Pledoi 7 Tapol Papua: Pledoi lengkap Alexander Gobay

Tapol Papua
Tim penasihat hukum saat mengunjungi tujuh tahanan politik Papua di Kaltim - Jubi. Dok
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan di Kalimantan Timur akan membacakan putusan bagi para Tahanan Politik atau Tapol Papua yang diadili dalam perkara makar pada Rabu (17/6/2020) pekan ini. Publik di Papua tengah menunggu, bagaimana majelis hakim akan mengadili dan memutus perkara ketujuh mahasiswa dan aktivis yang ditangkap dan diadili pasca gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Ketujuh Tapol Papua yang diadili di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan itu adalah Wakil Ketua II Badan Legislatif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Buchtar Tabuni, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Kossay, Ketua KNPB Mimika Steven Itlay, Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alexsander Gobai, serta Feri Bom Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin.

Read More

Dalam  persidangan yang digelar PN Balikpapan pada 2 Juni 2020 dan 5 Juni 2020, JPU menuntut tujuh Tapol Papua dengan pasal makar dan meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Buchtar Tabuni dituntut hukuman balik berat, 17 tahun penjara. Sementara Steven Itlay dan Agus Kossay 15 masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexsander Gobai dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok masing-masing dituntut hukuman lima tahun penjara.

Dalam persidangan yang berlangsung pada 11 Juni 2020 lalu, Tim Penasehat Hukum Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua telah membacakan pledoi bagi Alexander Gobay, yang berjudul “Mengadili Korban Konspirasi Negara Pasca Demonstrasi Menentang Rasisme”. Berikut isi lengkap pledoi Alexander Gobay:

NOTA PEMBELAAN

PENASEHAT HUKUM

“MENGADILI KORBAN KONSPIRASI NEGARA PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME”

DALAM PERKARA PIDANA

NOMOR :31/PID.B/2020/PN-Bpp

ATAS NAMA TERDAKWA :

ALEXANDER GOBAY

Yang Didakwa :

<

p style=”text-align: center;”>Pasal 110 Ayat (1) Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP


Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

DIAJUKAN OLEH :

TIM PENASEHAT HUKUM

KOALISI PENEGAK HUKUM DAN HAM PAPUA

DI PENGADILAN NEGERI BALIKPAPAN

BALIKPAPAN

2020

 

Nota Pembelaan Penasehat Hukum

“MENGADILI KORBAN KONSPIRASI PASCA-DEMONSTRASI MENENTANG RASISME”

Dalam Perkara Pidana Nomor :31/Pid B/2020/PN.Bpp

AtasNamaTerdakwa:

ALEXANDER GOBAY

Yang Didakwa :

Pasal 110 Ayat (1) Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP

Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Di Pengadilan Negeri Balikpapan

 

I. PENDAHULUAN

Majelis Hakim yang terhormat,
Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Hadirin sidang sekalian yang berbahagia.

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan Rahmat Nya kepada kita semua, sehingga persidangan pada hari ini, pada pada acara pembacaan Pledoi. Kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang Terhormat Majelis Hakim yang telah melakukan pemeriksaan dalam perkara ini secara arif dan bijaksana sehingga akan diketahui fakta-fakta sebenarnya terjadi yang akan dijadikan dasar oleh Majelis Hakim untuk memutus Perkara ini.

Demikian pula pada Jaksa Penuntut Umum, kami berikan penghargaan yang setinggi-tingginya karena telah berupaya menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya, dalam perkara ini guna dan untuk menemukan kebenaran formil dan materil dari hukum pidana ke arah tercapainya prinsip dan tujuan hukum serta tegaknya keadilan. Hal yang sama kami sampaikan pula kepada Panitera Pengganti yang telah mencatat seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Bahwa pada persidangan hari kamis tanggal 4 Juni 2020 sdr. Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan Tuntutan Pidana kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Balikpapan yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar memutuskan:

  1. Menyatakan Terdakwa ALEXANDER GOBAY bersalah melakukan tindak pidana “yang melakukan perbuatan, Makar“, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 110 Ayat (1) Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dalam Surat Dakwaan Kesatu
  2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa ALEXANDER GOBAY dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) Tahun dengan dikurangi selama terdakwa menjalani masa penahanan sementara. Dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
  3. Menyatakan barang bukti berupa: 45
    • 1 (satu) lembar KTP elektronik An. ALEXSANDER GOBAI;
    • 1 (satu) lembar KTP Nasional An. ALEXANDER GOBAI; Dikembalikan kepada Terdakwa
    • 1 (satu) buah Hardisk warna hitam merk Toshiba;
    • 1 (satu) buah Flash Disc Warna Abu-abu;
    • 1 (satu) buah ATM Bank Papua No. 6038 4432 0125 4476;
    • 1 (satu) buah ATM Bank BNI No. 1946 3426 8008 6536;
    • 1 (satu) unit HP Merk Samsung Type GT – E1272 warna hitam;
    • 1 (satu) buah Buku Agenda Pribadi milik ALEXSANDER GOBAI. Dirampas Untuk Dimusnahkan.
    • 7 (tujuh) Unit Komputer Lenovo;
    • 1 (satu) Unit Komputer Asus;
    • 1 (satu) Unit Komputer Samsung;
    • 1 (satu) Unit Komputer Acer;
    • 2 (dua) Unit Komputer Hp;
    • 2 (dua) Unit Komputer Dell;
    • 2 (dua) Unit Printer Hp Laserjet P1102;
    • 2 (dua) Unit Printer Canon Pixma;
    • 1 (satu) Unit Printer Epson;
    • 2 (dua) buah Keyboard Acer;
    • 1 (satu) buah Keyboard Logitech;
    • 1 (satu) buah Keyboard Asus;
    • 7 (tujuh) buah Keyboard Lenovo;
    • 2 (dua) unit Cpu Dell;
    • 8 (delapan) buah Mouse Lenovo;
    • 1 (satu) buah Mouse HP;
    • 2 (dua) buah Mouse Acer;
    • 1 (satu) buah Mouse Logitech;
    • 1 (satu) buah Mouse Votre;
    • 1 (satu) buah Charger Laptop Hipro;
    • 2 (dua) buah Charger Laptop Asus;
    • 1 (satu) buah Charger Laptop HP;
    • 4 (empat) buah Charger Komputer Lenovo;
    • 2 (dua) buah Kabel Power Komputer;
    • 2 (dua) buah Kabel Data Komputer;
    • 5 (lima) buah Kabel Printer;
    • 2 (dua) buah Kabel Roll;
    • 1 (satu) buah Tape Compo Polytron;
    • 1 (satu) buah Setelan Suara Mic Behringer Uphorio Umc 22;
    • 1 (satu) buah Amplifier Uhf;
    • 1 (satu) buah Digital Video Recorder Ahd;
    • 1 (satu) buah Wireless In Router Wifi Asus;
    • 1 (satu) buah Wifi Zte;
    • 1 (satu) buah Terminal Wifi 3com;
    • 1 (satu) buah Memory CPU;
    • 1 (satu) buah Mic Duduk Anysong;
    • 1 (satu) buah Charger Battery Nikon;
    • 1 (satu) buah Mic Megaphone;
    • 2 (dua) buah Kalkulator Casio;
    • 1 (satu) buah Kamera CCTV Hikvision;
    • 1 (satu) buah Buku Kerja 2018 Prov. Papua;
    • 1 (satu) buah Speaker Bluetooth Kecil;
    • 2 (dua) Roll Kain Warna Cokelat Korpri;
    • 27 (dua puluh tujuh) buah Ikat Pinggang Kecil Korpri;
    • 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias;
    • 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias Salib;
    • 11 (sebelas) bauh Tas;
    • 1 (satu) unit Sepeda Motor Honda; 46
    • 1 (satu) buah Kunci Ring;
    • 1 (satu) buah Rangkaian Gantungan Kunci;
    • 1 (satu) buah Obeng Plat;
    • 1 (satu) buah Parang / Pisau;
    • 2 (dua) buah Tombak Kayu Panjang;
    • 4 (empat) buah Busur;
    • 36 (tiga puluh enam) buah Anak Panah;
    • 47 (empat puluh tujuh) buah Batu;
    • 58 (lima puluh delapan) buah Besi + Pipa;
    • 47 (empat puluh tujuh) buah Ketapel;
    • 6 (enam) buah Pecahan Kaca;
    • 5 (lima) batang Potongan Kayu. Dipergunakan dalam perkara yang lain
  1. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah).

Nota Pembelaan (Pledoi) yang diajukan tim Penasehat Hukum terhadap Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukanlah suatu yang hendak membela kesalahan terdakwa tetapi melainkan suatu ikhtiar hukum agar sebelum yang Terhormat Majelis Hakim memberi putusan telah mendapatkan keterangan, gambaran, bukti-bukti dan segala sesuatu tentang peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa yakni Tindak pidana “Makar” sebagaimana dimaksud dalam DAKWAAN KESATU melanggar Pasal 110 KUHP Jo 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

 

II. DASAR HUKUM PENGAJUAN PEMBELAAN/PLEDOI

Bahwa Tuntutan Pidana dan Pledoi (Pembelaan) pada dasarnya merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pemeriksaan perkara. Bahwa berdasarkan ketentuan hukum Acara Pidana Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP, maka kepada terdakwa dan atau Penasihat Hukum terdakwa diberikan hak untuk mengajukan Pledoi (Pembelaan) atas Tuntutan Pidana yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Dalam kesempatan ini perlu kami tegaskan, karena pada hakikatnya pengajuan Pledoi (Pembelaan) ini bukanlah bertujuan untuk melumpuhkan dakwaan dan Tuntutan Pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,akan tetapi perbedaan argumentasi, prinsip dan pandanganlah yang menimbulkan kesenjangan diantara kedua misi yang diemban, namun semuanya itu bermuara pada kesamaan tujuan yaitu usaha dan upaya melakukan penegakan hukum serta keinginan untuk menemukan kebenaran hukum.

 

III. LATAR BELAKANG KASUS/PERMASALAHAN DI PAPUA

 

  1. Aksi Rasisme terhadap Orang Papua

Bahwa sejarah panjang perilaku rasisme terhadap orang Papua sudah terjadi sejak sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI. Salah satu contoh dari sekian banyak contoh adalah peristiwa rasisme tanggal 16 Agustus 2019 dan 17 Agustus 2019 terhadap Mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya. Aksi yang sama juga terjadi di Jogja, Malang dan beberapa kota lainnya di Indonesia. Perilaku penghinaan dan perlakuan kejam yang tidak manusiawi ini dilakukan oleh masyarakat setempat, aparat sipil negara dan aparat keamanan. Bahkan respon yang dilakukan oleh aparat keamanan ketika memasuki asrama Kamasan sangat berlebihan hingga melahirkan tindakan represif dan teror. Aksi rasisme bukan saja terjadi di asrama mahasiswa tetapi juga di pemukiman lainnya yang di huni oleh mahasiswa Papua bahkan terjadi hampir di setiap aktifitas dimana orang Papua hadir didalamnya, contohnya ketika pertandingan bola, dimana orang Papua telah diteriaki dengan kata-kata bernada rasis.

 

  1. Munculnya Aksi Menolak Rasis di Papua

Aksi rasisme pada Agustus 2019 yang terjadi di beberapa kota di Indonesia telah menimbulkan protes dan kemarahan dari orang Papua di seluruh kota yang ada di Papua dalam bentuk Aksi Anti Rasisme. Aksi ini didukung oleh berbagai komponen masyarakat sipil di Papua terutama BEM Se Jayapura dan kelompok Cipayung (PMGKRI, GMKI, HMI dan GMNI). Peristiwa tersebut merupakan reaksi terhadap aksi rasis yang dialami. Sekaligus reaksi atas perilaku diskriminasi dan ketidakadilan lainnya yang telah dialami oleh orang Papua dalam berbagai aspek dengan kurun waktu yang sangat panjang yakni sejak integrasi tahun 1963. Aksi anti rasisme juga sebagai bentuk desakan terhadap pemerintah terkait implementasi UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis namun dijawab oleh pemerintah dengan cara menambahkan pasukan keamanan baik Polri/Brimob maupun TNI ke berbagai wilayah Papua hingga sebanyak 6000 orang dalam kurun waktu Agustus sampai dengan desember 2019 sebagaimana pernyataan Kapolri Tito Carnavian. (Baca : https://www.suara.com/news/2019/09/01/095904/6000-tentara-dan-polisi-terjun-kepapua-kapolri-kalau-kurang-tambah-lagi).

Pada saat menjelang aksi sejumlah masyarakat sipil termasuk kelompok pemuda, mahasiswa, tokoh adat, tokoh agama dan perempuan sepakat menentang perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi tersebut dalam bentuk aksi atau demonstrasi. Dalam rangka mempersiapkan sejumlah aksi tersebut, komponen mahasiswa yang berperan sebagai koordinator aksi dari aspirasi masyarakat sipil khususnya orang Papua yang menjadi korban rasis melakukan pertemuan guna mempersiapkan aksi agar tetap fokus untuk menolak aksi rasis yang telah terjadi dan agar aksi menolak rasis berlangsung aman dan tertib, sebagaimana notulensi yang telah dihasilkan pada pertemuan dan Pernyataan yang diserahkan kepada Gubernur Papua.

Aksi menolak rasis yang berlangsung pada tanggal 19 Agustus 2019 berlangsung aman, bahkan gubenur dan sejumlah perangkat pemerintah di provinsi Papua menerima massa aksi saat berada di kantor Gubernur, Gubenur juga merespon dengan mengatakan Saya berterima kasih kepada mahasiswa tidak melakukan anarkis, tidak boleh terprovokasi. Kita manusia bermartabat.” (Baca : Pernyataan gubernur Papua di depan massa aksi,kantor gubernur 19 Agustus 2019. Sumber: kompas.com tanggal 19 Agustus 2019).

Aksi menolak rasis yang kedua, dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2019, untuk mendesak pemerintah karena terkesan masih lambat dalam menangani tindakan rasis yang dialami oleh orang Papua. Sebelumnya dilakukan pertemuan diantara kelompok mahasiswa dengan maksud yang sama seperti aksi pertama tanggal 19 Agustus 2019 yakni agar aksi berjalan aman dan tertib. Namun Ketika aksi tanggal 29 Agustus 2019 berlangsung anarkis dengan sejumlah aksi pembakaran dan pengrusakan serta penjarahan, jelas bukan karena perbuatan, peran atau tanggungjawab terdakwa sebab sejak awal terdakwa ALEXANDER GOBAY bersama terdakwa lainnya (dilakukan penuntutan secara terpisah) telah melakukan komunikasi diantara kelompok mahasiswa dalam rangka mencegah aksi berlangsung anarkis. Pada aksi tanggal 29 Agustus 2019, sikap aparat berbeda dalam mengawal aksi, massa terakumulasi pada banyak titik, hal yang sebelumnya tidak pernah terjadi karena biasanya aparat dengan cepat menangani kerumunan massa hingga mampu mengurai massa. Selain itu ada keterlibatan pihak lain yang menyebabkan situasi menjadi tidak terkendali dan anarkis, massa aksi bertambah banyak, muncul dari berbagai titik jalan atau pemukiman penduduk. Beberapa diantara telah berusaha dicegah oleh terdakwa agar tidak melakukan tindakan anarkis. Mengenai keterlibatan pihak lain, banyak yang sudah menyuarakannya (baca: https://www.beritasatu.com/nasional/573245-lukas-enembe-nyatakan-demo-massa-di-papua-yang-tunggangi), sayangnya hingga saat ini aparat kepolisian tidak melakukan penyelidikan. Hingga akhirnya terdakwa dijadikan tumbal atau dikriminalisasi atau peristiwa tersebut.

 

  1. Penerapan Pasal Makar Terhadap Massa Aksi

Penerapan pasal makar atau delik kejahatan terhadap keamanan negara dalam konteks berkumpul dan menyampaikan pendapat di Papua khususnya terkait aksi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 adalah salah satu bentuk arogansi dari negara karena bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum. Terdakwa ALEXANDER GOBAY dan terdakwa lainnya (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) telah mengalami kriminalisasi dan stigma bahkan mendahului proses hukum yang sedang berjalan. Mereka mengalami penyiksaan saat penangkapan dan pemeriksaan awal serta dipindahpaksakan dengan alasan keamanan. Kemudian dikenakan tuntutan pidana yang sangat tinggi oleh JPU. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi baru di Asia maka sudah seharusnya meninggalkan gaya lama ini. Bahkan di era pemerintahan persiden Gus Dur, ekspresi itu diberi ruang: bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan asalkan tidak lebih besar dan lebih tinggi dari bendera merah putih, namun mengapa sekarang demokrasi Indonesia bergerak mundur ? Bahkan mekanisme demokrasi yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum telah dilanggar oleh aparat kepolisian karena aparat kepolisian memaksa melakukan tindakan yang tidak pernah ada di dalam aturan tersebut yakni setiap aksi massa harus mendapatkan ijin dari kepolisian padahal pasal dari UU tersebut menyatakan bahwa yang harus disampaikan ke kepolisian adalah Pemberitahuan bukan permohonan ijin kepada pihak kepolisian dan pihak kepolisian WAJIB menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). Tidak ada satu katapun dalam UU tersebut yang menyebut kata ijin apalagi yang memberikan kewenangan kepada aparat kepolisian untuk memberikan ijin. Hal ini membuktikan kriminalisasi dan stigma yang sudah dibangun sejak awal terhadap orang Papua. Jelas melanggar prinsip-prinsip kerja yang  professional dan taat aturan.

Disadari bahwa penerapan pasal makar terhadap orang Papua tidak pernah mengurangi semangat orang Papua untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Diskusi dan teriakan Yel-yel Papua merdeka akan selalu ada di berbagai ruang dan waktu, baik dalam seminar, diskusi, karya buku, wawancara apalagi aksi-aksi kebebasan berekspresi. Simbol Bintang Kejora diekspresikan dalam berbagai bentuk seperti bendera, baju, tas, gelang, makanan ataupun bentuk lain. Orang Papua akan mencari dan menemukan berbagai media untuk mengekspresikan itu. Proses hukum tidak akan efektif dalam menghentikan sikap rakyat Papua untuk terus berkumpul, berekspresi dan menyampaikan pendapatnya. Proses hukum hanya untuk menghalau asap tapi atau merespon dinamika tetapi bukan mengatasi bara api yang terus menyala. Peradilan selalu menjadi ajang uji coba untuk itu, ironisnya, selalu gagal dalam mencapai tujuannya bahkan tuntutan dan putusan yang tidak adil makin meningkatkan resistensi perlawanan terhadap kehadiran negara di Papua.

 

  1. Otonomi Khusus dan Penyelesaian Akar Masalah di Papua

Bahwa pemerintah Indonesia memberikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua (UU Otsus Papua) sebagai kompromi politik karena orang Papua minta merdeka oleh karenanya pemerintah pun memberikan dengan terpaksa untuk memadamkan aspirasi Papua Merdeka yang muncul setelah sejumlah aksi penangkapan di berbagai tempat di Papua termasuk penangkapan 5 tokoh Presidium Dewan Papua(PDP) setelah Kongres Papua tahun 2000.

Di dalam konsideran huruf f, UU Otsus Papua disebutkan’’ bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; namun sejumlah bentuk perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap eksistensi orang asli Papua hanyalah ‘cek kosong’ yang tidak pernah ditunaikan bahkan diaborsi satu persatu lewat berbagai aturan atau kebijakan yang salah secara asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan.

Buktinya justru selama UU Otsus Papua aksi penangkapan dan penahanan meningkat. Ruang-ruang berekspresi, menyampaikan pendapat dan berserikat dihadang oleh barikade aparat dan sejumlah Maklumat. Pemerintah mengatakan untuk Papua dilakukan pendekatan kesejahteraan tapi prakteknya adalah pendekatan keamanan. Hak atas keselamatan masyarakat sipil makin terabaikan, siapapun bisa menjadi korban. Pemenuhan hak-hak dasar tetap buruk terbukti dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih berada diposisi kunci dari klasemen IPM di Indonesia.

Penegakan hukum selalu dijadikan ancaman untuk menjaga kepentingan kekuasaan. Hal ini mengingatkan kita pada sejarah peradilan kolonial yang menjadikan hukum sebagai jubahnya penguasa. Trik pemerintah dengan melempar salah kepada orang Papua yang duduk di pemerintahan tidaklah tepat apalagi ketika semua otoritas masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Ini soal buruknya manajemen pemerintah bukan karena kegagalan orang Papua dalam melaksanakan UU Otsus. Orang Papua seperti dikasih casing ‘made in orang asli Papua’ tapi sebenarnya substansi dan eksistensinya dihilangkan, karena itu siapapun tidak boleh terjebak dalam doktrin politik casing.

Salah satu bagian penting di dalam UU Otsus Papua adalah pasal 2 mengenai Lambang-Lambang, dimana rakyat Papua diperbolehkan untuk memiliki bendera daerah dan lagu daerah. Ketakutan pemerintah atas apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh UU-nya menyebabkan pemerintah kehilangan akal sehat, tidak peduli terdapat kekeliruan asas dan hirarki dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam implementasinya, seperti ketika Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah untuk menghalau simbol atau bendera Bintang Kejora berkibar.  Pemerintah juga mengeluarkan UU Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu Kebangsaan yang memuat sanksi terhadap berbagai tindakan pelanggaran terhadap bendera merah putih. Ironisnya, dalam prakteknya dugaan pelanggaran terhadap simbol dan ikon-ikon negara Indonesia malah menggunakan pasal makar. Padahal di Buku II KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara tidak ada satu pasal pun memuat pelanggaran atau tindak pidana terkait simbol atau bendera. Kondisi ini menunjukkan stigma terhadap orang Papua mendahului kebijakan atau hukum apapun yang hendak dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat Papua.

Kegagalan dalam membangun persepsi tentang Papua, haruslah diakhiri dengan memahami akar persoalan di Papua. Dimana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) di dalam buku Papua Road Map terbitan tahun 2009 telah menyebutkan ada 4 (empat) akar masalah di Papua, yang intinya adalah: 1). Perdebatan soal integrasi Papua atau pelurusan sejarah Papua 2). Pelanggaran HAM 3). Kegagalan Pembangunan dan 4) Marginalisasi dan Diskriminasi. Untuk itu LIPI bersama Jaringan Damai Papua (JDP) yang terbentuk pada 06 Januari 2010 dan telah melakukan Konsultasi Publik diantara orang Papua dan non Papua di kota-kota se Tanah Papua; melakukan sejumlah pertemuan eksploratif dengan perwakilan pemerintahdanrakyat Papua secara informal di beberapa kota di Indonesia sertaKonferensiPerdamaian Papua(KPP) tahun 2011 yang dihadiri oleh berbagai stake holders telah menawarkan pemerintah untuk memulai membuka dialog yang inklusif dengan rakyat Papua untuk Papua yang lebih adil dan bermartabat.

 

IV. FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN

a. KETERANGAN SAKSI-SAKSI

  1. Keterangan Saksi A Charge
    1. Saksi MUHAMMMAD ALI. Umur 31 tahun. Lahir diJayapura, tanggal 5 Maret 1984. Jenis kelamin Laki-laki. Pekerjaan Polri. Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Tanah Hitam Kamkey Kec. Abepura. Dibawah sumpah,pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
      • Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani bersedia memberikan keterangan sebenar-benarnya kepada pemeriksa;
      • Bahwa saksi tahu kejadian aksi tanggal 29 Agustus 2019 sekitar pukul 08.00 WIT di Kota Jayapura, dimulai dari Waena sampai dengan kantor Gubernur dok II. Aksi tersebut di pimpin oleh ALEXANDER GOBAY sebagai Korlap umum dan beberap rekan BEM yang terlibat sebagai korlap di beberapa titik;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi melakukan pengamanan tertutup bersama rekan-rekan Opsnal Polres Jayapura kota dan anggota Dalmas Polda Papua dan Sdr. HEPPYE SALAMPESI rekan Opsanal Ditreskrimum Polda papua;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 sekitar pukul 09.00 Wit melakukan pengamanan aksi di Abepura karena massa aksi berjalan kaki menuju Kota Jayapura sehingga saksi mengikuti massa yang melaksanakan aksi tersebut, sepanjang jalan yang dilalui massa aksi yaitu dari Abepura,Entrop, Hamadi sampai Kota Jayapura, saksi melihat massa melakukan pengrusakan dan pembakaran bangunan yang berada di pinggir jalan.
      • Bahwa ada kelompok KNPB yang ikut dalam Aksi yang di laksanakan pada tanggal 29 Agustus 2019 tersebut, dan mereka bersama-sama dengan BEM USTJ, BEM UNCEN dan BEM perguruan tinggi yang ada di kota Jayapura;
      • Bahwa saksi menerangkan bahwa bahwa Aksi tersebut tidak memiliki ijin dari pihak kepolisian tetapi penyelenggara BEM USTJ memaksa untuk tetap unjuk rasa karena pihak penyelenggara dari BEM USTJ sebelumnya membagi selebaran untuk aksi dan menggunakan moment kata Monyet;
      • Bahwa sebelum aksi tanggal 29 Agustus 2019 pada tanggal 19 Agustus 2019 di laksanakan aksi  pertama dan aspirasi sudah di terima Gubernur dan yang memimpin Aksi pertama KETUA BEM UNCEN saudara FERY KOMBO. Pada tanggal 29 Agustus 2019 kembali dilakukan aksi dipimpin KETUA BEM USTJ. Saudara ALEXANDER GOBA
      • Bahwa saksi dengar di kantor gubernur ada penurunan bendera Metah Putih;
      • Bahwa saksi tidak tahu siapa yang menurunkan bendera Merah Putih;
      • Bahwa aksi menolak rasisme di Jayapura terjadi karena ada oknum aparat di Surabaya yang melakukan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua;
      • Bahwa pada aksi tanggal 19 Agustus 2019, gubernur menerima pernyataan yang disampaikan oleh massa aksi;
      • Bahwa aksi menolak rasisme selain di Jayapura juga terjadi di kota-kota di Papua seperti Wamena, Timika dan Manokwari;
      • Saksi menerangkan saat aksi tanggal 29 Agustus 2019 ada kejadian pengibaran bendera di Bintang Kejora di kantor Gubernur Prov.
      • Bahwa saksi tidak diperlihatkan barang bukti oleh JPU di persidangan.

Tanggapan Terdakwa: Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menolaknya.

 

    1. Saksi Nama: ABRAHAM STEVI SOUMELENA. Umur 31 tahun, lahir di Jayapura, tanggal 5 Maret 1984. Jenis kelamin: Laki-laki. Pekerjaan POLRI, Agama Kristen Protestan , Kewarganegaraan Indonesia. Alamat: Tanah Hitam Kamkey, Kec. Abepura. Di bawah sumpah  dan menerangkan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Bahwa saksi dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, mengerti di periksa sebagai saksi dan bersedia memberikan keterangan;
      • Bahwa benar saksi pernah diperiksa oleh Penyidik Polda Papua;
      • Bahwa benar pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi melakukan pengamanan tertutup dan pemantauan terhadap aksi demo yang terjadi di kota Jayapura Bersama Sdr. HEPPYE SALAMPESSY, Sdr. MUH. ALI.kami mengikuti massa dari waena sampai di DPRP PAPUA / Taman Imbi dan massa lanjut berorasi ke kantor Gubernur;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 sekitar pukul 09.00 Wit saksi melakukan pengamanan aksi demo di mulai dari lampu merah di Waena.
      • Bahwa aksi tersebut adalah aksi menolak tindakan rasisme terhadap orang Papua yang dilakukan di Surabaya;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 tidak berjalan damai. dalam Aksi ada massa yang ikut dalam aksi melakukan pengerusakan terhadap setiap bangunan baik rumah,pertokoan, perkantoran yang ditemui di pinggir jalan, juga melakukan penjarahan dan membakar bangunan dan kendaraan milik warga yang berada di sekitar jalan yang di lalui massa;
      • Bawa saksi berada di lokasi lampu merah Waena dan mengikuti aksi sampai ke Kantor Gubernur;
      • Bawa saksi sempat berada pada pertigaan sampai ke kota Jayapura;
      • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay memakai baju almamater;
      • Bahwa aksi tersebut aksi menolak anti rasis menuntut penyelesaian hukum terhadap demo yang terjadi di Surabaya;
      • Bahwa saksi melihat Terdakwa Alexander Gobay di mobil di lampu merah pertigaan Abepura;
      • Bahwa penanggung jawab aksi adalah Terdakwa Alexander Gobay;
      • Bahwa saksi tidak melihat Terdakwa Alexander Gobay melakukan pembakaran;
      • Bahwa saksi tidak melihat Terdakwa Alexander Gobay melakukan provokasi;
      • Bahwa saksi menerangkan bahwa saat massa berkumpul di Abe saksi dan tim Opsnal serta anggota Polri berupaya membubarkan karena aksi tersebut tidak memiliki ijin dari kepolisian akan tetapi massa bertahan dan melawan, dengan pertimbangan situasi dan dampak akibatnya. saksi dan anggota yang melakukan pengamanan mundur mengamankan warga yang berada di sekitar titik kumpul massa;
      • Bahwa saksi tidak diperlihatkan barang bukti oleh JPU saat persidangan.

Tanggapan Terdakwa: Atas keterangan saksi tersebut terdakwa menolaknya. Terdakwa Alexander Gobay mengatakan tidak menggunakan baju almamater.

    1.  Saksi Fery Kombo, Umur 24 tahun, Paspaley, 07 Januari 1995, jenis kelamin laki-laki, Agama Kristen Protestan, Pekerjaan Mahasiswa Uncen (Ketua BEM Uncen), Kebangsaan Indonesia, Alamat Asrama YAKSPEKMI RT. 003 RW. 001 Kelurahan Awiyo Kecamatan Abepura atau Pasar Lama Kamkei Kel. Awiyo Distrik Abepura Kota Jayapura memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :
      • Bahwa saksi Fery Kombo membenarkan Terdakwa Alexander Gobay hadir pada saat rapat tanggal 18 agustus 2019;
      • Bahwa pertemuan tanggal 18 agustus 2019 dihadiri oleh BEM sek kota Jayapura dan kelompok Cipayung
      • Bahwa pertemuan tidak dihadiri oleh KNPB
      • Bahwa pertemuan menyepakati  tujuan aksi adalah untuk menuntut proses hukum terhadap pelaku rasisme di Surabaya dan aksi tanggal 19 agustus 2019 tidak boleh terjadi anarkis;
      • Bahwa aksi terjadi di banyak tempat menolak rasisme yang terjadi di Surabaya
      • Bahwa yang membuat surat pemberitahuan ke kepolisian adalah saksi Fery Kombo sendiri
      • Bahwa massa disepakati ada di titik-titik yang sudah ditentukan
      • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay adalah koordinator lapangan USTJ
      • Bahwa selama perjalanan saksi Fery Kombo tidak melihat Terdakwa Alexander Gobay baru bertemu lagi di Kantor Gubernur
      • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay orasi sebagai perwakilan Mahasiswa se kota Jayapura
      • Bahwa tidak ada kesepakatan untuk aksi bersama-sama dengan KNPB karena KNPB direncanakan untuk aksi di MRP saja.
      • Bahwa saksi Fery Kombo tidak tahu KNPB di ijinkan atau tidak oleh negara
      • Bahwa Viktor Yeimo bukan Mahasiswa
      • Bahwa saksi Fery Kombo merasa tidak ditanya sebagai saksi untuk perkara Terdakwa Alexander Gobay tetapi diperiksa sebagai Terdakwa
      • Bahwa saksi Fery Kombo merasa diperlakukan seperti Terdakwa
      • Bahwa saksi Fery Kombo memimpin massa mulai dari Uncen atas sedangkan Terdakwa Alexander Gobay dari USTJ
      • Bahwa saksi Fery Kombo ada komunikasi dengan Polisi yakni boleh aksi tetapi jangan ada hal – hal yang tidak diinginkan dengan Polisi yakni Kasat Intel Polresta Jayapura
      • Bahwa aksi berjalan lancar dan dikawal oleh Polisi.
      • Bahwa yang orasi pada saat di kantor Gubernur adalah Perwakilan Perempuan, Tokoh Agama Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, Tokoh Mahasiswa, KNPI dan juga perwakilan Cipayung
      • Bahwa di kantor gubernur ada Gubernur bersama ketua MRP, DPRP dan pejabat pemerintah lainnya
      • Bahwa tidak ada tindakan dari polisi untuk menangkap
      • Bahwa yel-yel dipimpin oleh semua perwakilan dan direspon secara spontanitas oleh seluruh massa aksi
      • Bahwa aksi menuntut adanya diadili dan ditangkapnya pelaku rasisme di Surabaya
      • Bahwa ketika saksi sampai di kantor gubernur hingga aksi berakhir di kantor gubernur tanggal 19 agustus 2019 tidak ada bendera bintang kejora;
      • Bahwa di Surabaya ketemu dengan Gubernur, Kapolda dan forkopimda lainnya
      • Bahwa Gubernur Jawa timur minta maaf atas aksi yang terjadi dan berjanji akan melindungi Mahasiswa Papua di Surabaya
      • Bahwa tidak ada komunikasi antara saksi Fery Kombo dan Terdakwa Alexander Gobay
      • Bahwa saksi tidak tahu kelompok yang melakukan menaikkan bendera
      • Bahwa saksi tidak tahu ada kelompok yang melakukan kerusuhan
      • Bahwa saksi Fery Kombo melarang aksi 29 Agustus 2019, larangan itu membuat saksi Fery Kombo diduga bekerjasama dengan Polisi
      • Bahwa kerusuhan pada tanggal 29 Agustus 2019 ada bantuan kepada para korban melalui departemen sosial
      • Bahwa pelaku kerusuhan telah juga diproses hukum di pengadilan negeri Jayapura;
      • Bahwa teriakan yel-yel seperti papua merdeka, referendum dan simbol atau bendera bintang kejora selalu ada dan disampaikan setiap ada aksi ataupun dalam kegiatan lainnya di Papua.

Tanggapan Terdakwa: Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan

    1. Saksi HENGKI HILAPOK alias FRENGKI HILAPOK, Umur 23 tahun, Lahir di Wamena, tanggal 18 Februari 1996. Jenis kelamin Laki-laki. Pekerjaan mahasiswa, Agama Kristen Khatolik. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Perumahan BTN Furia Pasar Lama Sentani Kabupaten Jayapura. Dibawah sumpah,pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
      • Bahwa saksi merasa sangat tertekan saat pemeriksaan di kepolisian karena saksi belum pernah dipenjara;
      • Bahwa terdakwa ALEXANDER GOBAY tidak mengikuti rapat tanggal 28 Agustus 2019
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi mengikuti aksi di kampus USTJ  yang dipimpin oleh saudara ONEMUS BUSOP dan ALEXANDER GOBAY selanjutnya massa keluar menuju jalan raya bertemu dengan massa yang datang dari EXPO, WAENA UNCEN ATAS DAN UNCEN BAWAH dan selanjutnya menuju Lingkaran Abepura;
      • Bahwayang mengajak saksi ikut aksi demo adalah rekan-rekan saksi yaitu LUCKY SIEP dan SOLEMAN ITLAY;
      • Bahwa isi dari selebaran untuk aksi tanggal 29 Agustus 2019 antara lain:
        • Tangkap dan adili pelaku rasisme yang menyamakan harga diri martabat orang Papua dengan Monyet;
        • Stop intimidasi, Persekusi, dan represi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang,Makassar, Ambon dan daerah lainnya;
        • StopbatasiinternetuntukmenutupikejahatanIndonesiadi Papua;
        • Tangkapdanadilipelakupenghinaannegaralewatmiras(minumankeras).
      • Bahwa posisi saksi itu ikut pada unjuk rasa yang di lakukan di halaman kampus USTJ dan kemudian massa dari USTJ bergerak keluar menuju jalan raya, saksi berada di depan bersama Korlap dan Pengurus Bem mengawasi massa;
      • Bahwa saat aksi demo saksi tidak melihat terdakwa;
      • Bahwa saat aksi tanggal 19 Agustus 2019, saksi tidak melihat bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera kantor Gubernur Papua.
      • Bahwa teriakan yel-yel seperti papua merdeka, referendum dan simbol bendera Bintang Kejora selalu ada disampaikan setiap ada aksi ataupun dalam kegiatan lainnya di Papua;

Tanggapan Terdakwa Bahwa terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.

    1. Saksi IRWANUS UROPMABIN, Umur 23 tahun, Lahir di Wamena, tanggal 18 Februari 1996, Jenis kelamin Laki-laki, Pekerjaan mahasiswa. Agama Kristen Khatolik, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Perumahan BTN Furia Pasar Lama Sentani Kabupaten Jayapura. Dibawah sumpah, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut :
      • Bahwa pada tanggal 27 dan 28 Agustus 2019 saksi mengikuti kegiatan organisasi PMKRI  di balai Pertanian Waena;
      • Bahwa kegiatan berlangsung dari pagi hingga malam hari, pada hari pertama kegiatan berakhir jam 11 malam dan dihari ekdua berakhir sampai setelah satu malam;
      • Pada tanggal 29 Agustrus pada pagi hari saksi ke kampung USTJ untuk mengikuti kuliah;
      • Bahwa sesampai di kampung saksi didatangani oleh Soleman Itlay dan menyuruh terdakwa untuk memantau aksi yang akan dilakukan;
      • Bahwa terdakwa dengan menggunakan motor diantara oleh Soleman Itlay untuk melakukan pemantauan di Taman Imbi Jayapura;
      • Bahwa yang meminta saksi untuk membantu menjaga keamanan adalah Soleman Itlay bukan terdakwa
      • Bahwa saksi bertemu dengan massa di taman Imbi dan bersama massa ke kantor gubenur;
      • Bahwa sesampai di kantor gubernur saksi tidak melihat bendera Bintang Kejora yang dikibarkan di tiang bendera;
      • Bahwa aksi massa bertujuan untuk menolak aksi rasisme di Surabaya dan menuntut adanya proses hukum terkait aksi rasisme.
      • Bahwa saat aksi tanggal 19 agustus 2019, ketika saksi di kantor gubernur dan selama aksi di kantor gubernur hingga massa aksi bubar di kantor gubernur, saksi tidak melihat ada bendera Bintang Kejora di tiang kantor Gubernur;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi mengikuti aksi di kampus USTJ  yang dipimpin oleh saudara ONEMUS BUSOP dan ALEXANDER GOBAY selanjutnya massa keluar menuju jalan raya bertemu dengan massa yang datang dari EXPO, WAENA UNCEN ATAS DAN UNCEN BAWAH dan selanjutnya menuju Lingkaran Abepura;
      • Bahwayang mengajak saksi ikut aksi demo adalah rekan-rekan saksi yaitu LUCKY SIEP dan SOLEMAN ITLAY;
      • Bahwa isi dari selebaran untuk aksi tanggal 29 Agustus 2019 antara lain:
        • Tangkap dan adili pelaku rasisme yang menyamakan harga diri martabat orang Papua dengan Monyet;
        • Stop intimidasi, Persekusi, dan represi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang,Makassar, Ambon dan daerah lainnya;
        • StopbatasiinternetuntukmenutupikejahatanIndonesiadi Papua;
        • Tangkapdanadilipelakupenghinaannegaralewatmiras(minumankeras).
      • Bahwa saksi juga ikut dalam aksi tanggal 29 Agustus 2019
      • Aksi merupakan aksi damai dikomodiroelh BEM se Jayapura pada tanggal  19 agustus 2019, pada aksi 19 agustus 2019 tidak ada aksi anarkis semua berjalan dengan aman dan aksi tanggal 29 agustus 2019, awalnya aksi berjalan aman kemudian terjadi anarkis  karena ada pihak ketiga yang memprovokasi massa melakukan tindakan anarkis, oleh sebab itu BEM kembali menegaskan bawa aksi anarkis adalah di luar tanggung jawab BEM.
      • Bahwa saat aksi tanggal 19 Agustus 2019, saksi tidak melihat bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera kantor Gubernur Papua.
      • Bahwa teriakan yel-yel seperti papua merdeka, referendum dan simbol bendera Bintang Kejora selalu ada disampaikan setiap ada aksi ataupun dalam kegiatan lainnya di Papua;

Tanggapan Terdakwa Bahwa terdakwa menyatakan benar keterangan saksi.

  1. Keterangan Saksi AD Charge
    1. Saksi Semmy Gobay. Lahir di Timika, 13 september 1997. Jenis kelamin laki-laki. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Kristen. Pendidikan mahasiswa. Alamat Jalan Perintis Mimika Baru Kabupaten Mimika. Memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Bahwa saksi kenal terdakwa sejak tahun 2017 di USTJ;
      • Bahwa hubungan saksi dengan terdakwa sebagai teman sesama mahasiswa terdakwa adalah mahasiswa USTJ dan saksi anggota BEM bagian Sumber Daya Manusia;
      • Bahwa tgl 19 saksi bersama terdakwa di USTJ sama-sama keluar ke depan Uncen bawah, dan bergabung dengan teman-teman terus bergerak ke abepura dan menuju ke kantor Gubernur;
      • Bahwa banyak massa sehingga saksi terpisah dari terdakwa;
      • Bahwa di kantor Gubernur saksi tidak bertemu terdakwa;
      • Bahwa pada tanggal 18 Agustus 2019, Saksi ikut pertemuan;
      • Bahwa saat aksi tanggal 19 Agustus 2019 itu dari awal sampai ke kantor Gubernur berjalan aman;
      • Bahwa semua korlap menjaga keamanan;
      • Bahwa selain dari BEM, ada Cipayung, GMKI, HMI dengan tujuan menolak rasisme yang ada di Surabaya PH menurut saksi apakah si Irwanus ini mempengaruhi aksi massa membuat anarkis;
      • Bahwa saksi tidak mengikuti pertemuan teklap;
      • Bahwa pada tanggal 29 Agustus 2019 saksi tahu situasi demo di Jayapura awalnya berjalan aman namun ada kerusuhan yang tidak diketahui siapa pelakunya;
      • Bahwa titik kumpul masing-masing BEM dari kampus masing-masing;
      • Bahwa kalau setiap orasi, yel-yel papua merdekadan referendum pasti akan ada;
      • Bahwa simbo seperti bendera Bintang kejora ada dimana-mana dapat dijumpai dengan mudah di papua;
      • Bahwa tanggal 19 agustus 2019, saat aksi tidak di kantor gubernur, selama aksi di kantor gubernur hingga aksi bubar dari kantor gubernur,saksi tidak melihat ada Bendera Bintang kejora berkibar di kantor gubernur.

Tanggapan Terdakwa: Terdakwa membenarkan keterangan saksi;

    1. Saksi Laurenzius Kadepa. Lahir di Toyaimuti 24 Desember 1984, Jenis Kelamin Laki-Laki, Agama Kristen Katholik, Pekerjaan Anggota DPR Papua, Alamat Polimak Toyota RT/RW 001/ 002 Kelurahan Ardipura Kecamatan Jayapura Selatan.Memberikan keterangan di persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Bahwa saksi benar sebagai anggota DPRD Kota Jayapura yang pada tanggal 19 Agustus 2019 mengetahui adanya aksi rasisme oleh Mahasiswa dan Masyarakat sipil di tanah Papua.
      • Bahwa aksi ini untuk menolak aksi rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya;
      • Bahwa sebelumnya sudah pernah terjadi tindakan rasis di daerah diluar Papua sehingga Rasisme yang terjadi di Surabaya merupakan akumulasi dari perlakuan dari tindakan rasisme yang dialami Orang Papua sebelumnya;
      • Bahwa saksi menonton lewat Vidio yang viral dimana gabungan Ormas terlibat dan Aparat Keamanan juga melakukan rasisme;
      • Bahwa setelah vidio viral ada pelaku Rasisme ada yang dari Partai Politik Gerindra;
      • Bahwa ada Aparat Keamanan yang terlibat namun saksi tidak tahu dari satuan mana;
      • Bahwa aksi demo berlangsung di daerah di seluruh Kabupaten di Papua seperti Kabupaten Nabire, Kabupaten Mimika, Kabupaten Merauke, Kabupaten Wamena;
      • Bahwa sepengelihatan saksi aksi ini dilakukan oleh Mahasiswa BEM se Jayapura dan Organisasi Cipayung serta adanya masyarakat sipil yang ikut hadir dan menyuarakan aspirasi di hari itu.
      • Bahwa pada saat itu mahasiswa berperan mengambil alih untuk mengkoordinir massa dikarenakan jumlah massa yang banyak pada saat itu. Isu yang dibawa oleh Mahasiswa BEM Se Jayapura ini adalah bentuk solidaritas atas kejadian yang terjadi di Surabaya berkaitan dengan Tolak Rasisme dan Intimidasi lalu pelaku harus dihukum.
      • Bahwa pada pagi tanggal 19 Agustus 2019 saksi berada di kantor DPRP dan saksi bersama beberapa anggota DPRP mengetahui akan adanya aksi
      • Bahsa saksi bersama anggota DPRP lainnya menunggu massa aksi melewati kantor DPRP dan rencana akan bergabung dengan massa aksi untuk jalan ke kantor gubernur;
      • Bahwa benar saksi bergabung dan mengikuti massa aksi
      • Bahwa aksi tanggal 19 agustus 2019 di kantor gubernur dipimpin oleh Koordinator Umum (Korlap) yakni terdakwa Ferry Kombo dan diikuti oleh Koordinator Lapangan dari BEM Sejayapura dan Cipayang.
      • Bahwa di terdakwa memberikan orasi mewakili massa aksi dari BEM se Kota jayapura
      • Bahwa berbaga perwakilan dari masyarakat dan pemerintah seperti Tokoh adat, Tokoh Pemuda, Tokoh Perempuan, dari organisasi KNPI, anggota MRP juga melakukan orasi di kantor gubernur;
      • Bahwa setelah semua melakukan orasi, diserahkan pernyataan kepada gubernur Papua Setelah semua memberikan orasi maka aspirasi dalam bentuk tertulis diberikan ke Gubernur Papua.
      • Bahwa gubernur memberikan apresiasi kepada Mahasiswa dan seluruh Masyarakat Papua dan akan menindaklajuti aspirasi ini ke Presiden Indoensia.
      • Bahwa setelah itu massa bubar dan kembali kekediaman masing-masing serta ada yang diantar oleh pihak kepolisian:
      • Bahwa ada tulisan-tulisan dan yel-yel Papua merdeka dan referendum itu biasa dilakukan oleh setiap massa aksi kalau ada aksi;
      • Bahwa simbol bintang kejora selalu ada dimana-mana di Papua dalam berbagai bentuk seperti tas, baju atau gelang;
      • Bahwa sebagai anggota dewan, saksi seringkali menerima aspirasi Papua merdeka dan itu tidak masalah bagi dewan untuk menampung aspirasi tersebut;
      • Bahwa ketika saksi tiba di kantor gubernur, selama aksi di kantor gubernur hingga massa aksi bubar di kantor gubernur pada aksi tanggal 19 agustus 2019, saksi tidak melihat ada penurunan bendera merah putih dan bendera Bintang Kejora berkibar di tiang bendera kantor gubernur.

 

b. KETERANGAN AHLI

  1. Keterangan Ahli Yang Diajukan Oleh JPU
    1. APRINUS SALAM, M.Hum. Umur 64 tahun. Lahir di Riau, 7 April 1965. Jenis kelamin Laki-laki. Pekerjaan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univeritas Gadja Mada dan Kepala Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadja Mada. Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Kantor Pusat Studi Kebudayaan UGM, Jalan Trengguli No. E9, Bulaksumur Yogayakarta. Telah disumpah dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
      • Bahwa pengertian kata makar dimaksudkan sebagai satu aksi pemikiran, tindakan dan/atau perbuatan, baik dalam bentuk kata-kata dan kalimat, maupun berbagai aktivitas lainnya, yang dianggap atau dinilai bertentangan dengan hukum. Pengertian makar jika lebih disederhanakan adalah pikiran, ucapan, tindakan dan/atau perbuatan yang melawan hukum dan merongrong kekuasaan resmi pemerintah tertentu;
      • Bahwa penggunaan kata makar biasanya muncul dalam ruang bahasa politik, atau dalam ilmu bahasa disebut sebagai register politik. Artinya, setiap kata akan secara konsisten muncul dalam ruang-ruang tertentu yang sesuai dengan tuntutan registernya. Itulah sebabnya, kata makar akan dipakai bagi pemerintah yang berkuasa secara resmi jika terdapat ucapan, pikiran, tindakan dan/atau perbuatan yang dianggap mengganggu jalannya kekuasaan pemerintah;
      • Bahwa “Referendum, Merdeka, dan Papua Merdeka“ dalam Perspektif Ilmu Bahasa adalah Kata-kata tersebut jika tidak diletakan dalam konteksnya, maka kata tersebut hanya berarti sesuai dengan makna denotatifnya. Misalnya, kata referendum berarti upaya aksi mengorganisasikan sikap dan suara yang secara politis dimaksudkan untuk memperpersoalkan posisi dan hubungan-hubungan suatu kelompok kepentingan dalam kehidupan bernegara;
      • Bahwa kadang pengertian-pengertian dalam ilmu bahasa,ilmu ekonomi, ilmu politik itu tidak sama persis misalnya pengertian kata ‘referendum’ misalnya tidak sama persis tapi ada benang merahnya untuk dipaki bersama sehingga mempunyai pengertian yang kurang lebih sama;
      • Bahwa Kata merdeka berarti dalam keadaan bebas, tidak bergantung, tidak diintervensi, tidak dijajah, mandiri. Kata tersebut paling sering digunakan dalam konteks hubungan penjajah dan yang terjajah. Yakni ketika yang terjajah dapat membebaskan dirinya dari terjajah. Papua Merdeka artinya frase yang berarti Papua dalam keadaan merdeka seperti pengertian merdeka dalam pengertian di atas. Akan tetapi, jika kata-kata atau frasa tersebut diletakkan atau dimasukkan ke dalam konteks kewacanaan tertentu, seperti berbagai peristiwa yang telah dijabarkan di atas, maka makna kata atau frasa tersebut berubah menjadi suatu peristiwa politik;
      • Bahwa kata atau pernyataan atau “Yel-yel” dalam bentuk kewacanaan tidak bermasalah, sah-sah saja;
      • Bahwa ada beberapa kata bahasa Indonesia merupakan kata serapan seperti kata makar karena bukan bahasa asli Indonesia. Dimana kata serapan sangat mungkin mengalami ‘pergeseran’ arti atau tidak dapat dimaknai seratus persen sama dengan kata aslinya;
      • Bahwa kata makar yang diambli dalam bahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk digunakan secara hukum sangat mungkin mengalami pergeseran atau perubahan;
      • Bahwa sekelompok masyarakat boleh saja menyampaikan aspirasi sebagai warga tetapi kemudian di dalam proses berkomunikasi ada hal-hal yang kemudian terjadi pelanggaran misalnya bendera merah putih sebagai simbol negara Indonesia bisa dimasukan ke dalam ranah hukum/pengadilan.
      • Bahwa istlah rasisme dan anti rasisme itu prasangka-prasangka ideologis tetapi sebetulnya yang perlu dipahami bahwa penggunaan kata-kaat itu permainan politik makna semuanya punya kepentingan jadi diperiksa saja apakah pernyataan itu secara historis secara kebahasaan maupun secara politik sehingga bisa menjadi masalah hukum atau tidak;
      • Bahwa sebagai ahli bahasa hanya menjelaskan dari segi kebahasaan apakah dalam cara berkomunikasi,menyampaikan pendapat, menyampaikan aspirasi dari segi bahsanya apakah ada pelanggaran dari kesepakatan simbolik atau tidak, hanya sampai disitu. Apakah pernyataan itu dilindungi oleh hukum atau tidak silahkan diklarifikasi oleh orang hukum.
      • Bahwa ahli tidak melihat atau mempelajari keseluruhan berkas dari 7 terdakwa, karena hanya diberikan satu berkas saja untuk dipelajari.

Tanggapan Terdakwa Bahwa terdakwa menolak keterangan ahli.

    1. MUHAMMAD RULIYANDI, S.H.M.H Ahli Hukum Tata Negara. lahir di Jakarta, pada tanggal 26 Juli 1986, jenis kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan Dosen, Pendidikan sedang menyelesaikan studi S3 Hukum Tata Negara di pasca sarjana Program Doctor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Jln. Pulo Sirih Timur 7 Blok CC No. 33 Pekayon Jaya, Bekasi, telah disumpah, dipersidangan pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
      • Bahwa pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan gagasan yang mendasar dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat atau negara demokratis yang didalam perkembangannya bangunan suatu negara demokratis selalu berdampingan dengan prinsip negara hukum.
      • Bahwa dalam perkembangan perspektif best practice praktik hukum tata negara di Indonesia makar dapat diartikan sebagai sikap perlawanan terhadap keadaan sistem fundamental yang diatur dalam konstitusi (in het staatsrecht is een contitutie de grondslag van een staat) dalam suatu negara dengan cara berkeinginan untuk melakukan suatu perubahan sistem;
      • Bahwa dalam kerangka pemahaman negara hukum yang demokratis, kehidupan bernegara dan hubungan antar warga negara dan negara tidak dapat dipisahkan dari prinsip jaminan dan perlindungan hak konstitusional (constitutional rights) setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 amandemen;
      • Bahwa negara memberikan hak kepada setiap warga negara dengan memperhatikan ketentuan pasal 28 huruf J ayat (2) UUD 1945 amandemen;
      • Bahwa rambu-rambu kebebasan menyampaikan pendapat dapat ditelusuri dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;
      • Bahwa secara prosedur dalam berdemo memang ada pemberitahuan jikalau pemberitahuan sudah disampaikan tetapi kegiatannya di lapangan tidak sesuai dengan isi pemberitahuan maka POLRI mengambil tindakan tegas;
      • Bahwa ada kewajiban yang merupakan tanggungjawab individu yang terlibat dalam demonstrasi kalau ternyata materi subtansi ternyata mengandung unsur makar;
      • Bahwapertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 7/PUU-XV/2017 halaman 154 yang menyatakan: “…Mahkamah telah berpendapat bahwa delik makar cukup disyaratkan adanya niat dan perbuatan permulaan pelaksanaan, sehingga dengan terpenuhinya syarat itu terhadap pelaku telah dapat dilakukan tindakan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum”.
      • Bahwa pembentuk undang-undang menetapkan suatu norma ketentuan pidana pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia.
      • Terkait perbuatan penurunan dan pembakaran bendera merah putih sebagai lambang negara NKRI dan penaikan dan pengibaran bendara bintang kejora pada tanggal 29 Agustus 2019 di Kantor Gedung Gubernur Papua pada saat aksi maka perbuatan tersebut telah tergolong melawan hukum sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan merupakan suatu bagian rangkaian dari perbuatan makar,perbuatan yang telah memenuhi ketentuan pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu KebangsaanSetiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia;
      • Bahwa Referendum diakui sebagai salah satu prinsip dalam hukum ketatanegara di Indonesia. Praktek Referendum di Indonesia pernah terjadi saat pemerintah Indonesia menyetujui dilakukan referendum terhadap Timor Leste tahun 1999 dimana saat itu rakyat di Timor Leste menuntut merdeka lepas dari NKRI;

Tanggapan Terdakwa Bahwa terdakwa menolak keterangan ahli.

    1. Ahli Psikologi Prof. HAMDI MULUK,Ph.D.Umur 52 tahun. Lahir di Padang Panjang, 31 Maret 1966. Jenis kelamin laki-laki. Pekerjaan Guru Besar/Dosen. Agama Islam. Kewarganegaraan Indonesia. Alamat Kantor Gedung B Lantai 2 Ruang B 107, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jalan Margonda Raya Pondok Cina Kec. Beji, Kota Bogor Jawa Barat. Telah disumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut
      • Aksi demonstrasi pada tanggal 19 dan 29 Agustus 2019 di dalam perspektif keilmuan Ahli, yaitu, ilmu psikologi sosial dan politik, dapat dikatakan perisitiwa terserbut sebagai sebuah aksi koletif (collective action);
      • Bahwa aksi damai yang dilakukan tanggal 19 Agustus 2019 sebagai respon terkait adanya tindakan rasisme di Surabaya terhadap mahasiswa Papua tidak dapat dikatakan sebagai tindakan insurgensi atau melawan negara;
      • Bahwa referendum dibolehkan dalam negara demokrasi melalui mekanisme yang diatur dalam UU misalnya di Indenesia melalui persetujuan dari MPR;
      • Bahwa isu-isu protes memuat permasalahan hak asasi manusia secara univesal sehingga sulit dibedakan apalagi ketika berbagai kompnen masyarakat sipil terlibat. Gerakan akan menjadi makin besar ketika simpati yang muncul semakin banyak sehingga  unsur-unsur yang termotivasi untuk melakukan itu menjadi banyak.. Dalam kasus Papua ini terjadi hal yang sama  dimana ada gerakan-gerakan yang motifnya menuntut diskriminasi dan juga banyak melibatkan elemen-elemen;
      • Ekspresi kolektif itu cenderung muncul karena sikap negara yang represif karena itu isu yang disampaikan tidak tunggal, ada bermacam isu terkait dengan permasalahan hak asasi manusia;
      • Bahwa untuk memisahkan mana aspirasi yang merupakan protes terhadap ketidakadilan atau mana yang merupakan insurgensi atau usaha ke arah makar menjadi tugas dari penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut.
      • Bahwa diseluruh dunia, rasisme selalu menjadi tantangan bagaimana hubungan anatar masyarakats ecara ras, agama yang snagat majemuk. Hubunag harmonis yang saling menghormati,tolerasni, tidak menghina, tidak menyakiti karena secara kodrati kita sudah beda secara rasial;
      • Rasisme diidentifikasikan sebagai perasaan negatif, terjadi tidak hanya orang non Papua terhadap orang Papua tetapi juag sebaliknya. Rasisme dalam psikologi politik didefenisikan sebagai sebuah sikap negatif terhadap kelompok tertentu,ras, beda agama dan seterusnya berkembang menjadi prasangka;
      • Bahwa persoalan rasisme akan selalu menajdi tantangan terhadap negara demokrasi tidak saja Indonesia. Ini menjadi tantangan kita dalam berbangsa untuk mengembangkan kehidupan kehidupan yang toleransi, tidak membeda-bedakan suku, ras, agama.Setiap orang berdiri sama setara sepangan sebagai warga negara memiliki hak yang harus dihormati.

 Tanggapan terdakwa Bahwa terdakwa menyatakan menolak sebagian dari keterangan Ahli

  1. KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM/TERDAKWA
    1. Ahli Kebebasan Berekspresi dan HTN DR.Herlambang P.Wirataman, S.H, MA. Lahir Jember, 08 Mei 1976 (44 Tahun), jenis kelamin laki-laki. KewarganegaraanIndonesia. Agama Islam. Alamat Perum Bukit Permai Kahuripan Kenon Sari Sumber Sari Surabaya. Pekerjaan Dosen. Memberikan keterangan di persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Bahwa kebebasan berekspresi sesungguhnya telah diatur rumusannya dalam konstitusi, yakni pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, “Kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kebebasan dasar ini merupakan salah satu ketentuan hak asasi manusia tertua sejak Indonesia merdeka;
      • Bahwa pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, rumusan pasal 28 Undang-Undang Dasar yang dihasilkan dalam Sidang BPUPKI tersebut dibacakan kembali oleh Ketua Sidang PPKI, Ir. Soekarno, dan akhirnya disahkan. Rumusan pasal inilah yang tetap utuh dipertahankan hingga amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 1999-2002, yakni Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan apa yang telah digagas dan diperdebatkan mengenai kebebasan berekspresi, baik dalam sidang BPUPKI maupun penetapannya dalam sidang PPKI, menunjukkan garis yang sama bahwa kebebasan tersebut ditujukan untuk menentang kesewenang-wenangan kekuasaan (detournement de pouvoir atau abuse of power) dan sekaligus agar pemerintah lebih bisa mempertanggungjawabkan kebijakannya (state responsibility);
      • Bahwa semangat konstitusionalisme Indonesia harus mengedepankan dua aras bangunan politik hukum konstitusinya, yakni pertama, pembatasan kekuasaaan agar tidak menggampangkan kesewenang-wenangan, dan kedua, jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Kemajuan pasal-pasal hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan kecenderungan global di berbagai negara tentang diakuinya prinsip universalisme hak-hak asasi manusia. Dan, diyakini secara bertahap akan memperkuat pada kapasitas negara dalam mendorong peradaban martabat kemanusiaan;
      • Bahwa kebebasan ekspresijuga diatur secara khusus, baik sebagai hasil ratifikasi perjanjian internasional, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR 1966 yang telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005, pula melalui dua undang-undang terkait, yakni:
      • Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang pada pokoknya mengatur mengenai tata cara menyampaikan pendapat di muka umum yang diperbolehkan;
      • Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang pula mengatur sejumlah pasal tentang kebebasan ekspresi.
      • Bahwa Pemaknaan pasal 28I ayat (4) UUD negara Republik Indonesia merujuk pada prinsip universal dan pula menjadi hukum internasional, mengenai kewajiban-kewajiban negara dalam memikul beban perlindungan hak asasi manusia, yakni 3 (tiga) kewajiban dasarnya (state obligations). (1) kewajiban negara untuk menghormati, (2) kewajiban negara untuk melindungi dan (3) kewajiban negara untuk memenuhi hak asasi manusia;
      • Bahwa kewajiban untuk menghormati (state obligation to respect) berarti bahwa Negara harus menahan diri dari campur tangan atau membatasi penikmatan hak asasi manusia. Kewajiban untuk melindungi (state obligation to protect) menuntut Negara untuk melindungi individu dan kelompok dari pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban untuk memenuhi (state obligation to fulfill) berarti bahwa Negara harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi penikmatan hak asasi manusia;
      • Bahwa makar haruslah diartikan dengan ‘serangan’.Bahwa unsur makar itu tidak cukup dengan niat dan perbuatan karena niat harus dibuktikan dengan perbuatan atas niat itu. Hal ini yang menjadi pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 7/PUU-XV/2017. Sehingga dengansangat jelas Mahkamah Konstitusi memberikan rambu-rambu bagi aparat penegak hukum untuk mengimplemetasikan pasal-pasal makarsehingga aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam menerapkan pasal-pasal makar;
      • Bahwa didalam buku II delik Kejahatan Terhadap KeamananNegara dari pasal 104 KUHP hingga pasal 129 KUHP tidak ada yang memuat terkait bendera atau lambang negara sehingga apabila ada dugaan pelanggaran pidana terkait bendera yakni bendera merah putih maka yang harus digunakan UU nomor 24 tahun 2009 Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sehingga apabila ada pengrusakan atau penurunan bendera merah putih seperti aksi pada tanggal 29 Agustus 2019 di Kantor Gedung Gubernur Papua maka yang digunakan ada ketentuan pidana yakni Pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan: “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan laindengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun ataudenda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia;
      • Bahwa UU Otonomi Khusus(OTSUS) Papua telah memberikan memberikan mandat bagi pemerintah provinsi Papua untuk memiliki lambang daerah yang merupakan simbol budaya sebagaimana tertuang dalam pasal 2 mengenai Lambang Daerah. Sikap pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah(PP) 77 tahun 2007 untuk melarang adanya lambang daerah bagi provinsi Papua adalah tindakan yang keliru karena 1). Posisi UU itu lebih tinggi dari PP sehingga melanggar asas lex superior derogat legi inferior dan 2). PP bersifat regelling sedangkan untuk pelarangan seharusnya Adapun isi PP apalagi aturan penjelasannya tidak boleh bertentangan dengan isi UU.
      • Bahwa terhadap kerusuhan yang terjadi seharusnya negara jugs bertanggungjawab dalam hal ini aparat keamanan yang berjaga-jaga harus juga diminta pertanggungjawabannya, Pelaku kejahatan yang sebenarnya harus diungkap sehingga hukum harus berlaku adil bagi siapa saja;
      • Bahwa aksi untuk menuntut perbaikan penegakan hukum dan perlindungan HAM bukanlah bentuk isurgensi.
    1. Ahli Politik, Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc. Lahir di jakarta 8 Juni 1963,Jenis kelamin perempuan. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Kristen. Pekerjaan Peneliti dan dosen, alamat Raffles Hills Blok J-2 Tapos Bogor, memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya sebagai berikut
      • Bahwa Terkait dengan buku Papua Road Map yang merupakan karya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI). Buku Papua Road Map yang diluncurkan pada 2009 terdiri dari dua bagian utama: pertama, skema akar masalah dalam kaitan dengan konflik Papua yang terdiri dari:4 akar masalah di Papua (i) marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua; (ii) kegagalan pembangunan Papua; (iii) kekerasan negara dan pelanggaran HAM; (iv) pro dan kontra sejarah integrasi Papua. Empat akar masalah ini dapat dipahami dan diselesaikan secara parsial, namun ada akar masalah yang saling berkorelasi, seperti masalah investasi di sektor sumber daya alam di Papua yang berada di wilayah tanah adat masyrakat tradisional Papua. Sebagai contoh, isu pembangunan ekonomi dan kepentingan investasi berhadapan dengan sistim adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Papua. Masalah muncul ketika tuntutan masyarakat terhadap perusahaan (dengan modal besar) dianggap tindakan tidak kooperatif dan menghambat pelaksanaan investasi di wilayah adat tertentu. Untuk menghadapi tuntutan adat, perusahaan mengamankan investasinya dengan meminta bantuan aparat keamanan untuk menghadapi masyarakat adat;
      • Kedua, solusi berdasarkan akar masalah terdiri dari: (i) rekognisi dan pemberdayaan orang Papua, (ii) membuat grand design atau paradigma baru pembangunan Papua; (iii) melakukan pengadilan HAM dan membentuk KKR; (iv) “meluruskan” sejarah Papua melalui kajian akademik. Untuk mencapai solusi damai bagi Papua, perlu dilakukan melalui pendekatan dialog untuk mencegah berulangnya kekerasan terhadap masyarakat Papua;
      • Bahwa penangkapan dan penahanan tidak dapat menyelesaikan akar konflik di Papua. Sebagaimana penjelasan mengenai dampak konflik kekerasan dan akumulasi persoalan di Papua sejak 57 tahun yang lalu, maka proses hukum yang dijalani para terdakwa berpotensi menimbulkan rasa tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah, khususnya proses hukum di Indonesia. Yang juga penting dipertimbangkan dalam proses hukum ini adalah aspek kemanusiaan (bukan sekedar HAM) terutama mengenai perasaan para ibu Papua yang melahirkan anak-anak generasi penerus Papua, namun mereka harus menyaksikan ketidakadilan yang menimpa anak-anak mereka, tanpa bisa berbuat apa-apa;
      • Bahwa yel-yel atau pernyataan Papua merdeka atau referendum seringkali disampaikan oleh orang Papua dalam aksi ataupun dalam forum diskusi sebagai ekspresi kekecewaan terhadap pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah yang dinilai tidak adil;
      • Bahwa aksi yang dilakukan oleh terdakwa tidak ada tujuan untuk mengguilngkan pemerintahan atau melakukan makar karena aksi itu merupakan aksi protes dari ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Papua akibat perlakuan rasis yang mereka alami;
      • Bahwa simbol bendera bintang kejora dapat dengan mudah ditemui di Papua dalam bentuk kaos, gelang, atau tas;
      • Satu pendekatan damai yang diusulkan oleh LIPI sejak tahun 2014 adalah Untuk membantu Pemerintah, Tim LIPI dan Jaringan Damai Papua (JDP) telah membuat kertas kebijakan (policy brief) mengenai langkah strategis yang perlu dilakukan Pemerintah dalam merealisasikan dialog bagi Papua. Pada 15 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo telah menunjuk tiga orang penanggungjawab persiapan dialog sektoral, yaitu: Menko Polhukam, Kepala Kantor Staf Presiden, dan Koordinator JDP. Namun sampai saat ini, belum terealisasi.
    1. Ahli Rasisme, DR. Benny Giay. Lahir di Paniai, 12 januari 1955, Jenis kelamin laki-laki. Kewarganegaraan Indonesia. Agama Kristen. Pekerjaan Pendeta. Alamat Jalan Makendang Sentani, memberikan keterangan di persidangan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Bahwa Bentuk pengungkapan rasisme bisa verbal atau perbuatan program atau strategi kepada pihak ditujukkan bisa juga bersifat pribadi atau kelompoknya diuangkapkan secara          publik melalui media, melalui pertunjukkan film, nyanyian atau bisa melalui progran yang diarahkan secara sistematis dan terus menerus;
      • Bahwa dampak dari rasisme terhadap para korbannya, bisa secara psikologis dan social mengalami marginalisasi secara sistimatis tanpa ampun terlebih apabila terjadi rasisme ini bertahun tahun tanpa perlawanan tanpa dukungan dan kesadaran dari dalam.
      • Bahwa artinya kelompok yang korban rasisme itu bisa mati secara social budaya menurut para ahli social Death dimana orang Papua mengalami social death. Dimana orang Papua sudah menjadi korban dari pandangan pandangan rasis yang mematikan tadi beberapa abad jauh sebelum indonesia sebelum indonesia menduduki Papua awal tahun 1960an. Pertama: Laporan dari residen Jansen di Ambon yang pernah mengingatkan penguasa Ternate dan Tidore di tahun 1950. Dimana para kaki Sultan Tidore  da ternate yang pergi mengayau dan menghancurkan kampung kampung yang mmbakar hutan dan kemudian, mengangkut anak anak laki laki, perempuan, anak, orang tua dan perempuan yang tidak bisa lari  ; yang kemudian semua dingkut ke Maluku, Ternate , Tidore, dll lalu dijual sebagai budak disana. Pengalaman kedua dalam laporan seorang utusan injil Belanda yang diutus dari basisnya di Manokwari pada awal tahun 1900an ke Teluk Berau, Fak fak, Kaimana, Onim. Dalam Laporan itu Pdt itu melaporkan tentang pedagangan budak dari Seram dan Goram pergi Banda untuk dipasarkan disana sebagai Budak.
      • Bahwa apa yang terjadi pada tanggal 16-17 Agustus 2019 dan seterusnya yaitu gerakan protes Papua. Dalam kata kata Walter Benyamin, pemikir Yahudi yang mati dalam pengungsian dari Hilter devine violenve. Gerakan mahasiswa Asrama Papua itu bisa membuat Papua Bangkit  dan tersadarkan diri dari ketidurannya yang panjang  dalam pangkuan NKRI yang telah 60 Tahun lebih meninabobokannya sejak 3 mey 1963, Bangsa Papua dijadikan bangsa tanpa Sejarah/identitas /budaya dan tanpa rumah adatnya ? inilah yang kami dalam study sejarah sering menyebut divine violence.
      • Bahwa sebenarnya secara manusia, gerakan protes terhadap rasisme tadi yang dilakukan oleh para Mahasiswa dan rakyat Papua adalah wajar siapapun manusia normal, yang dilahirkan dengan pikiran perasaan, idealisme yang membawa sejak lahir watak untuk bertanya, wajar apabila mereka protes dan tidak terganggu mendengar Papua monyet.  Kelompok atau unsur Papua ini, baik Gereja maupun akademisi, politisi yang mengganggu hal ini biasa biasa. Kelompok itulah yang kami anggap mahluk mahluk setengah gila atau sakit jiwa;
      • Bahwa artinya tanggapan berupa protes yang dilakukan orang Papua kalangan mahasiswa, pemuda dan masyarakat inilah yang masih memiliki pandangan dan pikiran kemanusiaan , yang sisanya adalah manusia yang sudah dibius oleh systim Indonesia melalui bahasa bahasa propaganda yang sudah campur baur antara rasisme, militerisme dan pembangunanisme.
      • Bahwa Keputusan vonis terhadap pelaku rasisme di Indonesia yang di vonis 7 bulan itu hanya memenuhi rasa keadilan mereka yang sedang memelihara /menjaga system rasis tadi antara lain NKRI tadi yang mabuk rasisme, militerise dan pembangunanisme dan antek anteknya, bukan bangsa Papua yang sudah dari awal diposisikan sebagai monyet atau Papua warga negara kelas dua. Vonis ini hanya menguntungkan kepentingan mereka yang berkuasa yang sedang menjaga Papua supaya tetap diterima posisinya sebagai monyet dan
      • Bahwa penangkapan terhadap para mahasiswa/masyarakat yang menolak rasisme tanggal 29 Agustus 2019 itu bisa jadi cara negara atau tim ini rasis tadi menjaga supaya wajah Negara tidak terbuka. Ini dilakukan dengan cara mengiri pasukan dan melakukan operasi militer di Papua.
      • Bahwa pada intinya proses damai rasisme itu dialihkan ke politik Papua Merdeka
      • Bahwa setelah melihat putusan pengadilan terhadap pelaku pengucap ujaran rasisme di Surabaya sebenarnya Indonesia telah mengakui keapsahan tuntutan orang Papua, dalam hal Papua sebagai korban rasisme Indonesia systemik terhadap Papua dari cara cara penanganan protes rasis yang dikendalikan POLRI di Papua, Ahli duga ini terjadi atas dukungan Presiden Jokowi yang berkunjung ke Papua pasca Rasisme yang menjanjikan hadiah kepada Kapolda artinya Negara masih lanjut tidak mau berubah, masih mengandalkan pendekatan tangan  besi operasi militer untuk selesaikan masalah rasisme di Tanah Papua.
      • Bahwa ada beberapa cara menyelesaikan masalah Papua secara utuh dan bermartabat : Pertama, Pemerintah RI untuk hentikan rasisme terhadap Papua. Dengan menggelar Dialog yang bermartabat dengan ULMWP/KNPB ( unsur Papua yang sedang perjuangkan Kemerdekaan Papua ) dengan melibatkan Pihak ketiga sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Presiden SBY dan JK dengan dialog dengan GAM yang dimediasi oleh Negara ke 3. Mengapa dengan GAM Aceh yang memperjuangkan Aceh mERDEKA -Jakarta bisa berdialog tetapi mengapa dengan ULMWP/KNPB Negara ini tidak bisa Rasisme atau masalah Agama. Kedua, menindaklajuti rekomendasi dari LIPI dengan negara secara serius libatkan semua pihak, menyelesaikan 4 Akar masalah Papua yang disebutkan oleh LIPI. Apa saja 4 akar persoalan direkomendasikan oleh LIPI masing masing:
        • Diskriminasi Rasial dan marginalisasi orang Papua;
        • Pemerintah Indonesia yang gagal membangun Bidang Pendidikan dan Ekonomi;
        • Pelanggaran HAM Pemerintah enggan menghentikan pelanggaran HAM di Papua dan;
        • Perbedaan pandangan antara Jakarta Papua mengenai Kedudukan Indonesia atas Papua.
      • Bahwa ahli berpandangan bahwa proses hukum terhadap Terdakwa Buktar Tabuni dan Terdakwa lain, seharusnya tidak dikenakan pasal makar dan dibebaskan, karena mereka bukan pelaku makar, tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berdemo itu merupakan hak untuk melawan rasisme dan ketidakbenaran di Papua.
    1. Ahli Pidana, DR.Tristam Pascal Moellion,SH,Mh,LLM. Usia 58 tahun, Laki-laki, Pekerjaan Dosen di Universitas Katolik Prahyangan. Alamat Cium Buleuit No.94 Bandung 40141. memberikan keterangan dipersidangan pada pokoknya sebagai berikut:
      • Persoalan kesalahan penerjemahan aanslag dan aanslag to en feit dalam WvSNI (Negara Indonesia) ke dalam terjemahan tidak resmi KUHPidana telah ditulis dan ditelaah dalam tulisan berjudul: “ Problematika Pengertian Aanslag-Aanslag tot en feit: Perbandingan Makar dalam KUHP, WvSNI dan Sr. (Widati Wulandari, Tristam P. Moeliono), jurnal ilmu hukum Padjadjaran, Vol. 4, no. 3, (2017), http://jurnal.unpad.ac.id/pjih/article/view/14932.
      • Kesalahan penerjemahan ini (aanslag dan aanslag tot en feit serta merta sebagai makar) dapat dibuktikan dengan menerjemahkan kembali Pasal-pasal yang memuat istilah aanslag dan aanslag tot en feit.
      • Pasal 87 berbunyi: aanslag tot en feit bestaat, zoodra het voornemen des dader zich door en begin van uitvoering, in de zin van art. 53, heft geopenbaard.
      • Dalam bahasa Indonesia menjadi: upaya melakukan tindak pidana (attempt to commit/perpetrate a crime) dikatakan ada, seketika niat pelaku telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53.
      • Dalam hal ini menjadi tidak masuk akal “aanslag tot en feit” (attempt to commit a crime) diterjemahkan langsung dengan istilah “makar” yang dalam bahasa sehari-hari mencakup semua perbuatan yang bersifat mengkhianati negara (treason atau high treason). 
      • Makar (sebagai istilah umum) bahkan dapat dipersamakan sebagai semua kejahatan yang mengancam keselamatan negara (menggulingkan pemerintahan yang sah, menganti dasar negara secara inkonsitusional, kudeta, mengancam nyata dan kebebasan kepala negara/pemerintahan dengan maksud menggulingkan pemerintahan yang sah, memisahkan diri dari negara dengan cara-cara yang inkonstitusional; dll.) .
      • Selanjutnya, berkaitan dengan padanan istilah aanslag.
      • Istilah ini ditemukan dan digunakan dalam Pasal 104 WvSNI de aanslag ondernomen met het oogmerk om den koning, de regerende koningin of den regent van het leven of de vrijheid te berooven of tot regeren ongeschikt te maken word gestraft met de doodstraf of levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig jaren. 
      • Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah: “serangan yang dimaksud dengan tujuan menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan raja atau ratu atau penggantinya (rgent) atau membuatnya tidak lagi mampu (melalui serangan itu) melaksanakan tugas-tugas untuk memerintah diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara selama-lamanya 20 tahun.
      • Dalam hal ini istilah aanslag: (onslaught; attact) dapat dipadankan dengan serangan yang pasti “violent” karena dilakukan dengan maksud menghilangkan nyata atau merampas kebebasan atau membuat raja (pimpinan negara) tidak lagi mampu menjalankan tugas-tugasnya. Maka juga di sini tidak tepat menggunakan istilah makar sebagai padanan dari kata aanslag. Dalam konteks pasal di atas lebih tepat digunakan istilah serangan.
      • Di dalam Pasal 94 Sr. (WvS/KUHP Belanda) diancam dengan pidana melakukan “een aanslag tegen regeringsvorm” (serangan terhadap pemerintahan yang sah). Serupa dengan WvSNI, pasal ini dan pasal-pasal lain (termasuk aanslag yang merupakan unsur di dalam pasal-pasal itu) harus dibaca dalam konteks memberikan perlindungan khusus pada pemerintahan dan negara (keselamatan negara-pemerintahan).
      • Pasal 94: “de aanslag ondernomen met het oogmerk om de grondwettige regeringsvorm of de orde van troonopvolging te vernietigen of op onwettige wijze te veranderen wordt gestraft met levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste dertig jaren of geldboete van de vijfde categorie.”
      • Terjemahannya adalah: serangan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan pemerintahan yang dibentuk berdasarkan konstitusi (pemerintahan yang sah) atau meniadakan atau mengubah secara melawan hukum tata urutan penggantian pengisian kedudukan raja (singasana) dihukum dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara selama-lamanya 30 tahun atau denda dari kategori ke lima.
      • Berdasarkan ketentuan Pasal 79 Sr: percobaan (poging) melakukan tindak pidana tersebut (serangan terhadap pemerintahan yang sah) dipandang sebagai delik selesai. (poging tot het plegen van een aanslag tegen regeringsvorm gelijk gesteld met voltooid delic).
      • Artikel 79 Sr: “Aanslag tot een feit bestaat, zodra het voornemen van de dader zich door een begin van uitvoering, in de zin van artikel 45, heeft geopenbaard.”
      • Bunyi pasal ini sama dengan Pasal 87 WvSNI sehingga juga dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan cara sama:
      • Dalam bahasa Indonesia  menjadi: upaya melakukan tindak pidana (attempt to commit a crime) dikatakan ada, seketika niat pelaku telah diwujudkan dalam permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 45”. <Tekst en Commentaar Strafrecht, Kluwer: gp, lemma Artikel 79, paragraaf 2>.
      • Aanslag sebagai serangan dalam rumusan delik-delik yang ada jelas dilakukan dengan maksud (ondernomen met het oogmerk; committed with the intention): (a) menghilangkan nyawa atau merampas kebebasan atau membuat tidak mampu kepala negara/pemerintahan menjalankan tugasnya. Serupa dengan serangan yang ditujukan pada perwakilan negara asing atau orang-orang tertentu yang dilindungi dalam hukum internasional menjalankan tugasnya.; (b) menggganti pemerintahan yang sah secara inkonstitusional (melawan hukum) dan (c) memisahkan diri atau menempatkan sebagian atau seluruh wilayah negara ke bawah kekuasaan asing (juga dengan cara-cara yang melawan hukum atau inkonstitusional).
      • Tidak disebutkan atau ada keterangan tentang apakah serangan tersebut harus violent atau harus melibatkan kekerasan fisik. Hanya ada indikasi (dengan membaca rumusan delik) bahwa serangan tersebut dilakukan dengan maksud (oogmerk) (a) menghilangkan nyawa; (b) merampas kebebasan; (c) membuat tidak mampu atau dalam hal dilakukan dengan maksud memisahkan diri harus dilakukan dengan melawan hukum atau inkonstitusional.
      • Istilah aanslag (attack/serangan) dan aanslag tot en feit (attempt to commit a crime/upaya melakukan tindak pidana) yang muncul dan dituliskan secara tegas dalam rumusan delik-delik (sebagai kejahatan terhadap keselamatan negara) jelas keliru, salah dan menyesatkan bila diterjemahkan langsung dengan kata makar. Ini dikatakan dengan memperhatikan asas legalitas dalam hukum pidana yang memajukan kepastian hukum: perbuatan apa yang seharusnya dinyatakan terlarang dan diancam dengan pidana.  Istilah makar mencakup pengertian yang lebih luas dan mengindikasikan semua perbuatan yang dikategorikan sebagai pengkhianatan (treason) atau ancaman terhadap keselamatan negara atau dalam bahasa lebih sederhana keberlangsungan negara dan pemerintahan yang sah.
      • Arti rerefendum:
        • Secara gramatikal atau leksikal: Referendum ; noun [ C ] / us: ref•əˈren•dəm/ plural referendums or referend / us: ref•əˈren•də/: a vote in which all the people in a country or an area decide on an important questionhttps://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/referendum.
        • Dipersamakan juga dengan plebicite: a vote by the people of an entire country or district to decide on some issue, such as choice of a ruler or government, option for independence or annexation by another power, or a question of national policy.https://www.britannica.com/topic/plebiscite
      • Dengan demikian, referendum secara singkat merujuk pada mekanisme atau proses bertanya langsung pada rakyat pemilih pandangan mereka tentang sesuatu hal yang dianggap negara menyangkut hajat hidup orang banyak.
      • Pengalaman Indonesia dengan referendum adalah sebagai berikut: a. pelaksanaan referendum (penentuan pendapat rakyat/pepera) untuk meminta pandangan dan putusan rakyat Papua Barat (1969 sebagai implementasi Perjanjian New York; 1962); b. Pelaksanaan referendum Timor Timur (1999) sebagai implementasi Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor (1999).Keduanya diselenggarakan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
      • Contoh referendum yang dilaksanakan di luar pengawasan PBB ialah referendum bangsa Kurdi yang menyatakan memisahkan diri dari Irak, 2017 atau referendum rakyat Catalonia yang menyatakan merdeka dari Spanyol, 2017. Konstitusionalitas referendum tersebut dipertanyakan oleh negara induk dan masih diperdebatkan oleh masyarakat internasional.

c. BUKTI SURAT

  1. Bukti Surat JPU Dalam persidangan ini Sdr.JPU tidak mengajukan bukti surat.
  1. Bukti Surat PH Bukti Surat yang diajukan Penasehat Hukum Terdakwa:
    • Bukti Bukti surat tentang pembelahan rasisme yang menerangkan tentang akar persoalan yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur serta aksi Rasisme yang terjadi di Papua pada tanggal 15 Agustus sampai dengan 29 Agustus 2019;
    • Bukti T2 Bukti surat Cover Papua Road Map dan Booklet Papua Road Map menerangkan tentang peta dan sumber konflik di Papua yang ditulis pada tahun 2009;
    • Bukti T3 Bukti surat tentang Keterangan Aksi Demo  Rasisme pada tanggal 19 Agustus dan 29 Agustus 2019 di Kota Jayapura, Papua;
    • Bukti T4 Bukti Video 1 (pertama) menerangkan tentang aksi rasisme di Kota Jayapura pada tanggal 19 Agustus 2019 berjalan damai tanpa adanya anarkis yang dilakukan oleh Mahasiswa dan Masyarakat sipil Papua;
    • Bukti T5 Bukti Video 2 (dua) menerangkan tentang aksis rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019 yang dilakukan oleh Mahasiswa yang tergabung dalam BEM dan Cipayung di Kota Jayapura, Papua;
    • Bukti T6 Bukti Video 3 (Ketiga) menerangkan tentang duduk persoalan yang terjadi di Jawa Timur, Kota Surabaya terhadap mahasiswa Papua;
    • Bukti T7 Bukti Putusan Makar Nomor : 69/ Pid.B/2001/PN.JPR, tentang  2 Terdakwa An Pdt. Herman Awom, S.Th dan Thaha M Alhamid tidak dapat di Jatuhi hukuman pidana;
    • Bukti T8 BuktiPutusanMakarNomor:45/Pid.B/2009/PN Nbetentang 15 Terdakwa diPengadilanNegeri  Nabire yang di Vonis Bebas.

d. PETUNJUK

  • Bahwa berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa benar telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi,surat dan keterangan terdakwa(Pasal 188 Ayat (2) KUHAP);
  • Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi,ahli dan keteranga terdakwa serta barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan di persidangan, bilamana dikaitkan satu dengan lainnya tidak bersesuaian sebagai suatu fakta, JPU memaksakan untuk menghubung-hubungankan satu dengan yang lain padahal saling terpisah, bukan rangkaian tindakan yang didasari oleh satu niat serta tidak memiliki hubungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebagai suatu tindak pidana makar.

e. KETERANGAN TERDAKWA ALEXANDER GOBAY

  • Bahwa terdakwa pada tanggal 27 dan 28 Agustus mengikuti kegiatan organisasi PMKRI  di balai Pertanian Waena;
  • Bahwa Pemeriksaan terhadap terdakwa  dari sore jam 20.00 Wit sampai subuh
  • Bahwa awalnya tidak didampingi penasihat hukum tapi pada pertengahan pemeriksaan penasihat hukum yang disiapkan polisi masuk
  • Bahwa terdakwa tidak dipaksa ataupun diintimidasi secara fisik namun secara mental tertekan
  • Bahwa terdakwa disuruh membaca BAP terdakwa
  • Bahwa terdakwa tidak terlalu membaca BAP baik karena sudah subuh karena mengantuk
  • Bahwa ada beberapa pertanyaan pemeriksaan yang terdakwa bisa koreksi
  • Bahwa terdakwa tahu aksi tanggal 19 Agustus 2020 dan 29 Agustus 2020
  • Bahwa terdakwa perlu klarifikasi disini, sebagian benar tapi kalau penanggung jawab umum terdakwa bukan penanggung jawab umum tapi penanggung jawab BEM se-kota Jayapura
  • Benar bahwa tujuan aksi tanggal 19 Agustus merupakan pengungkapan pelaku rasisme dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Bahwa Jumlah massa aksi kurang lebih sebanyak 10 ribu orang. Bahwa orator dalam aksi tanggal 19 Agustus 2020 korlap dari masing-masing titik kumpul Uncen Atas, Uncen Bawah, Ekspo, Umel Mandiri dan Merpati Lingkaran Abe. Bahwa saudara Viktor Yeimo (Juru Bicara KNPB) melakukan orasi di Merpati Lingkaran Abe, Kantor MRP, depan Kantor DPRD dan di Kantor Gubernur.
  • Bahwa terdakwa mengikuti rapat aksi sebelum aksi tanggal 19 Agustus 2019
  • Bahwa sebagian pertanyaan benar tapi perlu terdakwa klarifikasi Yang pertama dibagian poin (A) akhir kalimat itu bahwa terdakwa diatas mobil open cup bersama saudara Viktor Yeimo itu tidak benar, terdakwa berada dibawah. Yang Kedua di poin (F) itu tidak benar.
  • Bahwa saat aksi rasisme tanggal 19 Agustus 2019 tidak ada bendera, namun karena penyidik memperlihatkan gambar massa aksi membawa bendera bintang kejora, sehingga saya menjawab bahwa ada massa aksi yang membawa bendera bintang kejora.
  • Bahwa terdakwa perlu klarifikasi di tanggal 19 Agustus 2020 tidak ada bendera
  • Bahwa Viktor Yeimo dan Agus Kosay berada di lingkaran Abe bersama Massa aksi. Bahwa Viktor Yeimo menjadi orator.
  • Bahwa Agus Kosay berjalan bersama massa aksi.
  • Bahwa terdakwa tidak mengetahui siapa yang membuat selebaran aksi. Bahwa
  • Terdakwa tidak mengetahui ada massa KNPB yang mengikuti aksi. Bahwa
  • Benar terdakwa bersama Ferry Kombo tidak melarang Viktor Yeimo melakukan orasi
  • Bahwa erdakwa bersama-sama massa tiba di halaman kantor Gubernur pukul 16.00 Wit
  • Terdakwa mengikuti setiap tahapan-tahapan aksi sampai akhir
  • Terdakwa mengikuti setiap orasi
  • Terdakwa tidak melihat penurunan bendera merah putih di kantor gubernur
  • Terdakwa tahu kepanjangan KNPB, namun tujuan organisasi KNPB terdakwa tidak tahu, tapi penyidik memasukan penjelasan menurut mereka.
  • Bahwa poin 22 terkait penjelasan detail lagu “kami bukan merah putih” ini terdakwa tidak pernah menjawab namun penyidik sendiri yang menjawab dan menjelaskan
  • Bahwa terdakwa tidak bisa melarang Viktor Yeimo melakukan orasi karena massa aksi terlalu banyak.
  • Bahwa terdakwa tidak melihat ada Bendera Bintang Kejora dan KNPB pada aksi tanggal 19 Agustus 2019
  • Bahwa tidak ada rapat evaluasi setelah aksi tanggal 19 Agustus 2019.
  • Bahwa terdakwa sebelum aksi, terdakwa bersama perkumpulan BEM USTJ bersama BEM Universitas Sekota Jayapura melakukan kegiatan piknik atau rekreasi di Pantai Hamadi, kemudian terdakwa mendapatkan panggilan telepon dari sdr. Ferry Kombo selaku mantan Ketua BEM Universitas Cendrawasih untuk adakan rapat di Mabes Kabemas Uncen terkait dengan Rasisme yang terjadi di Surabaya, dan terdakwa menjawab akan datang. Kemudian pada sore hari terdakwa bersama sekretaris II BEM USTJ tepatnya tanggal 18 Agustus 2019 di Kabesma UNCEN. Dalam pertemuan itu kami membahas persoalan Rasisme dan tidak sedikitpun membahas soal mengenai referendum, Papua Merdeka dan lain-lain. Dalam rapat tersebut dipimpin oleh sdr. Ferry Kombo selaku Mantan Ketua BEM UNCEN.
  • Bahwa sebelum menghadiri rapat, sdr. Ferry kombo sempat bertemu dengan pihak kemanan yakni KAPOLRES Kota Jayapura untuk memberitahu bahwa esok akan ada aksi dan penyampaian ini dibuat dalam bentuk surat Pemberitahuan dan izin melakukan aksi, dan hal ini disampaikan oleh sdr. Ferry dalam rapat pertemuan akhir di tanggal 18 Agustus 2019. Selanjutnya sdr. Ferry Kombo menyampaikan dalam rapat bahwa esok dalam aksi, tidak boleh ada unsur-unsur dari organisasi manapun, dan dalam aksi ini mahasiswa yang akan memegang kendali.
  • Bahwa keputusan ini juga disetujui oleh Semua Ketua BEM sekota Jayapura karena merupakan keputusan bersama . pada saat aksi tanggal 19 Agustus 2019, posisi saya berada di Sekretsriat BEM USTJ bersama beberapa mahasiswa USTJ melakukan orasi di lapangan Basket halaman depan Kampus USTJ, lalu kami menuju ke lingkaran Abepura yang diakomodir oleh kelompok Cipayung, PMKRI. GMNI, HMI dan GMKI yang memegang kendali dan sementara melakukan orasi di depan Kantor POS Indonesia Abepura.
  • Bahwa pada saat itu, kami bersama barisan USTJ dan Mahasiswa UNCEN berkumpul di lingkaran dan ikut melakukan orasi di depan Kantor POS Indonesia di sekitaran Lingkaran Merpati, kemudian kami menuju ke Kantor Gubernur serta tidak ada rencana apapun untuk berhenti di depan Kantor Pos Indonesia ataupun di Kantor MRP atau berhenti dimanapun dan ini adalah hasil keputusan bersama dalam rapat tanggal 18 Agustus 2019.
  • Bahwa terdakwa melihat ada perwakilan dari Kelompok Cipayung ikut hadir rapat di tanggal 18 Agustus 2019 atas nama Putra selaku Ketua HMI dengan memakai seragam almamater, dari PMKRI adalah Ketua beserta beberapa orang dari PMKRI, GMKI diwakilkan oleh salah satu pengurus.
  • Bahwa terdakwa juga melihat perwakilan dari seluruh Kampus Sekota Jayapura ikut hadir dalam pertemuan tanggal 18 AGUSTUS 2019 diantaranya; Kampus Umel Mandiri, Kampus STIKOM Jayapura, Kampus STIE Ottow Geisler Port Numbay, Kampus YAPIS Jayapura, Kampus ASMI di Hamadi, Water Poos, Kampus STT Ottow Geisler, Kampus STFT Fajar Timur, Kampus STIE Pertanian Sentani,
  • Bahwapada saat masa aksi tiba di Kantor Gubernur, masa aksi diterima langsung oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, dan juga turut hadir Ketua MRP Provinsi Papua bersama rombongan sekitar 50 orang bersama seluruh anggota MRP, DPRP beserta seluruh anggota DPRP, FORKOPIMDA juga turut hadir, lalu Ketua KNPI Provinsi Papua, Tokoh masyarakat, Tokoh Agama, tokoh Perempuan dan beserta lapisan masyarakat di Kota Jayapura.
  • Bahwa terdakwa melihat ketua KNPI Provinsi Papua turut memberikan orasi, beserta beberapa perwakilan dari Tokoh –tokoh yang hadir juga diberi kesempatan untuk berorasi.
  • Bahwa terdakwa bersama teman-teman dari Cipayung, BEM seKota Jayapura yang turut menyerahkan pernyataan sikap dalam rapat, yang disepakati bersama diantaranya :
    1. STOP intimidasi, Rasis dan Diskriminasi terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya.
    2. Adili Pelaku ujaran Rasisme di Suarabaya
    3. Gubernur Provinsi Jawa Timur (Surabaya) segera menyampaikan permohonan maaf kepada Mahasiswa Papua dan dan seluruh rakyat Papua
    4. Meminta Kepada Presiden Republik Indonesia, untuk memberikan perlindungan kepada seluruh Mahasiswa Papua yang ada di Indonesia.
  • Inilah beberapa poin pernyataan sikap yang menjadi tuntutan dari seluruh mahasiswa di Provinsi Papua yang kemudian diserahkan ke Gubernuir Provinsi Papua.
  • Bahwa terdakwa bersama semua BEM sekota Jayapura menerima respon yang sangat baik dari Gubernur Provinsi papua atas pernyataan sikap yang telah diserahkan dan Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe menyampaikan bahwa akan menindaklanjuti dan meneruskan pernyataan sikap yang disampaikan oleh seluruh BEM Kota Jayapura kepada Presiden Republik Indonesia dan juga kepada Gubernur Provinsi Jawa Timur.
  • Bahwa terdakwamengetahui jika sehari setelah menerima pernyataan sikap dari seluruh BEM Mahasiswa Sekota Jayapura, Gubernur Provinsi Papua langsung menuju ke Jakarta
  • Bahwa terdakwatidak melakukan komunikasi dengan Gubernur Provinsi Papua terkait keberangkatan Gubernur Provinsi Papua ke Jakarta.
  • Bahwa terdakwaselaku Ketua BEM USTJ, bersama mantan Ketua BEM UNCEN Ferry Kombo ikut dan turut berangkat mewakili Mahasiswa menuju ke Jakarta lalu menuju ke Surabaya.
  • Bahwa terdakwaketika berada di Surabaya, yang dilakukan oleh Tim perwakilan Mahasiswa Se-Jayapura menyerahkan hasil dari kegiatan aksi tanggal 19 Agustus 2019 di Jayapura tim Mahasiswa dalam bentuk kajian singkat dan juga dalam bentuk kliping tentang Rasisme, lalu kajian singkat dank lipping ini diserahkan ke Gubernur Provinsi Papua, yang kemudian menyerahkan kepada Gubernur Jawa Timur. Sesampai di Surabaya juga, Tim Forkopimda Provinsi Papua bertemu dengan Gubernur Jawa Timur, yang juga dihadiri oleh Pangdam Jawa Timur, Kapolda Jawa Timur, dan seluruh Fokopimda Provinsi Jawa Timur.
  • Bahwa terdakwabersama tim mahasiswa, Gubernur Provinsi Papua dan seluruh Forkopimda dari Provinsi Papua mendengar langsung permintaan maaf dari Gubernur Provinsi Jawa Timur terkait ujaran Rasisme yang dialami Mahasiswa Papua dan siap melindungi seluruh mahasiswa Papua yang ada di Jawa Timur, dan ini adalah respon yang baik dari Gubernur Jawa Timur.
  • Bahwa terdakwaberada di Surabaya sejak tanggal 26 – 28 Agustus 2019, atau selama tiga hari.
  • Bahwa terdakwaterkait aksi tanggal 29 agustus 2019 bukan merupakan rencana aksi dari terdakwa karena pada saat itu, terdakwa bersama Ferry Kombo fokus pada proses yang sedang berjalan di Surabaya dan tidak ada komunikasi sama sekali dengan teman-teman mahasiswa yang ada di Jayapura.
  • Bahwa Terdakwa sendiri akhirnya merasa kaget ketika dalam perjalanan pulang dari Surabaya dan transit di Bali sekitar 6 Jam yakni dari Jam 7 Malam sampai Jam 01 subuh barulah berangkat Dari Bali menuju ke Jayapura. Saat di Bali, terdakwa merasa kaget ketika melihat selebaran aksi yang tersebar di Facebook dan dalam selebaran tersebut menuliskan penanggung jawab aksi atas nama BEM USTJ, hingga akhirnya terdakwa menelpon sdr. Benny Lambe dan menanyakan mengapa KORLAP Aksi tertulis BEM USTJ.
  • Bahwa terdakwa sempat menelpon sdr. Benny Lambe dan meminta sdr. Beny untuk membuat selebaran menolak atau berhenti melakukan aksi tanggal 29 Agustus 2019 karena terdakwa tidak ingin bertanggung jawab atas aksi yang tidak menjadi keputusan bersama. Tetapi sdr. Beny Lambe menyampaikan bahwa selebaran aksi sudah disebarkan jadi tidak bisa ditunda atau diberhentikan lagi, sehingga akhirnya saudara terdakwa menyampaikan bahwa, ok baik, aksi boleh berjalan karena selebaran sudah disebarkan, maka dari itu aksi hanya dilakukan di sekitaran Lingkaran Abe, lalu setelah itu bubar.
  • Bahwa terdakwasetelah dari Surabaya tanggal 28 agustus 2019 dan tiba di Sentani Kabupaten Jayapura tanggal 29 agustus 2019 ikut bergabung dalam aksi yang terjadi di hari dan tanggal tersebut karena dalam selebaran aksi yang sudah terlanjur beredar menuliskan penanggung jawab umum atas nama BEM USTJ, sehingga atas dasar menghormati dan menghargai almamater serta bertanggung jawab, terdapat bergabung ikut dalam aksi tersebut.
  • Bahwa terdakwajuga satu sempat melakukan 1 kali orasi di halaman USTJ dan 1 kali orasi di Lingkaran Abe
  • Bahwa Terdakwa melakukan orasi tentang rasisme
  • Bahwa Terdakwa ikut sampai ke kantor Gubernur
  • Bahwa ada kehadiran DPR pada jam 8 malam di kantor Gubernur
  • Bahwa ada permintaan dari DPR agar massa meninggalkan kantor Gubernur
  • Bahwa massa aksi bermalam di kantor Gubernur
  • Bahwa pembakaran telah terjadi debelum Terdakwa ke kantor Gubernur
  • Bahwa pembakaran dilakukan oleh massa diluar kelompok BEM
  • Bahwa ada koordinasi yang dilakukan oleh Terdakwa Alexander Gobay dengan kepolisan dalam hal ini Kapolres Jayapura untuk memulangkan massa pada pagi hari
  • Bahwa pemulangan massa aksi sampai sore tanggal 31 Agustus
  • Bahwa ada komunikasi dengan pihak kepolisan untuk pemulangan massa aksi pada tanggal 19 Agustus 2019
  • Bahwa pemulangan massa aksi menggunakan truk dan bis TNI/Polri
  • Bahwa aksi 19 dan 29 Agustus imbas dari rasisme tang terjadi terhadap Mahasiswa di Surabaya
  • Bahwa aksi di luar Kota Jayapura merupakan aksi spontanitas dari masyarkat dan tidak dikoordinir oleh BEM se Kota Jayapura
  • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay tidak melihat bendera Bintang Kejora Berkibar di tiang bendera
  • Bahwa saat pertemuan di Surabya Terdakwa Alexander Gobay ada bersama dengan Gubernur
  • Bahwa dalam pertemuan dengan Gubernur dan Forkopinda tidak ada penyampain terkait dengan bendera Bintang Kejora yang berkibar di Kantor Gubernur
  • Bahwa Terdakwa tahu soal bendera Bintang Kejora yang berkibar saat diperiksa oleh penyidik
  • Bahwa tidak ada penjelasan terkait gambar bendera Bintang Kejora yang berkibar di kantor Gubernur
  • Bahwa tidak ada inisiatif untuk menghubungi Terdakwa Alexander Gobay sebagi Koordinator
  • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay saat berorasi dilingkaran sempat meminta massa aksi untuk membubarkan diri karena aksi hanya di lingkaran
  • Bahwa saat Terdakwa Alexander Gobay sampai ke Lingkaran ada sebagian massa aksi yang sudah bergerak
  • Bahwa saat jam 12 siang massa sudah sangat banyak
  • Bahwa Terdakwa Alexander Gobay berada dirombongan pertengahan massa
  • Bahwa yel-yel dilakukan dari awal sampai di kantor Gubernur
  • Bahwa yel-yel selalu dilakukan disetiap aksi bukan saja aksi 19 dan 29 Agustus
  • Bahwa symbol Bintang Kejora sangat mudah ditemukan di baju, gelang dan tas.
  • Bahwa tidak ada proses hukum terkait dengan simbol Bintang Kejora sampai saat ini
  • Bahwa ada proses hukum terkait dengan aksi demo rasisme dibeberapa kota di Papua
  • Bahwa ada yang diproses dengan pasal makar tetapi sudah bebas

f. BARANG BUKTI

Barang bukti yang diajukan di persidangan:

  • 1 (Satu) unit Laptop merk HP+ Cash;
  • 1 (Satu) buah HP Samsung J7;
  • 1 (satu) buah Flash hitam disk 18 GB. Dirampas Untuk Dimusnahkan;
  • 1 (satu) rangkap surat badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan tinggi Negeri dan Swasta sekota Jayapura. Pres Realese menolak Rasisme dan menuntut penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua tanggal 31 Agustus 2019;
  • 1(satu) Rangkap surat LEMBARAN SUSUNAN KRONOLOGIS AKSI JILID I DAN JILID II DENGAN AGENDA KATA MONYET DALAM HAL INI PENGHINAAN LEBIH KHUSUS KE ORANG PAPUA PADA TAHUN 2019 (3 Lembar). Terlampir dalam berkas Perkara;
  • 7 (tujuh) Unit Komputer Lenovo;
  • 1 (satu) Unit Komputer Asus;
  • 1 (satu) Unit Komputer Samsung;
  • 1 (satu) Unit Komputer Acer;
  • 2 (dua) Unit Komputer HP;
  • 2 (dua) Unit Komputer Dell;
  • 2 (dua) Unit Printer Hp Laserjet P1102;
  • 2 (dua) Unit Printer Canon Pixma;
  • 1 (satu) Unit Printer Epson;
  • 2 (dua) buah Keyboard Acer.
  • 1 (satu) buah Keyboard Logitech.
  • 1 (satu) buah Keyboard Asus;
  • 7 (tujuh) buah Keyboard Lenovo;
  • 2 (dua) unit Cpu Dell;
  • 8 (delapan) buah Mouse Lenovo;
  • 1 (satu) buah Mouse HP;
  • 2 (dua) buah Mouse Acer;
  • 1 (satu) buah Mouse Logitech;
  • 1 (satu) buah Mouse Votre;
  • 1 (satu) buah Charger Laptop Hipro;
  • 2 (dua) buah Charger Laptop Asus;
  • 1 (satu) buah Charger Laptop HP;
  • 4 (empat) buah Charger Komputer Lenovo;
  • 2 (dua) buah Kabel Power Komputer;
  • 2 (dua) buah Kabel Data Komputer;
  • 5 (lima) buah Kabel Printer;
  • 2 (dua) buah Kabel Roll;
  • 1 (satu) buah T ape Compo Polytron;
  • 1 (satu) buah Setelan Suara Mic Behringer Uphorio Umc 22;
  • 1 (satu) buah Amplifier UHF;
  • 1 (satu) buah Digital Video Recorder Ahd;
  • 1 (satu) buah Wireless In Router Wifi Asus;
  • 1 (satu) buah Wifi Zte;
  • 1 (satu) buah Terminal Wifi 3com;
  • 1 (satu) buah Memory CPU;
  • 1 (satu) buah Mic Duduk Anysong;
  • 1 (satu) buah Charger Battery Nikon;
  • 1 (satu) buah Mic Megaphone;
  • 2 (dua) buah Kalkulator Casio;
  • 1 (satu) buah Kamera CCTV Hikvision;
  • 1 (satu) buah Buku Kerja 2018 Prov. Papua;
  • 1 (satu) buah Speaker Bluetooth Kecil;
  • 2 (dua) Roll Kain Warna Cokelat Korpri;
  • 27 (dua puluh tujuh) buah Ikat Pinggang Kecil Korpri;
  • 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias;
  • 1 (satu) buah Kabel Lampu Hias Salib;
  • 11 (sebelas) bauh Tas;
  • 1 (satu) unit Sepeda Motor Honda;
  • 1 (satu) buah Kunci Ring;
  • 1 (satu) buah Rangkaian Gantungan Kunci;
  • 1 (satu) buah Obeng Plat;
  • 1 (satu) buah Parang / Pisau;
  • 2 (dua) buah T ombak Kayu Panjang;
  • 4 (empat) buah Busur;
  • 36 (tiga puluh enam) buah Anak Panah;
  • 47 (empat puluh tujuh) buah Batu;
  • 58 (lima puluh delapan) buah Besi + Pipa;
  • 47 (empat puluh tujuh) buah Ketapel;
  • 6 (enam) buah Pecahan Kaca;
  • 5 (lima) batang Potongan Kayu.

Bahwa terdakwa tidak pernah ditunjukan Barang Bukti tersebut oleh JPU selama proses persidangan oleh karenanya Barang Bukti tersebut tidak patut diakui sebagai milik terdakwa.

 

V. ANALISA FAKTA PERSIDANGAN

Majelis Hakim yang terhormat,
Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Hadirin sidang sekalian yang berbahagia.

Bahwa untuk membuktikan apakah Terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana dalam Surat Tuntutan Sdr. JPU melanggar Dakwaan Kedua  yakni  Pasal 110 KUHP Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP maka haruslah berdasarkan alat bukti yang cukup yakni berupa fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, maka dari fakta-fakta persidangan yang terungkap, dapat dianalisa sebagai berikut:

a. MAHASISWA PAPUA SURABAYA MENJADI KORBAN TINDAKAN RASIS

  • Bahwa Demonstrasi Anti Rasisme tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 yang terjadi di Jayapura tidak terlepas dari kaitannya dengan kejadian yang terjadi tanggal 16 Agustus 2019 di Surabaya yaitu saat kejadian pengempungan Asrama Mahasiswa Papua oleh beberapa masa dari Organisasi Masyarakat (Ormas), oknum Perwira TNI-AD, selain itu Satpol PP, aparat Kepolisian setempat yang berada di tempat kejadian perkara tak berbuat apa-apa. Beberapa masa dari ormas kemudian memaki dengan kata-kata rasis “Monyet, Babi, Anjing, dan Kera” ada juga yang mengatakan “Kamu jangan keluar, saya tunggu kamu. Saat itu juga jumlah ormas-ormas reaksioner bertambah banyak. Kemudian mendobrak pintu depan Asrama Mahasiswa Papua dan melempari batu hingga mengakibatkan kaca asrama pecah, sehingga Mahasiswa Papua yang berada di dalam Asrama terkurung di ruang Aula Asrama;
  • Bahwa tindakan rasis tersebut berlanjut di tanggal 17 Agustus 2019 yaitu saat sekelompok Ormas reaksioner mendatangi Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan meneriakan yel-yel “Usir usir usir Papua, Usir Papua sekarang juga. Selain itu Kata-kata Rasis (Monyet, Anjing, Babi) pun masih diteriaki;
  • Bahwa Mahasiswa Papua di Surabaya adalah korban dari tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya yang dilakukan oleh Ormas, oknum Perwira TNI-AD, selain itu Satpol PP dan aparat Kepolisian setempat juga turut menjadi bagian dari tindakan rasis tersebut karena membiarkan tindakan rasisme tersebut;
  • Bahwa akibat dari tindakan rasisme di Surabaya tersebut membuat marah seluruh masyarakat Papua;
  1. DEMONSTRASI TANGGAL 19 AGUSTUS 2019 DAN 29 AGUSTUS 2019 DIFASILITASI OLEH BEM SEJAYAPURA BUKAN OLEH ULMWP, KNPB, AMP DAN LAIN-LAIN
  • Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan tidak ada satu pun keterangan saksi yang mengatakan adanya keterlibatan ULMWP, KNPB, AMP dan lain-lain dalam Demonstrasi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019;
  • Bahwa berdasarkan keterangan saksi atas nama Apkol Uropmabin dan saksi atas nama Semy Gobay yang memberikan keterangan di dalam persidangan menegaskan Demonstrasi yang dilakukan tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 merupakan pernyataan sikap dari mahasiswa bersama masyarakat Papua dalam menentang tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya dan kemudian aksi demonstrasi tersebut di fasilitasi oleh masing-masing BEM Se-Jayapura;
  • Bahwa di dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan terkait adanya keterlibatan ULMWP, KNPB, AMP, dan lain-lain dalam demonstrasi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019;

b. DEMONTRASI 19 AGUSTUS 2019 DAN 29 AGUSTUS 2019 ADALAH DEMONSTRASI MENOLAK TINDAKAN RASISME YANG DIJAMIN DALAM UU NOMOR 40 TAHUN 2008

  • Bahwa demonstrasi yang dilakukan pada 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 merupakan bagian dari sikap mahasiswa Se-Jayapura bersama seluruh masyarakat Papua menolak tindakan rasisme sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 dan 10 UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang berbunyi:

Pasal 9

“Setiap warga Negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis”.

Pasal 10

“Setiap warga Negara wajib:

  • membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan etnis; dan
  • memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui terjadinya diskriminasi ras dan etnis;

d. ORASI DAN YEL-YEL PAPUA MERDEKA DALAM DEMOSTRASI DAMAI DIJAMIN OLEH UNDANG-UNDANG

  • Bahwa Saksi Semi Gobay dan Laurenzus Kadepa dalam persidangan mengatakan pada aksi demostrasi damai menentang rasisme di tanggal 19 Agustus 2019 diberikan ruang oleh  pihak kemanan dan berjalan dengan aman dari awal sampai akhir;
  • Bahwa saksi semi gobay mengatakan yang berorasi saat aksi tersebut dari perwakilan tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh mahasiswa dan Viktor Yeimo. Menurut Semi Gobay dan Laurenzus Kadepa semua orator menyampaikan yel-yel papua dan diikuti oleh masa aksi dengan merdeka. Selain itu juga semua menyampaikan kata referendum. Terlepas dari aksi tanggal 19 Agustus 2019 sepanjang pengalaman saksi Laurenzius Kadepa menjabat sebagai anggota DPRP sudah sering menerima aksi masyarakat papua dan didalamnya mayoritas menyampaikan yel-yel papua dan dibalas oleh masa aksi dengan kata merdeka;
  • Bahwa menurut ahli Dr. Herlambang Wiratraman kalimat papua merdeka merupakan bagian dari ekspresi politik yang dilindungi secara HAM. Berkaitan dengan espresi politik yang dijamin dikuatkan juga oleh keterangan Ahli Psikologi Sosial Politik Prof. Dr. Hamdi Muluk, Ph.D yang dihadirkan oleh saudara JPU;
  • Bahwa menurut ahli bahasa Dr. Aprinus Salam, M.Hum yang dihadirkan oleh saudara JPU dalam pesidangan menanggapai kalimat papua merdeka dengan mengatakan “Jika kata atau pernyataan atau yel-yel dalam bentuk kewacaan tidak bermasalah. Sah-sah saja”;
  • Berdasarkan keterangan diatas sudah dapat disimpulkan bahwa ORASI DAN YEL-YEL PAPUA MERDEKA SAH-SAH SAJA DAN DIJAMIN OLEH UNDANG-UNDANG;

 

e. JPU TIDAK MENGHADIRKAN AHLI PIDANA UNTUK MENJELASKAN UNSUR-UNSUR PASAL MAKAR DAN UNSUR-UNSUR PASAL PENYERTAAN

  • Bahwa Keterangan ahli berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara;
  • Bahwa dalam persidangan untuk membuktikan dakwaannya saudara JPU sama sekali tidak menghadirkan saksi ahli pidana namun hanya menghadirkan 3 (tiga) orang Saksi Ahli antara lain Ahli Bahasa, Ahli Psikologi Sosial Politik dan Ahli Hukum Tata Negara.
  • Bahwa berdasarkan dari fakta persidangan maka dari ke tiga saksi ahli yang telah dihadirkan oleh sudara JPU yaitu baik Ahli Bahasa, Ahli Psikologi Sosial Politik dan Ahli Hukum Tata Negara maka secara keahliannya tidak berkompetensi menjelaskan bagaimana perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar dan juga Unsur Penyertaan serta keterangan keahliannya tidak terdapat korelasi dengan perbuatan terdakwa.
  • Bahwa kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa berpendapat bahwa secara keilmuan yang berkompetensi untuk menjelaskan apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana sehingga terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum sebagaimana yang di Tuntut oleh saudara JPU dalam Dakwaan Kesatu Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP adalah Ahli Pidana, sehingga terhadap keterangan ahli tersebut patutlah dikesampingkan dan ditolak.

f. TINDAK PIDANA MAKAR TIDAK TERBUKTI

Bahwa untuk membuktikan apakah Terdakwa terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Surat Tuntutan Sdr. JPU, yaitu bahwa terdakwa melanggar Dakwaan Kedua yakni  Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP maka haruslah berdasarkan alat bukti yang cukup yakni berupa keterangan saksi-saksi, keterangan Ahli, barang bukti, dan keterangan terdakwa yang diberikan di ruang persidangan. Dari fakta-fakta persidangan yang terungkap, dapat dianalisa, sebagai berikut:

  • Bahwa keterangan Saksi sesuai dengan penegasan dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP, yakni Keterangan yang saksi lihat sendiri; saksi dengar sendiri; alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana. Selain itu, untuk menentukan kebenaran materil yang sesungguhnya, maka harus diperhatikan Pasal 185 Ayat 6 KUHAP “persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya; alasan yang dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu, cara hidup dan kesusilaan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
  • Bahwa salah unsur dari Pasal 110 ayat (1) adalah: Permufakatan jahat; Penafsiran otentik dari unsur ini dapat ditemukan dalam Pasal 88 KUHP yang berbunyi:  “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Artinya Permufakatan yang terjadi harus setidak-tidaknya dilakukan oleh 2 orang atau lebih, karena perbuatan permufakatan tidak mungkin dilakukan oleh hanya satu orang saja. Jadi ini terjadi apabila sudah terdapat kesepakatan setelah ada perundingan atau perjanjian. Terhadap Tuntutan JPU, hanya terdakwa Alexander Gobay yang dikenakan Pasal 110 ayat (1) sedangkan tuntutan terhadap terdakwa lainnya yakni Ferry Kombo, Hengky Hilapok dan terdakwa Irwanus Uropmabin tidak mencantumkan pasal 110 Ayat (1) KUHP. Dengan demikian bersama siapakah Alexander Gobay dituduh melakukan permufakatan jahat untuk melakukan makar ,oleh JPU ?.
  • Bahwa benar aksi tanggal 19 agustus 2019 dan aksi tanggal 29 agustus 2019 adalah aksi menolak tindakan rasisme yang terjadi di Surabaya yang dikoordinir oleh BEM se Jayapura dimana Terdakwa ALEXANDER GOBAY sebagai ketua BEM USTJ sebagai salah satu koordinator namun penangkapan dan penyidikan, penahanan dan proses hukum serta tuntutan terhadap terkesan dipaksa untuk dikenakan apsal makar. Terdakwa Terdakwa ALEXANDER GOBAY tidak melakukan makar sebagaimana pasal 106 KUHP sebab terdakwa adalah bagian BEM se kota Jayapura yang turut menyampaikan aspirasi terkait tindakan rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya. Terdakwa bersama terdakwa FERRY KOMBO (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) bersama BEN se kota jayapura lainnya mahasiswa mengkoordinir aksi agar tetap aman hingga menyampaikan aspirasi ke gubernur di kantor gubernur Papua. Hal ini bersesuai dengan pendapat ahli HAM dan kebebasan berekspresi HERLAMBANG WIRATRAMAN S.H, MA, dan keterangan saksi FERRY KOMBO, saksi IRWANUS UROPMABIN, saksi SEMMY GOBAY dan saksi LAURENZIUS KADEPA.
  • Bahwa benar pada aksi tanggal 29 Agustus 2019 terjadi kerusuhan, pengurusakan dan penjarahan akan tetapi terdakwa ALEXANDER GOBAY bukanlah orang yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut karena terdakwa hanya salah satu koordinator dari BEM se Japapura yang mengakomodir tuntutan masyarakat sipil di Papua agar pemerintah memproses pelaku aksi rasis di Surabaya dimana berusaha agar aksi berjalan damai. Diketahui saat aksi, aparat keamanan ada dimana-mana dari berbagai institusi maka seharusnya yang bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya kerusuhan, pembakaran dan pengrusakan dari satu tempat dengan tempat yang lain yang relatif jauh(puluhan kilo meter) maka seharusnya ada tindakan pencegahan dari aparat keamanan. Hal ini bersesuaian dengan keterangan ahli HAM dan Kebebasan Berekspresi HERLAMBANG WIRATRAMAN S.H, MA. yang menerangkan bahwa negara dalam hal ini aparat seharusnya diminta pertanggungjawab terhadap kerusuhan yang terjadi. Juga harus mengungkapan pelaku kejahatan yang sebenarnya, hukum harusnya berlaku adil bagi siapa saja;
  • Bahwa benar pada saat aksi ada teriakan atau yel-yel Papua merdeka dan referendum bahwa yel-yel atau teriakan seperti itu selalu ada di setiap aksi. Hal in bersesuaian dengan keterangan saksi HENGKY HILAPOK, saksi FERRY KOMBO, saksi SEMMY GOBAY dan saksi LAURENZIUS KADEPA dan Ahli Politik Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc. Demikian juga simbol Bintang kejora yang dapat dengan mudah di temui di Papua dalam bentuk tas, gelang atau kalung.
  • Bahwa benar pada tangagl 19 Agustus 2019 tidak ada pengibaran bendera Bintang kejora di kantor guberrnur hal ini bersesuaian dengan keterangan dari saksi yang dihadirkan oleh JPU yakni saksi FERRY KOMBO, saksi HENGKY HILAPOK  dan saksi IRWANUS UROPMABIN, ataupun saksi dari terdakwa yakni saksi SEMMY GOBAY dan saksi LAURENZIUS KADEPA.
  • Bahwa benar saat aksi tanggal 29 agustus 2019 ada bendera Bintang Kejora yang dinaikan menggantikan bendera merah putih. Bahwa sanksi atau ancaman hukum terkait penurunan bendera merah putih haruslah menggunakan Undang Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dimana pada Pasal 66 ada ketentuan pidananya. Hal ini bersesuaian dengan keterangan Ahli yang dihadirkan oleh JPU yakni Ahli Hukum Tata Negara MUHAMMAD RULIYANDI, S.H.M dan Ahli dari terdakwa yakni Ahli HAM dan Kebebasan Berekspresi HERLAMBANG WIRATRAMAN S.H, MA.

g. TERDAKWA KORBAN KRIMINALISASI PASAL MAKAR

  • Bahwa fakta persidangan yang di dapat dari keterangan saksi-saksi maupun ahli yang di hadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum serta keterangan saksi-saksi maupun ahli yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum di dalam persidangan tidak ada satu pun keterangan saksi-saksi dan ahli tersebutyang mengatakan dalam persidangan bahwa perbuatan yang terdakwa lakukan dalam aksi demonstrasi pada tanggal 19 Agustus dan 29 Agustus merupakan perbuatan makar;
  • Bahwa fakta persidangan yang di dapat dari keterangan saksi-saksi maupun ahli yang di hadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum serta keterangan saksi-saksi maupun ahli yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum di dalam persidangan adalah untuk memperjelas mengenai keberadaan terdakwa saat ikut dalam aksi demonstrasi tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019 bukanlah bertujuan untuk makar melainkan untuk penyampaian aspirasi maupun pernyataan sikap sekaligus bentuk solidaritas terkait tindakan rasis yang dialami Mahasiswa Papua diAsrama Mahasiswa Papua di Surabaya;
  • Bahwa fakta persidangan yang di dapat dari keterangan saksi-saksi maupun ahli yang di hadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum faktanya tidak mampu membuktikan tuduhannya terkait perbuatan terdakwa sebagaimana yang telah disebutkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaannya;
  • Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Pasal yang dikenakan pada terdakwa adalah tidak tepat dan merupakan bagian dari kriminalisasi terkait Penerapan Pasal Makar terhadap terdakwa;

VI. ANALISA TUNTUTAN

Berdasarkan surat tuntutan yang dibuat dan dibacakan oleh saudara JPU dalam persidangan pada tanggal 4 Juni 2020 secara garis besar ditemukan beberapa pelanggaran dalam teknis perumusan surat tuntutan yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan, sebagai berikut :

  1. JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN MENGUTIP BAP DAN MENGABAIKAN FAKTA PERSIDANGAN
    • Bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri sebagaimana diatur pada pasal 189 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981;
    • Bahwa dalam persidangan saudara JPU tidak perna menghadirkan Ahli Pidana Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum untuk didengar keterangannya namun dalam surat tuntutan saudara JPU memasukan keterangan Ahli Pidana Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum pada halaman 15 – halaman 28;
    • Bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan sebagaimana Pasal 1 angka 28, UU Nomor 8 Tahun 1981;
    • Bahwa dengan menyebutkan “surat permohonan dari Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Papua Nomor : B/ /IX/Res.1.24/2019/Dit Reskrimum, tanggal 16 September 2019, dan atas permintaan tersebut ahli ditugaskan oleh Dekan Fakultas Hukum untuk memberikan keterangan” pada halaman 15) dan “Berkas Perkara Penyidik Polisi Nomor : B/105/IX/RES.1.24/2019/Ditreskrimum, tanggal 09 September 2019” pada halaman 36 secara langsung menunjukan fakta bahwa saudara JPU mengutip keterangan Ahli Pidana Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum dalam surat tuntutan pada halaman 15 – halaman 28 bersumber dari BAP Keterangan Ahli di depan penyidik Polda Papua bukan dari fakta persidangan;
    • Bahwa dalam surat tuntutan saudara JPU menyebutkan keterangan saksi DOLVIUS HISAGE dan saksi JONY WEYA sebagaimana terlihal pada halaman 7 – halaman 8 serta saksi RICKHAR DONNY ITLAY sebagaimana terlihat pada halaman 9 namun sayangnya saudara JPU tidak pernah menghadirkan DOLVIUS HISAGE, JONY WEYA dan RICKHAR DONNY ITLAY sebagai saksi didepan persidangan untuk keterangannya sebagai saksi;
    • Bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur pada pasal 185 ayat (1), UU Nomor 8 Tahun 1981;
    • Bahwa berdasarkan pada keterangan diatas membuktikan bahwa saudara JPU dalam menyusun Tuntutan terkesan mengarang bebas bahkan kembali mengutip keterangan ahli pidana dalam BAP dan mengabaikan fakta persidangan. 
  • JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN TIDAK MEMASUKAN KETERANGAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM DI DALAM PERSIDANGAN
    • Bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur pada pasal 185 ayat (1), KUHAP;
    • Bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan sebagaimana diatur pada pasal 186, KUHAP
    • Bahwa dalam persidangan JPU menghadirkan saksi dan ahli. Sementara itu, Penasehat Hukum dalam persidangan juga menghadirkan saksi dan Ahli;
    • Bahwa dalam Surat Tuntutan JPU kepada terdakwa ALEXANDER GOBAY hanya memasukan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh JPU dan tidak memuat keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan penasehat hukum;
    • Bahwa pada prinsipnya dalam Surat tuntutan (requisitoir) mencantumkan beberapa hal seperti tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa dalam ruang sidang yang mulia.
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas sudah dapat disimpulkan JPU DALAM MENYUSUN TUNTUTAN TIDAK MEMASUKAN KETERANGAN SAKSI DAN KETERANGAN AHLI YANG DIAJUKAN OLEH PENASEHAT HUKUM DI DALAM PERSIDANGAN 
  • JPU MENYIMPULKAN TERPENUHINYA DAKWAAN KESATU HANYA BERDASARKAN KETERANGAN AHLI BAHASA, AHLI PSIKOLOGI SOSIAL POLITIK DAN AHLI HTN
    • Bahwa menurut keterangan ahli Bahasa, pengertian kata makar dimaksudkan sebagai satu aksi pemikiran, tindakan dan/atau perbuatan, baik dalam bentuk kata-kata dan kalimat, maupun berbagai aktivitas lainnya, yang dianggap atau dinilai bertentangan dengan hukum. Pengertian makar jika lebih disederhanakan adalah pikiran, ucapan, tindakan dan/atau perbuatan yang melawan hukum dan merongrong kekuasaan resmi pemerintah tertentu;
    • Bahwamenurut ahli Hukum Tata Negara, dalam perkembangan perspektif best practice praktik hukum tata negara di Indonesia makar dapat diartikan sebagai sikap perlawanan terhadap keadaan sistem fundamental yang diatur dalam konstitusi (in het staatsrecht is een contitutie de grondslag van een staat) dalam suatu negara dengan cara berkeinginan untuk melakukan suatu perubahan sistem;
    • Bahwa menurut ahli psikologi politik, untuk memisahkan mana aspirasi yang merupakan protes terhadap ketidakadilan atau mana yang merupakan insurgensi atau usaha ke arah makar menjadi tugas dari penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti tersebut;
    • Bahwa pada prinsipnya secara keilmuan yang memiliki kapasitas untuk menjelaskan unsur-unsur tindak pidana termasuk tindak pidana makar atau tindak pidana penyertaan adalah ahli pidana;
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terkait tuntutan JPU yang “Menyatakan Terdakwa ALEXANDER GOBAY bersalah melakukan tindak pidana “yang melakukan perbuatan, Makar“, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 110 Ayat (1) Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dalam Surat Dakwaan Kesatu” yang didasari atas keterangan ahli Bahasa, ahli psikologi social politik dan ahli HTN dimuka persidangan diragukan secara ilmu hukum pidana sebab yang berkompeten membedah unsur-unsur tindak pidana makar dan unsur-unsur tindak pidana penyertaan adalah ahli pidana.
  • JPU Dalam Menyusun Tuntutan Tidak Mengikuti arahan Surat Edaran Jaksa Agung Tentang Pedoman Perumusan Tuntutan sehingga melahirkan Fakta Disparitas Tuntutan Pidana
    • Bahwa berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : 001/J.A/4/1995 tentang pedoman perumusan tuntutan dalam perkara tindak pidana biasa disebutkan adanya prinsip “Menghindari adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya”.
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Sayang Mandabayan oleh JPU di PN Manokwari dalam tuntutannya dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Erik Aliknoe Cs oleh JPU di PN Manokwari dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Yoseph Laurens Syufi alias Siway Bofit Cs oleh JPU di PN Sorong dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada Surya Anta Ginting Cs oleh JPU di PN Jakarta Pusat dituntut dengan pidana penjara selama 1 Tahun;
    • Bahwa dalam dakwaan tindak pidana makar yang dituduhkan kepada ALEXANDER GOBAY oleh JPU di PN Balikpapan dituntut dengan Pidana Penjara selama 10 (Sepuluh) Tahun;
    • Bahwa berdasarkan uraian diatas yang menunjukan adanya perbedaan tuntutan di Manokwari, Sorong, Jakarta dan Balikpapan menunjukan fakta JPU dalam merumuskan tuntutan tidak mengikuti arahan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : 001/J.A/4/1995 tentang pedoman perumusan tuntutan dalam perkara tindak pidana biasa sehingga dalam tuntutan JPU terhadap terdakwa ALEXANDER GOBAYterdapat “disparitas tuntutan pidana”.

 

VII. ANALISA YURIDIS

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Saudara Jaksa Penuntut Umum Yang kami Hormati,

Panitera Pengganti Yang Kami Hargai.

Dalam Surat Tuntutan/Requisitoirnya yang dibacakan hari Jumat tanggal 4 Juni 2020 Sdr. Jaksa Penuntut Umum telah berpendapat bahwa terdakwa ALEXANDER GOBAY telah terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana “Makar”, sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Kesatu yaitu melanggar Pasal 110 KUHP Jo Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat(1) ke-1 KUHP.

Setelah mengemukakan fakta-fakta persidangan, menganalisa fakta-fakta, maka sampailah kami pada analisa hukum, dimana dalam analisa hukum kami ingin mengaitkan antara unsur-unsur yang terkandung dalam pasal dakwaan yang kemudian dijadikan Tuntutan pidana oleh Saudara Jaksa Penuntut Umum dengan fakta-fakta obyektif yang terungkap dalam pemeriksaan di persidangan.

Sebagai Bahan pemikiran dan Pembuktian terhadap analisa unsur-unsur dalam DAKWAAN KESATU hendaknya dilihat fakta persidangan yang terungkap, bahwa Terdakwa  ALEXANDER GOBAY tidak melakukan tindak pidana Makar seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.Hal ini dapat kami buktikan di bawah ini:

  1. Unsur Pasal 110 Ayat (1) KUHP tentang Permufakatan Jahat” Bahwa unsur pidana dari Pasal 110 ayat (1) KUHP adalah unsur permufakatan jahat dan unsur dan unsur Melakukan salah satu kejahatan Pasal-Pasal 104, 106,107 dan 108, sebagai berikut :
    1. Permufakatan jahat :

Penafsiran otentik dari unsur ini dapat ditemukan dalam Pasal 88 KUHP yang berbunyi: “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”. Artinya Permufakatan yang terjadi harus setidak-tidaknya dilakukan oleh 2 orang atau lebih, karena perbuatan permufakatan tidak mungkin dilakukan oleh hanya satu orang saja.

Perbuatan tersebut apabila sudah terdapat kesepakatakan setelah ada perundingan atau perjanjian. Perjanjian antara 2 orang atau lebih untuk melakukan kejahatan dalam hal ini sangat diperlukan. Perjanjian ini bukan merupakan perjanjian dalam pengertian hukum perdata. Perjanjian ini dapat disimpulkan dari keterangan- keterangan orang-orang yang saling berjanji. Persetujuan menjadi tanda atau bukti yang nampak atas perjanjian yang dikehendaki. Jadi persesuaian kehendak (kesepakatan) harus ada kesengajaan, dan ini bukanlah suatu tindakan yang kebetulan. Dan kesengajaan disini jelas menghendaki dan mengetahui, menghendaki dibuatnya atau dibentuknya dan mengetahui isi kesepakatan bahkan maksud dengan kesepakatan/permufakatan tersebut. Seperti yang ditegaskan oleh Moeljatno(Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hal. 171)  ;

“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui”

Bahwa pertemuan yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 2019 sebelum aksi tanggal 19 Agustus 2019 bertujuan untuk mempersiapkan pernyataan aksi yang akan disampaikan ke gubernur terkait penolakan terhadap aksi rasis di Surabaya dan menuntut adanya proses hukum yang tegas. Pertemuan yang dihadiri oleh BEM se Jayapura dan kelompok Cipayung juga sepakat agar aksi tidak boleh berlangsung anarkis. Hal ini dipertegas dengan kesaksian dari saksi Ferry Kombo yang mengundang terdakwa dan BEM Se Jayapura serta kelompok Cipayung secara lisan untuk mengikuti pertemuan tersebut.  Maka apa yang dilakukan oleh terdakwa Alexader Gobay bukanlah perbuatan makar. Sebagai koordinator lapangan saat aksi anti rasis tanggal 19 agustus 2019 dan tanggal 29 agustus 2019 adalah sebagai bagian dari BEM se Kota Jayapura yang mengakomodir aspirasi rakyat Papua untuk menolak tindakan rasis terhadap mahasiswa di Surabaya.

Bahwa tindakan rasis di Surabaya itu hanya salah satu tindakan rasis yang dialami oleh orang Papua sejak lama bahkan sebelum Papua diintegrasikan ke dalam NKRI. Hal ini bersesuai dengan perndapat ahli rasis Dr. Benny Giay orang Papua mengalami social death. Dimana orang Papua sudah menjadi korban dari pandangan pandangan rasis yang mematikan beberapa abad jauh sebelum indonesia menduduki Papua awal tahun 1960an. Dimana aksi tersebut dilindungi dan dijamin oleh UU. Hal ini bersesuai dengan pendapat Ahli Kebebasan Berekspresi dan HTN DR. Herlambang P. Wirataman, S.H, MA : Bahwa kebebasan berekspresi sesungguhnya telah diatur rumusannya dalam konstitusi, yakni pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, “Kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.

    1. Melakukan salah satu kejahatan Pasal-Pasal 104, 106,107 dan 108;

Bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa Alexader Gobay bukanlah perbuatan makar. Sebagai koordinator lapangan saat aksi anti rasis tanggal 19 agustus 2019 dan tanggal 29 agustus 2019 adalah sebagai bagian dari BEM se Kota Jayapura yang mengakomodir aspirasi rakyat Papua untuk menolak tindakan rasis terhadap mahasiswa di Surabaya dan mendesak pemerintah untuk melakukan proses hukum yang tegas terhadap pelaku aksi tersebut.

Bahwa aksi yang dikoordinir oleh terdakwa dan BEM se kota Jayapura bukanlah makar. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Ahli  HAM dan Kebebasan Berekspresi, DR. Herlambang P. Wirataman, S.H, MA : Bahwa makar haruslah diartikan dengan ‘serangan’.Bahwa unsur makar itu tidak cukup dengan niat dan perbuatan karena niat harus dibuktikan dengan perbuatan atas niat itu. Hal ini yang menjadi pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor : 7/PUU-XV/2017. Sehingga dengan sangat jelas Mahkamah Konstitusi memberikan rambu-rambu bagi aparat penegak hukum untuk mengimplemetasikan pasal-pasal makar.

Hal ini bersesuain dengan pendapat Ahli Politik, Dr.Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc yang mengatakan bahwa aksi pada yang dilakukan tidak ada tujuannya untuk menggulingkan pemerintahan atau melakukan makar karena aksi itu merupakan aksi protes terkait ketidakadilan yang dialami oleh rakuat Papua akibat perlakukan rasismen yang mereka alami.

Dengan demikian unsur ‘permufakatan jahatyang didakwa dan dituntut kepada Terdakwa, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

  1. Unsur ‘Barangsiapa’

Bahwa unsur Barangsiapa disini adalah orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap delik; yang dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum mengajukan  Terdakwa  ALEXANDER GOBAY yang telah dilakukan penyidikan, maupun telah diperhadapkan dalam proses pemeriksaan di persidangan terhadap Dakwaan dan Tuntutan Pidana yang ditujukan kepadanya. Untuk dapatnya suatu perbuatan dipertanggungjawabkan kepada Terdakwa, sangat diperlukan dan tergantung pada pembuktian unsur-unsur lain dari pasal-pasal yang didakwakan.

Dengan demikian unsur barangsiapa, yang didakwa dan dituntut kepada Terdakwa, belum terbukti dan terpenuhi secara sah menurut hukum, karena masih tergantung pembuktian unsur-unsur lainnya.

  1. Unsur “melakukan makar”

Menurut R. Soesilo, (dalam KUHP serta Komentar-komentarnya, hal.109):

  1. Tentang “aanslaag” (makar, penyerangan) dapat lihat pada pasal 87 KUHP yang berbunyi : Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untukitutelahternyatadari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53”.
  2. Obyek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah Negara Kedaulataninidapatdirusakdenganduamacamcara, ialah dengan jalan:
    1. Menaklukkan daerah Negara seluruhnya atau sebagian kebawah pemerintah Negara Asing yang berarti menyerahkan daerah itu (seluruhnya) atau sebagian kepada kekuasaan Negara Asing misalnya daerah Indonesia (seluruhnya) atau daerah Kalimantan (sebagian) diserahkan kepada Pemerintah Inggris, atau
    2. Memisahkan sebagian dari daerah Negara itu yang berarti membuat bagian daerah itu menjadi suatu Negara yang berdaulat sendiri, misalnya memisahkan daerah Aceh atau Maluku dari daerah Republik Indonesia untuk dijadikan Negara yang berdiri sendiri.

Perlu diketahui pula, bahwa kapan seseorang dapat dianggap telah melakukan makar (aanslag). Bahwa untuk dilakukannya makar itu, harus sudah ada perbuatan melawan (verzetsdaad) yang nyata.

Menurut (Moeljatno, 1982:13) delik makar merupakan turunan dari delik percobaan, hanya saja jika dalam delik percobaan memiliki tiga unsur yaitu “niat”, “permulaan pelaksanaan”, “berhentinya permulaan pelaksanaan bukan dari keinginan pelaku”. Makar berhubungan dengan integritas dan wilayah Negara, dengan membawa ke bawah kekuasaan asing. Artinya ialah menyerahkan Negara kepada kekuasaan asing, sehingga kedaulatan negara sebagai suatu negara merdeka menjadi hapus. Negara dijadikan Negara jajahan atau dibawah kedaulatan Negara lain, sehingga Negara kehilangan sama sekali kemerdekaannya.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan parasaksi, ahli dan barang bukti serta keteranganTerdakwa :

Bahwa aksi tanggal 19 Agustus 2019 adalah respon terhadap aksi rasis yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa Papua. Aksi ini bertujuan agar negara menghapuskan praktek rasisme dengan menghukum pelaku dan memberikan perlindungan terhadap orang Papua. Bahwa aksi menolak rasisme bertujuan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Papua terkait penolakan rasisme kepada Gubernur oleh karena tempat yang dituju adalah kantor gubernur. Jika tidak ada aksi rasisme di Surabaya tentu tidak akan ada aksi menentang rasisme yang terjadi di berbagai kota di Papua termasuk di Jayapura.

Bahwa pada aksi 19 agustus 2019 gubernur Papua menerima pernyataan yang disampaikan oleh saksi FERRY KOMBO mewakili massa aksi dimana kemudian gubernur membentuk Tim bersama terdakwa dan saksi FERRY KOMBO untuk ke Surabaya guna bertemu dengan gubernur Jawa Timur menyampaikan aspirasi dimaksud. Sehingga pada tanggal tanggal 26 dan 28 Agustus 2019, Terdakwa ALEXANDER GOBAY bersama saksi FERRY KOMBO bersamagubernur Papua berada di Surabaya.Bahwa pada aksi tanggal 19 agustus 2019 tidak ada bendera Bintang kejora di tiang kantor gubernur Papua

Bahwa pada aksi 29 agustus 2019 terdakwa tidak mengetahui siapa yang merencanakan aksi tersebut. Terdakwa mengentahui melalui sosial media saat terdakwa transit dalam perjalanan pulang ke Jayapura. Tidak ada yang memberitahukan atau menelpon terdakwa selaku pimpinan BEM USTJ. Saat itu sedang transit di denpasar sekitar jam 01.00 dinihari terdakwa menelpon Roni Lambe dengan menanyakan mengapa nama terdakwa dicatut sebagai koordinator aksi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Terdakwa mengatakan agar aksi harus dibatalkan namun Rony Lambe katakan bahwa informasi sudah terlanjur disebarkan. Maka pada saat terdakwa sampai di Jayapura, terdakwa sempat pulang kerumah terlebih dahulu kemudian bermaksud mengecek massa aksi. Namun saat itu sebagian massa aksi telah jalan. Terdakwa bergabung karena merasa nama BEM USTJ sudah ada di selebaran dan berusaha untuk mencegah massa aksi ke Jayapura. Terdakwa ke kampus USTJ dan kemudian menuju lingkaran Abepura untuk meminta agar melakukan aksi di lingkaran abe saja namun sebagian massa aksi sudah bergerak ke Jayapura.

Bahwa terdakwa tidak mengentahui siapa yang  membawa bendera Bintang Kejora sepanjang aksi, siapa yang menurunkan bendera Merah putih dan kemudian menaikan bendera bintang kejora di kanrtor gubernur. Ahli MUHAMMAD RULIYANDI, S.H.M. Ahli Hukum Tata Negara yang dihadirkan oleh JPU menerangkan bahwa terkait dengan pelanggaran terhadap bendera merah putih telah diatur dalam UU tersendiri yakni Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan laindengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia. Oleh karenanya apabila ada pelanggaran terhadap bendera merah putih haruslah dikenakan UU ini, bukan dengan menggunakan pasal makar.Bahwa terkait bendera Bintang Kejora yang dikibarkan pada tanggal 29 Agustus 2019 bukanlah dilakukan oleh terdakwa atau bukan atas perintah atau inisiatif terdakwa. Bahwa di dalam Buku II Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dari pasal 104 KUHP sampai dengan Pasal 129 KUHP tidak satupun yang menerangkan terkait pelanggaran terhadap bendera merah putih baik dalam bentuk penurunan, pengrusakan, pembakaran ataupun bentuk pelanggaran lainnya karena terkait bendera dan lambang negara diatur dalam UU tersendiri yakni UU Nomor 24 tahun 2009  tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis, apabila ada pengrusakan atau penurunan bendera merah putih sebagaimana aksi pada tanggal 29 Agustus 2019 di Kantor Gedung Gubernur Papua maka yang digunakan ada ketentuan pidana yakni pasal 66 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan laindengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” yang merupakan sanksi pidana atas perbuatan menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara Republik Indonesia.

Dengan demikian unsur ‘makar” yang didakwa dan dituntut kepada Terdakwa, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

  1. Unsur “Dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara”

Merupakan unsur subjektif, bahwa orang yang melakukan makar harus bermaksud melakukan suatu tindakan yang dapat diberikan kualifikasi membuat wilayah Negara jatuh ke tangan musuh baik seluruh atau sebagian.

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Pembentuk Undang-Undang telah mengartikan oogmerk itu sebagai naaste doel, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kata naaste doel itu sendiri. Lamintang di bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia mengatakan bahwa secara harfiah kata naaste doel itu berarti tujuan samping atau tujuan lain disamping tujuan pokok, namun karena tidak lazim digunakan orang dalam hukum pidana, maka oogmerk diterjemahkan dengan kata “Dengan Maksud”. Pembentuk Undang-Undang dengan tegas mencantumkan unsur oogmerk sebagai salah satu unsur tindak pidana yang ada di dalamnya. Maka unsur oogmerk di dalam pasal 106 KUHP itu artinya maksud dari pelaku itu adalah untuk melawan kekuasaan yang ada di Indonesia dan untuk melawan kekuasaan tersebut, pelaku (dengan sengaja) memisahkan seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara. “Niat” oleh pembentuk UU digunakan sebagai suatu tanda atau pedoman untuk menyatakan adanya kesengajaan. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari Memorie Van Toelichting yang mengartikan opzet sebagai menghendaki dan mengetahui (Willens en weteng). Berdasarkan Memorie van Teolichting maka diketahui bahwa kesengajaan itu ada apabila si pelaku itu menghendaki dan mengetahui apa yang ia lakukan. Prof Muljatno mengadakan perbedaan antara percobaan yang selesai (vol tooide poging), artinya seluruh kelakuan yang harus dilakukan oleh terdakwa untuk menimbulkan kejahatan yang dituju sudah dilakukan dan tinggal menunggu akibatnya saja, dan percobaan yang terhenti  (geschorchte poging). Sehubungan dengan ini dalam hal makar atau percobaan yang belum selesai, Prof Muljatno berpendapat : Sebaliknya dalam pasal 104 misalnya, kalau makar belum selesai, (dan juga dalam delik-delik percobaan yang tidak selesai) oogmerk mempunyai makna yang subjektif, artinya harus 100 persen murni yang diinginkan oleh terdakwa. Jelas bahwa niat (oogmerk) terhadap delik makar dan percobaan yang belum selesai adalah mempunyai makna yang subjektif, artinya harus 100 persen murni yang diingini oleh terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan para saksi, para ahli dan barang bukti serta keterangan Terdakwa;

Bahwa aksi tanggal 19 Agustus 2019 dan tanggal 29 Agustus 2019 tidak dapat dikatakan makar karena  adalah respon terhadap aksi rasis yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa Papua.Jika tidak ada aksi rasisme di Surabaya tentu tidak akan ada aksi menentang rasisme yang terjadi di berbagai kota di Papua termasuk di Jayapura.Aksi ini bertujuan agar negara menghapuskan praktek rasisme dengan menghukum pelaku dan memberikan perlindungan terhadap orang Papua.

Bahwa pada aksi 19 agustus 2019 gubernur Papua menerima pernyataan yang disampaikan oleh saksi FERRY KOMBO mewakili massa aksi dimana kemudian gubernur membentuk Tim bersama terdakwa dan saksi FERRY KOMBO untuk ke Surabaya guna bertemu dengan gubernur Jawa Timur menyampaikan aspirasi dimaksud. Sehingga pada tanggal tanggal 26 dan 28 Agustus 2019, Terdakwa ALEXANDER GOBAY bersama saksi FERRY KOMBO bersama gubernur Papua berada di Surabaya. Bahwa pada aksi tanggal 19 agustus 2019 tidak ada bendera Bintang kejora di tiang kantor gubernur Papua.

Fakta ini bersesuai dengan pendapat dari Ahli Politik, Dr.Adriana Elisabeth, M.Soc, Scyang mengatakanbahwa aksi pada yang dilakukan tidak ada tujuannya untuk menggulingkan pemerintahan atau melakukan makar karena aksi itu merupakan aksi protes terkait ketidakadilan yang dialami oleh rakuat Papua akibat perlakukan rasismen yang mereka alami.

Bahwa terdakwa dan massa aksi meneriakan yel-yel referendum dan Papua merdekaadalah merupakan tindakan spontanitas dan sebagai ekspresi kekecewaan terhadap aksi rasisme yang telah dialami oleh  mahasiswa Papua. Yel-yel referendum  seringkali disampaikan dalam setiap aksi menyampaikan pendapat di Papua. Hal ini merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan dijamin oleh UU.  Sebagaimana pendapat MUHAMMAD RULIYANDI, S.H.M.H Ahli Hukum Tata Negarayang dihadirkan oleh JP yang mengatakanBahwa Referendum diakui sebagai salah satu prinsip dalam hukum ketatanegara di Indonesia. Praktek Referendum di Indonesia pernah terjadi saat pemerintah Indonesia menyetujui dilakukan referendum terhadap Timor Leste tahun 1999 dimana saat itu rakyat di Timor Leste menuntut merdeka lepas dari NKRI” serta Prof. DR. HAMDI MULUK,Ph.D Psikologi politik yang dihadirkan oleh  JPU dengan mengatakan Bahwa referendum dibolehkan dalam negara demokrasi melalui mekanisme yang diatur dalam UU misalnya di Indenesia melalui persetujuan dari MPR; bersesuaian dengan pendapat Ahli Pidana yang dihadirkan terdakwa/ penasehat hukum yakni DR.Tristam Pascal Moellion,SH,Mh,LLM yang berpendapat bahwa Pengalaman Indonesia dengan referendum adalah sebagai berikut: a. pelaksanaan referendum (penentuan pendapat rakyat/pepera) untuk meminta pandangan dan putusan rakyat Papua Barat (1969 sebagai implementasi Perjanjian New York; 1962); b. Pelaksanaan referendum Timor Timur (1999) sebagai implementasi Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor (1999). Keduanya diselenggarakan di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dengan demikian unsur ‘Dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara”yang didakwa dan dituntut kepada Terdakwa, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

  1. Unsur “Apabila Niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53 KUHP

Satu-satunya penjelasan yang dapat diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari Memorie van Toelichting (MvT) yang menyatakan: Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen. (Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan) (Lamintang, 1984: 511). Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Adanya niat/kehendak dari pelaku;
  2. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
  3. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku.

Selanjutnya Memorie van Toelichting (MvT) hanya memberikan pengertian tentang uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan), yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya. Sedangkan pengertian dari voorbereidings handelingen (tindakan-tindakan persiapan) tidak diberikan. Hubungan antara makar dan percobaan dijelaskan dalam Pasal 87 KUHP, disebutkan bahwa “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,seperti maksud dari pasl 53 KUHP”.

Dalam ilmu hukum pidana maupun yurisprudensi hukum pidana diadakan perbedaan antara “perbuatan persiapan” (voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Menurut Tresna (Azas-Azas Hukum Pidana disertai Beberapa Perbuatan Pidana Jang Penting, Tiara, Jakarta, 1959) melihat susunan kata-kata dari pasal 53 ayat (1) itu terlihat seakan-akan pelaksanaan yang harus sudah dimulai itu dimaksudkan sebagai pelaksanaan kehendak yang berbuat, akan tetapi dari penjelasan resmi tentang pasal tersebut ternyata bahwa hal itu harus diartikan sebagai pelaksanaan dari kejahatannya. Jika dihubungkan dengan perkataan “selesainya” pelaksanaan itu, perkataan mana hanya dapat diartikan selesainya kejahatan dan bukan selesainya kehendak. Menurut Memorie van Toelichting (MvT) batas yang tegas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan dalam wet. Untuk mencegah persoalan kapankah perbuatan itu merupakan perbuatan persiapan dan kapan sudah merupakan perbuatan pelaksanaan ada dua teori yaitu;

  1. Teori subyektif
  2. Teori obyektif

Teori subyektif di dalam mencari rumusan bagi arti permulaan pelaksanaan adalah menitikberatkan pada maksud dari seseorang dalam melakukan kejahatan. Teori ini memberi kesimpulan bahwa ada permulaan pelaksanaan jika ditinjau dari sudut niat si pembuat apa yang telah dilakukan itu telah ternyata kepastian niat tadi. Jadi teori subjektif berpendapat bahwa sudah ada permulaan pelaksanaan jika sudah ada kepastian niat dari si pembuat, sehingga ukuran atau dasar yang dipergunakan adalah kehendak atau watak (mentalitet) pembuat. Muljatno dalam menentukan batas adanya perbuatan pelaksanaan meninjaunya dari dua faktor, yaitu dari sifat percobaannya sendiri dan dari sifat umumnya delik apa yang telah dilakukannya itu sendiri. Sehingga menurut beliau perbuatan pelaksanaan itu ada, bila ada suatu perbuatan yang memenuhi tiga syarat:

  1. Secara obyektif apa yang dilakukan terdakwa harus mendekati kepada delik yang dituju, atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
  2. Secara subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa ditujukan atau diarahka pada delik yang tertentu tadi;
  3. Bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum. (Moeljatno, 1985).

Permulaan pelaksanaan dalam pasal di atas ditafsirkan sebagai permulaan melakukan kejahatan dan tidak selesai. Perbuatan permulaan pelaksanaan menurut Memorie van Toelichting harus dibedakan dengan  perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan. Meski demikian, tidak mudah membedakan antara keduanya dan oleh karena itu diserahkan pada pertimbangan hakim. Dalam konteks ini, Moeljatno menyatakan bahwa perbuatan persiapan merupakan mengumpulkan kekuatan, sedangkan perbuatan pelaksanaan melepaskan kekuatan yang telah dikumpulkan.Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dari keterangan para saksi dan barang bukti serta keterangan Terdakwa;

Bahwa aksi tanggal 19 Agustus 2019 dan tanggal 29 Agustus 2019 tidak dapat dikatakan makar karena  adalah respon terhadap aksi rasis yang terjadi di Surabaya terhadap mahasiswa Papua.  Jika tidak ada aksi rasisme di Surabaya tentu tidak akan ada aksi menentang rasisme yang terjadi di berbagai kota di Papua termasuk di Jayapura.Aksi ini bertujuan agar negara menghapuskan praktek rasisme dengan menghukum pelaku dan memberikan perlindungan terhadap orang Papua.

Bahwa pada aksi 19 agustus 2019 gubernur Papua menerima pernyataan yang disampaikan oleh saksi FERRY KOMBO mewakili massa aksi dimana kemudian gubernur membentuk Tim bersama terdakwa dan saksi FERRY KOMBO untuk ke Surabaya guna bertemu dengan gubernur Jawa Timur menyampaikan aspirasi dimaksud. Sehingga pada tanggal tanggal 26 dan 28 Agustus 2019, Terdakwa ALEXANDER GOBAY bersama saksi FERRY KOMBO bersama gubernur Papua berada di Surabaya.

Bahwa pada aksi 29 agustus 2019 terdakwa tidak mengetahui siapa yang merencanakan aksi tersebut. Terdakwa mengentahui melalui sosial media saat terdakwa transit dalam perjalanan pulang ke Jayapura. Tidak ada yang memberitahukan atau menelpon terdakwa selaku pimpinan BEM USTJ. Saat itu sedang transit di denpasar sekitar jam 01.00 dinihari terdakwa menelpon Roni Lambe dengan menanyakan mengapa nama terdakwa dicatut sebagai koordinator aksi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Terdakwa mengatakan agar aksi harus dibatalkan namun Rony Lambe katakan bahwa informasi sudah terlanjur disebarkan. Maka pada saat terdakwa sampai di Jayapura, terdakwa sempat pulang kerumah terlebih dahulu kemudian bermaksud mengecek massa aksi. Namun saat itu sebagian massa aksi telah jalan. Terdakwa bergabung karena merasa nama BEM USTJ sudah ada di selebaran dan berusaha untuk mencegah massa aksi ke Jayapura. Terdakwa ke kampus USTJ dan kemudian menuju lingkaran Abepura untuk meminta agar melakukan aksi di lingkaran abe saja namun sebagian massa aksi sudah bergerak ke Jayapura.

Bahwa fakta ini bersesuaian dengan Ahli HAM dan Kebebasan Berekspresi DR.Herlambang P.Wirataman, S.H, MA yang mengatakan makar haruslah diartikan dengan ‘serangan’. Bahwa unsur makar itu tidak cukup dengan niat dan perbuatan karena niat harus dibuktikan dengan perbuatan atas niat itu. Hal ini yang menjadi pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor : 7/PUU-XV/2017. Sehingga dengan sangat jelas Mahkamah Konstitusi memberikan rambu-rambu bagi aparat penegak hukum untuk mengimplemetasikan pasal-pasal makar sehingga aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam menerapkan pasal-pasal makar.

Dari uraian diatas maka unsur “Apabila Niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53 KUHP” yang didakwakan dan dituduhkan oleh Penuntut Umum kepada terdakwa tidaklah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

  1. Unsur “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan”

Memahami konsep teoritik deelneming (penyertaan) tersebut, maka dalam konteks Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jelas terlihat suatu penyertaan yang tersusun, yakni;

  1. yang melakukan;
  2. yang menyuruh lakukan;
  3. yang turut serta melakukan;
  4. yang sengaja melakukan.

Sebagaimana pernah dibahas dalam artikel Perbedaan ‘Turut Melakukan’ dengan ‘Membantu Melakukan’ Tindak Pidana, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP. Namun didalam Dakwaan Kesatu Jaksa Penuntut Umum tidak menguraikan peran atau kualifikasi perbuatan Terdakwa ALEXANDER GOBAY terhadap delik yang dituduhkan kepadanya. Perlu diuraikan kualifikasi Terdakwa  ALEXANDER GOBAYdalam konstruksi deelneming sesuai ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Jika perbuatan terdakwa dikualifikasi sebagai pleger, maka terdakwalah yang mempunyai kekuasaan atau kemampuan untuk mewujudkan semua unsur delik yang terdapat dalam Pasal 106 KUHP. Lalu seperti apa kualifikasi penyertaan dari Para Terdakwa lainnya yang dituntut dalam berkas perkara terpisah. Apakah Terdakwa ALEXANDER GOBAY atau terdakwa FERRY KOMBO atau terdakwa HENGKY HILAPOK atau terdakwa IRWANUS UROPMABIN yang dikualifikasi  sebagai manus ministra (onmiddelijke dader) / pelaku langsung dan siapa diantara para terdakwa sebagai pelaku peserta ?. Apabila kualifikasi Terdakwa ALEXANDER GOBAY sebagai medepleger maka seharusnya digambarkan secara jelas dan pola-pola hubungan perbuatan antara Terdakwa ALEXANDER GOBAY dengan para terdakwa lainnya. JPU juga tidak bisa menjelaskan siapa yang menjadi medepleger. Tujuannya untuk dapat dipenuhinya syarat medepleger yakni ada kerjasama yang erat yang dilakukan secara sadar (bewste samenwerking) dan ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke uitvoering). Padahal dipersidangan, saksi HENGKY HILAPOK dan saksi IRWANUS UROPMABIN menerangkan bahwa mereka tidak berkomunikasi atau bersama terdakwa pada rapat tanggal 18 Agustus 2019 dan  28 Agustus 2019 ataupun tidak ada pembagian tugas  antara saksi HENGKY HILAPOK dan saksi IRWANUS UROPMABIN  dengan Terdakwa.Dari uraian diatas maka unsur “Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan yang didakwakan dan dituduhkan oleh Penuntut Umum kepada terdakwa ALEXANDER GOBAY tidaklah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

 

Majelis Hakim Yang Mulia;

Rekan Jaksa Penuntut Umum yan terhormat;

Serta hadirin sekalian;

Kita semua mungkin pernah mendengar dan membaca mengenai adanya Miscarriage of justice (kegagalan penegakkan keadilan) yang merupakan persoalan universal yang dihadapi oleh hampir seluruh negara dalam penegakkan sistem peradilan pidananya. Menurut Clive Walker, terdapat empat hal penting yang terkandung dalam makna miscarriage of justice, yaitu:

  1. Kegagalan penegakkan keadilan tidak hanya terbatas pada produk pengadilan atau dalam sistem hukum pidana, tetapi juga dapat terjadi di luar pengadilan, terbentuk dari kekuasaan penegak hukum yang bersifat memaksa (coercive power);
  2. Kegagalan penegakkan keadilan dapat dilembagakan dalam hukum, misalnya dalam bentuk legalisasi biaya-biaya yang tidak resmi;
  3. Kegagalan penegakkan keadilan harus pula mencakup kelemahan Negara ketika menjalankan tanggung jawabnya;
  4. Kegagalan penegakkan keadilan harus ditegaskan pada hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia;

Istilah miscarriage of justice terus berkembang dan dipergunakan untuk menggambarkan bahwa dalam sistem hukum negara-negara di dunia terdapat kemungkinan terjadinya kesalahan dalam putusan pengadilan yang menyebabkan seseorang harus menjalani hukuman atas kejahatan yang tidak dilakukannya.

Berdasarkan hal tersebut, dalam pemeriksaan perkara Terdakwa, patutlah kita semua, baik rekan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Yang Mulia atau pun kami sendiri selaku Penasihat Hukum, harus berpegang teguh pada asas-asas yang terkandung dalam penegakkan keadilan serta harus menghindari tindakan-tindakan yang dapat merusak integritas sistem sebagai upaya menghindari miscarriage of justice pada perkara ini.

 

VIII. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN

Majelis Hakim Yang Terhormat,

Bahwa dari paparan kami tersebut di atas maka dengan tidak terpenuhinya salah satu unsur dakwaan saja maka dianggap bahwa pasal yang didakwakan itu tidak terbukti. Sehingga itu berarti tindak pidana Makar sebagaimana DAKWAAN KEDUA PASAL 110 KUHP jo 106 KUHP Jo PASAL 55 AYAT (1) Ke-1 KUHP yang didakwakan kepada terdakwa ALEXANDER GOBAY Tidak terpenuhi dan karenanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sampailah kami pada permohonan, sebagai berikut:

Pertama  : Menyatakan Terdakwa ALEXANDER GOBAY tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana makar Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP sebagaimana dalam Surat tuntutaan Jaksa Penuntut Umum.

Kedua     : Membebaskan TerdakwaALEXANDER GOBAYdari segala dakwaan dan tuntutanhukum.

Ketiga      : Merehabilitasi nama baik Terdakwa ALEXANDER GOBAYdi masyarakat dan membebankan biaya persidangan kepada Negara.

 

Namun demikian bila Majelis Hakim berpendapat/berkeyakinan lain, maka kami mohon putusan yang seadil-adilnya.

 

Semoga Tuhan Yang Maha Adil senantiasa member petunjuk dan keteguhan iman kepada Majelis Hakim dalam memutus perkara ini.

Balikpapan, 11 Juni 2020

 

 

Hormat Kami

KOALISI PENEGAK HUKUM DAN HAM PAPUA

PENASEHAT HUKUM TERDAKWA

 

 

 

 

EMANUEL GOBAY, S.H, M.H;

 

 

 

 

GANIUS WENDA, S.H, M.H;

 

 

 

 

YULIANA YABANSABRA, S.H;

 

 

 

 

WELTERMANS TAHULENDING, S.H;

 

 

 

 

APILUS MANUFANDU,S.H;

 

 

 

 

WEHELMINA MORIN, S.H;

 

 

 

 

BERNARD MARBUN, S.H;

 

 

 

 

NI NYOMAN SURATMININGSIH, S.H;

 

 

 

 

FATHUL HUDA WIYASHADI, S.H;

 

 

 

 

LATIFAH ANUM SIREGAR, S.H, M.H

 

 

 

 

GUSTAF R.KAWER, S.H, M.Si;

Catatan redaksi: Isi pledoi ini sesuai dengan berkas pledoi yang diterima Jubi dari Koalisi Penegak Hukum dan HAM, namun formatnya mengalami perubahan karena ditampilkan dalam bentuk teks untuk mempermudah pembaca. Naskah pledoi dalam bentuk PDF dapat diunduh di Pledoi ALEX GOBAY

Related posts

Leave a Reply