Pilpres AS, sikap ini menjadi faktor kekalahan Trump

Papua
Ilustrasi Trump, pixabay.com

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jakarta, Jubi – Sejumlah penyebab kekalahan Donald Trump dalam pemilihan presiden pada pekan lalu menjadikan dia tak bisa memimpin ke dua kalinya di negeri Paman Sam. Dukungan suara Trump dikalahkan Joe Biden yang berhasil mengumpulkan lebih dari 270 suara elektoral. Salah satu faktornya kemampuan Joe Biden menampilkan dirinya sebagai anti-tesis dari Donald Trump dalam menyikapi dan mengkomunikasikan sebuah isu.

Read More

Sepanjang 2020, Donald Trump memang banyak melakukan hal-hal yang membuat publik bertanya-tanya. Terutama, dalam menyikapi tiga isu besar yang terjadi di Amerika. Ketiga isu tersebut adalah soal pandemi Covid-19, runtuhnya perekonomian Amerika, serta pembunuhan George Floyd. Sebagai contoh, dalam penanganan Pandemi Covid-19, Donald Trump malah mengacuhkan masukan pakar. Donald Trump mengira dengan mencoba menjadi “dirinya sendiri” yang blak-blakan, tampil beda, dan menghina, dia akan mengamankan dukungan di Pemilu AS 2020.

Baca juga :

Nyatanya, hal yang ia lakukan malah menunjukkan bahwa sesungguhnya ia tidak siap untuk menangani isu-isu penting. Padahal,  keskasian sejumlah warga Amerika, mereka mencari Presiden AS yang bisa menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Alhasil, mereka pun malas memilih Donald Trump.

“Jika saja dia lebih tenang, koheren, dan menyakinkan dalam merespon pandemi COVID-19, dia pasti bisa menutupi selisih suara yang ia butuhkan,” ujar pakar strategi kampanye Republikan, Ryan Williams, Minggu, (8/11/2020).

Baca juga :  Donald Trump diduga manipulasi nilai aset 

Donald Trump tegaskan tak terima hasil Pilpres jika kalah 

Biden masih kuat dibanding Trump saat mendekati pemungutan suara Pilpres AS

Salah satu masukan pakar yang Donald Trump acuhkan adalah soal memakai masker. Ketika Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) mengeluarkan himbaun memakai masker, Donald Trump malah meremehkannya. Ia menyebut hal tersebut hanya “himbauan” jadi tidak bersifat wajib.

Hal lain yang diacuhkan Donald Trump adalah masukan untuk lockdown. Khawatir roda ekonomi akan tertahan dan pada akhirnya mengganggu elektabilitasnya, Donald Trump memilih untuk mengabaikannya. Hasilnya sampai sekarang, pandemi Covid-19 masih terjadi di Amerika dengan jumlah kasus lebih dari 10 juta. Perekonomian AS pun belum kunjung membaik.

Hal itu diperparah komunikasi yang buruk. Ketika Donald Trump mengetahui para pakarnya mendapat rating bagus saat memberikan update harian Covid-19, ia memutuskan untuk mengambil alihnya. Walhasil, dalam penyampaiannya, informasi penting itu kerap dipaparkan dengan gaya Donald Trump yang sarat improviasi.

Dalam satu momen, Donald Trump bahkan menyarankan disinfektan diinjeksikan ke tubuh pasien untuk menyembuhkan Covid-19. Puncaknya, Donald Trump sendiri tertular Covid-19. Tak lama setelah ia dinyatakan positif, staf-stafnya pun menyusul.

Perkembangan terbaru, Kepala Staf Kepresidenan Mark Meadows pun juga tertular pada Pemilu AS kemarin. Untungnya, Donald Trump sembuh dalam tiga hari.

Ketika sembuh, Donald Trump bukannya menggunakan pengalamannya untuk memperingatkan bahaya Covid-19. Sebaliknya, Donald Trump mencoba menampilkan dirinya sebagai pria yang kebal. Ia kembali berkampanye tanpa masker dan menyerang segala kekhawatiran soal Covid-19. Kampanye-kampanye bahkan melibatkan ribuan pendukung tanpa protokol kesehatan mumpuni.

“Covic, covid, covid melulu. Pada tanggal 4 November, kalian tidak akan lagi mendengarnya,” klaim Donald Trump saat itu.

Gaya  serupa dipakai Donald Trump ketika kasus pembunuhan George Floyd meledak. Bukannya mendukung para demonstran yang mengeluhkan isu rasisme, Donald Trump mengambil posisi kontra. Ia bahkan tidak menunjukkan sikap solidaritas saat demonstrasi kematiaan George Floyd terjadi di Washington DC.

Menggunakan kuasanya, Donald Trump menerjunkan aparat dan garda nasional untuk memukul mundur demonstran. Setelah itu, ia berjalan menuju gereja di dekat Gedung Putih dan berfoto dengan alkitab di sana.

Saat Donald Trump mencoba menyuarakan pesan law and order, bukan anti-rasisme. Namun, alih-alih mendapat dukungan, pesan yang disampaikan Donald Trump itu malah makin memanaskan kritik warga Amerika, terutama komunitas kulit hitam. Dampaknya, ketika Pemilu AS berlangsung, 87 persen pemilih kulit hitam lebih memilih Joe Biden.

Ahli strategi kampanye Republikan, Ron Bonjean, menyebut Donald Trump menyia-nyiakan banyak kesempatan menggaet pendukung baru. Walaupun penting untuk menjaga basis pendukung utama, Bonjean berkata Donald Trump tidak boleh lupa memperluas cakupan simpatisannya.

“Jika saja di sadar bahwa ada cara untuk memperluas jangkauannya (dan mengubah pendekatannya), hal itu akan memberinya keunggulan pada Pemilu AS kemarin,” ujar Bonjean.

Hingga Pemilu AS berakhir, gaya komunikasi Donald Trump belum berubah. Ia masih menyakini dirinya yang menang dan menebar klaim/ tuduhan soal suara pemilihnya dicuri. Twitter sampai enam kali menegurnya karena membuat klaim-klaim menyesatkan. Pada akhirnya Trump tetaplah Trump. (*)

Editor : Edi Faisol

Related posts

Leave a Reply