1998; Kasus Sorong, 05 Juli 1999; Kasus Timika, 02 Desember 1999; Kasus Merauke, 16 Februari 2000; Kasus Nabire, 28 Februari sampai dengan 4 Maret 2000; Kasus, Abepura, 07 Desember 2000, Kasus Wasior Berdarah tahun 2001, Kasus Penyerangan Aparat Pasca KRP III, 19 Oktober 2011, Kasus Paniai Berdarah 2014, Kasus Deiyai 2019, Kasus Nduga 2019-2020 dan Kasus Intan Jaya 2019-2020) dan kasus pelanggaran HAM lainnya yang hampir merata diseluruh wilayah Papua, tanpa upaya mengadili pelakunya oleh Negara dan kesemuanya terakumulasi tanpa jalan keluar yang pasti.

Pemberlakuan otonomi khusus yang oleh Pemerintah dianggap sebagai solusi terbaik dalam implementasinya ternyata masih jauh dari harapan masyarakat Papua, hal ini disebabkan oleh Kebijakan Pemerintah yang sangat tidak konsisten memberlakukan Undang-Undang tersebut misalnya soal lambang daerah sampai saat  ini masih menjadi perdebatan karena yang dianggap sebagai simbol dan lambang daerah oleh masyarakat Papua yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua tersebut oleh Pemerintah dianggap sebagai simbol-simbol separatis kemudian dianulir dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor : 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah termasuk keberadaan bendera Bintang Kejora, selain itu untuk menyelesaikan persoalan sejarah masa lalu dan Pelanggaran HAM telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua soal hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM untuk Propinsi Papua, hingga kini kehadiran kedua lembaga belum diseriusi oleh Pemerintah sendiri. Hal ini ditambah dengan belum adanya keseriusan Pemerintah menyelesaikan produk-produk pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang tujuannya memproteksi penduduk asli Papua, ada 13 (Tiga Belas) Peraturan Daerah Khusus dan 21 (Dua puluh satu) Peraturan Daerah Propinsi (Perdasi) yang sebagian besar sampai saat ini belum diselesaikan pembahasan drafnya oleh Pemerintah, apa yang dilakukan diatas merupakan upaya pembiaran atau kesengajaan yang menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan eksistensi penduduk asli di Tanah Papua ini guna melegitimasi berbagai ketidakadilan. Para Terdakwa yang saat ini menjalani proses hukum adalah korban dari pemikiran semacam ini.

Dalam kurun waktu sekitar tahun 2004-2006, telah ada upaya dari Lembaga Penelitian Indonesia untuk melakukan penelitian tentang Konflik di Papua, kemudian pada tahun 2008 Tim dari LIPI ditugaskan untuk membuat Papua Road MAP (Model Penyelesaian Konflik Papua secara mendasar dan konprehensif), dari hasil penelitian tersebut telah dikelompokan empat isu sumber konfik di Papua dan solusinya :

  1. Isu Pertama : Masalah marginalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970. Untuk menjawab ini, kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua;
  2. Isu Kedua : Kegagalan Pembangunan terutama di Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Untuk menjawab ini di perlukan semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang asli Papua di Kampung-Kampung;
  3. Isu Ketiga : Adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa dilakukan dengan dialog yang bermartabat dengan melibatkan semua komponen masyarakat Papua.
  4. Isu Keempat : Pertanggung jawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap Masyarakat Papua. Untuk itu perlu, penegakan hukum melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengungkapan Kebenaran melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua, hal ini merupakan pilihan-pilihan terbaik untuk keadilan bagi masyarakat Papua, terutama korban dan

 Selain LIPI, solusi-solusi untuk memecahkan problem tersebut juga dilakukan oleh Jaringan Damai Papua (JDP), yang terbentuk pada tanggal 06 Januari 2010, dikoordinir oleh Almarhum Dr. Neles Tebay telah melakukan konsultasi publik di 19 Kabupaten  yang ada di Papua, dengan melibatkan 50 Orang/perwakilan tiap kabupaten dan pada tanggal 5-7 Juli 2011, JDP telah melakukan Konferensi Damai Papua sebagai Konsultasi Publik tertinggi yang melibatkan 500 Perwakilan dari 19 Kabupaten tersebut, yang masing-masing utusan terdiri dari : Unsur Faksi Politik, Unsur Pemuda, serta melibatkan pengamat dari DPRP, MRP, Pemerintah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Dewan Adat Papua, NGO dan lain-lain, hasil dari Konferensi tersebut intinya dideklarasikan bahwa : Dialog merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi bagi penyelesaian  konflik antara Masyarakat Papua dan Pemerintah Indonesia; Terdapat Tekad untuk mencari solusi atas berbagai persoalan politik, keamanan, Hukum, HAM, Ekonomi, Lingkungan Hidup serta sosial budaya di Tanah Papua melalui Dialog antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia yang difasilisasi oleh pihak ketiga yang netral; telah ditetapkan juru runding orang Papua yang akan berdialog dengan Pemerintah Indonesia.

Menjadi pertanyaan mengapa telah ada upaya-upaya damai untuk menyelesaikan akar persoalan Papua, tetapi masih saja terjadi pembungkaman terhadap setiap gerakan masyarakat sipil di Papua dengan stiqma separatis dan “jerat” hukum pasal Makar yang hampir setiap saat dialami secara bergantian oleh mereka yang memperjuangkan hak-hak dasar Masyarakat Papua, dalam tahun ini Terdakwa yang mengalami lagi “stiqma” dan “jerat” Makar tersebut akibat dari SKENARIO KONSPIRASI NEGARA UNTUK MENANGKAP AKTIVIS DIBALIK PERISTIWA RASISME DI SURABAYA DAN DEMO ANTI RASISME DISELURUH PAPUA SERTA PAPUA BARAT.

Kita sebagai aparat penegak hukum perlu belajar pada momentum PERISTIWA RASISME YANG BERDAMPAK PADA DEMO ANTI RASISME DI AMERIKA DAN KINI MELUAS KE BEBERAPA NEGARA  PASCA TERBUNUHNYA GEORGE FLOYD, PERISTIWA INI PERLU DIGUNAKAN UNTUK MELIHAT KEHIDUPAN ORANG PAPUA KEDEPAN, DENGAN MENEMPATKAN ORANG PAPUA SEBAGAI SUBYEK UTAMA DALAM MENENTUKAN MASA DEPANNYA, BUKAN MENADI OBYEK PENDERITA DALAM PENEGAKAN HUKUM DAN MEMPERPANJANG PROSES RASISME TERHADAP ORANG ASLI PAPUA.

 

II. FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN

  1. KETERANGAN SAKSI
    1. Keterangan Saksi-Saksi A Charge :
      1. Saksi AGUS KUSWANTO, lahir di Abepura, pada tanggal 13 April 1972, jenis kelamin Laki-laki, Agama Kristen Protestan, Pekerjaan Polri, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Aru Aspol Abepura, RT 001 RW 000, Kel. Kota Baru, Kec. Abepura, telah disumpah dan menerangkan dibawah sumpah dalam persidangan, sebagai berikut :
          • Saksi menerangkan bahwa tanggal 09 September 2019 ada pertemuan KNPB di Asrama Uncen (Perumnas 3), membahas rencana aksi untuk bebaskan para tahanan yang ditangkap dalam aksi protes rasisme 19,29 Agustus 2019 dan sedang ditahan di Polda Papua, polisi menduga Victor Yeimo, Agus Kosay dan Lucky Siep juga mengikuti rapat dimaksud sehingga datang ke asrama untuk menangkap mereka, namun ketika polisi tiba di asrama tidak bertemu target, polisi pun ke rumah Buchtar Tabuni dan bertemu Buchtar di sebuah bukit lalu menangkapnya/mengamankannya;
          • Saksi menerangkan bahwa saat Terdakwa Buchtar hendak mau naik mobil, ada komando, Buchtar angkat tangan lalu warga sekitar melempar mobil dengan batu;
          • Saksi menerangkan bahwa warga yang melakukan pelemparan berjumlah kurang lebih 20 orang;
          • Saksi menerangkan bahwa akibat lemparan warga dimaksud seorang polisi terluka dan sempat dirawat di Rumah Sakit;
          • Bahwa saksi tidak tahu Buchtar Tabuni, apakah ikut pertemuan tanggal 09 yang dilakukan KNPB di Asrama Uncen perumnas 3 atau tidak;
          • Bahwa Saksi menerangkan, Terdakwa Buchtar ikut dalam organisasi KNPB, PNWP dan ULMWP, Organisasi yang bergerak di diplomasi dalam dan luar negeri, menyerukan referendum, kemerdekaan Papua;
          • Bahwa Saksi mengaku sering dengar ada rapat-rapat yang dilakukan oleh Buchtar Tabuni tapi tidak tahu tempat dilakukan dan waktunya;
          • Bahwa saksi tidak tahu keterlibatan Buchtar Tabuni dalam kegiatan demonstrasi, tanggal 19 dan 29 Agustus 2019;
          • Bahwa saksi menerangkan barang-barang yang ditemukan dalam rumah Buchtar Tabuni adalah Laptop dan HP, tapi tidak tahu isinya;
          • Bahwa saksi mengaku mendapat info dari teman polisi (tim penyidik) bahwa di dalam HPnya ditemukan adanya dokumen yang dikirim keluar negeri;
          • Bahwa saksi menerangkan demo rasisme tanggal 19 Agustus @019 berjalan lancar, demo tanggal 29 Agustus 2019, terjadi anarkis, pembakaran bangunan di Kota Jayapura;
          • Bahwa saksi menerangkan demo tanggal 19 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura terkait eksodus mahasiswa Papua dari Jawa karena masalah rasisme di Surabaya;
          • Bahwa saksi tidak tahu tuntutan mahasiswa;
          • Bahwa saksi tidak tahu ada putusan pengadilan tahun 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap bagi Terdawa Buchtar Tabuni;
          • Bahwa saksi mengetahui keterlibatan Buchtar Tabuni di KNPB dan ULMWP dari teman-teman;
          • Bahwa saksi menerangkan korelasi penengkapan Buchrar dengan target karena Agus Kosai kerena Buchtar salah satu tokoh yang menyatakan referendum.

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa menolak keterangan saksi, karena tidak ada kaitan dengan demo anti rasisme dan pertemuan-pertemuan di Asrama Rusunawa.

 

      1. Saksi JOKO ANGGORO, lahir di Jayapura, pada tanggal 09 Februari 1982, jenis kelamin Laki- laki, 1Agama Islam, Pekerjaan Polri, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Bayam Hamadi RT.002/ RW. 006 Kel. Hamadi Distrik Jayapura Selatan, telah disumpah dipersidangan, pada pokoknya menerangkan, sebagai berikut :
          • Bahwsa Saksi menerangkan bahwa Terdakwa Buchtar ditangkap sehubugan dengan penghasutan membangun negara di dalam negara;
          • Bahwa saksi mengaku Terdakwa Buchtar Tabuni menghasut masyarakat saat demontrasi di Kota Jayapura;
          • Bahwa saksi mengaku melihat Terdakwa Buchtar Tabuni melakukan demostrasi saat dulu-dulu, Terdakwa juga melakukan orasi, dalam orasi itu masa membawa bendera dan mengatakan yel-yel;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa terdakwa sebagai ketua ULMWP dan PNWP, bergerak di bagian diplomasi Papua merdeka luar negeri;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Terdakwa Buchtar Tabuni berhubungan dengan Beny Wenda, DPO Polri;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa tanggal 09 September 2019 tim Polda Papua ke Asrama Uncen perumnas 3 untuk tangkap DPO yaitu Victor Yeimo, Agus Kosai dan Luky Siep, tapi tidak ketemu lalu ke Kamwolker tangkap Terdakwa di gunung;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa sebelum Terdakwa Buchtar Tabuni naik mobil ia mengangkat tangan kepada warga, lalu masyarakat melakukan pelemparan terhadap mobil yang mereka tumpangi dengan batu;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Barang bukti yang ditemukan dalam rumah Terdakwa Buchtar Tabuni yaitu dua HP satu Laptop;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Terdakwa Buchtar tidak ada dalam kegitan demo rasisme;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Terdakwa Buchtar dulu bergabung dengan organisasi KNPB, sekarang masuk dalam organisasi ULMWP;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa tujuan KNPB adalah diplomasi dan bangun negara Papua ;
          • Bahwa saksi mengaku dalam melakukan penangkapan terhadap terdakwa tidak disetai surat perintah penangkapan;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Latar belakang demo karena adanya peristiwa rasisme di Surabaya, Jawa Timur, ada yang keluarkan kata monyet;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa demo tanggal 19 berjalan damai, Tuntutan Demo : minta merdeka, tuntut tahan pelaku rasisme;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa demo dari kantor MRP, lewat kantor DPRP;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa demo tanggal 19 Agutus 2019 Terdakwa tidak ikut;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa 2012 ada sidang terdakwa dan ada putusannya, saat itu saksi lihat sidangnya;
          • Bahwa saksi tidak ada penghasutan saat Buchtar Tabuni naik mobil saat ia ditangkap pada tangal 09 September 2019 di Perumnas 3 Waena.

Tanggapan Terdakwa Buchtar Tabuni : Tidak benar adanya komando kepada masyarakat yang membuat masyarakat sekitar melempar mobil dengan batu;

      1. Saksi FANI KAREL LAIMENA, lahir di Magelang pada tanggal 08 September 1977, jenis kelamin Laki-laki, Agama Kristen Khatolik, Pekerjaan PNS (PNS Staf Kesbangpol), Pendikan Terakhir S1 Ekonomi, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Krisno S. No. 18 A Angkasa Distrik Jayapura Utara, telah dibawah janji dalam persidangan sebagai berikut :
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa Tidak tahu Terdakwa Buchtar pimpin organisasi ;
          • Bahwa saksi tahu ada organisai KNPB dan OPM;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa organisasi KNPB dan OPM tidak terdaftar di Kesbangpol;
          • Bahwa saksi tidak tahu hubungan keduanya;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa organisasi PNWP, WPNCL, ULMWP tidak terdaftar di Kesbangpol;
          • Bahwa saksi tahu organisasi PNWP, WPNCL, ULMWP, organisasi ini ada di Papua;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa konsen kerja Kesbangpol hanya untuk organisai yang terdaftar;
          • Bahwa saksi menerangkan bahwa tidak ada kewenangan pemerintah terhadap organisasi yang tidak terdaftar di Kesbangpol;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa tidak ada tindakan pemerintah untuk bubarkan;
          • Bahwa saksi tidak tahu Terdakwa Buchtar Tabuni merupakan pimpinan ULMWP;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa tidak ada kewajiban ormas harus terdahtar di Kesbangpol, sesuai PP Ormas;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa tidak ada kewajiban memaksa merubah ormas;
          • Bahwa Saksi menerangkan bahwa ormas yang berkaitan dengan pemerintah wajib didaftar;
          • Bahwa Saksi tidak tahu Buchtar sebagai Ketua KNPB.

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa menyatakan tidak menanggapi karena saksi tidak tahu soal Terdakwa dan aktifitas Terdakwa

      1. Saksi STEVENUS ITLAY ALIAS STEVEN ITLAI, lahir di Wamena, pada tanggal 03 Oktober 1988, jenis kelamin Laki-laki, Agama Kristen Khatolik, Pekerjaan Aktivis Ham (Ketua KNPB Kab. Timika), Pendikan Terakhir SMK Neg. 3 Jayapura, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Kebun Siri Jln. Freeport lama Timika Kab. Timika, telah disumpah dan memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
          • Bahwa saksi mengaku tidak pernah diperiksa untuk perkara Buctar Tabuni;
          • Bahwa saksi mengaku hanya diperiksa untuk perkara Agus Kosay;
          • Bahwa saksi merasa di tipu oleh Penyidik dalam menjelaskan proses pemeriksaan terhadap Terdakwa;
          • Saksi mengaku saat diperiksa di kepolisian dipaksa oleh penyidik;
          • Saksi menerangkan bahwa keterangan dalam BAP diambil dari / disalin dari Internet;
          • Bahwa saksi menerangkan bahwa tanda tangan BAP tanpa membaca BAP;
          • tidak bersedia memberikan keterangan untuk Terdakwa Buchtar Tabuni dalam sidang ini.

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa tidak memberikan tanggapan karena Steven tidak diperiksa untuk terdakwa.

 

    1. Keterangan Saksi-Saksi meringankan A DE CHARGE
      1. SAKSI LAURENS KADEPA, menerangkan dibawa janji dalam persidangan sebagai berikut :
          • Bahwa saksi adalah anggota DPR Provinsi Papua kini sebagai anggota DPRP Periode Kedua pada Komisi I yang berhubungan dengan Bidang Pemerintahan, Politik dan Hukum;
          • Bahwa pada aksi demo damai menentang rasisme di Jayapura, saksi ada bersama-sama massa yang berdemo pada aksi pertama tanggal 19 Agustus 2019 dan aksi kedua tanggal 29 Agustus 2019;
          • Bahwa saksi tahu latar belakang aksi demo menentang rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura dan seluruh Papua dan Papua Barat dilatar belakangi oleh peristiwa rasisme di Surabaya pada tanggal 16 Agustus 2019 dan beberapa daerah di Jawa seperti di Jogjakarta, Malang dan Semarang serta beberapa daerah di Jawa;
          • Bahwa saksi tahu aksi demo menentang rasisme yang bertanggungjawab adalah BEM Se-Kota Jayapura dan juga didukung spontanitas rakyat Papua, aksi ini tidak dilakukan oleh kelompok KNPB ULMWP atau AMP, ini aksi spontanitas karena rasisme sudah berulang-ulang dilakukan terhadap orang Papua;
          • Bahwa saksi sebagai anggota DPRP menerima informasi ini lewat selebaran, informasi dari selebaran tersebut berkaitan dengan aksi menentang rasisme di Surabaya, tidak ada ajakan kepada rakyat untuk melakukan aksi anarkhis;
          • Bahwa saksi melihat semua masyarakat melakukan demo anti rasisme, khusus untuk terdakwa saksi tidak melihat karena banyaknya massa yang hadir dalam demo anti rasisme tersebut;
          • Bahwa ungkapan rasis yang sering dikeluarkan adalah kata monyet, sebelum di Surabaya ada peristiwa di Jogja terhadap Oby Kogoya, Natalius Pigay Mantan Komisioner HAM juga dialami Tim Persipura ketika bermain bola;
          • Bahwa peristiwa rasisme ini merupakan akumulasi yang puncaknya terjadi demo anti rasisme yang terjadi pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 yang terjadi di Seluruh Papua dan Papua Barat;
          • Bahwa ada pembakaran dan pengrusakan tapi saksi tidak tahu yang melakukan pembakaran tersebut dari kelompok mana, saksi juga tidak melihat dalam aksi tanggal 29 Agustus 2019 maupun 19 Agustus 2019 Terdakwa Buchtar Tabuni;
          • Bahwa saksi melihat pada tanggal 19 Agustus 2019 selain dikoordinir oleh BEM Se-Kota Jayapura ada kelompok Cipayung seperti GMKI, PMKRI dan HMI serta ada juga kelompok Non Orang Asli Papua (Non OAP) yang turut terlibat dalam aksi demo menentang rasisme;
          • Bahwa aksi diluar Kota Jayapura, yang terjadi di beberapa Kabupaten seperti Wamena, Deiyai, Dogiyai, Yahukimo, Biak, Yapen dan beberapa daerah lain di Papua dan Papua Barat tidak dikoordinir oleh BEM Se-Kota Jayapura tetapi atas inisiatif masyarakat Papua dan Papua Barat secara spontanitas;
          • Bahwa saksi tahu aksi tersebut saksi koordinasi terus dengan pihak Polda dan Polresta, yang saksi tahu demo tanggal 19 Agustus 2019 diizinkan oleh Pihak Kepolisian;
          • Bahwa saksi tahu aksi tanggal 19 Agustus 2019, massanya diterima oleh Gubernur Papua dan juga Muspida lainnya, setelah itu saya tahu ada Tim yang ke Surabaya bertemu dengan Gubernur Jawa Timur;
          • Bahwa saksi tahu Terdakwa Buchtar Tabuni ditangkap, tapi saksi tidak tahu aktivitasnya akhir-akhir ini dan tidak tahu juga tempat tinggal Terdakwa;
          • Bahwa yang saksi tahu tidak ada bendera KNPB, tidak ada bendera bintang kejora, tidak ada panflet-panflet yang berkaitan dengan Papua Merdeka;
          • Bahwa yang saksi tahu aksi demo tersebut bertujuan menentang rasisme, tidak ada tujuan referendum atau memisahkan diri dari NKRI;
          • Bahwa saksi menerangkan justru kelompok mahasiswa yang bertanggung jawab dalam membantu pemerintah dan pihak kepolisian sehingga aksi demo ini berakhir dengan damai, kalau tidak ada kelompok mahasiswa, dapat terjadi tindakan yang lebih parah lagi, Kota Jayapura bisa terjadi kerusakan dan kebakaran dimana-mana (merah);
          • Bahwa saksi menerangkan sebagai Anggota DPRP ketujuh terdakwa ini adalah korban dari rasisme mereka tidak salah terkait dengan aksi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019. Terutama jika dikaitkan dengan ULMWP, KNPB dan AMP itu sangat salah, aksi tersebut tidak ada kaitan dengan ULMWP, KNPB dan AMP itu spontanitas dari Masyarakat Papua dalam rangka menolak rasisme, jadi hakim yang mulia saya harap keadilan ditegakan bagi mereka.

Tanggapan Terdakwa :

  • Saya harap PH saya menghadirkan Saksi yang melihat peristiwa tanggal 9 September 2019, ini sudah membias diluar yang saya alami;
  • Saya merasa ditipu oleh penyidik, karena diawal informasi dari penyidik dijemput berkaitan dengan kasus pelemparan;
  • Saya tidak ada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019.

 

    1. SAKSI Pdt.ARMIN KOGOYA, S.Th, menerangkan dibawa janji dalam persidangan sebagai berikut :
          • Bahwa saksi adalah tetangga dari Terdakwa Buchtar Tabuni, jarak antara rumah saksi dan Terdakwa kurang lebih 100 meter;
          • Bahwa saksi dan terdakwa tetangga dan bersama-sama berkebun, kebun kami dari rumah kurang lebih 200 meter;
          • Bahwa pada hari Sabtu, tanggal 7 September 2019 Terdakwa Buchtar Tabuni kerumah saksi, saksi mengajak Terdakwa bersama-sama  kerja kebun;
          • Bahwa pada hari Senin, tanggal 9 September 2019, saksi bersama Terdakwa kerja dikebun , lalu Terdakwa pulang;
          • Bahwa saksi saat itu kedepan belanja untuk masak, lalu melihat anggota sudah berkumpul di putaran taxi Perumnas 3, saksi belanja bawa kerumah untuk masak;
          • Bahwa saat itu saksi melihat anggota polisi sudah datang dan tangkap terdakwa bersama banyak orang saat itu, termasuk seorang perempuan ditangkap dan dibawa ke Polsek Abe;
          • Bahwa saksi tahu ditangkap pada jam 10.00 Pagi, anggota menggunakan banyak mobil mereka sweeping di Asrama Uncen lalu mereka naik ke Kampwolker, jadi bukan satu arah, mereka dari Buper dan Jalan Baru;
          • Bahwa yang saksi tahu pada saat itu Terdakwa ditangkap pada Jam 05.30 Sore (17.30 WIT) dan saat itu saksi berada di rumah;
          • Bahwa saat penangkapan banyak mobil datang dari jembatan, lalu 3 mobil yang satu mobil Pick Up dan dua mobil kaca gelap avansa. Yang satu parker dihalaman bagian bawa, yang satu parkir dihalaman rumah tetangga, lalu mereka tangkap Terdakwa naikan ke mobil;
          • Bahwa saat melakukan penangkapan, aparat mengeluarkan tembakan yang membuat masyarakat takut, saksi saat itu ada tapi menghindar tembakan juga;
          • Bahwa saat itu saksi bersama masyarakat menanyakan kepada polisi, terdakwa dibawa kemana? Bawa ke Polsek, Polres atau Brimob? Tapi ada bunyi tembakan lagi sehingga massa semua lari menghindar;
          • Bahwa ada dari belakang masa yang melakukan pelemparan dan kejar polisi yang membawa Terdakwa, Terdakwa angkat tangan dan mengatakan ini saya ditangkap ade kembali mundur;
          • Bahwa saat dibawa dengan mobil terdakwa turunkan kaca, angkat tangan dari dalam mobil dan sampaikan saya sudah ditangkap jadi warga jangan kejar;
          • Bahwa saksi bersama massa saat itu tidak tahu Terdakwa dibawa kemana, saksi yang mengarahkan massa untuk bubarkan diri saat itu;
          • Bahwa selain berkebun, Terdakwa bersama saksi juga memelihara ternak seperti Babi;
          • Bahwa saksi sudah mengenal Terdakwa dari 2015 sejak sama-sama tingggal di KampWolker.

Tanggapan Terdakwa : Benar keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan

 

  1. KETERANGAN AHLI
    1. KETERANGAN AHLI DARI JPU, Ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan untuk menerangkan keahliannya sehubungan dengan perkara ini adalah :
      1. Ahli Bahasa Dr. APRIANUS SALAM, M.Hum, lahir di Riau, pada tanggal 07 April 1965, jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, Pendidikan Terakhir S3, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Kantor Pusat Studi Kebudayaan UGM, Jl. Trengguli No. E9, Bulaksumur, Yogyakarta, telah disumpah, pada pokoknya menerangkan dipersidangan sebagai berikut :
          • Bahwa antara tema dengan dengan foto dan video yang ditunjukan Kalau secara Ilmu kebahasaan dalam perspektif struktural misalnya itu bagian–bagian peristiwa-peristiwa kecil yang merupakan bangunan peristiwa besar yang secara keseluruhan. Peristiwa besar berdiri dari peristiwa-peristiwa kecil yang selalu ada terkait dengan konteks peristiwa secara keseluruhan. Secara teori kemudian teori itu berpendapat bahwa tidak ada peristiwa di dalam satu konteks terlepas berdiri sendiri-sendiri, merupakan rangkaian – rangkaian yang selalu;
          • Bahwa Terkait dengan peristiwa saya hanya menganalisis berdasarkan data/dokumen-dokumen yang diberikan kepada saya, jadi ada peristiwa-peristiwa tertentu, demonstrasi ada peristiwa statement-statement yang terkait dengan Papua merdeka, pengibaran bendera bintang kejora, kemudian ada statement– statemen yang mungkin bisa masuk ke soal rasisme, statement monyet, kolonial dan seterusnya ini statement yang sebetulnya dari peristiwa”tertentu yang sekarang. Bagian tadi membangun peristiwa yang lebih besar yakni bagaimana kemudian sebagian kelompok” tertentu menyampaikan aspirasi tadi ada  dan tetapi didalam menyampaikan aspirasi tadi, ada kesepakatan simbolik yang besifat nasional, bersifat kenegaraan yang bersifat kebangsaan yang melanggar kesepakatan simbolik tadi;
          • Bahwa saksi mengsinergikan teori bahasa ada yang teori pri structural simiotik, ada teori wacana, hermenetik. Memang setiap disiplin ilmu bahasa, ilmu hukum, ilmu ekonomi dia punya register dia punya pengertian-pengertian tertentu yang kadang-kadang perlu disesuaikan dengan paradigma ilmu kedisiplinannya kami sebagai ahli bahasa tentu saja pengertian yang dianggap baku yang ada di kamus besar bahasa Indonesia, kita bisa lihat bersama, walaupun tentu saja berpendapat nanti belum tentu persis seperti kamus, karena saya juga boleh berhak berpendapat. Tapi saya kira benang merahnya sama jadi ini yang perlu dipahami bahwa kadang-kadang pengertian-pengertian yang di ilmu hukum bahasa, di ilmu ekonomi, ilmu politik itu pengertian kata-kata referendum misalnya tidak persis sama tapi tentu saja ada sati dua yang menjadi benang merah untuk dipakai bersama sehingga kemudian orang ketika menggunakan kata refendum itu mempunyai pengertian yang lebih kurang sama, cuma penggunaan bahasa itu kemudian sesuai dengan konteksnya bahasa hukum, ekonomi, yang sesuai dengan konteksnya disiplin yang berbeda-beda tetapi saya kira kamus besar bahasa Indonesia bisa di jadikan pedoman dasar untuk memberikan pengertian sebelum masuk kedalam disiplin- disiplin keilmuan lainnya;
          • Bahwa sekelompok masyarakat boleh saja menyampaikan aspirasi sebagai warga Negara, tetapi ketika kemudian di dalam proses berkomunikasi ada hal – hal kemudian terjadi pelanggaran yang disepakati dari segi itu kebahasaan melanggar proses komunikasi tetapi kalau kemudian bisa saja pelanggaran – pelanggaran tadi bisa dimasukan ke ranah hukum / pengadilan ;
          • Bahwa nanti Ahli hukum akan menjelaskannya, saya menjelaskan dari segi kebahasaan hanya mempersoalkan apakah dalam cara berkomunikasi, menyampaikan pendapat, menyampaikan aspirasi itu dari segi bahasanya apakah ada pelanggaran kesepakatan simboliknya atau tidak ? saya hanya sampai disitu saja. Apakah nanti statement itu dilindungi hukum atau tidak silakan diklarifikasi oleh Ahli hukum.
          • Bahwa saksi telah menulis buku tentang Makar Simbolik pada bagian Bab V;
          • Bahwa saksi menulis itu setelah saksi mempelajari kasus papua ada peristiwa tentang sekelompok masyarakat / warga melakukan tindakan-tindakan simbolik dengan menurunkan bendera merah putih, mengibarkan bendera lain, itu saya berpikir;
          • Bahwa hubungan relasi dengan maknanya, makna mana yang bersifat kordinatif, makna-makna yang bersifat korelatif, dan makna-makna yang bersifat kontradiktif sebetulnya relasinya makna kontradiktif jadi makna-makna tidak harus sama tapi, makna kontradiktif pun dapat disatukan dalam satu konteks;
          • Bahwa Itu bisa berbeda, jadi tidak ada kemudian isu itu dipilah- pilah. Kemudian dalam ilmu kebahasanan diambil satu organ tertentu kemudian di anlisis dengan memisahkan organ tadi di dalam konteks keseluruhan jadi malah tidak bisa dipahami lagi;
          • Bahwa saya tidak melihat berkas 7 Terdakwa;
          • Bahwa saya hanya diberikan satu berkas berdasarkan Kasus;
          • Bahwa setiap ada kasus, ada statement saksi ditanyakan bagaimana menurut pendapat saksi, saksi tidak harus mengkaitkan siapa dengan pernyataan itu, kemudian ada BAP 7 orang dan juga pernyataan tertulis.
          • Bahwa Kasus dan statement berbeda-beda;
          • Bahwa Istilah rasisme dan anti rasisme itu prasangka – prasangka ideologis teori tentang Ideologi bicarakan dalam teori kebahasaan, jadi prasangka – prasangka Ideologis baik rasisme dan anti rasisme sebetulnya sama – sama rasisme, persoalan – persoalan tertentu, penolakan – penolakan tertentu, menolak rasisme dia juga punya ada rasisme tertentu yang dia pegang, apakah itu kemudian rasis dengan berbasis secara teoritis, rasisme itu dasarnya genetik apakah warna kulit, apakah berkaitan dengan turunan dan seterusnya. Tetapi sebetulnya yang perlu dipahami sama adalah bahwa penggunaan kata rasisme dan anti rasisme itu permainan politisasi makna, semuanya punya kepentingan jadi diperiksa saja apakah steatmen itu secara historis maupun secara kebahasaan maupun secara politik atau nanti kalau itu sudah clear bisa menjadi masalah hukum atau tidak;
          • Bahwa Implikasi itu ada bukan soal rasismenya, implikasinya terhadap kemungkinan penolakan-penolakan terhadap anti rasisme, kita tidak bisa memfokus dalam satu konteks kemudian diambil kasusnya tapi implikasi yang serius tentu saja bentuk perlawanan sehingga ada orang, sekelompok orang berkepentingan apakah itu terkait dengan bendera atau apakah itu terkait denga pernyataan – pernyataan tertentu yang mungkin bisa bersifat tuduhan maupun penghinaan itu semua implikasi – implikasi yang lebih penting dari sekedar memahami apakah itu rasisme atau anti rasisme;
          • Bahwa Kita punya kesepakatan kata monyet kalau berdiri sendiri tidak ada masalah, tapi kalau kita menunjukan secara ikonik ini gambar monyet  kemudian kata monyet ada proses historis yang menyebabkan kemudian namanya istilahnya prioratif atau prio…atau istilah bahasanya menjadi berubah maknanya, kemudian kata itu dipakai untuk penghinaan itu jadi bermasalah, jadi maksud saya itu .Ada makna – makna yang kemudian, dulu kata betina sangat terhormat dipakai, sekarang seorang wanita dikatakan dasar betina kamu dipakai jadi tidak benar wanita tadi merasa tidak terima, dia bisa saja melapor menjadi peristiwa

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa menolak keterangan Ahli karena tidak ada kaitan denga Terdakwa

      1. Ahli Psikologi Sosial Politik, A Prof. Dr. HAMDI MULUK, Ph.D, lahir di Padang Panjang, pada tanggal 31 Maret 1966, jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen,Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Gedung B Lantai 2 Ruang B 107, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jl. Margonda Raya, Pondok Cina, Kec. Beji, Kota Depok, Jawa Barat.16424, telah disumpah, dam memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya menerangkan, sebagai berikut :
          • Bahwa gerakan–gerakan yang berasal dari kelompok – kelompok isurgensi juga ada kelompok – kelompok Mahasiswa kita tahu bahwa ada misalnya HMI, PMKRI, HMI DAN GMKI tapi juga terdakwa ada yang berbasis dari unsur mahasiswa;
          • Bahwa gerakan menjadi besar itu kalau simpatisan semakin banyak jadi unsur–unsur yang termotivasi untuk melakukan itu menjadi lebih luar untuk gerakan – gerakan aksi kolektif menjadi besar itu yang dari awal. Saya katakan dalam kasus Papua ini seperti yang saya lihat ada sama ada gerakan – gerakan yang motifnya menuntut diskriminasi dan juga banyak melibatkan elemen – elemen tertentu jelas dalam anatomi gerakan ini bisa diidentifikasi bahwa itu ada kalau saya lihat baik yang ditemukan oleh penyilik ini ada rapat–rapat persiapan yang cukup intensif itu juga melibatkan intensif lantas termasuk juga kelompok insurgensi dan juga aspirasi ini belakang mulai buatanya misalnya kalau kita lihat anatomi gerakan itu berkembang menjadi liar biar gerekan tersebut kearah makar;
          • Bahwa cara untuk menemukan kemerdekan dan seterusnya dan betul bahwa di gerakan ini seperti penasehat hukum katakan gerakan–gerakan civil society lain;
          • Bahwa seperti yang berita acara saksi lihat itu mulai berkembang gerakan aspirasi memungkinkan di picu kemerdekaan, ketidakpusan karena dan negara demokratif memang ada batasan – batasan yang jelas bahwa ketika itu suatu sudah masuk ke titik mengrongrong menyeruhkan mengajak orang untuk mendeklarasikan pemerintahan yang sah menyuruh orang untuk mendelegitimasi sebuah gerakan, bisa bersifat non violence dan juga bisa violence bisa juga pengembangkan gerakan sipil bisa berunjuk pada gerakan pemaksukan. Dalam anatomi sekarang masa yang terjadi di Papua saya melihat semua bahwa kita harus tahu kalau sudah jelas menyangkut merongrong, gerakan surgensi atau gerakan poltisi untuk apakah menawarkan suatu kedaulatan termasuk kewenangan simbol, simbol yang dipahami oleh seluruh rakyat sebagai sebagai simbol sebagai ketidak patuhan untuk memisahkan diri. Ini yang ditakutkan aspirasi yang meluas dan akan mejadi gerakan insurgensi yang mengancam NKRI. Apabila aparat kemanan bertindak itu sesuatu hal yang wajar;
          • Bahwa begini memang memisahkan mana yang terhadap aspirasi dan mana yang sudah berkembang jadi, usaha – usaha untuk insurgensii atau usaha – usaha ke arah makar, usaha aspirasi ke arah kemerdekaan itu. Ini memang tugas penyidik untuk mengumpulkan bukti – bukti mulai rapat – rapat bersiapan dan mengumpulkan semua barang bukti. Ini semua menyangkut apa yang menjadi aspirasi orang–orang yang bergerak di lapangan itu. Tentu titik focus pada praktek – praktek, dalam sebuah gerakan masal yang mungkin sudah mengarah pada insurgensi tadi gerakan – gerakan makar dan seterusnya;
          • Bahwa Yang pertama–tama harus diselidiki tentu adalah leader,kita tidak bicara follower banyak sekali ribuan orang – orang pasti ikut – ikut titik focus kepada penggerak – penggeraknya dulu. Penggerak itu bisa orang–perorang, organsasi dan secara hukum kita sebut sebagai organisasi dan organisator yang namanya korlap dan ada orang yang mengornisir itu yang diselidki dulu. Itu actor – actor praktek tentu nanti kita harus pilah–pilah namun yang menyuarakan murni, diskriminasi maka mulai mengara kea rah – arah motifnya ke gerakan makar ini kita lakukan;
          • Bahwa ada usaha melegitimasi sebuah resim yang sah usaha – usaha untuk mengajak melakukan usaha untuk melakukan pembakatannya ketidakpatuan dan menyuarakan tidak percaya pada rezim semacam – semacam itu isinya political delegitimasi itu sering dikatakan usaha untuk subjensi mungkin sekedar menyampaikan asipirasi tapi memang dilematis juga Dalam aksi juga. Kalau memang adalah untuk di percaya, minta Merdeka juga dimaksud pada Isubjensi;
          • Bahwa setelah itu apakah gerakan ini berkembang berkolaborasi dengan kelompok – kelompok yang menyuarakan insurgensi itu pada titik itu saja bahwa ada selebaran kertas yang diserahkan Gubernur untuk pelaku diskriminasi tindak lanjut;
          • Bahwa artinya dalam sebuah proses negara demokrasi itu dimungkinkan, proses politik yang sah paling tidak depannya konggres MPR, atau MA atau seluruh Indonesia sepakat ada referendum paling tidak satu provinsi minta berdiri sendiri itu namanya referendum;
          • Bahwa di seluruh dunia rasisme selalu tantangan bagaimana juga hubungan yang harmonis dari pada masyarakat yang secara ras, beragama sangat majemuk ragam, sas hubungan yang harmonis itu saling menghormati tolerensi, tidak menghina, tidak menyakiti satu sama lain karena memang secara kodrat kita sudah beda secara rasial.
          • Bahwa Secara rasial, secara agama, kebudayaan yang berbeda – berbeda, kebiasan yang berbeda-beda masyarakat majemuk dalam fisikologi lingkungan. Bagaimana setiap kelompok – kelompok saling menghormati memang kalau pengusiran terhadap ras lain orang akan mengatakan ini dalam fisikologi politik. Rasisme itu diindentifikasikan sebagai sebuah sikap kepada kelompok ras yang berbeda dari orang jadi masalah sikap lahir, sikap kadang tidak diikuti dengan hal – hal yang misalnya perasaan, anda punya perasan negatif terhadap hal–hal jadi dalam Indonesia sikap – sikap rasisme itu berpotensi saja terjadi tidak hanya orang non Papua terhadap orang Papua juga sebaliknya. Rasisme itu dalam fisikologi politik di definisikan sebagai sebuah sikap negatif terhadap kelompok lain kelompok itu, kelompok ras, kelompok suku, kelompok beda agama sama saja dalam persepktif kalau orang yang punya prasangka orang punya pandangan – pandangan tertentu terhadap sebuah ras, agama, dan seterusnya berkembang menjadi prasangka;
          • Bahwa Persoalan rasisme akan selalu menjadi tantangan terhadap negara demokrasi tidak hanya Indonesia, seluruh Negara di dunia menganggap ini sebuah tantangan kita berbangsa, bernegara bagaimana kita mengembangkan kehidupan yang toleran, dikusif tidak membeda -bedakan orang berdasarkan suku, ras.agama kelompok yang berbeda kita sudah sepakat hidup bersama dalam krangka NKRI mulai dari sabang sampai Merauke setiap orang berdiri sama, setara sepanjang warga sama hak – warga Republik yang sama hak – haknya harus dihormati dan Problem ini dimasyarkat tantangan masyarakat demokratif.

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa menolak keterangan Ahli karena tidak ada kaitan denga Terdakwa

      1. Ahli Hukum Tata Negara, Muhammad Rullyandi, S.H., MH, lahir di Jakarta, pada tanggal 26 Juli 1986, jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen, Pendidikan sedang menyelesaikan studi S3 Hukum Tata Negara di pasca sarjana Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Pulo Sirih Timur 7 Blok CC No. 33 Pekayon Jaya, Bekasi, telah disumpah, dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
          • Bahwa Secara prosedur dalam berdemo, memang ada pemberitahuan, Jikalau pemberitahuan itu sudah disampaikan tapi kegiatannya,  dilapangan tidak sesuai dengan isi pemberitahuan, maka Polri mengambil Tindakan tegas;
          • Bahwa Demo itu harus tunduk pada Undang-Undang, demonstrasi adalah bagian dari kebebasan  menyatakan pikiran dengan lisan karena itu harus tunduk pada Undang-Undang  tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka Umum. Jadi wajib menaati  dan ada aturan khusus menjaga keutuhan persatuan bangsa,  Jadi ada kewajiban kepada  setiap warga Negara disamping Demonstrasi adalah Hak warga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jadi ada hak yang dijamin dan Perlindungan Hukum Pasal 5 kemudian ada Kewajiban. Kewajiban itu merupakan tanggungjawab individu-individu semua yang terlibat dalam demonstrasi kalau ternyata materi substansi yang disampaikan didepan publik ternyata mengandung unsur separatis, ternyata ada unsur makar terpenuhi perlawanan terhadap fundamental Negara maka Negara harus tegas mengambil sikap penegakan Hukumnya dan ini bukan sebatas pada prosedural. Pada prinsipnya Kegiatan yang dilarang Undang-Undang mereka tidak terbuka secara public tapi memiliki misi tertentu yang mereka rahasiakan sehingga barangkali aparat penegak hukum juga tidak melihat secara kasat mata bahwa ternyata ada kegiatan yang berpotensi  merupakan kegiatan demonstrasi  yang  menyampaikan demo separatis berujung pada pemisahan terhadap NKRI, ini yang harus diwaspadai bahkan harus dilakukan Tindakan tegas dan ternyata dilapangan terjadi kegiatan yang tidak sesuai seperti Kasus demo yang terjadi pada 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019;
          • Bahwa Pemberitahuan adalah Kewajiban, Kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap warga Negara sebelum melakukan tidakan berdemonstrasi , itu Kewajiban melakukan pemberitahuan. Kalau permohonan ijin, jelas permohonan ijin itu secara resmi, meminta ijin untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Meskipun pemberitahuan dan permohonan ijin itu harus ada permohonan ijin dari aparat untuk memperbolehkan atau tidak memperbolehkan dalam hal diskresi apparat penegak hukum, kewenangan subyektivitas dan objektivitas apparat penegak hukum maka yang harus kita garis bawahi apakah pemberitahuan itu meskipun dengan berbagai cara merahasiakan kegiatan inti dari kegiatan yang dilakukan pada suatu kegiatan demonstrasi sehingga tidak ketahuan oleh apparat penegak hukum seolah-olah itu menjadi legal/ resmi, tiba-tiba pada saat dilapangan berkembang liar dilapangan dan menimbulkan kontra produktif sikap kewajiban pemberitahuan yang disampaikan oleh setiap orang atau setiap warga negara yang dilakukan berdemonstrasi sebagaimana tadi;
          • Bahwa Tidak bisa diukur dari perspektif procedural, karena begini perspektik prosedural untuk kegiatan boleh tidaknya orang berkumpul, berdemonstrasi. Itu tidak menjamin dengan hanya orang memberikan surat pemberitahuan saja karena terjadinya suatu tindak pidana yang disebut tadi makar ataupun ada kegiatan lain yang katakanlah ternyata ada kerusuhan chaos maka bisa saja penegak hukum menerapkan Pasal lain bisa saja Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan , Orang dihasut supaya buat kerusuhan dalam demonstrasi bahkan dengan sendirinya peristiwa-peristiwa kerusuhan itu tdak secara otomatis kebal hukum, meskipun dikatakan bahwa saya hadir kesini Ketua pelaksana demonstrasi punya ijin dari aparat penegak hukum sehingga apapun yang terjadi tidak boleh ditindak. Tidak bisa begitu. Itu namanya seolah-olah kebal hukum. Yang ingin saya garis bawahi disini adalah dimana yang terjadi dilapangan, ada hal-hal yang terjadi bertentangan dengan Undang-Undang ataukah meskipun kebebasan menyampaikan pendapat dijamin Undang-Undang Dasar 1945 tapi dibatasi juga oleh Undang-Undang;
          • Bahwa Statemen itu melawan penjajahan. Bahwa Penjajahan itu Tindakan yang melanggar hak suatu bangsa dan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan karena itulah Undang-undang Dasar 1945 didalam pembukaannya mengatakan bahwa Kemerdekaan adalah Hak Segala Bangsa. Hak Segala Bangsa Untuk Merdeka itu dengan susunan Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat, berdasarkan Ketuhanan yang Mahas Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan Rakyat dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, karena itulah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam perspektif ilmu Hukum Tata Negara yang menjadi recht side dalam bahasa belanda yang artinya Cinta Hukum. Memberi makna hukum dalam sebuah tatanan hukum positive dimulai dari Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Pasal-Pasal Undang-Undang dibawahnya. Jadi tidak ada Negara didalam Negara prinsipnya, karena itulan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada yang keluar dari Wilayah NKRI. Tadi Saya sudah gambarkan dari aspek sejarah terpaksa bahwa Bangsa kita menganut Indonesia Serikat 1949 kita menjadi Negara Federal karena kita berusaha mempertahankan wilayah NKRI dari ancaman belanda yang datang Kembali ke Indonesia. Kita rela setiap Daerah disebut Negara Bagian. Ada Negara Indonesia tapia da Negara Bagian, Negara Bagian Madura, Negara Bagian Indonesia Timur, Negara Bagian Pasudan, Negara Bagian Sumatera Selatan, itulah Negara Bagian yang dikuasai oleh Negara Pemerintahan Hindia Belanda pada saat tahun 1949 setelah Indonesia merdeka, karena itu kita tidak boleh menganggap soal wilayah NKRI soal wilayah kebebasan saja, setiap wlayah utuh menyatakan aspirasinya menjadikan Negara selain Indonesia. Itulah makna Historikal yang kita tanamkan dalam jiwa sanubari kita sebagai Anak Bangsa, yang mulia. Dalam perspektif Ilmu Hukum Tata Negara, Negara sudah memprediksi forward looking bahwa jangan sampai kebebasan Kemerdekaan berserikat membuat suatu organisasi menyampaikan pikiran dan tulisan bisa menganggu tertib Hukum Tata Negara dalam rangka menjaga kedaulatan Republik Indonesia itulah saya sampaikan tadi diawal mari kita baca Undang-Undang itu dengan seksama, ada Undang-Undang tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum, ada Undang-Undang yang mengatur tentang Organisasi Kemasyarakatan, ada Kegiatan-Kegiatan yang dilarang, seperti Separatis. Kita berbicara menurunkan bendera kemudian kita menginjakinjak itu adalah perbuatan menodai kehormatan Negara Republik Indonesia, karena itulah ada ancaman pidana bagi orang yang menginjak-injak, merobek-robek  dan tidak menghormati menghormati Republik Indonesia. Dengan demikian kita harus bersyukur bahwa Bapak Pendiri Bangsa kita;
          • Bahwa Soal lambang jadi pada prinsipnya di sejumlah Provinsi diIndonesia itu memiliki simbol-simbol, lambang yang kemudian kalua kita datang ke dalam daerahnya itu ada lambang daerahnya. Tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah lambing bendera yang beraviliasi pada suatu Gerakan separatis, Bintang Kejora itu lambing bendera yang sudah di frame work sebagai Kegiatan Separatis karena itulah kita tidak bisa mengatakan mewakili kepentingan Masyarakat Papua tetapi ada yang perlu dilihat dalam perspektif yang tidak bisa diperbolehkan dalam Undang-Undang. Salah satunya lambing bendera Republik Indonesia, lambing Bendera Negara hanya satu yaitu Bendera Merah Putih. Kalau itu diturunkan kemudian injak-injak, dirobek-robek, dibakar kemudian dinaikan lambang Kejora itu maka tidak mencerminkan Kearifan Lokal. Ini bukan berbicara dalam konteks Kearifan Lokal;
          • Bahwa Organisasi Hisbutahir sudah dilarang,  ada satu yang baru organisasi Khalifah, ini bertentangan dengan Pancasila, ingin merubah Pancasila, mau merubah Undang-Undang  Dasar 1945 oleh sebab itu Mutakhir telah dinyatakan sebagai Organisasi yang dilarang di Republik Indonesia.  Rakyat kita ada 12 juta lebih yang mulia jadi kita sulit mengontrol Organisasi-Organisasi liar dan tidak terdaftar secara administrative sehingga sulit sekali kita melihat. Dilapangan ada banyak Organisasi yang memiliki visi dan misi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar apalagi tidak teregister. Begitu pula dengan Partai Politik PKI itu juga dilarang oleh Pemerintah Indonesia karena menyerukan Gerakan Komunis jadi siapapun yang menyerukan Gerakan Komunis. Gambar arit dan Palu coba tempel saja di sepeda motor lewat di Kantor Polisi, didepan Kantor Koramil atau TNI, saya jamin akan langsung ditangkap;
          • Bahwa Kita menghormati prinsip-prinsip persamaan Warga Negara, dimata hukum, etnis dan termasuk ras, termasuk diskriminasi dilarang oleh karena itu kalau ada Rasis itu memang tidak dibenarkan dalam konteks keIndonesiaan bahwa kita harus menghormati budaya, kelompok, kompoten Bangsa itu adalah kebhinekaan tunggal ika;
          • Bahwa Berdasarkan perkembangan terakhir yang saya ikuti juga, memang ijin FPI itu dipertanyakan menurut Pemerintah FPI itu harus ikut aturan Pemerintah, setia pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Nah Jadi Pemerintah juga melakukan Tindakan tegas karena itu kegiatan ORMAS ini bukan pertama kali;
          • Bahwa Ada Pasal yang masih warisan Belanda, Pasal 160 itu bukan Pasal Karet atau istilah Belandanya Obzei Article atau suka-suka Penguasa saja. Tidak justru Penghasutan itu justru mencegah  terjadinya potensi kerusuhan begitu juga dengan Makar dibuat norma hukum dengan ketentuan Pidana maka tujuan Negara adalah supaya terpenuhinya tertib hukum. Saya punya pengalaman dengan Pemilu kemarin bahwa ada Gerakan people Power. Dengan adanya Gerakan People Power ini saya diundang Mabes Polri untuk menyampaikan Pandangan Hukum dan menurut saya ada kekuatan People Power yang berencana menjatuhkan Pemerintahan yang sah maka itu termasuk golongan Makar karena Undang-Undang KUHP meskipun warisan belanda tapi sudah diuji kadar Nasionalisasinya oleh Mahkamah Konstitusi, Pasal 106 KUHP, Pasal 107 KUHP termasuk Pasal 160 KUHP tentang Obzei Article sudah pernah diuji kadar ke Indonesiaannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi maka dari itu ada Putusan MK nomor 7 Tahun 2017 yang tadi saya sebutkan maka cukup ada niat dan ada bukti permulaan saja sudah bisa dilakukan penegakan Tindakan oleh Aparat Penegak Hukum. Artinya Makar adalah Tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana dan Penegakannya langsung diserahkan kepada Aparat Penegak Hukum;

Tanggapan Terdakwa : Terdakwa menolak karena tidak ada kaitan dengan Terdakwa

 

    1. KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM/TERDAKWA
      1. Ahli Politik, Dr. Adriana Elisabeth, Soc.Sc; Lahir di Jakarta 08 Juni 1969, Jenis Kelamin Perempuan, Agama Kristen Katholik, Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil, Alamat Rafless Hills Block J2, RT/RW 011/025 Kelurahan Sukatani, Kecamatan Tapos;telah di sumpah, dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
          • Bahwa saya bekerja di Lembaga Pengetahuan Indonesia atau LIPI;
          • Bahwa Sejak 2004 saya dengan teman-teman melakukan kajian dan Penelitian tentang isu Papua dari berbagai aspek politik, keamanan, social, budaya dan ekonomi, kalua saya juga mengajar program strata 2 jurusan Ilmu Hubungan Internasional untuk dua mata kuliah pertama mengenai study perdamaian dan resolusi konflik mata kuliah yang lain mengenai kebijakan luar Negeri;
          • Bahwa saya pernah pertama kali di sidang Pengadilan Negeri di Jakarta pusat pada bulan april saya hadir langsung dalam persidangan itu, kemudian dalam aspek yang lain saya juga pernah jadi saksi di Mahkamah Konstitusi isu, sentralisasi dan Partai Politik Lokal;
          • Bahwa saya sering menjadi pembicara diberbagai Kementrian lembaga menyangkut dengan isu- isu Papua, kemudian dikantor staf presiden, di kementrian dalam negeri, kementrian luar negeri danjuga mabes TNI, Mabes Polri dan lembaga Intelijen;
          • Bahwa Saya pernah melakukan Kajian sejak 2004 sampai hari ini saya dengan teman-teman di LIPI masih melakukan kajian-kajian tentang Papua;
          • Bahwa Buku yang menjadi rujukan kami tulis di tahun 2008 sebagai hasil dari penelitian itu kemudian diluncurkan tahun 2009, kemudian di tahun 2017, kami melakukan pemutahiran analisa terkait dengan gerakan politik kaum mudah Papua. Selain buku-buku kajian kami juga membuat rekomendasi kebijakan secara regular kemudian kami sampaikan Kementrian lembaga terkait dengan isu-isu Papua;
          • Bahwa Saya bekerja sama dengan jaringan damai Papua kebetulian sejak tahun 2019, saya dipercayakan Kordinator jaringan damai Papua untuk Jakarta;
          • Bahwa Secara umum konflik itu diartikan sebagai relasi yang tidak harmonis karena adanya perbedaan pemahaman dan juga perbedaan kepentingan tetapi kita tidak bisa menyebutkan sesuatu itu disebut konflik karena ada jenjang disitu yang harus kita pahami. Ketika ,kesepakatan yang terjadi itu bisa menimbulkan ketegangan antara pihak kalau itu tidak diselesaikan itu akan menjadi perselisihan kemudian itu juga tidak bisa diselesaikan maka itu bisa menjadi konflik;
          • Bahwa Konflik itu sebenarnya mempunyai dua makna; koflik itu bisa di asumsikan menjadi sesuatu persaingan yang positif atau sering juga disebut konflik easy, kalau konflik isu itu dilakukan dengan secara terbuka atau secara transparan arti konflik disini menjadi positif karena kondisi membuat orang lebih  mendekatkan diri dengan cara-cara yang baik dan terukur. Pengertian konflik yang itu adalah konflik kekerasan bisa  juga konflik terbuka, konflik bersenjata, atapun peperangan. Konflik senjata atau konflik kekerasan inilah yang kemudian paling banyak didominasi di berbagai negara juga di Indonesia khususnya yang terjadi di Papua;
          • Bahwa dampak konflik itu sendiri sangat luas bisa secara material itu menghancurkan benda-benda fisik atau bangunan-bangunan fisik yang ada kalau konflik itu dilakukan dengan berbasis kepada kekerasan tetapi ada juga yang menyebabkan kerusakan secara mental dalam hal ini adalah trauma yang ditimbukan, terutama terhadap korban-korban konflik ini juga terjadi di Papua. Lebih jauh dari itu konflik akan menimbulkan perasaan-perasaan marah, kecewa dan juga keinginan untuk membalas dendam tetapi, bagi sebagian orang yang mengalami konflik akan menjadi korban konflik yang mengalami trauma, mereka juga mempunyai pilihan-pilihan untuk melawan keadaan dengan syarat-syarat melakukan peningkatan diri menujunkan prestasi yang lebih baik untuk menghilangkan masalah-masalah selama ini mereka alami itu secara umum dampak konflik;
          • Bahwa Kalau tadi penjelasan saya tingkatan konflik, tingkatan konflik perbedaan pendapat dimulai sejak proses integrasi disitu ada perbedaan persepsi tentang proses integrasi antara pemerintah Indonesia dengan sebagian orang-orang di papua. Nampaknya perbedaan itu yang tidak diselesaikan atau di biarkan terus sampai sekarang perbedaan pemahaman tetap proses itu masih terus terjadi, bagi pemerintah Indonesia dengan cara apa pun papua harus menjadi bagian dari Indonesia kalua kita lihat kepada hari kemerdekaan Indonesia ditetapkan 17 Agustus tahun 1945 itu dimaksudkan bahwa papua juga menjadi bagian Indonesia sejak waktu itu tetapi, pada kenyataannya prosesnya berbeda papua baru menjadi bagian Indonesia secara resmi setelah ada Jajak pendapat dan yang kemudian bahwa itulah papua menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia disitu letaknya perbedaan secara politik secara Hukum Internasional papua sudah sah di jadikan bagian Indonesia tetapi sebagian orang papua yang mengikuti proses integrasi itu dan mereka mengalami aksi-aksi atau mobilisasi dan juga indikasi mereka mengatakan proses itu tidak transparan, proses itu tidak jujur, proses itu tidak adil. Disini letak persoalannya pemerintah Indonesia memandang bukan kepada prosesnya tetapi kepada hasilnya yang sudah di dapat bahwa Papua menjadi bagian Indonesia sementara sebagian orang Papua proses itu juga penting di lihat supaya hasilnya itu bisa di terima oleh semua pihak. Disitu menjadi salah satu akar persoalan orang Papua yang sampai sekarang masih terjadi. Itu baru salah satu persoalan akat di papua terkait dengan perbedaan persepsi tentang proses integrasi papua ke dalam Indonesia;
          • Bahwa yang pertama, masalah marjinalisasi dan diskriminasi kalau kita kembali pada kasus-kasus persekusi di Surabaya pada Agustus 2019, itu menjadi bukti masih adanya perlakukan terhadap orang-orang atau Mahasiswa dari Papua, itu menujukan bukti bahwa penelitian kami itu memang belum ditidak lanjuti bagaimana masalah orang Papua;
          • Bahwa Kalau mengacu pada Otonomi Khusus ada tiga prioritas yang perlu di tingkatkan yaitu Pendidikan, Kesehatan ini menjadi barometer dari index pembangunan Manusia Papua dan kemudian Ekonomi, ini diluar pembanggunan infrastruktur, tetapi kita lihat hari ini Indeks Pembanggunan Manusia Papua dan papua Barat itu masih tercatat paling rendah di Indonesia dibandingkan daerah-daerah lain di Indonesia, artinya UU Otonomi Khusus yang ditetapkan tahun 2001 masyarakat Papua belum sejaterah dalam kehidupan, Orang Papua khususnya belum menjadi prioritas saat ini.  Akar masalah yang lain itu, Kekerasan Negara yang sebagian mengarah pada pelanggaran HAM dan juga pelanggaran Ham di Massa Lalu. Ada investigasi  yang dibentuk periode lalu tetapi belum berhasil menyelesaikan pelanggaran Ham di Papua, kasus Paniaipun masih belum selesai antar Komnas HAM,  Kejaksaan Agung itu tidak akan masalah selain Pro Kontra Sejarah Papua. Saya sampaikann juga yang Mulia, untuk melihat akar masalah di papua ini bisa dilakukan faksial satu persatu diselesaikan tetapi, ada korelasi antara satu akar masalah artinya persoalan Papua harus juga dilihat dampaknya terhadap persen yang lain, kalau terlalu faksial menyelesaikan misalnya pembangunan saja tanpa memandang persoalan kejahatan-kejahatan Negara itu bisa dikurangi atau dihilangkan selama itu juga persoalan di Papua akan terus berlangsung seperti saat ini;
          • Bahwa awal penelitian kami membuat pemetaan aktor-aktor yang terlihat di Papua , kemudian kami menggali agenda-agenda dari konteks damai, kemudian kami coba proyeksikan proses konsolidasi di Papua. Semua hasil kajian itu kami rangkum didalam buku Papua Road Map yang kemudian kami menemukan empat skema akar masalah Papua;
          • Bahwa Proses gerakan Masyarakat Sipil masih ada sampai saat ini, Masih sangat terlihat terutama dari isu-isu HAM ( Hak Asasi Manusia) sebetulnya dalam perspektiv saya hak itu bagian kecil dari persoalan kemanusiaan tetapi, itu selalu muncul di berbagai demo bahkan juga kelompok-kelompok pro merdeka diluar negeri dua isu yang selalu digandeng itu adalah masalah pelanggaran HAM di Papua dan juga Masalah REFERENDUM. Kalau kita melakukan penelitian di Papua ketika berinteraksi dengan orang-orang di Papua kita menemukan  banyak sekali bukti masih adanya persoalan-persoalan seperti itu di Papua;
          • Bahwa Ekspresi didalam demo itu juga yang kemudian menimbulkan perbedaan interpertasi, saya tidak bisa melihat isu atau kasus rasisme di  malang  dan di Surabaya itu sebagai isu yang berkembang itu ada akumulasi persoalan selama 57 tahun terakhir ini;
          • Bahwa penyelesaian persoalan-persoalan di Papua itu masih memakai kacamata Pemerintah pusat jadi sifatnya masih lock down sementara untuk memahami persoalan Papua kita juga harus tahu persepsi atau sudut pandang papua terhadap persoalan;
          • Bahwa perbedaan-perbedaan itulah yang diekpresikan di dalam demo jadi begitu banyak persoalan kemudian terjadilah demo-demo. Yang  menunjukkan bahwa masih ada banyak sekali persoalan di papua memang yang belum diselesaikan yang di anggap belum memenuhi rasa keadilan bagi orang-orang Papua;
          • Bahwa cara untuk bisa mengurangi ekspresi-ekspresi perbedaan pandangan tidak harus melalui demontrasi. itu yang kemudian juga disampaikan di dalam buku Papua Road Map dan juga rekomendasi kebijakan secara terpisah yang kami sampaikan kepada Pemerintah  untuk membuka sebagai salah satu cara untuk mengurangi demontrasi mengurangi perbedaan melalui saluran diskusi;
          • Bahwa pemenjaraan orang-orang Papua tidak akan pernah bisa menyelesaikan akar persoalan di Papua karena itu sama saja kita menimbulkan dinamika yang akan terjadi.
          • Bahwa Yang perlu diselesaikan adalah akar masalah di Papua, Selama akar masalahnya tidak di selesaikan dan terus terjadi pemenjaraan maka akan terjadi masalah besar dikemudian hari;
          • Bahwa ketika masalah proses integrasi itu ada perbedaan disitu antara orang-orang Papua yang mau bergabung dengan Indonesia dan orang papua yang bergabung dengan Belanda dan orang Papua yang ingin merdeka yang bergabung dengan belanda sudah ke belanda semua yang bergabung dengan Indonesia juga banyak sekali orang Papua yang sudah di dalam Indonesia sebagai Menteri,sebagai duta besar dan  sebagainya tetapi ada sebagian yang memang ingin merdekakan diri persoalanya bukan hanya itu ke inginan merdeka itu sangat Ideologis itu tergantung dengan persepsi konflik dan sebagainya yang kemudian jika mereka tidak bisa melepaskan diri dari Indonesia,  kita menyaksikan fakta orang Papua itu memang belum sejahterah daerah-daerah lain di Indonesia itu menambah keyakinan bahwa kami lebih baik merdeka jadi seolah-olah Merdeka adalah solusi bagi saya merdeka  bukan solusi? Tetapi Bagi orang-orang yang ingin merdeka keadaan seperti ini sudah secara Ideologis  merdeka tapi tidak sejahterah solusinya adalah merdekakan diri;
          • Bahwa Pengalaman buruk masa lalu ini menimbulkan semacam trauma walaupun anak-anak itu tidak langsung mengalami proses integrasi pada waktu itu mereka bisa membayangkan betapa  tidak nyamannya hidup dalam kondisi seperti ini. Itu yang saya sebutkan dalam trauma jadi sebagai orang papua itu mengalami traumatik yang menurut saya kita tidak bisa memperlakukan mereka dengan justru malah memenjarakan kemerdekaan mengekspresi yang hanya itu mereka miliki begitu,  jadi selama trauma itu tidak pernah diselesaikan mereka tidak akan perna keluar dari pemikiran atau pun niat-niat untuk memerdekakan diri salah satu persoalan itu yang selalu Papua ingin memerdekakan diri kemudia untuk trauma ini atau pemulihan trauma saudara-saudara kita di papua saya belum melakukan riset secara khusus tapi saya perna membuat program  sederhana namun tidak sukses. 
      1. Ahli HAM, Dr. Herlambang P Wiratraman; lahir di Jember 08 Mei 1976, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen, Alamat Perum Bukit Permai, Jl. Kahuripan D1 RT/ RW 003/021, Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Sumbersari :
          • Bahwa saya S1 Fakultas Hukum Universitas Erlangga, S2 Human Rights di Fakultas Sarjana Maidolity Universitas Thailand dan S3 Dokter Fakultas Hukum Universitas Belanda;
          • Bahwa saya pernah menulis kebebasan berekpresi, kebebasan pers dan akademik semua terkait dengan situasi Papua dan terkahir riset bersama berkolaborasi sejumlah teman – teman peneliti tentang sumber daya alam;
          • Bahwa saya pernah jadi saksi Ahli dalam perkara Surya Anta CS;
          • Bahwa saya pernah menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi, dimana saya diminta memberikan keterangan Ahli mekanisme Hukum Hak Asasi Manusia, terkait dengan  kasus – kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia itu bolak balik berkas Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sehingga saya berikan pendapat terkait bagaimana mendudukan antara lembaga Negara agar serius berbicara tentang pelanggaran HAM berat terutama mekanisme untuk menyelesaikannya, karena kalau menundah penyelesaian   bagian dari ketidakadilan itu sendiri;
          • Bahwa berkaitan dengan soal teknis ya tapi saya mau jelaskan didalam system hukum menyampaikan kebebasan dimuka umum dalam konteks Undang – Undang tahun 1998 ada prosedur memberitahukan bukan keharusan.  Sebenarnya, bukan kewajiban harus dapatkan ijin tapi memberitahukan. Mekanisme itu menjamin berlakunya Kebebasan berekpresi, menyampaikan pendapat supaya proses untuk mendapatkan pendapat itu dijamin oleh aparat Penegak Hukum. Dalam hal ini terutama kepolisan karena setiap orang, setiap warga Negara dijamin kebebasannya untuk menyampaikan pendapat sejak yang namanya republic Indonesia lahir sejak tahun 1945. Sejak Indonesia lahir pasal 28, Undang – Undang sudah mengakui sehingga mekanisme khusus yang mengatur soal pemberitahuan itu sesungguh di Undang – Undang 1999/1998 itu sesungguhnya untuk memastikan kewajiban negara hadir dalam kebebasan menyampaikan pendapat;
          • Bahwa Polisi tidak boleh mengartikan pemberitahuan sama dengan ijin. “Saya ingin berpendapat begini mungkin andai kata pemberitahun itu tidak ada, aparatpun harus tetap adil dalam rangka melindungki kebebasan berpendapat. Jadi  kalau misalnya tanpa pemberitahuanpun itu harus dilaksanakan;
          • Bahwa untuk kekebasan  menyampaikan pendapat dimuka umum itu mekanisme jelas di atur dalam Undang-Undang. Jadi dia tidak berbentuk ijin itu sebabnya konsepnya berat negara itu harus hadir karena adanya konstitusi;
          • Bahwa jadi soal tema aksi biasanya memang secara hukum memberitahukan, tema aksi dan siapa penanung jawab para pihak penegak hukum dan  juga peserta aksi membutuhkan perlindungan bisa komunikasi langsung. Kalau hal – hal yang tidak jelas bisa komunikasi segera, berkomunikasi terkait dengan jumlah masah sifatnya estimasi, dia bisa jumlah besar, dia bisa jumlah kecil, begitu juga dengan tema jelas itu antirasisme, yang bisa disampaikan;
          • Bahwa terkait anti rasisme apalagi soal rasisme jelas dilarang keras dalam system hukum Indonesia;
          • Bahwa Saya sudah menyiapkan 29 argumen terkait dengan kebebasan berekspresi. Nah kalau  yang dinamakan makar itu ada upaya untuk mengulingkan kekuasaan dan seterusnya itu jelas terlalu jauh. Aksi atau demonstrasi anti rasisme itu saya sebut legitimasi punya tujuan sangat mendasar;
          • Bahwa pertama kalau ekpresi tentang rasisme itu legimatasi jadi tidak terbantakn itu hak dasar warga WNI Repbulik Indonesia, kemudian dilapangan misalnya tadi sebutkan ketika pengibaran bendara bintang kejora, tuntuan Papua mereka itu dalam hak asasi manusia itu bagian dari ekspresi Politik itu negara jamin didalam konstitusi kita. Saya sebutkan pasalnya : pasal 28, F terkait dengan memperoleh informasi dan komunikasi jadinya hubungan sosial termasuk menggunakan saluran yang tersedia. 28 B setiap orang berhak atas perlindungan keluarga, kehormatan, keluarga dan martabat serta rasa aman terhadap ancaman berbuat atau tidak berbuat merupakan hak asasi. Soal pengibaran bendera bintang kejora, ataupun menyuara referendum, Papua Merdeka itu bagian dari ekspresi politik yang dilindungi dalam system hukum Indonesia maupun system hukum hak asasi manusia dia sebut sebagai protektif eskpresi dan itu sudah ada pengalaman politiknya;
          • Bahwa apakah kriteria didalam pertimbangan atau istilahnya rasional hak residensil keputusan Makamah Konstitusi, bahwa hakim harus berhati – hati menggunakan pasal makar karena  bisa saja semua aktivitas dikaitkan dengan makar. Jadi untuk mengarah pada makar   garisnya diperjelas  dalam mengarahkan itu makar atau tidak itu sebenarnya  dari Makahamah Konstitusi maupun system hukum Hak Asasi Manusia. Memang itu menegaskan ekpresi politik itu dilindungi atau protektif expression sebenarnya didalam keterangan tertulis, karena argumen mungkin menjadi jelas ada prinsip yang dijamin ekpresi itu memang ada pembatasan. Pembatasan harus mengaju pada standar Hukum Hak Asasi Manusia secara ketat kalau Mahkamah Konstitusi mengatakan harus  hati – hati itu konstruksinya hukum apa, dan bagaimana kita bisa mengukur secara hati – hati? Kalau orang hukum bicara  Hati-hati itu balikan sesuai kriteria itu dipenuhi  standar Hukum Hak Asasi Manusia, kriteria doktrin hukum didalam menjelaskan kasus terkait. Doktrin yang bisa saya sampaikan jelas dalam 19 ayat 3 tidak lain  INTERNATIONAL CONVENAN ON CIVIL  AND POLITICAL RIGHTS  yang  sudah diratifikasi oleh Undang – Undang nomor 12 tahun 2005 kemudian pembatasan melalui surat principal atau prinsip – prinsip yang menjelaskan ada tiga syarat, yang pertama kalau membatasi ketika ada kasus seperti begitu. Yakni freez Crime by the law ketegasan atas hukum, yang kedua adalah legitimated dan yang ceserly appossionaly ketika menjelaskan disini membatasannya itu tidak bermaksud untuk membungkam kebebasan berekspresi atau membungkan kebebasan untuk berpendapat jadi tidak boleh sama seperti itu cara menafsirkannya. Begitu juga dalam doktrin yohanes berprinsipal, prinsip- prinsip Yohanes kebebasan menyampaikan pendapat soal menyampaikan pendapat, dalam doktrin kemananan nasioanal itu juga menjadi kelemahan  mendasar dalam kasus ini kaitan dengan soal makar. Karena soal makar  dengan menganggu keutuhan Negara tadi bagaimana cara saya menterjemahkan makar itu ini harus berbalik pada standar rujuk yang jelas, yang dianut dalam system hukum Indonesia. Yakni pasal 19 ayat 3 dan dokrin hukum tentang principal – principal hukum membatasan itu, pada principal dikaitkan dengan Kemanan Nasional, Hak atas informasi dan terkait dengan kebebasan berekpresi begitu;
          • Bahwa jelas harus bisa disampaikan pada prinsip tadi dan juga Indonesia kan bagian dari  Komunitas Konstitusional bagian dari PBB apalagi Indonesia beberapa kali masuk dalam Dewan Keamanan sangat aktif mendorong upaya Penghormatan, Perlindungan dan kemajuan Hak Asasi manusia maka sebagai negara yang besar yang punya komunitas besar  harus membuktikan harus menghormati, menghargai prinsip – prinsip HAM Internasional.  Refleksi bagaimana dalam mengambil tindakan misalnya  kebijakan bahkan keputusan diwilayah kekuasan. Dalam kontek ini Indonesia harus juga sudah memiliki system salah satu yang dirujuk karena Indonesia sudah meratifikasi ICCPR dan ICCR itu memiliki mekanisme khusus, khususnya prinsip – prinsip hukum special prosedur itu mekanisme prinsip – prinsip yang berkaitan dengan Society Human Working Group on indeterpentition. Sudah dirujuk  dengan kasus Papua pernah direspon oleh doktrin otoritatif yang dalam system HAM PBB melalui komisari Umum HAM PBB nomor 35 sesuai dengan paraghaf 10 – 23 yang menarik adalah supaya tidak keliru menyebut dalam kasus Papua, misalnya pernah terjadi pengibaran Bintang Kejora sebagai sebuah symbol yang pada saat itu dilarang karena dianut dalam memerdekaan Papua dan Kasus di Biak Papua 2 Juli –6 Juli tahun 1998 kemudian merujuk pada penembakan secara membabi buta ratusan pengujuk rasa dan kriminalisasi terhadap aktivis politik Papua yang didakwa dengan pasal 106 KHUP. UN working group tadi menyatakan bahwa penahanan atau termasuk pemejarahan, perampasan kemerdekaan itu yang menyatakan apa pendapat bersifat sewenang-wenang melakukan aktivis berdasarkan pada pandangan atau pihak-pihak politik mereka secara damai yang merupakan Hak Asasi Manusia yang fundamental atau yang mendasar dilindungi dalam system hukum HAM. Dan ini jelas sekali menjadi perhatian Internasional terkait dengan seharusnya ekpresi politik dijamin dalam system hukum;
          • Bahwa kebebasan berekpresi sebenarnya dijamin didalam system hukum Nasional, yang butuh kebebasan berpendapat, kalau di Indonesia ini konstitusi tidak pernah ada jaminan kebebasan berpendapat dia takut, Negara itu menjadi negara yang tidak berdemokratis atau tidak berdasarkan hukum. Itu mulai dari Indonesia belum lahir saja Bung hatta takut kalau warga Negara tidak bisa bersuara. Kemudian perdebatan ini saya sudah pernah tulis dalam Jurnal Konstitusi terbit sekita tahun 2010 atau 2011 itu bisa akses secara online. Mengapa begitu penting kebebasan berekspresi itu ada. Kita punya Undang-Undang dasar versi yang terakhir, tadi sudah saya sebutkan beberapa pasal yang terkait dengan kebebasan berekspresi jaminan atas ekpresi itu. Kita punya Undang – Undang lahir sebelum Undang – Undang Dasar sudah mengatur tentang kebebasan berekspresi dan kita punya Undang – Undang 1998 sebelum Undang – Undang Dasar dan Sebelum Undang – Undang HAM terkait dengan pasal 28 pada saat itu jamninan kebebasan menyampaikan pendapat nah itu hukum Nasional tapi ada juga system hukum Internasional yang sudah dimuat dalam hukum Nasional. Tadi International Convenan On Political Civil and Rights atau ICCPR ada satu jaminan kebebesan menentukan pendapat dimuka umum nah hukum International tetapi ada juga hukum internasional yang sudah menjadi nasional yaitu International Covenan On Political Civil and Rights yang bisa 70an dan berlaku 10 tahun, dirumuskan 1996tapi berlaku kemudian berdasarkan hukum Indonesia. Dikasih 2005, kita sudah mengakui itu dan kebebasan berekpresi didalam 19 ayat 1, 2, 3 dan lalu bisa jelaskan;
          • Bahwa Negara harus hadir untuk melindungi, setiap ekepresi yang dilakukan oleh Warga Negaranya, kita mengakui hukum harus Negara hadir. Jadi kalau misalnya Negara itu tahu kalau warga Negara sedang mengekpresikan Negara harus bersifat melindungi ekspresikan itu. Istilah Melindungi itu bukan kata saya tapi melindungi ada dalam Konstitusi kita itu sudah ada Konstitusi kita itu menjamin bukan ada di pasal 28 serta melindungi hak asasi manusia itu sendiri Ada di pasal 28 E ayat tentang kewajiban Negara. Itu dua artikel yang saya buat tentang Negara – Negara yang mana harus hadir ada tentang ekspresi. Pasal 28 E  ketika   coba dibaca lagi. Pembatasan dalam soal hak asasi manusia dalam kebebasan yang menurut istilahnya permissible yang membatas –batasanya tapi benar prinsip – prinsip hak asasi manusia;
          • Bahwa berkaitan dengan hak hidup dan hak kebebasan itu Non liberal Rights, prinsip paling mendasar pada Pasal 1 ayat (3) Indonesia Negara Hukum;
          • Bahwa Hak untuk menentukan Nasib Sendiri itu juga merupakan bagian dari Ekspresi Politik yang digaris bawahi, berkali – kali saya bicara Ekpresi Politik, itu sama dengan Hak Pilih. Contoh, Hak untuk ke TPS Hak untuk memilih presiden itu Ekepresi Politik. Jadi menentukan Nasib Sendiri saya pikir sebenarnya konsep yang paling mendasar itu dalam kualifikasi sebagai warga Negara karena status itu sudah menjelaskan tentang Self Determination atau hukumnya punya sifat lunak tapi jangan lupa karena saya berkerja di Departemen Hukum Tata Negara Undang Dasar kita tidak keliru saya bacakan saja kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusian dan prikeadilan. Yang bicara Undang – Undang dasar, Self Determination menurut Undang – Undang dasar bagaimana kita bisa mengatakan Self Detemination dalam konteks Indonesia sendiri menghargai prinsip itu;
          • Bahwa tidak ada korelasi antara Self Determination dengan Pasal Makar;
          • Bahwa makar harus dibuktikan tapi kalau sekedar Ekspresi itu tidak. Ekepresi Politik dicacat itu;
          • Bahwa Secara khusus wilayahnya pidana, pendapat saya terkait dengan soal makar ada diatur dalam KUHP itu terjemahan yang tidak sesuai tapi saya tidak jelaskan apa tidak saya kuasai. Kontruksi  Pekerjaan Hukum Indonesia tertutama ketika Indonesia menegaskan relasi atau fondasi Kebebasan Berekpresi itu sudah jamin adanya Ekspresi untuk menyatakan kalau kita hubungan dengan kualifikasi  Hak Asasi Manusia, hanya bicara anti rasisme saja itu kewajiban semua orang untuk melawan rasisme jadi itu dijamin. Apalagi itu dalam Konstitusi Indonesia paling anti dengan rasisme itu terhadap peradaban yang sangat jauh dari Kemanusian, Ekspresi Rasisme kemudian dibicarakan. Majelis Hakim cukup;
      1. Ahli Pidana, Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc; lahir di Sumenep, 13 Mei 1990, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen, Alamat Jl. Alegro Blok A No. 20 Sentul Alaya RT/RW 007/002 Kelurahan Cijayanti Kecamatan Babakan Madang :
          • Bahwa Saat Ini saya mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jati Tengara. Saya di Jati Tengara Sejak tahun 2016, saat ini saya menjabat sebagai Ketua Bidang Studi Hukum, sebelum di Jati  Tengara Saya Pernah Mengajar di Univertitas Indonesia;
          • Bahwa berkaitan dengan Makar ada satu tulisan yang diterbitkan berbentuk pdf pada Tahun 2017/2018, tetapi selengkapnya sudah saya sampaikan didalam kurikulum ITE saya.
          • Bahwa 2 Minggu lalu saya memberikan keterangan di pengadilan Negeri Jakarta kasus makar yang sama, lalu beberapa bulan yang lalu saya juga memberikan keterangan di Mahkama Kontitusi berkaitan dengan Makar;
          • Bahwa secara Teory perbuatan yang dikatakan tindak pidana tentu harus melewati suatu proses yang namanya kriminisasi. Artinya dan sebuah proses legislasi kemudian dilakukan oleh pemerintahan dan DPR untuk menentukan bahwa suatu perbuatan ini akan diancam oleh sangsi pidana.kalau kita kaitkan dengan teori hukum pidana yang jelas untuk berkaitan dengan tindak pidana maka yang menjadi syarat adalah perbuatan itu harus memiliki sifat melawan hukum.sifat melawan hukum ini banyak definisinya artinya dia bisa tanpa hak,tanpa kewenangan kemudian yang bertentangan dengan hukuman pada umumnya bertentangan hak atau kewenangan yang dimiliki oleh orang lain tapi secara hukum.
          • Bahwa tindak pidana itu memang secara teori resminya dia harus melalui proses kriminalisasi Undang-undang baru bisa dikatakan sebagai tindak pidana;
          • Bahwa berkaitan dengan makar saya pribadi sudah melakukan penelitian ini tidak bisa kita pisahkan dari sejarah penyusunan KUHP sejak zaman Hindia Belanda jejak saya di Belanda pada tahun 2014 dan 2015 saya mengumpulkan dokumen-dokumen berkaitan dengan terjemahan KUHP dilakukan oleh balai pusaka dari tahun 20 hingga tahun 40. yang saya mau katakan begini yang mulia, khusus berkaitan dengan pasal makar memang ada sebuah sifat-sifat yang unik karena makar di dalam di dalam Bahasa resmi WVSNI/WPS di Belanda yang di sebut sebagai makar di Indonesia itu sebenarnya  punya asal-muasa dari kata Aanslag dalam Bahasa  Aanslag kita  terjemahkan secara haraphia dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia itu artinya serangan tetapi menariknya di KUHP-KUHP  Indonesia sebelum Indonesia merdeka tahun 20 dan tahun 21, 28, 31 sampai tahun 40 yang dikeluarkan oleh balai pustaka KUHP itu. Disana dicetak dalam dua Bahasa jadi, di satu sisi halaman itu berbahasa Belanda dihalaman lainya itu berbahasa Indonesia. Menariknya berkaitan dengan makar betul memang kata-kata yang ditulis oleh KUHP hingga saat ini adalah makar tetapi, kalau kita tarik  dari tahun 20 kata makar selalu dikasih tanda kurung Aanslag artinya KUHP ini ingin memberikan semacam indikasi bahwa yang kita pahami sebagai makar saat ini,  itu sebenarnya  berasal dari kata Aanslag  di Belanda yang artinya serangan dengan tremologi yang demikian sebenarnya harus kita kaitkan dan sebenarnya harus kita kaitkan rumusan kata pasal bahas didalam KUHP Jadi Bapak dan Ibu yang saya muliakan didalam KUHP kita ada semacam kekeliruan konstruksi berpikir tentang  pasal-pasal makar. Biasanya makar itu akan selalu dikonotasikan dengan apa yang dimaksud makar dalam pasal 87 KUHP di buku satu yang dikatakan bahwa; dikatakan ada makar dalam tanda kurung Aanslag itu di dalam teks yang asli Jika sudah ternyata dan niat melakukan kejahatan dan sudah dinyatakan dalam permulaaan melaksankan . ini yang kemudian disalah artikan ketika menerapkan pasal-pasal makar didalam praktek yang akhirnya saya ambil contoh misalnya dalam konteks pasal 106 KUHP misalnya ,makar  untuk memisahkan diri dari wilayah  NKRI  itu semata-mata akhirnya diartikan niat ditambah permulaan pelaksanaan dimana itu kemudian ditunjukan untuk memisahkan diri, padahal kalau kita ikuti sejarah penyusunan KUHP dari Belanda dari memory dikatakan bahwa perdebatan antara Parlemen Belanda dengan Pemerintah Indonesia Pada waktu itu,  ketika menyusun pasal-pasal Aanslag  itu pembahasannya harus berkaitan dengan serangan, serangan dalam arti ini  harus ada kontak fisik,  jadi kalau kita mau kaitkan antara pasal makar misalnya saya ambil contoh; pasal makar di 104 KUHP untuk membunuh Presiden atau Wakil  Presiden artinya harus ada serangan dalam konteks itu. Dimana serangan ini  ditunjukan untuk membunuh Presiden dan Wakil Presiden  begitu juga dengan pasal 106, artinya harus ada serangan yang ditunjukan untuk memisahkan diri dari NKRI.  lantas apa hubungannya dengan pasal 87 tadi yang saya katakan ada niat dan permulaan pelaksanaan. Bapa dan Ibu sekalian yang saya muliakan. Perlu dipahami bahwa Makar ini ada dalam KUHP berkaitan dengan kejahatan terhadap keamnan Negara yang hingga saat ini ancamannya tidak sampai seumur Hidup dan Bahkan mati dari beberapa konteks, Artinya konteks kejahatan ini luar biasa berat sehingga menjadi maksud akal dan rasional ketika di ancamkan dengan pidana mati, seumur hidup dan 20 Tahun.
          • Bahwa Dengan demikian maka karena dia bersifat luar biasanya dia karena begitu luar biasanya perbuatan ini dampaknya juga luar biasa artinya pembuat KUHP dia mengiginkan bahwa tanpa dia selesaipun maka dia bisa di hukum maksimal hanya saja dalam konteks ini harus dipahami bahwa belum selesainya perbuatan yang dikunci dengan kata-kata niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan tetap harus direalisasikan dengan tujuan awal penyusunan artinya ada niat permulaan pelaksanaan dimana niat dan permulaan pelaksanaan ditunjukan untuk melakukan serangan dalam  rangka membunuh presiden atau wakil presiden atau dalam rangka memisahkan diri dari NKRI atau melakukan pemberontakan senjata.
          • Bahwa Jadi dalam hal ini saya berpendapat dengan melakukan riset yang saya lakukan selama ini bahwa harus ada penafsiran ulang tentang makar karena dalam praktek-prateknya kemudian ini disalah artikan semata-mata dengan menggunakan  konteks pasal 87 KUHP sehingga, saya melakukan riset juga yang mulia Majelis bahwa banya sekali tafsir kasus makar ini digunakan untuk menghukum banyak sekali kejadian-kejadian yang sudah tidak sesuai dengan kontek penyusunan sejarah Pasal-pasal Makar. Contohnya ;  “ada satu kasus di Maluku, ada Ibu-ibu sekedar membawkan gorengan dalam rapat-rapat gerakan Separatis itu kemudian diartikan dalam makar” ini satu perbuatan yang jauh meleset dari konteks awal penyusunan awal pasal in, termasuk juga ada pasal-pasal juga menyasar ibu-ibu juga yang hanya menjahit Bendera tidak ada urusan dengan serangan dia hanya menjahit saja kemudian juga dikenahkan pasal makar, jadi untukmemberbaiki ini saya juga sudah menyampaikan pendapat saya di MK juga berbagai macam  saat persidangan bahwa seharusnya makar itu diartikan sebagaimana serangan dengan maksud  tindakan-tindakan dalam pasal 104 KUHP;
          • Bahwa Kita harus memahami dulu makna makar itu seperti apa? dalam berbagai macam tulisan saya dan keterangan yang saya sampaikan bahwa makar itu harus selalu digantungkan dengan kata-kata Aanslag dalam Bahasa Belanda itu adalah KUNCI, itu bisa kita temukan dari WPSVNI,WVSBI, WVS memory dan Berbagai macam KUHP silahkan bapak dan Ibu silahkan melihatnya. Hasil riset yang saya temukan adalah bahwa yang dimaksud sebagai makar itu harus selalu dikorelasikan dengan Aanslag dan kalau kita betul-betul baca pasal 104, Pasal 106, 107 sampai 110 kata-kata makar itu dia bukan kualifikasi dirilis suatu pembunuhan pak penasehat Hukum, jadi dia adalah bagian dari perbuatan Makar dengan maksud untuk embunuh Presiden, makar dengan maksud untuk memisahkan diri dari NKRI. Tindakan memisahkan diri dari NKRI , tindakan membunuh presiden itu adalah tujuan akhir, dia adalah maksud, dia adalah bentuk paling sempit dari kesengajaan. Jadi  masalah hanya seperti pencurian di dalam pasal 362, barang siapa sengaja merampas benda atau barang yang sebelumnya bagian milik orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan Hukum, jadi artinya dengan maksud konteks makar Aanslag Lagi itu harus diartikan bentuk kesengajaan yang penting. Apa arti Makar ?  Itu tadi harus ada serangan fisisik kalua dikorelasikan dengan pertanyaan dengan penasehat hukum saya bisa sampaikan begini; Apakah Demo itu bentuk Makar ? Yang bisa saya katakan begini sepanjang Demo itu memang tidak ditujukan melakukan serangan secara fisik  yang dimaksudkan dilarang oleh UU baik membunuh Presiden,  memisaahkan diri dari NKRI maka itu bukan seperti konteks Aanslag dalam  Pasal-pasal yang ditunjukan dalam KUHP, jadi ini jadi penting kenapa karena tafsir pasal terhadap makar ini, hanya dibatasi pada pasal 87. Kalau saya boleh mengilustrasikan ya Mulia? Jadi dalam konsep Aanslag saya bisa bagi seperti dalam konteks tindak pidana kita bisa bagi..tahap pertama.. anggaplah saya misalnya contoh “saya ingin membunuh presiden. Aanslag ini dalam tahapnya kemudian dalam konteks pidana dia berkembang lagi ada namanya pemufakatan yang jahat ketika dua orang atau lebih bersepakat serangan bersenjata jadi misalkan saya dan pak penasehat hukum sepakat ayo kita membunuh presiden melakukan serangan ok itu sudah, Aanslag dimana permulaan pelaksanaannya kalau kami berdua sudah melakukan serangkaian serangan tetapi kurang satu tindakan untuk tidak mencapainya kita sudah merencanakan ada penembakan kita sudah beli dan segala macam,, kalau kemudian kita melakukan serangan dalam rangka untuk membunuh presiden maka itu perbuatan pelaksanaan, dalam konteks ini pelaksanaan KUHP itu menginginkan bahwa tidak perlu perbuatan terjadi kita sudah bisa menguhukum maksimal tetapi hal ini jelas bahwa itu harus dikontekskan dengan serangan fisik mencapaitarget-target itu. Aanslag saya kaitkan lagi dengan pertanyaan Penasehat Hukum bagaimana cara kita menilai salah satu demo itu masuk dalam makar tidak,  yang jelas begini harus dilihat apakah memang demo ini dilakukan dilarang UU  atau tidak! Tetapi kata kuncinya begini; dalam demo itu harus ada serangan secara fisik yang ditujukan untuk mecapai tujuan, selama tidak ada maka itu dalam pandangan saya itu bagian dari ekspresi saja. Itu sepertinya kita demo kenaikan listrik, kenaikan harga BBM. Demo itu diperkenangkan oleh UU kemudian dijamin oleh UU yang kita ratifikasi tetapi dia bukan tindak pindana akan menjadi pidana kalau memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk melakukan serangan yang dimaksudkan mendukung makasud-maksud makar atau dalam Aanslag tadi. Nah jadi menarik begini kalau boleh saya cerahkan sedikit kenapa akhinya banyak sekali  tafsir yang liar terhadap konteks makar dalam pasal 104 KUHP,106 KUHP dan seterusnya karena kita ada riset dari Sriwijadi Ediono dia mengatakan bahwa kekeliruan dalam hukum mengartikan arti makar kita cenderung mencampur adukan konteks Aanslag yang tadinya sangat sukansif itu di ikuti secara konsinten dari zaman sukarno itu sebagai serangan fisik,,, harus ada serangan fisik kemudian ketika orde baru lebih khusus ketika Presiden dan DPR mengeluarkan UU tentang sukansif itu masuk dalam kontek makar yang sampai sekarang diterapkan di Indoneisia, padahal UU sukansif ini karena dia sedemikian karetnya sedemikian berpotensi melakukan potensi untuk melanggar maka dibatalkan oleh MK, yang menariknya adalah tafsir itu tetap ada dan diterjemahkan dalam berbagai macam perbuatan tadi yang sampaikan ada yang hanya menyanyi saja di gereja dalam konteks lingkungan gerakan separatis itu diangkap makar, ada yang memberikan gorenganpun bahkan itu masuk dalam pasal makar ini banyak kasus  yang saya bisa sebut, banyak sekali riset yang saya lakukan tetapi dalam kontes teoritis dan pemahaman saya tetap keahlihan dan pengetahuan saya, saya ingin sampaikan bahwa penerapan pasal-pasal makar penerapan pasal-pasal Aanslag itu kebanyakan pada terjemahan aslinya sehingga dia harus diartikan secara serangan fisik dengan maksud-maksud yang ditunjukannya;
          • Bahwa makar itu sama sekali tidak ada hubungan dengan pernyataan ekspresi makar sama sekali tidak ada hubungan dengan pilhan-pilihan politik tertentu. Dalam hal ini saya ingin mengaris bawah hukum pidana tidak melarang ekspresi,hukum pidana tidak membatasi ekspresi sepanjang dia tidak bertentangan dengan hukum. saya  ingin tekankan disini adalah konteks makar itu hadirnya diterjemahkan untuk para pelaku kejahatan yang sengaja melakukan serangan secara fisik untuk tujuan hidup. Jadi saya ilustrasikan begini “ angkaplah saya adalah orang yang pilihan politik tertentu, saya menginginkan Indonesia jadi Negara federal misalnya, in bertentangan dengan UU dasar saya buat AD/ARTnya, saya buat organisasinya dan segala macam itu adalah bagian dari ekspresi sepanjang ini tidak bertentangan dengan Hukum yang lain maka itu tidak boleh, tetapi akan menjadi Asnslag akan menjadi makar dalam konteks KUHP ketika apa yang saya terjemahkan disini bahwa  iya kita hari ini melakukan serangan di istana negara, kita melakukan serangan di DPR, dan menyerang obyek-obyek vital Negara dengan tujuan untuk memisahkan diri dari NKRI, itu baru disebut Aanslag dalam  konteks pasal pemusnahan, kenapa perbedaan ekspresi, perbedaan politik, kewenangan pandangan tidak masalah pada prinsip sama halnya seperti saya berfaforit dengan satu tim bola tetentu tidak masalah tetapi menjadi berbahaya kemudian saya mengasut orang yang tidak sama untuk melawan hukum pidana itu yang keliru. Dalam konteks makar yang perlu dipahami adalah kembalikan pada tafsir original dia sebagi Asnslag dalam pasal 104 KUHP, 106 KUHP sampai seterusnya;
          • Bahwa saya tidak paham konteks kejadiannya seperti apa karena saya hanya menyelaraskan saja sesuai dengan pemahaman saya tetapi begini, kalau memang ada Demo itu dilakukan secara damai tidak ada serangan fisik yang dilakukan untuk tujuan apapun kira-kira kita kontekskan makar biar spesifik bahwa demo itu harus ditujukan untuk membunuh presiden dengan  cara melakukan serangan kuncinya itu. Kalau melakukan demo saja untuk memisahkan diri maka itu bukan makar itu bukan Asnslag  dalam pasal 106 KUHP, jadi itu hanya ekspresi politik saja, itu hanya demonstrasi biasa saja dan hukum pidana tidak mengatur dia. Kalau dikaitkan dengan orang-orang dirumah saja justru itu tidak terlihat apa perbuatan melawan hukumnya terlalu jauh perbuatan entah dia dirumah dengan konteks serangan fisik yang dilakukan oleh orang-orang untuk memisahkan diri dari NKRI misalnya kecuali memang ditemukan hubungan bahwa meskipun dia diam dirumah dia adalah pemberi ide, intelektual, atau autlocker itu baru bisa tetapi, intinya begini dalam hal hal merumuskan pasal makar, menerapakan pasar makar kata kuncinya adalah serangan fisik itu terbukti di  WVSBI, WPSNI, WPS;
          • Bahwa Keahlihan saya memang terbatas pada hukum pidana Pak Penasehat Hukum, jadi yang saya pahami adalah bahwa berbagai macam kebebasan kita berekpresi itu dilindungi dan dijamin oleh UUD dijamin juga oleh berbagai macam perundang- undangan. Jadi sepanjang itu tidak melakukan dengan tidak melawn Hukum dan kalua misalnya mau dikaitkan dengan makar atau Aanslag pasal 106 KUHP, 107 KUHP, 104 KUHP, 110 KUHP, maka itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan makar yang disebutkan  Karena, sekali lagi dalam kontek untuk melakukan penghukuman terhadap pasal-pasal tersebut maka, yang dibutuhkan adalah Aanslag yaitu dengann serangan fisik dengan maksud untuk melakukan tujuan-tujuan yang dilarang UU;
          • Bahwa Kalau kita berbicara pada konteks makar maka, lagi-lagi demo itu harus kemudian melancarkan serangan dalam rangka untuk memisahkan diri dari NKRI, ini perlu ditelusuri berbagai macam actor yang memang terlibat didalam, jadi mulai dari siapa yang menemukan idenya dan bagaimana cara mengorganisir demonya hingga akhirnya dia melakukan serangan ini dan serangan itupun juga tidak bisa sembarangan.
          • Artinya serangan dalam konteks makar itu harus sedemikian rupa hingga pencapaian tujuannya dia ini dilindungi oleh UU. Misalnya saya ambil contoh pasal makar di 106 KUHP makar dengan maksud untuk memisahkan diri dari NKRI, kalau kita melakukan demo didalam lapangan itu kemudian ditemukan rusuh maka  harus dipastikan siapa yang membuat kerusuhan untuk apa? Apakah untuk memecah belah demo atau apa dan segala macam tetapi kalau kita berbicara dalam kontek Aanslag 106 maka Aanslag atau serangan ini sudah didesain sedemikian rupa agar betul-betul memastikan kontrol untuk pengambilan keputusan itu, jadi dia ingin memisahkan diri dari NKRI dengan melakukan serangan fisik artinya dia sudah mengatur startegis untuk serangan fisik yang kemudian dapat berkontribusi  langsung tercapainya dari tujuan, bagaimana terjemahannya  itu tergantung banyak sekali variasinya misalkan mereka mendatangi DPR, kemudian melakukangan serangkaian tindakan kekerasan  fisik dan segala macam dan kemudian memaksa deklarasi begitulah tetapi,  intinya serangkaian  perbuatan tadi itu harus menjadi satu kesatuan dari tujuan awal itu yang dilarang Undang-Undang. Kalau kemudian ada demo berlangsung damai menyatakan ekspresi bahwa berbeda pendapat kemudian dia minta merdeka  dan berteriak referendum dan segala macam maka itu sebenyarnya bukan melangar Asnslag itu demo Ekspresi biasa.
          • Bahwa dalam konteks ada kerusuhan harus dilihat karena kita banyak juga pasal- pasal yang berkaitan dengan kerusuhan ada pasal orang menghasut orang untuk melakukan kekerasan, ada pasal untu menimbulkan kekuatan sacara bersama-sama termasuk pasal makar denga spesifikasi tersendiri. Jadi KUHP ini sudah didesain sedemikian rupa agar satu perbuatan tertentu ia berbeda dengan perbuatan yang lain kalau dilihat misalnya konteks makar untuk memisahkan diri dari NKRI kenapa dia harus didesain sendiri karena, nilai yang dilindungi oleh ketentuan 104 KUHP, 106 KUHP , 107 KUHP, 110 KUHP itu adalah tentang keamanan Negara, tentang keamanan symbol-simbol Negara, tentang Keamanan Presiden dan Wakil Presiden, kemudian keutuhan Negara, kemudian dia melakukan pemberontakan senjata dan lain-lain termasuk juga makar kalau kita pahami dalam KUHP dalam pasal-pasal makar yang juga ditujukan untuk melindungi kepala negara sahabat artinya kalau kita artikan bahwa makar itu di tafsir yang saya temukan misalnya di praktik kalau bisa saya sederhanakan berbagai macam perbuatan yang bertentangan dengan nilai negative maka, keberadaan pasal makarnya itupun Kepala Negara Sahabat itu menjadi tidak pas konteksnya tetapi, kalau kita artikan makar sebagai  serangan  maka itu menjadi cocok dengan pasal-pasal itu. Bekaitan dengan kerusuhan dan lain-lain itu pasal tersendirii kenapa karena pasal-pasal yang  berkaitan dengan kerusuhan dirangkap dalam Bab tentang kejahatan terhadap ketertiban umum artinya ingin dilindungi ketertiban umum bukan Keamanan Negara;
          • Bahwa Aanslag ini mengkonfirmasih apa yang diinginkan oleh pembuat UU pembuat KUHP Belanda pada wakktu itu dan akhirnya kita uji bahwa tafsir terhadap Aanslag itu memang harus dikembalikan kedalam definisinya sehingga kalau kemudian misalkan ada kerusuhan didalam sebuah demo itu tidakserta merta menjadikan makar tidak menjadikan Aanslag. Apakah itu adalah perbuatan melawan hukum dalam konteks kerusuhan berat pelangaran Ham  mungkin saja tetapi yang jelas kalau  dinaikan dalam konteks makar itu menjadi tidak cocok;
          • Bahwa pertanyaannya apakah pengibaran bendera, pengibaran symbol itu dalam bagian dari serangan fisik atau tidak ? kalau dalam pemahaman saya, pengetahuan dan keahlian saya, saya mengatakan itu tidak temasuk makar atau Asnslag contohnya kita mengibarkan bendera pemudah Pancasila,kita mengibarkan bendera Iwan fals dan lain-lain itu tidak ada bedanya untuk tidak melakukan serangan, tidak ada Keamanan Negara yang terancam dengan dilakukannya pengibaran bendera dan symbol-simbol, ini adalah bentuk ekspresi massa oleh karenanya tidak masuk dalam konteks makar. Yang dimaksud dengan makar adalah lagi-lagi tadi harus ada serangan fisik yang memang sengaja ditujukan untuk melakukannya, kalau maksud itu bukan kalau terjadi kerusuhan tetapi tidak dimaksudkan tujuan yang sudah diatur dalam pasal-pasal makar atau Aanslag maka itu bukan makar itu namanya ekspresi  biasa;
      1. Ahli Rasis Terhadap Orang Asli Papua, Pdt. Dr. Benni Giyai, M.Th; Lahir di Paniai 12 Januari 1955, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Kristen, Pekerjaan Pendeta, Alamat Jl. Makendang Sentani RT/ RW 001/002 Keruhana Henekombe Kecamatan Sentani :
          • Bahwa Ahli berprofesi sebagai Pendeta, bertugas di Lembaga Gereja. Sejak pertengahan 1980 an ; hari ini memang jabatan Ketua Sinode Gereja KINGMI di Tanah Papua sejak Tahun 2010. Latar belakang pendidikan di bidang : a) Teologi/Pastoral : b) Sejarah Gereja di Seminari dan Bidang Antropologi dari Universitas.
          • Bahwa ada beberapa buku karya Ahli yang berhubungan dengan bidang bidang pendidikan/keahlian Ahli yang berhubungan dengan perkembangan Sejarah, Gereja dan Kebudayaan Papua. Beberapa buku yang Ahli tulis sebagai berikut :
            1. Zakheus Pakage & His Communities. Pergulatan seorang Mee bernama Zakheus Pakage dan pengikutnya Tahun 1950an hingga Pertengahan 1960an berhadapan dengan Belanda dan Jepang/Badan Penyiar injil Amerika. Thesis S3 di Amsterdam/Belanda.
            2. Gereja LSM DAN Perjuangan HAM awal Tahun 1980an di Tanah Papua. Menampilkan Keterlibatan Gereja menghadapi masalah HAM sejak awal 1980an dengan mendirikan LSM. Strategi Perlawanan generasi Papua Mahasiswa dan Masyarakat Tahun 1980an. Seminar di Universitas Berlin yang kemudian di terbitkan dalam bentuk Buku Violencein In Indonesia ( bisa dilihat di atas ).
          • Bahwa Ahli pernah menjadi saksi ahli dalam pengadilan anak anak korban rasisme tgl 19 Agustus 2019;
          • Bahwa rasisme itu kita pahami sebagai Bahasa sikap perlakuan dari orang perorang kelompok suku agama/sosial tertentu terhadap kelompok diluarnya yang dinilai lebih rendah/lebih biadap/lebih tertinggal dari kelompoknya sehingga para pihak ini mengembangkan siasat/strategi perlakukan atau pendekatan tertentu;
          • Bahwa Bentuk pengungkapan rasisme bisa verbal atau perbuatan program atau strategi kepada     pihak ditujukkan bisa juga bersifat pribadi atau kelompoknya diuangkapkan secara     publik melalui media, melalui pertunjukkan film, nyanyian atau bisa melalui progran yang diarahkan secara sistematis dan terus menerus;
          • Bahwa dampak dari rasisme terhadap para korbannya, bisa secara psikologis dan social mengalami marginalisasi secara sistimatis tanpa ampun terlebih apabila terjadi rasisme ini bertahun tahun tanpa perlawanan tanpa dukungan dan kesadaran dari dalam;
          • Bahwa artinya kelompok yang korban rasisme itu bisa mati secara social budaya menrut para ahli social Death. Saya kira orang Papua mengalami apa yang para sejarawan social death. Para pihak yang menjadi target system social yang rasis selama bertahun tahun (seperti orang afrika Amerika selama berabad abat/tahun) terkondisika untuk menjalai keidupan tanpa meliht massa yang didepan lebih menerima nasibnya hidup dalam        dunianya; yang kadang terlibat dalam kasus kejahatan dan narkoba dan penjara Negaa Adidya tnpa akhir. Ini Yang disebut soscall death yang pernah dialami oleh bangsa Afrika Amerika sejak abad 14 atu orang  Afrika Selatan sejak Tahun 1948. Saat pemerintahan minoritas kulit putih memperkenalkan politik diskriminasi rasial aparteid.
          • Bahwa sepengetahuan saya orang Papua sudah menjadi korban dari pandangan pandangan rasis yang mematikan tadi beberapa abad jauh sebelum indonesia sebelum indonesia menduduki Papua awal tahun 1960an. Di sini saya hanya sebutkan dua pengalaman sejarah ;
            • Pertama : Laporan dari residen Jansen di Ambon yang pernah mengingatkan penguasa Ternate dan Tidore  Tahun 1950 ke atas terkait laporan yang dia terim, berkaitan dengan beberapa  Pulau di sekitar Papua yag penduduknya dikhawatirkan punah lantaran pengayauan pelayaran hongi dilakoni pertahunnya oleh para kaki Sultan Tidore  da ternate yang pergi mengayau dan menghancurkan kampung kampung yang mmbakar hutan dan kemudian, mengangkut anak anak laki laki, perempuan, anak, orang tua dan perempuan yang tidak bisa lari  ; yang kemudian semua dingkut ke Maluku, Ternate , Tidore, dll lalu dijual sebagai budak disana Pengalaman kedua kita bisa lihat dalam laporan seorang utusan injil Belanda yang diutus dari basisnya di Manokwari pada awal tahun 1900an ke Teluk Berau, Fak fak, Kaimana, Onim. Dalam Laporan itu Pdt itu melaporkan tentang pedagangan budak dari Seram dan Goram pergi Banda untuk dipasarkan disana sebagai Budak. Menangkap warga disitu Papua setelah membakar perkampungan dan merampok harta milik dan hasil tangkapan /buruan tersebut yang berupa ibu ibu dan anak anak papua itu mereka bawa pasarkan di Seram Goram ( Maluku ) dari sana mereka bawa ke Bandauntuk dipasarkan disana. Selain pedagang, pelaut juga dari Seram, para pedagang budak Makasar, Ternate dan Tidore ikut mencari budak di sana. Pengalaman ketiga saat pendeta Otto Gesler membawa surat keterangan dari Sultan Tidore agar kedua utusan injil tadi diterima oleh Tokoh masyarakat di Papua barat. Masyarakat di Papua menolak Sultan itu, dia bukan orang baik tetapi mesin penggerak perdagangan  penjualan budak orang Papua.
          • Bahwa Rasisme terhadap Papua hingga hari ini tercermin dalam seluruh system pembangunan, arah kerangka , operasi operasi militer, yang dimulai dengan sejak awal tahun 1960an mulai langkah langkah berikut : 1). Indonesia mengaku diri datang untuk mengangkat orang Papua sejajar dengan saudara saudari dari Indonesia lainnya dan 2). Dengan kerangka tadi ( untuk mengangkat orang Papua sejajar dengan suku suku lain di Indonesia pada tanggal 3 mey 1963 yaitu dua hari setelah Penyerahan Irian Barat oleh UNTEA, Elit Petinggi NKRI Irian Barat waktu itu melancarkan kebijakan seperti yang diambil Hitler yang mau menghabiskan orang Yahudi dari Jerman /Eropa. Apa yang Hitler lakukan dengan untuk mencapai tujuannya? Dia perintahkan semua buku buku, majalah majalah/ dokumen dokumen, sejarah agama, budaya , filsafa, dibakar dan dimusnakan dan ini yang dilakukan petinggi Indonesia di Kota Baru ( Jayapura , Pada tanggal 3 mey 1963, elit Indonesia menumpuk semua buku, majalah, surat khabar, Dokumen partai, penelitian etnografi, Sejarah Belanda di Papua, baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa lain dibakar habis pada hari itu dihalaman Gedung Kantor DPRP sekarang di depan Taman Imbi Jayapura.
          • Bahwa dampak bagi Orang Papua sejak tanggal 3 Mei itu orang Papua menjadi : 1). Bangsa tanpa sejarah, tanpa identitas, tanpa pikiran tanppa masa lalu dan 2). Bangsa Papua sejak itu menjadi mainan yang bisa dimainkan /digerakkan dikendalikan oleh bangsa lain ( bangsa asing/Indonesia )
          • Bahwa apa yang terjadi pada tanggal 16-17 Agustuus 2019 dan seterusnya yaitu gerakan protes Papua dari sseluruh kota di Indonesia terhadap rasisme? Ini dalam kata kata Walter Benyamin, pemikir Yahudi yang mati dalam pengungsian dari Hilter devine violenve. Apa itu ?Tanggal 16 Agustus 2019 dst itu tanggal yang Tuhan pilih untk kasih ke Indonesia dan dunia bahwa dunia yang membantu Indonesia terus menjadika Papua itu sebagai barang mainanan itu sangat kelirru dan sesat pikir. Siapa yang bisa pikir gerakan mahasiswa Asrama Papua itu bisa membuat Papua Bangkit  dan tersadarkan diri dari ketidurannya yang panjang  dalam pangkuan NKRI yang telah 60 Tahun lebih meninabobokannya sejak 3 mey 1963, Bangsa Papua dijadikan bangsa tanpa Sejarah/identitas /budaya dan tanpa rumah adatnya ? inilah yang kami dalam study sejarah sering menyebut divine violence.
          • Bahwa sebenarnya secara manusia, gerakan protes terhadap rasisme tadi yang dilakukan oleh para Mahasiswa dan rakyat Papua adalah wajar siapapun manusia normal, yang dilahirkan dengan pikiran perasaan, idealisme yang membawa sejak lahir watak untuk bertanya, wajar apabila mereka protes dan tidak terganggu mendengar Papua monyet, Papua kete ..dll. Kelompok atau unsur Papua ini, baik Gereja maupun akademisi, politisi yang mengganggu hal ini biasa biasa. Kelompok itulah yang kami anggap mahluk mahluk setengah gila atau sakit jiwa;
          • Bahwa artinya tanggapan berupa protes yang dilakukan orang Papua kalangan mahasiswa, pemuda dan masyarakat inilah yang masih memiliki pandangan dan pikiran kemanusiaan , yang sisanya adalah manusia yang sudah dibius oleh systim Indonesia melalui bahasa bahasa propaganda yang sudah campur baur antara rasisme, militerisme dan pembangunanisme.
          • Bahwa Keputusan vonis terhadap pelaku rasisme di Indonesia yang di vonis 7 bulan itu hanya memenuhi rasa keadilan mereka yang sedang memelihara /menjaga system rasis tadi antara lain NKRI tadi yang mabuk rasisme, militerise dan pembangunanisme dan antek anteknya, bukan bangsa Papua yang sudah dari awal diposisikan sebagai monyet atau Papua warga negara kelas dua. Vonis ini hanya menguntungkan kepentingan mereka yang berkuasa yang sedang menjaga Papua supaya tetap diterima posisinya sebagai monyet dan kete.
          • Bahwa penangkapan terhadap para mahasiswa/masyarakat yang menolak rasisme tanggal 29 Agustus 2019 itu bisa jadi cara negara atau tim ini rasis tadi menjaga supaya wajah Negara tidak terbuka. Ini dilakukan dengan cara :
            • Bahwa pengiriman pasukkan sejak tanggal 19 Agustus malam yang terus menerus berlangsung selama beberapa bulan selanjutnya untuk meredam protes rasisme, satuan Brimob yang didrop ke kota kota besar di Papua, meningkatkan, menambah daerah operasi militer baru selain dilakukan di Nduga  pasca rasisme ini negara juga membuka : 1). Wilayah operasi militer di intan jaya pertengahan Desember 2019 dan 2). Kemudian operasi militer bulan Januari 2019 , sekitar wilayah operasi PT Freport Tembagapura.
          • Bahwa pada intinya proses damai rasisme itu dialihkan ke politik Papua Merdeka
          • Bahwa setelah melihat putusan pengadilan terhadap pelaku pengucap ujaran rasisme di Surabaya sebenarnya Indonesia telah mengakui keapsahan tuntutan orang Papua, dalam hal Papua sebagai korban rasisme Indonesia systemik terhadap Papua dari cara cara penanganan protes rasis yang dikendalikan POLRI di Papua, Ahli duga ini terjadi atas dukungan Presiden Jokowi yang berkunjung ke Papua pasca Rasisme yang menjanjikan hadiah kepada Kapolda artinya Negara masih lanjut tidak mau berubah, masih mengandalkan pendekatan tangan  besi operasi militer untuk selesaikan masalah rasisme di Tanah Papua.
          • Bahwa ada beberapa cara menyelesaikan masalah Papua secara utuh dan bermartabat :
            • Pertama, kami dari Dewan Gereja Papua telah meminta Pemerintah RI untuk hentikan rasisme terhadap Papua. Dengan menggelar Dialog yang bermartabat dengan ULMWP/KNPB ( unsur Papa yang sedang perjuangkan Kemerdekaan Papua ) dengan melibatkan Pihak ketiga sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Presiden SBY dan JK dengan dialog dengan GAM yang dimediasi oleh Negara ke 3. Mengapa dengan GAM Aceh yang memperjuangkan Aceh mERDEKA -Jakarta bisa berdialog tetapi mengapa dengan ULMWP/KNPB Negara ini tidak bisa ? Rasisme ? atau masalah Agama.
            • Kedua, menindaklajuti rekomendasi dari LIPI dengan negara secara serius libatkan semua pihak, menyelesaikan 4 Akar masalah Papua yang disebutkan oleh LIPI. Apa saja 4 akar persoalan direkomendasikan oleh LIPI masing masing :
              1. Diskriminasi Rasial dan marginalisasi orang Papua
              2. Pemerintah Indonesia yang gagal membangun Bidang Pendidikan dan Ekonomi
              3. Pelanggaran HAM Pemerintah enggan menghentikan pelanggaran HAM di Papua dan
              4. Perbedaan pandangan antara Jakarta Papua mengenai Kedudukan Indonesia atas Papua
          • Bahwa ahli berpandangan bahwa proses hukum terhadap Terdakwa Buktar Tabuni dan Terdakwa lain, seharusnya tidak dikenakan pasal makar dan dibebaskan, karena mereka bukan pelaku makar, tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berdemo itu merupakan hak untuk melawan rasisme dan ketidakbenaran di Papua.
  1. BUKTI SURAT
    1. Bukti Surat JPU, Dalam persidangan ini saudara JPU tidak mengajukan bukti surat.
    2. Bukti Surat Yang diajukan PH/Terdakwa
      • Bukti Bukti surat tentang pembelahan rasisme yang menerangkan tentang akar persoalan yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur serta aksi Rasisme yang terjadi di Papua pada tanggal 15 Agustus sampai dengan 29 Agustus 2019;
      • Bukti T2 Bukti surat Cover Papua Road Map dan Booklet Papua Road Map menerangkan tentang peta dan sumber konflik di Papua yang ditulis pada tahun 2009;
      • Bukti T3 Bukti surat tentang Keterangan Aksi Demo  Rasisme pada tanggal 19 Agustus dan 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura, Papua;
      • Bukti T4 Bukti Video 1 (pertama) menerangkan tentang aksi rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 berjalan damai tanpa adanya anarkis yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Masyarakat sipil Papua;
      • Bukti T5 Bukti Video 2 (dua) menerangkan tentang aksis rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 yang dilakukan oleh Mahasiswa yang tergabung dalam BEM dan Cipayung di Kota Jayapura, Papua;
      • Bukti T6 Bukti Video 3 (Ketiga) menerangkan tentang duduk persoalan yang terjadi di Jawa Timur, Kota Surabaya terhadap mahasiswa Papua;
      • Bukti T7 Bukti Putusan Makar Nomor : 69/ Pid.B/2001/PN.JPR, tentang  2 Terdakwa An Pdt. Herman Awom, S.Th dan Thaha M Alhamid tidak dapat di Jatuhi hukuman pidana;
      • Bukti T8 BuktiPutusanMakarNomor:45/Pid.B/2009/PN Nbetentang 15 Terdakwa diPengadilanNegeri  Nabire yang di Vonis Bebas.

 

  1. BARANG BUKTI :
    1. Barang Bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum
      • 1 (satu ) unit HP merek Nokia warna hitam dengan IMEI 1 : 356 951 093 230 419 dan IMEI 2 356 951 093 330 417 No HP : 0812 9968 7643 ;
      • 1 (Satu ) unit handphone merk OPPO warna putih dengan IMEI 1 861 754 032 751 158 dan IMEI 2 : 861 754 032 751 141 No HP : 0813 8645 0010 ;
      • 3 (tiga ) buah batu kali dengan ukuran + lebar 6 cm dan panjang 7cm ; 1(satu) buah mobil jenis Inova berwarna Hitam dengan Nomor Polisi PA 1693 MP ;
      • 7 (tujuh ) Unit Komputer Lenova ;
      • 1 (satu ) Unit Komputer Samsung ;
      • 1 (satu ) Unit Komputer Acer;
      • 1 (satu ) Unit Komputer Hp;
      • 2 (dua ) Unit Komputer Dell;
      • 2 (dua ) Unit Komputer Asus ;
      • 2(dua) Unit Printer HP Laserjet P1102 ;
      • 2(dua) Unit Printer Canon Pixma ;
      • 1 (satu) Unit Printer Epson ;
      • 2(dua) buah Keybord Aser ;
      • 1 (satu) buah Keybord Logitech ;
      • 1(satu) buah Keybord Asus ;
      • 7 (Tujuh ) buah Keybord Lenovo ;
      • 2( Dua ) Unit Cpu Dell ;
      • 8 (delapan ) buah Mouse Lenovo ;
      • 1 (satu) buah Mouse HP ;
      • 2 (dua) buah Mouse Aser ;
      • 1(satu) buah Mouse Legitech;
      • 1(satu) buah Mouse Votre ;
      • 1(satu) buah Charger Laptop Hipro ;
      • 2(dua) buah Charger Laptop Asus ;
      • 1(satu) buah Charger Laptop HP ;
      • 4 ( Empat ) buah Charger Komputer Lenovo ;
      • 2 (dua ) buah Kabel Power Komputer ;
      • 2 (dua) buah Kabel Data Komputer ;
      • 5 (lima ) buah Kabel Printer ;
      • 2 (dua) buah Kabel Roll;
      • 1 (satu) buah Tape Compo Polytron ;
      • 1 (satu) buah Setelan Suara Mic Behringer Uphoria Umc 22;
      • 1 (satu) buah Amplifier Uhf ;
      • 1(satu) buah Digital Video Recorder Ahd ;
      • 1(satu ) buah Wireless In Router Wifi Asus ;
      • 1 ( satu ) buah Wifi Zte ;
      • 1 ( Satu ) buah Terminal Wifi 3com ;
      • 1 ( Satu ) buah Memory CPU ;
      • 1 ( Satu ) buah Mic Duduk Anysong;
      • 1 ( Satu ) buah Charger Battery Nikon ;
      • 1 ( Satu ) buah Mic Megaphone ;
      • 2 ( dua ) buah Kalkulator Casio;
      • 1 ( Satu ) buah Camera CCTV Hikvision ;
      • 1 ( Satu ) buah Buku Kerja 2018 Prov. Papua ;
      • 1 ( Satu ) buah Speaker Bluetooth Kecil ;
      • 2 ( dua ) Roll Kain Warna Cokelat Korpri ;
      • 27 (dua puluh tujuh ) buah Ikat Pinggang Kecil Korpri;
      • 1 ( Satu ) buah Kabel Hias ;
      • 1 ( Satu ) buah Kabel lampu Hias Salib ;
      • 11 (sebelas ) buah Tas ;
      • 1 (satu) Unit Sepeda Motor Honda ;
      • 1 ( Satu ) buah Kunci Ring ;
      • 1 ( Satu ) buah Rangkaian Gantungan Kunci ;
      • 1 ( Satu ) buah Obeng Plat ;
      • 1 ( Satu ) buah Parang /Pisau ;
      • 2 (dua ) Tombak Kayu Panjang ;
      • 4 (empat ) buah Busur ;
      • 36 ( tiga puluh enam ) buah Anak Panah ;
      • 47 ( empat puluh tujuh ) buah Batu ;
      • 58 ( lima puluh delapan) buah Besi + Pipa ;
      • 47 ( empat puluh tujuh ) buah Ketapel ;
      • 6 ( enam ) buah Pecahan Kaca ;
      • 5 (lima ) batang Potongan Kayu.
    1. Barang Bukti Yang diajukan PH/Terdakwa
      • Bukti Video 1 (pertama) menerangkan tentang aksi rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 berjalan damai tanpa adanya anarkis yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Masyarakat sipil Papua ;
      • Bukti Video 2 (dua) menerangkan tentang aksis rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 yang dilakukan oleh Mahasiswa yang tergabung dalam BEM dan Cipayung di Kota Jayapura, Papua ;
      • Bukti Video 3 (Tiga) menerangkan tentang duduk persoalan yang terjadi di Jawa Timur, Kota Surabaya terhadap mahasiswa papua di Asrama Kamasan

 

  1. KETERANGAN TERDAKWA BUCHTAR TABUNI DALAM PERSIDANGAN MEMBERIKAN KETERANGAN SEBAGAI BERIKUT :
      • Bahwa Terdakwa ditangkap pada tanggal 09 September 2019, sekitar Jam 6 Sore, saat itu hendak berkebun tetapi karena mendengar ada aparat kepolisian yang datang kerumah, Terdakwa pulang kerumah;
      • Bahwa Terdakwa duduk diatas bukit dan melihat anggota polisi yang hendak menangkap naik kearah rumah, bersama Terdakwa ada empat orang yang bersama, ada dua suami istri yang punya kebun, terdakwa meminta mereka ada yang menemani terdakwa;
      • Bahwa polisi datang, menodongkan pistol dan menanyakan ini Buktar, saya jawab iya, lalu mereka suruh terdakwa tiarap, terdakwa tiarap, lalu polisi sampaikan berdiri lalu terdakwa berdiri lalu di suruh jalan, saat jalan terdakwa melambaikan tangan kepada orang yang bermain volley, dalam perjalanan kearah mobil massa ada yang hendak bertanya kenapa terdakwa dibawa, tetapi karena ada tembakan dari anggota maka massa marah lalu melakukan pelemparan, ada kaca mobil yang pecah akibat pelemparan;
      • Bahwa terdakwa selanjutnya di bawa ke Mako Brimob, selama di Mako Brimob Terdakwa tidak salah 2 kali, polisi menanyakan pernah dihukum ? terdakwa menjawab pernah di hukum kaitan dengan organisir demo-demo;
      • Bahwa terdakwa menanyakan kepada polisi terkait dengan dokumen-dokumen, polisi menjawab terdakwakan pernah dihukum, jadi kami hanya ingin tahu kenapa dihukum, terdakwa mengetahui setelah terdapat data-data terdakwa itu yang dimasukan dalam BAP;
      • Bahwa terdakwa pernah disidangkan pada tahun 2009 dan 2011 kaitan dengan perkara makar dan penghasutan dan telah ada putusan hakim;
      • Bahwa terdakwa pernah bertemu dengan Kapolresta Jayapura bulan Desember 2018, kaitan dengan status DPO, Kapolresta sampaikan tidak ada bukti-buktu juga tidak ada korban, jadi Pa Buktar bisa beraktifitas seperti biasa
      • Bahwa Terdakwa dalam aksi demo damai anti rasisme tidak terlibat sebagai  penanggung jawab maupun peserta demo, begitu pula Terdakwa saat penangkapan tidak melakukan pertemuan-pertemuan dalam membahas Papua Merdeka;
      • Bahwa terdakwa dalam persidangan menerangkan hanya akan menjelaskan terkait dengan penangkapan pada tanggal 09 September 2019, tidak ada kaitan penangkapan dengan dokumen-dokumen yang ditunjuk dalam BAP;
      • Bahwa Terdakwa mencabut keterangan-keterangan yang diberikan dalam BAP tentang dokumen-dokumen, karena tidak ada kaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa.

 

  1. KETERANGAN VERBALISAN Kayrudin, S.H menerangkan dibawa sumpah dalam persidangan sebagai berikut :
      • Bahwa pemeriksaan dilakukan terhadap terdakwa 2 (dua) kali, pemeriksaan pertama 10 September 2019, pemeriksaan kedua 28 September 2019;
      • Bahwa pemeriksaan dilakukan pada siang hari dan sore hari, terdakwa didampingi oleh pengacaranya tetapi diluar (tidak melihat dan mendengar pemeriksaan);
      • Bahwa menurut saksi prosedur pemeriksaan sudah dilakukan sesuai dengan mekanisme KUHAP;
      • Bahwa saksi tidak melakukan pemeriksaan sehubungan dengan status terdakwa yang pernah diputus dan telah ingkrah, begitupula saksi tidak pernah menanyakan status DPO terdakwa yang telah dinyatakan tidak bermasalah dengan mengkormasi hal ini ke Kapolresta Jayapura;
      • Bahwa saksi menerangkan interogasi awal teerhadap terdakwa dilakukan oleh penyidik atas nama Oscar dan saksi tidak mengetahui pemeriksaan itu;
      • Bahwa saksi memeriksa dengan cara bertanya lalu terdakwa menjawab setelah itu BAP diberikan, tidak ada ancaman atau paksaan terhadap terdakwa.

III. ANALISA FAKTA PERSIDANGAN;

Majelis Hakim yang terhormat,

Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

Hadirin sidang sekalian yang berbahagia.

Bahwa untuk membuktikan apakah Terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana dalam Surat Tuntutan Sdr. JPU melanggar Dakwaan Kesatu yakni  Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP maka haruslah berdasarkan alat bukti yang cukup yakni berupa fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka dari fakta-fakta persidangan yang terungkap, dapat dianalisa sebagai berikut :

a. MAHASISWA PAPUA SURABAYA MENJADI KORBAN TINDAKAN RASIS

    • Bahwa Demonstrasi Anti Rasisme tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 yang terjadi di Jayapura tidak terlepas dari kaitannya dengan kejadian yang terjadi tanggal 16 Agustus 2019 di Surabaya yaitu saat kejadian pengempungan Asrama Mahasiswa Papua oleh beberapa masa dari Organisasi Masyarakat (Ormas), oknum Perwira TNI-AD, selain itu Satpol PP, aparat Kepolisian setempat yang berada di tempat kejadian perkara tak berbuat apa-apa. Beberapa masa dari ormas kemudian memaki dengan kata-kata rasis “Monyet, Babi, Anjing, dan Kera” ada juga yang mengatakan “Kamu jangan keluar, saya tunggu kamu. Saat itu juga jumlah ormas-ormas reaksioner bertambah banyak. Kemudian mendobrak pintu depan Asrama Mahasiswa Papua dan melempari batu hingga mengakibatkan kaca asrama pecah, sehingga Mahasiswa Papua yang berada di dalam Asrama terkurung di ruang Aula Asrama;
    • Bahwa tindakan rasis tersebut berlanjut di tanggal 17 Agustus 2019 yaitu saat sekelompok Ormas reaksioner mendatangi Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan meneriakan yel-yel “Usir usir usir Papua, Usir Papua sekarang juga. Selain itu Kata-kata Rasis (Monyet, Anjing, Babi) pun masih diteriaki;
    • Bahwa Mahasiswa Papua di Surabaya adalah korban dari tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya yang dilakukan oleh Ormas, oknum Perwira TNI-AD, selain itu Satpol PP dan aparat Kepolisian setempat juga turut menjadi bagian dari tindakan rasis tersebut karena membiarkan tindakan rasisme tersebut;
    • Bahwa akibat dari tindakan rasisme di Surabaya tersebut membuat marah seluruh masyarakat Papua;

b. TERDAKWA TIDAK TERLIBAT DALAM AKSI ANTI RASIS TANGGAL 19 AGUSTUS 2019 DAN 29 AGUSTUS 2019

  • Bahwa benar pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 telah terjadi aksi Anti Rasis yang dilakukan oleh masyarakat Papua untuk menolak Rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya;
  • Bahwa dalam keterangannya terdakwa mengakui tidak perna terlibat sama sekali selama aksi Anti Rasis baik pada tanggal 19 Agustus 2019 dan tanggal 29 Agustus 2019, karena pada saat itu terdakwa sedang berada di kebun. Hal ini bersesuaian dengan keterangan saksi a de charge Laurenzus Kadepa yang menerangkan bahwa selama saksi terlibat dalam Aksi Anti Rasis tersebut saksi tidak perna melihat terdakwa hadir bahkan melakukan orasi dan juga tidak pernah ada keterlibatan kelompok organisasi ULMWP, kelompok organisasi KNPB, aksi tersebut murni spontanitas dari rakyat Papua yang dikordinir oleh BEM UNCEN.

c. JAKSA TIDAK MAMPU MEMBUKTIKAN KETERLIBATAN TERDAKWA DALAM RAPAT TANGGAL 9 SEPTEMBER 2019 DI ASRAMA RUSUNAWA UNCEN

  • Bahwa dalam persidangan saudara JPU telah menghadirkan saksi-saksi yang menjelaskan bagaimana keterlibatan terdakwa dalam rapat pada tanggal 9 September 2019 di Asrama Rusunawa Uncen. Sebelum masuk pada fakta-fakta persidangan atas keterangan dari saksi-saksi yang telah dihadirkan oleh sudara JPU tersebut maka terlebih dahulu kita melihat apa yang dimaksud dengan Keterangan Saksi, bahwa sesuai dengan penegasan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yakni Keterangan yang saksi lihat sendiri; saksi dengar sendiri; alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana. Dari fakta-fakta persidangan yang terungkap, dapat dianalisa sebagai berikut:
  • Bahwa dalam persidangan ada 2 (dua) saksi yang dihadirkan oleh saudara JPU yaitu saksi JOKO TRI AMBORO dan saksi AGUS KUSWANTO, S.H, dalam keterangan yang sama dihadapan persidangan para saksi menerangkan yang pada intinya bahwa pada hari Senin tanggal 09 September 2019 sekitar jam 15.30 Wit saat anggota team lidik sedang melakukan penyelidikan terhadap keberadaan tersangka atas nama AGUS KOSSAY yang diduga berada di Rusunawa Perumnas III Waena, sesampainya team tersebut di Rusunawan sedang berlangsung rapat gelap yang dilakukan oleh beberapa orang yang membicarakan tentang pembebasan terhadap massa demonstrasi yang ditahan, namun peserta rapat tersebut melihat kedatangan team lidik dilokasi Rusunawa seketikan itu juga peserta rapat tersebut langsung membubarkan diri dan berlari menuju keatas Gunung Kamwolker dan oleh team lidik dikejar terus ke atas sampai mendapatkan terdakwa yang diduga ikut dalam rapat tertutup tersebut, sehingga team lidik mengamankan terdakwa.
  • Bahwa keterangan saksi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah haruslah sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHP yaitu “baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi”.
  • Bahwa oleh karena kedua keterangan saksi yang dihadirkan oleh saudara JPU yang hanya didasari atas dugaan semata terkait keterlibatan Terdakwa dalam rapat pada 9 September 2019 di asrama Rusunawa Perumnas III Waena, maka berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (5) KUHP atas keterangan kedua saksi tersebut patutlah dikesampingkan karena tidak bernilai sebagai alat bukti yang sah.

 d. JPU TIDAK MENGHADIRKAN AHLI PIDANA UNTUK MENJELASKAN UNSUR-UNSUR PASAL MAKAR DAN UNSUR-UNSUR PASAL PENYERTAAN.

  • Bahwa Keterangan ahli berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara;
  • Bahwa dalam persidangan untuk membuktikan dakwaannya saudara JPU sama sekali tidak menghadirkan saksi ahli pidana namun hanya menghadirkan 3 (tiga) orang Saksi Ahli antara lain Ahli Bahasa, Ahli Psikologi Sosial Politik dan Ahli Hukum Tata Negara.
  • Bahwa berdasarkan dari fakta persidangan maka dari ke tiga saksi ahli yang telah dihadirkan oleh sudara JPU yaitu baik Ahli Bahasa, Ahli Psikologi Sosial Politik dan Ahli Hukum Tata Negara maka secara keahliannya tidak berkompetensi menjelaskan bagaimana perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar dan juga Unsur Penyertaan serta keterangan keahliannya tidak terdapat korelasi dengan perbuatan terdakwa.
  • Bahwa kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa secara keilmuan yang berkompetensi untuk menjelaskan apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana sehingga terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum sebagaimana yang di Tuntut oleh saudara JPU dalam Dakwaan Kesatu Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP adalah Ahli Pidana, sehingga terhadap keterangan ahli tersebut patutlah dikesampingkan dan ditolak.

e. TINDAK PIDANA MAKAR TIDAK TERBUKTI

  • Bahwa untuk membuktikan apakah Terdakwa BUCHTAR TABUNI terbukti bersalah Menyuruh melakukan atau Turut serta Melakukan Makar Dengan Maksud Supaya Seluruh atau Sebagian Wilayah Negara Jatuh Ketangan Musuh atau Memisahkan Sebagian Dari Wilayah Negara sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Surat Dakwaan Kesatu Pasal 106 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke- (1) KUHP, haruslah berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, bukti surat, barang bukti dan keterangan terdakwa.
  • Bahwa untuk membuktikan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dituntut kepada terdakwa haruslah didasarkan alat bukti yang cukup yakni berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan barang bukti. Keterangan Saksi sesuai dengan penegasan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yakni Keterangan yang saksi lihat sendiri; saksi dengar sendiri; alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, kemudian sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menegaskan, “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakatan dalam sidang”, selain itu untuk membuktikan kebenaran materiil yang sesungguhnya, maka Hakim harus memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP yaitu :
    • Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya;
    • Persesuaian antara saksi dengan alat bukti lainnya;
    • Alasan yang dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu;
    • Cara hidup dan kesusilaan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
  • Dari empat orang saksi yang di hadirkan  Jaksa Penuntut Umum atas nama AGUS KUSWANTO, DJOKO TRIE AMBORO, FANNY KAREL LAIMENA DAN STEVEN ITLAY, dihubungkan dengan Ahli Bahasa atas nama  Dr.APRINUS SALAM, M,Hum, Ahli Psikologi atas nama Prof Dr.HAMDI MULUK, Ph.d, Ahli Hukum Tata Negara atas nama MUHAMMAD RULLYANDI, S.H, M.H serta Barang Bukti  barang bukti  berupa :
    • 1 (satu ) unit HP merek Nokia warna hitam dengan IMEI 1 : 356 951 093 230 419 dan IMEI 2 356 951 093 330 417 No HP : 0812 9968 7643 ;
    • 1 (Satu ) unit handphone merk OPPO warna putih dengan IMEI 1 861 754 032 751 158 dan IMEI 2 : 861 754 032 751 141 No HP       : 0813 8645 0010 ;
    • 3 (tiga ) buah batu kali dengan ukuran + lebar 6 cm dan panjang 7cm ; 1(satu) buah mobil jenis Inova berwarna Hitam dengan Nomor Polisi PA 1693 MP ;
    • 7 (tujuh ) Unit Komputer Lenova ;
    • 1 (satu ) Unit Komputer Samsung ;
    • 1 (satu ) Unit Komputer Acer;
    • 1 (satu ) Unit Komputer Hp;
    • 2 (dua ) Unit Komputer Dell;
    • 2 (dua ) Unit Komputer Asus ;
    • 2(dua) Unit Printer HP Laserjet P1102 ;
    • 2(dua) Unit Printer Canon Pixma ;
    • 1 (satu) Unit Printer Epson ;
    • 2(dua) buah Keybord Aser ;
    • 1 (satu) buah Keybord Logitech ;
    • 1(satu) buah Keybord Asus ;
    • 7 (Tujuh ) buah Keybord Lenovo ;
    • 2( Dua ) Unit Cpu Dell ;
    • 8 (delapan ) buah Mouse Lenovo ;
    • 1 (satu) buah Mouse HP ;
    • 2 (dua) buah Mouse Aser ;
    • 1(satu) buah Mouse Legitech;
    • 1(satu) buah Mouse Votre ;
    • 1(satu) buah Charger Laptop Hipro ;
    • 2(dua) buah Charger Laptop Asus ;
    • 1(satu) buah Charger Laptop HP ;
    • 4 ( Empat ) buah Charger Komputer Lenovo ;
    • 2 (dua ) buah Kabel Power Komputer ;
    • 2 (dua) buah Kabel Data Komputer ;
    • 5 (lima ) buah Kabel Printer ;
    • 2 (dua) buah Kabel Roll;
    • 1 (satu) buah Tape Compo Polytron ;
    • 1 (satu) buah Setelan Suara Mic Behringer Uphoria Umc 22;
    • 1 (satu) buah Amplifier Uhf ;
    • 1(satu) buah Digital Video Recorder Ahd ;
    • 1(satu ) buah Wireless In Router Wifi Asus ;
    • 1 ( satu ) buah Wifi Zte ;
    • 1 ( Satu ) buah Terminal Wifi 3com ;
    • 1 ( Satu ) buah Memory CPU ;
    • 1 ( Satu ) buah Mic Duduk Anysong;
    • 1 ( Satu ) buah Charger Battery Nikon ;
    • 1 ( Satu ) buah Mic Megaphone ;
    • 2 ( dua ) buah Kalkulator Casio;
    • 1 ( Satu ) buah Camera CCTV Hikvision ;
    • 1 ( Satu ) buah Buku Kerja 2018 Prov. Papua ;
    • 1 ( Satu ) buah Speaker Bluetooth Kecil ;
    • 2 ( dua ) Roll Kain Warna Cokelat Korpri ;
    • 27 (dua puluh tujuh ) buah Ikat Pinggang Kecil Korpri;
    • 1 ( Satu ) buah Kabel Hias ;
    • 1 ( Satu ) buah Kabel lampu Hias Salib ;
    • 11 (sebelas ) buah Tas ;
    • 1 (satu) Unit Sepeda Motor Honda ;
    • 1 ( Satu ) buah Kunci Ring ;
    • 1 ( Satu ) buah Rangkaian Gantungan Kunci ;
    • 1 ( Satu ) buah Obeng Plat ;
    • 1 ( Satu ) buah Parang /Pisau ;
    • 2 (dua ) Tombak Kayu Panjang ;
    • 4 (empat ) buah Busur ;
    • 36 ( tiga puluh enam ) buah Anak Panah ;
    • 47 ( empat puluh tujuh ) buah Batu ;
    • 58 ( lima puluh delapan) buah Besi + Pipa ;
    • 47 ( empat puluh tujuh ) buah Ketapel ;
    • 6 ( enam ) buah Pecahan Kaca ;
    • 5 (lima ) batang Potongan Kayu.
  • Maka tidak ada persesuaian untuk membuktikan kebenaran materiil Terdakwa atas nama BUCHTAR TABUNI sebagai orang yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara, jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP, hal ini dapat diurai sebagai berikut, Saksi Agus Kuswanto dan Djoko Trie Amboro adalah anggota polisi dari Tim Lidik Polda Papua yang melakukan penangkapan terhadap Terdakwa dirumahnya pada tanggal 09 September 2019, Pukul 18.00 WIT (6 Sore), awalnya Para Saksi menerangkan tujuan Para Saksi ini untuk mencari Agus Kossay yang diduga berada di Asrama Rusunawa Perumnas III Uncen dalam rangka melakukan rapat bagi pembebasan terhadap tahanan, namun setelah melakukan penggeledahan peserta rapat yang berada  dilokasi tersebut membubarkan diri dan berlari keatas gunung Kamwolker dan Para Saksi melakukan pengejaran keatas gunung Kampwolker dan mendapatkan Terdakwa Buchtar Tabuni yang berada dirumahnya, setelah itu Para Saksi mengamankan Buchtar Tabuni, tetapi ketika hendak membawa terdakwa BUCHTAR TABUNI, ada sekelompok massa yang melakukan penyerangan dengan melempar kearah mobil.
  • Saksi STEVEN ITLAY sama sekali tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Buchtar Tabuni, sedangkan Saksi FANNY KAREL LAIMENA tidak kenal Terdakwa, tidak tahu organisasi KNPB, ULMWP dan AMP terdaftar di Kesbangpol atau tidak, karena untuk mendaftar di Kesbangpol tidak ada keharusan atau sifatnya sukarela. Keterangan-Keterangan Saksi-saksi ini jika dihubungkan dengan Ketangan Ahli yang diajukan oleh JPU dan barang bukti maka tidak ada korelasi, Terdakwa mempunyai barang bukti berupa HP, selain itu barang bukti berupa Laptop dan barang bukti lainnya bukanlah milik Terdakwa, begitupula dengan Ahli yang diajukan JPU baik Ahli Bahasa, Ahli Psikologi keterangan dari keahliannya tidak memiliki korelasi dengan perbuatan terdakwa, karena pada tanggal 09 September 2019, Pukul 18.00 WIT (6 Sore) di Kampwolker, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, peristiwanya bukan peristiwa makar, tetapi peristiwa penangkapan terhadap Terdakwa BUCHTAR TABUNI dirumahnya.
  • Saksi-saksi meringankan dari Terdakwa atas nama Pdt. Armin Kogoya, S.Th, dalam persidangan mengungkapkan Terdakwa Buktar Tabuni adalah tetangga saksi yang aktivitas sehari-hari berkebun dan beternak, pada saat penangkapan tanggal 09 September 2019, Saksi mengajak Terdakwa untuk berkebun yang letaknya kurang lebih 200 meter dari rumah, namun karena mendengar polisi yang mendatangani rumah terdakwa, terdakwa tidak jadi berkebun, keterangan saksi ini bersesuaian juga dengan keterangan Terdakwa didukung pula dengan keterangan Saksi JPU atas nama Agus Kuswanto dan Joko Amboro yang menjelaskan mereka melakukan penangkapan terhadap terdakwa Buktar Tabuni di daerah Kampwolker sebelumnya mereka hendak mencari Agus Kossay yang diduga sedang melakukan rapat di Asrama Rusunawa berkaitan dengan pembebasan tahanan yang ditahan kaitan dengan demo anti rasis. Keterangan Saksi-Saksi tersebut bersesuaian juga dengan keterangan Saksi Laurens Kadepa yang menjelaskan pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 saat demo menolak rasisme di Surabaya, saksi sebagai anggota DPRP terlibat dalam aksi tersebut, saksi tidak melihat Terdakwa Buchtar Tabuni terlibat dalam kedua aksi tersebut, demo anti rasis tersebut dikoordinir BEM Se-Kota Jayapura dan diikuti secara spontan lebih dari 1000 komponen masyarakat yang ada di Papua, baik masyarakat asli Papua, non Papua dan kelompok Cipayung, inti dari aksi tolak rasisme tersebut yang dibacakan oleh penanggung jawab dan diserahkan kepada Gubernur Papua adalah 1). Stop rasisme, intimidasi dan persekusi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Makassar, Ambon dan Daerah lainnya, 2). Tangkap dan adili pelaku rasisme Ahli HTN dari Terdakwa/Penasehat Hukum telah memperkuat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah Makar, apalagi penangkapan terhadap Terdakwa Buchtar Tabuni ini sebagai dampak dari demo anti rasisme, sama sekali tidak dapat di kategorikan sebagai Makar, Ahli HTN HTN Dr.Herlambang R.Wiratraman, S.H menjelaskan demo damai menentang rasisme, termasuk jika didalamnya ada teriakan yel-yel Papua Merdeka, Referendum dan Penentuan Nasib Sendiri merupakan kebebasan berekpresi yang dijamin oleh Deklarasi Umum HAM, Konvesi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sangat bias jika dikaitkan dengan makar, hal ini diperkuat oleh Ahli Pidana atas nama Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc yang menjelaskan Makar itu sesuai dengan teks aslinya adalah Aanslag menyerang secara fisik, jadi tidak bisa dikaitkan dengan demo anti rasisme, teriakan yel-yel Papua Merdeka, Referendum, Penentuan Nasib Sendiri hingga kepemilikan dokumen yang berkaitan dengan Papua Merdeka, sedangkan Ahli Politik dan Resolusi Konflik atas nama Dr.Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc, menjelaskan ada konflik di Papua yang dipetakan oleh LIPI dalam Buku Papua Road Map, yakni 1). Diskriminasi dan Marjinalisasi Orang Papua, 2).Kegagalan Pembangunan, 3). Pelanggaran HAM, 4).Sejarah masa lalu Papua, Ahli Rasisme atas nama Dr.Benny Giay menjelaskan ada persoalan rasisme sebelum Zaman Belanda 1950 an, saat 1963, Pepera hingga saat ini telah terjadi praktek-praktek rasisme terhadap Orang Asli Papua dan tidak pernah diselesaikan secara serius oleh Negara, solusi yang ditawarkan ahli adalah penyelesaian Papua tidak bisa diselesaikan dengan proses hukum dengan pidana Makar, tetapi lebih mengedepankan keadilan bagi masyarakat Papua dengan cara Dialog untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Papua.

IV. ANALISA TUNTUTAN

Berdasarkan surat tuntutan yang dibuat dan dibacakan oleh saudara JPU dalam persidangan pada tanggal 2 Juni 2020 secara garis besar ditemukan beberapa pelanggaran dalam teknis perumusan surat tuntutan yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan, sebagai berikut :

  • JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN MENGUTIP BAP DAN MENGABAIKAN FAKTA PERSIDANGAN
    • Bahwa dalam surat tuntutan saudara JPU memasukan keterangan Agus Kuswanto yang menyatakan “Setahu saksi sdr. BUCHTAR TABUNI saat ini masih aktif dalam organisasi yang di pimpin yaitu sebagai Ketua PNWP yang juga tergabung di dalam ULMWP”;
    • Bahwa berkaitan dengan status terdakwa dalam organisasi KNPB, ULMWP dan sebagainya yang tertuang dalam BAP secara tegas dalam persidangan “Terdakwa menerangkan bahwa merasa ditipu dalam memberikan keterangan saat di penyididkan” sebagaimana termuat dalam keterangan terdakwa yang dicantumkan JPU dalam tuntutannya;
    • Bahwa dalam persidangan “Terdakwa menyatakan mencabut semua keterangan yang telah diberikan terdakwa pada tingkat penyidikan” sebagaimana termuat dalam keterangan terdakwa yang dicantumkan JPU dalam tuntutannya;
    • Bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri sebagaimana diatur pada pasal 189 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981;
    • Bahwa berdasarkan pada keterangan diatas membuktikan bahwa saudara JPU dalam menyusun Tuntutan terkesan mengarang bebas bahkan mengutip keterangan dalam BAP dan mengabaikan fakta persidangan.
  • JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN TIDAK MEMASUKAN KETERANGAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM DI DALAM PERSIDANGAN
    • Bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur pada pasal 185 ayat (1), KUHAP;
    • Bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur pada pasal 186, KUHAP
    • Bahwa dalam persidangan JPU menghadirkan saksi Djoko Trie Amboro, Agus Kuswanto, S.H, Stevanus Itlay Alias Steven Itlay, Fany Karel Leimena, S.E dan ahli Bahasa, Ahli Psikologi Sosial Politik serta Ahli Hukum Tata Negara. Sementara itu, Penasehat Hukum dalam persidangan menghadirkan saksi Pdt. Armin Kogoya dan Laurenzus Kadepa serta Ahli Pidana, Ahli Politik, Ahli Kebebasan Berekspresi dan Ahli Rasis Terhadap Papua;
    • Bahwa dalam Surat Tuntutan JPU kepada terdakwa BUCHTAR TABUNI hanya memasukan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh JPU dan tidak memuat keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan penasehat hukum;
    • Bahwa pada prinsipnya dalam Surat tuntutan (requisitoir) mencantumkan beberapa hal seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa dalam ruang sidang yang mulia.
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas sudah dapat disimpulkan JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN TIDAK MEMASUKAN KETERANGAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM DI DALAM PERSIDANGAN 
  • JPU MENYIMPULKAN TERPENUHINYA DAKWAAN KESATU HANYA BERDASARKAN KETERANGAN AHLI BAHASA, AHLI PSIKOLOGI SOSIAL POLITIK DAN AHLI HTN
    • Bahwa menurut keterangan ahli Bahasa, pengertian kata makar dimaksudkan sebagai satu aksi pemikiran, tindakan dan/atau perbuatan, baik dalam bentuk kata-kata dan kalimat, maupun berbagai aktivitas lainnya, yang dianggap atau dinilai bertentangan dengan hukum. Pengertian makar jika lebih disederhanakan adalah pikiran, ucapan, tindakan dan/atau perbuatan yang melawan hukum dan merongrong kekuasaan resmi pemerintah tertentu;
    • Bahwamenurut ahli Hukum Tata Negara, dalam perkembangan perspektif best practice praktik hukum tata negara di Indonesia makar dapat diartikan sebagai sikap perlawanan terhadap keadaan sistem fundamental yang diatur dalam konstitusi (in het staatsrecht is een contitutie de grondslag van een staat) dalam suatu negara dengan cara berkeinginan untuk melakukan suatu perubahan sistem;
    • Bahwa menurut ahli psikologi politik, untuk memisahkan mana aspirasi yang merupakan protes terhadap ketidakadilan atau mana yang merupakan insurgensi atau usaha ke arah makar menjadi tugas dari penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut;
    • Bahwa pada prinsipnya secara keilmuan yang memiliki kapasitas untuk menjelaskan unsur-unsur tindak pidana termasuk tindak pidana makar atau tindak pidana penyertaan adalah ahli pidana;
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terkait tuntutan JPU yang “Menyatakan terdakwa BUCHTAR TABUNI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “MAKAR” sebagaimana kami dakwakan kepada terdakwa dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP” yang didasari atas keterangan ahli Bahasa, ahli psikologi social politik dan ahli HTN dimuka persidangan diragukan secara ilmu hukum pidana sebab yang berkompeten membedah unsur-unsur tindak pidana makar dan unsur-unsur tindak pidana penyertaan adalah ahli pidana.
  • JPU Dalam Menyusun Tuntutan Tidak Mengikuti arahan Surat Edaran Jaksa Agung Tentang Pedoman Perumusan Tuntutan sehingga melahirkan Fakta Disparitas Tuntutan Pidana
    • Bahwa berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : 001/J.A/4/1995 tentang pedoman perumusan tuntutan dalam perkara tindak pidana biasa disebutkan adanya prinsip “Menghindari adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya”.
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Sayang Mandabayan oleh JPU di PN Manokwari dalam tuntutannya dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Erik Aliknoe Cs oleh JPU di PN Manokwari dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Yoseph Laurens Syufi alias Siway Bofit Cs oleh JPU di PN Sorong dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Surya Anta Ginting Cs oleh JPU di PN Jakarta Pusat dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada BUCHTAR TABUNI oleh JPU di PN Balikpapan dituntut dengan Pidana Penjara selama 17 (Tujuh Belas) Tahun;
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas yang menunjukan adanya perbedaan tuntutan di Manokwari, Sorong, Jakarta dan Balikpapan menunjukan fakta JPU dalam merumuskan tuntutan tidak mengikuti arahan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : 001/J.A/4/1995 tentang pedoman perumusan tuntutan dalam perkara tindak pidana biasa sehingga dalam tuntutan JPU terhadap terdakwa BUCHTAR TABUNI terdapat “disparitas tuntutan pidana”.

 

V. ANALISA YURIDIS

 

Bahwa sebelum unsur-unsur dalam dakwaan pertama yang di jadikan tuntutan Jaksa Penuntut Umum diuraikan lebih jauh, terlebih dahulu kami akan soroti tentang Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum bahwa dalam surat dakwaan saudara Jaksa Penuntut umum  Nomor : PDM-96/JPR/EKU.1/01/2020  menyebutkan bahwa Terdakwa didakwa sebagai orang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara, jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Bahwa ternyata ketika Jaksa Penuntut umum mengajukan tuntutan kepada Para Terdakwa sama sekali tidak menguraikan dengan fakta-fakta persidangan secara utuh TERMASUK JAKSA PENUNTUT UMUM SECARA SENGAJA MENGHILANGKAN FAKTA KETERANGAN 2 (DUA) SAKSI MERINGANKAN, KETERANGAN 4 (EMPAT) AHLI, BUKTI SURAT, BARANG BUKTI SERTA KETERANGAN TERDAKWA YANG MENJELASKAN TERDAKWA TIDAK MELAKUKAN DUGAAN TINDAK PIDANA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DAKWAAN PERTAMA TERSEBUT. HAL YANG LEBIH FATAL LAGI AHLI PIDANA ATAS NAMA PROF.Dr.Ir.OMARD SAHRI HARIEJ, S.H, M.HUM YANG TIDAK MEMBERIKAN HADIR MEMBERIKAN KETERANGAN DI PENGADILAN DAN KETERANGANNYA JUGA TIDAK DIBACAKAN,SDR JPU SECARA SENGAJA MEMASUKAN DALAM TUNTUTAN DENGAN CARA COPY PASTE SECARA UTUH KETERANGANNYA DARI BAP. Menjadi jelas jika penguraian fakta-fakta tidak utuh maka akan berpengaruh pada analisa unsur-unsur pasal sebagaimana dakwaan pertama, yakni analisa pembuktian jadi tidak berimbang dan bias jauh dari urgensi pengadilan ini tempat mencari kebenaran materiil yang sesungguhnya.

Bahwa untuk menguji kesimpulan Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan  Terdakwa telah terbukti serta sah dan meyakinkan  telah melakukan  tindak pidana sebagai orang yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara, jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP,  maka kami buktikan unsur-unsurnya dalam dakwaan,  yang kami uraikan secara lengkap sebagai berikut:

  1. Unsur Barang Siapa;
  2. Unsur Makar;
  3. Unsur dengan maksud/niat hendak;
  4. Unsur supaya seluruh atau sebagian Wilayah Negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara;
  5. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan;

 

Ad.1 Unsur Barang Siapa

Bahwa unsur Barang siapa disini adalah setiap orang sebagai subyek hukum yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu delik; yang dalam perkara ini JPU telah mengajukan Terdakwa                        BUCHTAR TABUNI yang telah dilakukan penyidikan, maupun telah diperhadapkan dalam proses pemeriksaan di persidangan terhadap dakwaan dan tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Bahwa untuk dapatnya suatu perbuatan dipertanggung jawabkan kepada Terdakwa, sangat diperlukan dan tergantung pada pembuktian unsur-unsur lain daripada pasal-pasal yang didakwakan

Dengan demikian UNSUR BARANG SIAPA, yang didakwa dan dituntut kepada Para Terdakwa  belum terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum, karena masih tergantung pembuktian unsur-unsur lainnya.

Ad.2. Unsur Makar

Bahwa di dalam penjelasan  KUHP tidak memberikan pengertian tentang makar, namun  dalam Kamus Hukum  karangan Yan Pramadya Puspa, hal 12 memberikan   pengertian MAKAR/ANSLAG adalah  “setiap perbuatan  yang bersifat  menyerang yang ditujukan  kepada Presiden atau wakilnya dengan maksud  hendak merampas  kemerdekaan  atau menjadikan  mereka  tidak berdaya  atau tidak  cakap memerintah”.   Sehingga  untuk memenuhi  unsur ini harus  ada tindakan  fisik  berupa  serangan terhadap  Pemerintah  yang berkuasa  dalam mewujudkan  unsur supaya wilayah  Negara  seluruhnya  atau  sebagian  jatuh ketangan musuh  atau dengan  maksud  untuk memisahkan  sebagian wilayah Negara dari yang lain.

Menurut R. Soesilo, (dalam KUHP serta Komentar-komentarnya, hal.109):

  1. Tentang “aanslaag” ( makar, penyerangan) lihat catatan pada pasal 87 dan 104)
  2. Obyek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah Negara

 Kedaulatan ini dapat dirusak dengan dua macam cara ialah dengan jalan:

  1. Menaklukkan daerah Negara seluruhnya atau sebagian  kebawah pemerintah Negara Asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan Negara Asing misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah Kalimantan (sebagian) diserahkan kepada Pemerintah Inggris, atau
  2. Memisahkan sebagian dari daerah Negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu Negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan Negara yang berdiri sendiri.

Dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Klsa IA Jayapura Nomor: 78/Pid.B/2009/PN.JPR, halaman 51 disebutkan : menimbang bahwa kata makar berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan Balai Pustaka berarti :

  1. Akal busuk ; tipu muslihat;
  2. Perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dsb.
  3. Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah

Bahwa jika pengertian makar di atas dikaitkan dengan fakta persidangan, dari keterangan saksi-saksi, bukti surat, barang bukti dan keterangan Terdakwa BUCHTAR TABUNI yang terungkap sebagai berikut:

Saksi Agus Kuswanto dan Djoko Trie Amboro adalah anggota polisi dari Tim Lidik Polda Papua yang  melakukan penangkapan terhadap Terdakwa dirumahnya pada tanggal 09 September 2019, Pukul 18.00 WIT (6 Sore), awalnya Para Saksi menerangkan tujuan Para Saksi ini untuk mencari Agus Kossay yang diduga berada di Asrama Rusunawa Perumnas III Uncen dalam rangka melakukan rapat bagi pembebasan terhadap tahanan, namun setelah melakukan penggeledahan peserta rapat yang berada  dilokasi tersebut membubarkan diri dan berlari keatas gunung Kamwolker dan Para Saksi melakukan pengejaran keatas gunung Kampwolker dan mendapatkan Terdakwa Buchtar Tabuni yang berada dirumahnya, setelah itu Para Saksi mengamankan Buchtar Tabuni, tetapi ketika hendak membawa terdakwa BUCHTAR TABUNI, ada sekelompok massa yang melakukan penyerangan dengan melempar kearah mobil. Saksi Steven Itlay sama sekali tidak mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Buchtar Tabuni, sedangkan Saksi Fanny Karel Laimena tidak kenal Terdakwa, tidak tahu organisasi KNPB, ULMWP dan AMP terdaftar di Kesbangpol atau tidak, karena untuk mendaftar di Kesbangpol tidak ada keharusan atau sifatnya sukarela.Keterangan-Keterangan Saksi-saksi ini jika dihubungkan dengan Ketangan Ahli yang diajukan oleh JPU dan barang bukti maka tidak ada korelasi, Terdakwa mempunyai barang bukti berupa hp, selain itu barang bukti berupa Laptop dan barang bukti lainnya bukanlah milik Terdakwa, begitupula dengan Ahli yang diajukan JPU baik Ahli Bahasa, Ahli Psikologi keterangan dari keahliannya tidak memiliki korelasi dengan perbuatan terdakwa, karena pada tanggal 09 September 2019, Pukul 18.00 WIT (6 Sore) di Kampwolker, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, peristiwanya bukan peristiwa makar, tetapi peristiwa penangkapan terhadap Terdakwa BUCHTAR TABUNI dirumahnya.

Saksi-saksi meringankan dari Terdakwa atas nama Pdt. Armin Kogoya, S.Th, dalam persidangan mengungkapkan Terdakwa Buktar Tabuni adalah tetangga saksi yang aktivitas sehari-hari berkebun dan beternak, pada saat penangkapan tanggal 09 September 2019, Saksi mengajak Terdakwa untuk berkebun yang letaknya kurang lebih 200 meter dari rumah, namun karena mendengar polisi yang mendatangani rumah terdakwa, terdakwa tidak jadi berkebun, keterangan saksi ini bersesuaian juga dengan keterangan Terdakwa didukung pula dengan keterangan Saksi JPU atas nama Agus Kuswanto dan Joko Amboro yang menjelaskan mereka melakukan penangkapan terhadap terdakwa Buktar Tabuni di daerah Kampwolker sebelumnya mereka hendak mencari Agus Kossay yang diduga sedang melakukan rapat di Asrama Rusunawa berkaitan dengan pembebasan tahanan yang ditahan kaitan dengan demo anti rasis. Keterangan Saksi-Saksi tersebut bersesuaian juga dengan keterangan Saksi Laurens Kadepa yang menjelaskan pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 saat demo menolak rasisme di Surabaya, saksi sebagai anggota DPRP terlibat dalam aksi tersebut, saksi tidak melihat Terdakwa Buchtar Tabuni terlibat dalam kedua aksi tersebut, demo anti rasis tersebut dikoordinir BEM Se-Kota Jayapura dan diikuti secara spontan lebih dari 1000 komponen masyarakat yang ada di Papua, baik masyarakat asli Papua, non Papua dan kelompok Cipayung, inti dari aksi tolak rasisme tersebut yang dibacakan oleh penanggung jawab dan diserahkan kepada Gubernur Papua adalah 1).Stop rasisme, intimidasi dan persekusi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Makassar, Ambon dan Daerah lainnya, 2).Tangkap dan adili pelaku rasisme Ahli HTN dari Terdakwa/Penasehat Hukum telah memperkuat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa bukanlah Makar, apalagi penangkapan terhadap Terdakwa Buchtar Tabuni ini sebagai dampak dari demo anti rasisme, sama sekali tidak dapat di kategorikan sebagai Makar, Ahli HTN HTN Dr.Herlambang R.Wiratraman, S.H menjelaskan demo damai menentang rasisme, termasuk jika didalamnya ada teriakan yel-yel Papua Merdeka, Referendum dan Penentuan Nasib Sendiri merupakan kebebasan berekpresi yang dijamin oleh Deklarasi Umum HAM, Konvesi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sangat bias jika dikaitkan dengan makar, hal ini diperkuat oleh Ahli Pidana atas nama Anugerah Rizki Akbari, S.H., M.Sc yang menjelaskan Makar itu sesuai dengan teks aslinya adalah Aanslag menyerang secara fisik, jadi tidak bisa dikaitkan dengan demo anti rasisme, teriakan yel-yel Papua Merdeka, Referendum, Penentuan Nasib Sendiri hingga kepemilikan dokumen yang berkaitan dengan Papua Merdeka, sedangkan Ahli Politik dan Resolusi Konflik atas nama Dr.Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc, menjelaskan ada konflik di Papua yang dipetakan oleh LIPI dalam Buku Papua Road Map, yakni 1). Diskriminasi dan Marjinalisasi Orang Papua, 2).Kegagalan Pembangunan, 3). Pelanggaran HAM, 4).Sejarah masa lalu Papua, Ahli Rasisme atas nama Dr.Benny Giay menjelaskan ada persoalan rasisme sebelum Zaman Belanda 1950 an, saat 1963, Pepera hingga saat ini telah terjadi praktek-praktek rasisme terhadap Orang Asli Papua dan tidak pernah diselesaikan secara serius oleh Negara, solusi yang ditawarkan ahli adalah penyelesaian Papua tidak bisa diselesaikan dengan proses hukum dengan pidana Makar, tetapi lebih mengedepankan keadilan bagi masyarakat Papua dengan cara Dialog untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di Papua.

Maka UNSUR MAKAR yang didakwakan kepada Terdakwa BUCHTAR TABUNI tidak terpenuhi dan karenanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Ad.3. Unsur dengan maksud/niat hendak;

Bahwa  perkataan “dengan maksud” adalah terjemahan dari perkataan “met het oogmerk”, sehingga opzet di dalam kejahatan (pasal 106 KUHP) INI HARUSLAH DITAFSIRKAN dalam arti sempit atau semata-mata sebagai “Opzet als oorgmerk”. Bahwa yang dimaksud dengan unsur “DENGAN MAKSUD” oleh pembuat Undang-undang sebagaimana yang dijelaskan dalam Memori van toelicting adalah sebagai indikator apakah dalam suatu tindakan tersebut ada unsur kesengajaan atau opset.  Bahwa menurut memori van toelicting unsur kesengajaan terbukti apabila dikehendaki  dan mengerti akibat dari perbuatannya in casu kehendak dan mengerti akibat perbuatan dimaksud harus bersesuaian dengan unsur-unsur pasal yang lain seperti pasal makar dan unsur memisahkan diri sebagian atau seluruhnya hal yang tidak bersesuaian dengan unsur pasal lain tersebut maka tidak dapat dikatakan sebagai unsur dengan maksud, sesuai fakta persidangan yang didapat dari keterangan saksi Pdt,Armin Kogoya, Sth dan Keterangan Terdakwa sendiri, yang menerangkan SAAT ITU MEREKA HENDAK PERGI KEKEBUN YANG JARAKNYA SEKITAR 200  METER, NAMUN KARENA TEMPAT TINGGAL MEREKA TELAH DIDATANGI OLEH POLISI MAKA NIAT MEREKA UNTUK KEKEBUN DIBATALKAN, TIDAK ADA KEGIATAN TERDAKWA YANG BERKAITAN DENGAN RAPAT-RAPAT ATAU PERBUATAN YANG BERKAITAN DENGAN GERAKAN PAPUA MERDEKA, SEDANGKAN SAKSI LAURENS KADEPA MENJELASKAN PADA AKSI DEMO MENENTANG RASISME TANGGAL 19 AGUSTUS 2019 DAN 29 AGUSTUS 2019, SAKSI TIDAK MELIHAT TERDAKWA HADIR SEBAGAI PENANGGUNG JAWAB, ORATOR MAUPUN PESERTA DEMO.

Dari uraian kami tersebut diatas maka UNSUR DENGAN MAKSUD/NIAT HENDAK yang didakwakan dan dituntut pada Terdakwa BUCHTAR TABUNI tidak terpenuhi dan karenanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Ad.4.Unsur Supaya seluruh atau sebagian Wilayah Negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara

Pengertian “supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara”, menurut R. Soesilo, “merupakan perbuatan kekerasan fisik yang bersifat menyerang yang menyebabkan terpisahnya negara atau yang dapat menyebabkan terpisahnya negara”.

Bahwa maksud unsur ini adalah adanya tindakan Terdakwa BUCHTAR TABUNI untuk memisahkan sebagian wilayah Negara atau seluruhnya jatuh ketangan musuh atau kekuasaan asing atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah Negara dari yang lain.

Bahwa sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan melalui keterangan para saksi, keterangan ahli, bukti surat, barang bukti dan keterangan Terdakwa diperoleh fakta-fakta persidangan sebagai berikut:

  • Proses Hukum terhadap Terdakwa Buchtar Tabuni, berkaitan erat sangkaan makar pada tanggal 09 September 2019, Pukul 18.00 WIT bertempat di Kampwolker, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, Kota Jayapura;
  • Awalnya Tim dari Polda Papua mencari Agus Kossay yang diduga berada di Asrama Rusunawa Perumnas III Uncen dalam rangka melakukan rapat bagi pembebasan terhadap tahanan, namun setelah melakukan penggeledahan peserta rapat yang berada dilokasi tersebut membubarkan diri dan berlari keatas gunung Kamwolker dan Para Saksi melakukan pengejaran keatas gunung Kampwolker dan mendapatkan Terdakwa Buchtar Tabuni yang berada dirumahnya, setelah itu Para Saksi mengamankan Buchtar Tabuni;
  • Saat Itu Terdakwa Buchtar Tabuni Bersama Pdt.Armin Kogoya, S.Th Hendak Pergi Kekebun Yang Jaraknya Sekitar 200 Meter, Namun Karena Tempat Tinggal Mereka Telah Didatangi Oleh Polisi Maka Niat Mereka Untuk Kekebun Dibatalkan, Tidak Ada Kegiatan Terdakwa Yang Berkaitan Dengan Rapat-Rapat Atau Perbuatan Yang Berkaitan Dengan Gerakan Papua Merdeka, Sedangkan Saksi Laurens Kadepa Menjelaskan Pada Aksi Demo Menentang Rasisme Tanggal 19 Agustus 2019 Dan 29 Agustus 2019, Saksi Tidak Melihat Terdakwa Hadir Sebagai Penanggung Jawab, Orator Maupun Peserta Demo;
  • Aktivitas Terdakwa sehari-hari adalah beternak dan berkebun untuk mememenuhi kebutuhan keluargannya.

Dengan demikian Unsur Supaya seluruh atau sebagian Wilayah  Negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah Negara yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum.

 Ad.5.Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan

Bahwa bunyi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah sebagai berikut: “Dipidana sebagai pembuat, suatu perbuatan pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan

Bahwa dari 2 (dua) orang saksi  polisi AGUS KUSWANTO, DJOKO TRIE AMBORO yang melakukan penangkapan terhadap Terdakwa BUCHTAR TABUNI serta Saksi Pdt.Armin Kogoya, S.Th yang menerangkan saat terdakwa BUCHTAR TABUNI ditangkap hanya terdakwa sendiri yang ditangkap dan di bawa ke Mako Brimob Polda Papua tidak ada terdakwa lain, begitupula saat penangkapan, terdakwa tidak sedang melakukan aktifitas berkaitan dengan Papua Merdeka atau Demo Anti Rasisme, yang Terdakwa lakukan bersama Saksi Pdt.Armin Kogoya, S,Th adalah berencana kekebun untuk menanam demi kebutuhan hidup sehari-hari, tidak ada kaitan aktifitas Terdakwa dengan Agus Kossay, Viktor Yeimo atau aktivis lainnya berkaitan demo anti rasisme yang dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 di Jayapura.

Dengan demikian Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan perbuatan, yang didakwakan dan dituntut kepada Terdakwa BUCHTAR TABUNI tidak terpenuhi dan karenanya Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Dengan tidak terbuktinya salah satu unsur dari dakwaan saja, maka dianggap secara hukum tindak pidana yang didakwakan KEPADA TERDAKWA BUCHTAR TABUNI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

 

V. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN

Majelis Hakim yang terhormat,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

Sdr.Panitera yang kami hormati,

Hadirin yang juga kami hormati,

Bertumpuh pada paparan kondisi obyektif yang terungkap dalam persidangan yang dialami oleh Terdakwa BUCHTAR TABUNI, dan telah kami uraikan di atas, maka kami Penasehat Hukum  Terdakwa  berkesimpulan bahwa Terdakwa Tidak melakukan dugaan tindak pidana sebagai orang yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan serta melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara, jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah Negara, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP, karenanya kami mohon kepada Majelis Hakim yang memimpin persidangan ini memutuskan Membebaskan Terdakwa BUCHTAR TABUNI dari Dakwaan dan Tuntutan Pidana Serta Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum Merehabilitasi Nama Baik Terdakwa.

Namun demikian bila Majelis Hakim berpendapat/berkeyakinan lain, maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya, mengingat tujuan penjatuhan pidana bukanlah pembalasan dendam atau penjeraan tetapi bertujuan mendidik dengan memberi kesempatan terhadap orang tersebut memperbaiki tingkah lakunya di tengah-tengah pergaulan masyarakat.

 

VI.PENUTUP

Hari ini dihadapan Pengadilan yang terhormat, kita yang hadir beserta semua orang yang prihatin terhadap ketidakadilan berharap inilah proses hukum untuk menyatakan kepada Terdakwa BUCHTAR TABUNI dan Seluruh Rakyat Papua keadilan masih ada di Negeri ini

Semoga Tuhan Yang Maha Adil senantiasa memberi petunjuk dan keteguhan iman kepada Majelis Hakim dalam memutus perkara ini.

 

Balikpapan, 09 Juni 2020

 

Hormat Kami

KOALISI PENEGAKAN HUKUM DAN HAM PAPUA

PENASEHAT HUKUM TERDAKWA,

 

EMANUEL GOBAY, S.H, M.H;

 

GANIUS WENDA, S.H, M.H;

 

YULIANA YABANSABRA, S.H;

 

WEHELMINA MORIN, S.H;

 

BERNARD MARBUN, S.H;

 

NI NYOMAN SURATMININGSIH, S.H;

 

FATHUL HUDA WIYASHADI, S.H;

 

LATIFAH ANUM SIREGAR, S.H, M.H

 

GUSTAF R.KAWER, S.H, M.Si;

Catatan redaksi: Isi pledoi ini sesuai dengan berkas pledoi yang diterima Jubi dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM, namun formatnya mengalami perubahan karena ditampilkan dalam bentuk teks. Naskah pledoi dalam bentuk PDF dapat diunduh di Pledoi BUCHTAR TABUNI.

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Reply